Thursday, April 10, 2008

Toleransi Berbasis al-Qur’an

“Sayangilah mereka yang ada di bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh mereka yang ada di langit.” (al-Hadits)

Dalam imperatif kategorisnya, yang termuat dalam Kritik atas Rasio Praktis, Immanuel Kant merumuskan suatu prasyarat penting bagi setiap tindakan agar dapat dikategorikan sebagai tindakan moral, yaitu universalisasi maksim. Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif bagi tindakan seseorang. Nah, tindakan yang seseorang perbuat akan menjadi bermoral (wajib dilakukan) hanya jika maksim yang ia gunakan dapat diuniversalisasikan. Artinya, semua orang, di mana dan kapan saja, dalam keadaan yang sama seperti dia, pasti akan melakukan tindakan yang akan ia perbuat itu. Tetapi jika masksimnya tidak dapat diuniversalisasikan, maka wajib baginya untuk tidak melakukan tindakan tersebut.

Seturut dengan prinsip di atas, sulit rasanya mengkategorikan tindakan-tindakan sebagian pemeluk agama yang mengancam dan merusak tempat-tempat ibadah umat dan aliran yang berbeda sebagai tindakan yang bermoral. Karena jika maksim mereka, yang kira-kira berbunyi “Jika keadaan memungkinkan, maka orang lain yang tidak sepaham dan berbeda dengaku, akan aku paksa agar sepaham denganku, atau menyingkirkan mereka menjadi tidak ada sama sekali” diuniversalisasikan, betapa kacaunya dunia ini. Yang akan terjadi adalah rasa tidak aman dan saling curiga. Manusia akan kembali kepada apa yang oleh Hobbes disebut sebagai state of nature, keadaan alamiah manusia yang penuh dengan permusuhan satu sama lain.

Maka, di samping tidak bermoral, tindakan merusak tempat ibadah orang lain, melarang mereka menjalankan praktek keagamaannya, serta memaksa minoritas untuk mengikuti paham dan aliran yang sama dengan mayoritas, hanya menunjukkan kebelumdewasaan para pelakunya serta menodai kesucian agamanya sendiri.

Sebenarnya tindakan semacam itu tidak akan terjadi seandainya masing-masing umat beragama saling berendah hati dalam menyikapi keyakinan dan klaim kebenaran agamanya. Tindakan tersebut terjadi lantaran pihak penyerbu merasa bahwa keyakinan merekalah yang benar, sedangkan keyakinan yang lain adalah salah. Padahal, hanya Tuhan saja yang dapat menentukan dan memberi petunjuk atas kebenaran. Mengklaim bahwa hanya dia dan kelompoknya yang benar, sedangkan yang lain adalah salah, sama saja dengan mendaku sebagai tuhan, lantaran telah mengambil hak-Nya sebagai penentu kebenaran dan kesalahan.

Paradigma baru
Karena itu, toleransi adalah hal yang niscaya dalam kehidupan keagamaan yang penuh dengan pluralitas keyakinan seperti sekarang ini. Dibutuhkan suatu sikap penghargaan terhadap yang lain, bahwa yang lain bukanlah sama sekali lain dari kita. Mereka adalah orang-orang yang secara hakiki juga memiliki hak yang sama dengan kita.

Pandangan Martin Buber, seorang filsuf Yahudi, mungkin baik untuk tidak sekedar dikutip. Bahwa hubungan aku dengan orang lain bukanlah seperti aku dengan benda (I-It), di mana yang berlaku adalah hukum penguasaan, suatu hubungan tuan-budak. Hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan antar subjek yang sama (I-Thou). Hubungan dengan yang lain adalah hubungan yang paling utama, fakta primer dalam setiap antropologi dan filsafat. Hubungan antar subjektivitas inilah yang mengantar ke jalan menuju pengenalan akan Tuhan. Hadist yang dikutip di awal tulisan ini kiranya memiliki pesan yang sama dengan apa yang dikatakan Buber.

Di sinilah buku karya Zuhairi Misrawi ini terasa tepat kehadirannya. Ia mengajak kita untuk membangun sikap toleransi dari dalam. Yaitu toleransi yang harus tumbuh dan menjadi kesadaran umat Islam sendiri dengan berpijak pada landasan teologis yang kuat. Landasan teologis, yang berdasar pada al-Qur’an sebagai sumber utama teologi Islam, ini penting karena menunjukkan bahwa kitab suci sendiri telah memerintahkan umatnya untuk selalu memberikan penghargaan terhadap yang lain. Dan upaya menghadirkan toleransi sebagai kesadaran yang tumbuh dari dalam inilah di antara keistimewaan buku ini.

Puncak dari buku ini adalah usaha penulis dalam menghadirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai dasar dan pedoman bagi sikap yang toleran. Penulis mencatat setidaknya ada 300-an ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu mengedepankan sikap toleransi. Di samping itu, dalam buku ini pengarang juga melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang selama ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai legitimasi terhadap tindakan intoleran mereka.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam toleransi. Pertama, mengakui perbedaan dan keragaman. Al-Qur’an sendiri telah mencatat dengan baik keragaman ciptaan Tuhan ini. Dalam QS. 49:13 disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam keragaman; laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, tidak lain adalah agar mereka saling mengenal. Begitu pula dengan keragaman syariat yang telah diberikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya. Dan yang kedua adalah pencarian titik temu (kalimatun sawa’) dan koeksistensi (al-ta’amul al-silmy). Demikian karena pengakuan akan keragaman saja belum mencukupi tanpa dibarengi dengan usaha untuk mencari titik-titik pertemuan dan koeksistensi. Titik pertemuan itu dalam konteks agama adalah fondasi keberimanan yang sama, dan dalam konteks keindonesiaan adalah Pancasila sebagai ideologi bersama yang menampung kemajemukan dan pluralitas bangsa. (hal. 11)

Dan Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupannya telah menunjukkan sikap toleransi yang sangat tinggi terhadap umat lain. Piagam Madinah adalah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan hal tersebut. Dalam piagam itu disebutkan bahwa umat non-Muslim bersama umat Muslim adalah satu umat (ummatan wahidah), di mana semua orang mendapat perlakuan yang sama tanpa ada diskriminasi. (hal. 17)

Titik tolak yang berbeda
Sama-sama sebagai kitab suci, satu hal penting yang membedakan al-Qur’an dari dua kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, adalah pandangan umat Islam terhadap kalamullah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Umat Yahudi dan Kristiani meyakini bahwa kalimat-kalimat dalam kitab suci mereka adalah ’karangan’ manusia yang ditulis dengan tuntunan Ilahi. Singkatnya, kitab suci mereka adalah kalam Ilahi secara ma’nan, tetapi tidak secara lafdzan. Sedangkan sebagian besar umat Islam berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah lafdzan wa ma’nan dari Allah.

Karena itu usaha hermeutik yang berlangsung begitu deras di dua agama pendahulu itu tidak mudah untuk diterapkan di dalam Islam. Umat Muslim merasa takut dan sungkan untuk menerapkan prinsip-prinsip antropologi, sosiologi, kultural, dsb. yang biasa digunakan dalam hermeneutika untuk menafsirkan kata-kata Ilahi.

Maka, selama al-Qur’an dipandang sebagai kalamullah lafdzan wa ma’nan sekaligus, sulit rasanya untuk memperoleh penafsiran yang progresif sesuai dengan semangat dan perubahan jaman. Karena penafsiran semacam ini mengandaikan kebebasan penafsir dalam mengeksplorasi sebuah teks, suatu pandangan yang tidak terdapat pada penafsir yang memandang teks penuh dengan kesucian dan tak terjangkau olehnya. Meski demikian, usaha semacam itu bukannya tidak ada. Sudah banyak ulama klasik yang mencoba ke arah sana, akan tetapi tidak diperhitungkan karena kalah bersaing dengan paham mayoritas seiring dengan perjalanan sejarah. Dan karangan Zuhairi ini adalah salah satu usaha untuk menghidupkan kembali budaya intelektual yang sempat berhenti itu.

Dengan demikian, salah satu kekuatan buku ini adalah penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang progresif, namun tetap memiliki acuan pada tafsiran para sarjana Muslim klasik. Eksplorasi terhadap pandangan-pandangan ulama klasik (progresif) inilah yang mungkin tidak terdapat di banyak karya tafsir lain masa kini. Di samping itu, buku ini merupakan buku tafsir tematis al-Qur’an pertama tentang toleransi yang ada, setidaknya dalam konteks Indonesia.

Membumikan toleransi
Salah satu ayat yang disitir sebagai ayat toleransi adalah ayat basmalah. Basmalah adalah ayat paling familier bagi umat Islam lantaran paling sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun nilai dan hikmah di baliknya sering kali tidak diperhatikan, karena ia telah menjelma menjadi ritual belaka.

Kata pertama dalam basmalah adalah bismillah, atas nama Tuhan. Bismillah berarti penghambaan total terhadap Tuhan, dan tidak mengakui sama sekali penghambaan terhadap selain-Nya, baik itu manusia maupun institusi. Atas nama Tuhan berarti menjauhkan diri dari berbagai kepentingan hawa nafsu dan ambisi politik tertentu. Karena itu sifat otoriter tidak layak bagi seorang makhluk, karena Tuhanlah yang berhak atasnya. Bersikap otoriter terhadap sesama berarti mengambil wewenang dan otoritas Ilahi.

Basmalah juga mengandung ungkapan al-rahman, Tuhan yang maha pengasih. “Karena Tuhan disimbolisasikan sebagai al-rahman, maka Tuhan harus senantiasa dijadikan sebagai cermin oleh setiap manusia agar selalu meneteskan embun kasih-Nya di muka bumi.” (hal. 233)

Ungkapan terakhir dari basmalah adalah al-rahim, Tuhan maha penyayang. Nabi Muhammad juga dijuluki sebagai al-rahim, pembawa kasih sayang. Mengakui Tuhan dan Nabi-Nya sebagai penyayang, umat Islam juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Karena itulah “diperlukan rancang-bangun peradaban basmalah. Yaitu peradaban yang mampu mengangkat citra Islam sebagai agama kasih sayang, karena esensi syariah adalah kasih sayang.” (hal. 234)

Itulah salah satu panfsiran terhadap satu dari beberapa ayat toleransi yang terdapat dalam buku ini. Penafsiran yang berorientasi inklusif, plural, dan multikultural akan dijumpai juga dalam penafsiran ayat-ayat yang lain, seperti QS. 21: 107, QS. 2: 256, dan seterusnya.

Terhadap sikap intoleran yang marak, penulis buku ini mencatat setidaknya ada dua faktor pemicunya. Pertama, pemahaman keagamaan yang dangkal, sempit, dan picik. Pemahaman semacam ini tidak hanya karena kurangnya pengetahuan, akan tetapi juga sebagai akibat pertarungan politik internal umat Islam dalam memperebutkan kekuasaan. Kedua, ketidakadilan sosial dan global yang dirasakan oleh banyak umat Islam. Ketidakadilan inilah yang melahirkan fundamentalisme yang akhir-akhir ini merebak di kalangan Islam. (hal. 224)

Satu dari beberapa ayat yang selama ini digunakan oleh kalangan tertentu sebagai justifikasi tindakan kekerasan terhadap umat atau kelompok lain adalah ayat “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”(QS. 2:20) Terhadap hal ini, pengarang mengajak kita untuk menilik lebih lanjut konteks historis ayat tersebut diturunkan.

Ayat tersebut adalah ayat Madaniyyah dan turun dalam suasana perang. Karena itu, redaksi ayat tersebut harus dilihat dalam konteks peperangan, di mana strategi melawan musuh dan penumbuhan semangat dalam diri umat Islam menjadi hal yang penting. Di samping itu, perubahan arah kiblat, sebagai faktor teologis, untuk menciptakan “kemandirian” syariat Islam, yang pada waktu itu memang banyak dicemooh oleh umat Yahudi dan Kristen, juga ikut mewarnai turunnya redaksi ayat ini. Dengan demikian, ketidakrelaan dari umat lain itu memang ada, seperti dalam gencatan senjata dan perubahan arah kiblat. Namun dalam banyak hal lainnya, seperti pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi misalnya, masih sangat terbuka suatu kerja sama yang erat. (hal. 382)

Mungkin ada yang berkeberatan dengan metode yang digunakan oleh pengarang dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu yang terlihat mencomot dari sana-sini. Akan tetapi hal itu tidak mengurangi keistimewaan buku ini yang telah merintis usaha sulit untuk membangun sebuah hubungan yang penuh dengan sikap penghargaan dan toleransi terhadap yang lain. Hubungan yang saling menghormati tanpa ada rasa saling curiga. Hanya dengan hubungan yang setara dan saling tidak merendahkan antar sesama semacam inilah suatu kehidupan ideal sebagaimana dicita-citakan oleh ajaran suci agama akan tercapai. Wallahu a’lam.


Tentang Buku:
Judul : Al-quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme
Pengarang : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Fitrah
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : 520 hlm + xxxiii

No comments: