Thursday, April 10, 2008

Paradoks dalam Agama

I
Siapa yang masih mau mengatakan bahwa seluruh ajaran agama, sejak semula, masih relevan dengan tuntutan dan kondisi masa kini? Siapa yang masih menganggap bahwa apa yang dibawa dan diatasnamakan agama, dari awal mula kemunculannya, berlaku bagi umatnya di mana dan kapan saja? Orang yang masih mengafirmasi jawabannya atas pertanyaan semacam itu, menurut saya, telah menutup matanya, atau kalau tidak begitu, ia pasti tidak memanfaatkan secara maksimal nalarnya dalam melihat kenyataan di hadapan dan sekelilingnya.

Tidak ada satu agama pun yang masih eksis sampai sekarang dalam bentuk asli sebagaimana ia lahir pertama kalinya. Dapat kita tengok, hampir semua ajaran agama di dunia ini menjadi matang seiring dengan berjalannya waktu. Doktrin-doktrin agama pada masa awal kelahirannya, bisa dipastikan, tidak akan sebanyak doktrin yang ada pada masa sekarang ketika agama telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Doktrin-doktrin itu telah mengalami perubahan, baik dalam bentuk perluasan, modifikasi, atau malah pengurangan. Beberapa ajaran dari suatu agama yang terdapat pada masa awal kelahirannya sudah tidak lagi kita jumpai pada masa sekarang. Atau masih kita jumpai, akan tetapi dalam bentuk yang telah termodifikasi. Adapun yang lazim kita jumpai adalah ajaran-ajaran baru yang tidak terdapat secara eksplisit pada masa awal kemunculan suatu agama.

Perubahan tersebut jelas tidak langsung berasal dari Tuhan – kalau memang ia adalah agama samawi – akan tetapi sebagai hasil pergulatan panjang umat dan agama tersebut dalam menapaki sejarahnya. Perubahan itu tidak terelakkan lantaran pergumulan yang terus menerus antara idealisme yang mau diusung oleh agama dengan realitas yang mengelilinginya yang sering kali tidak saling selaras. Bahkan perubahan ajaran itu tidak hanya terjadi ketika wahyu sudah tidak turun lagi, akan tetapi pada masa ketika wahyu masih turun pun, ajaran agama – tepatnya wahyu – berada dalam keadaan yang selalu berubah-ubah. Hal itu dapat kita saksikan dari banyaknya ayat dalam kitab suci yang kelihatan tidak dapat didamaikan antara satu dengan lainnya.

Terkait dengan masalah relevan dan tidaknya sebuah ajaran agama (wahyu) dengan realitas masa kini, kita dapat melihat gambaran kasar dari dua sikap yang berbeda dari pemeluk suatu agama terhadap wahyu yang diturunkan kepada mereka. Kaum fundamentalis mengatakan bahwa wahyu Tuhan yang ada dalam kitab suci berlaku kapan dan di mana saja, sehingga tidak perlu penafsiran ulang. Kita tinggal mengikuti apa yang ada dalam kitab suci untuk menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Kehendak Tuhan telah jelas tertera dalam kitab suci-Nya. Sedangkan kalangan yang moderat (dan liberal) menerima penafsiran atas ayat-ayat wahyu yang jelas tidak relevan dengan masa kini. Penafsiran ini penting agar ajaran agama dapat langgeng, sehingga diterima tidak hanya oleh generasi masa lalu saja, akan tetapi juga oleh generasi masa sekarang dan yang akan datang. Dengan demikian, keuniversalan suatu agama dapat terbukti.

Dari dua kelompok itu, kelompok pertama, para fundamentalis, mungkin yang paling tidak dapat diterima. Fakta membuktikan bahwa banyak sekali ayat-ayat wahyu yang tidak sesuai dengan masa kini. Berita dan gambaran yang ada dalam wahyu banyak yang bertentangan dengan kondidi aktual masa sekarang. Bahkan ramalan yang tersebut dalam wahyu banyak yang gugur lantaran tidak terbukti. Ilmu pengetahuan memainkan peran penting dalam keruntuhan klaim kebenaran wahyu ini. Ia telah membuktikan bahwa apa yang tertera dalam wahyu banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Namun yang mengherankan, kalangan fundamentalis masih berpegang teguh pada apa yang tersurat dalam kitab wahyunya. Meraka tetap mempercayainya meskipun hal itu bertentangan dengan kebenaran faktual. Di sini yang saya maksud dengan kebenaran faktual adalah kebenaran yang telah diakui bersama bahwa itu adalah benar; kebenaran yang telah menjadi pengetahuan umum.

Kelompok yang kedua mungkin lebih baik daripada yang pertama. Ayat-ayat dalam wahyu yang jelas tidak sesuai dengan kenyataan, mereka tafsirkan ulang agar sabda Tuhan tetap relevan dengan semangat zaman. Mereka menerima pendekatan historis dalam membaca wahyu. Bahwa wahyu yang sesuai dengan masa kelahirannya tidak harus sesuai pula dengan masa kini yang telah banyak mengalami perubahan. Karena itu, penafsiran ulang adalah sebuah keniscayaan.

Kelompok yang kedua ini menggunakan berbagai cara dalam mengupayakan agar wahyu tetap sesuai dengan kebenaran faktual. Mereka percaya bahwa wahyu selamanya tidak pernah salah – suatu sikap yang tentunya berbasis pada keimanan. Akan tetapi, kebenaran wahyu tidak harus bermakna tunggal dan tertentu. Wahyu terbuka bagi penafsiran untuk menyingkap kebenarannya. Sangat mungkin bagi setiap generasi untuk menafsirkan wahyu sesuai dengan masanya, sehingga wahyu tidak menjadi barang yang kedaluwarsa. Justru karena keterbukaan wahyu terhadap berbagai penafsiran itulah di antara tanda kebenaran wahyu.

Namun, dari sikap kalangan moderat ini kita akan menemukan suatu sikap yang paradoks. Di satu sisi, mereka mengakui kebenaran wahyu, kapan dan di mana saja. Di sisi lain, kebenaran wahyu itu tidak mengacu pada diri wahyu itu sendiri, akan tetapi mengacu pada realitas di luar wahyu, yaitu kebenaran faktual pada suatu masa dan tempat tertentu. Artinya, yang menjadi acuan sebenarnya bukanlah wahyu itu sendiri, akan tetapi kebenaran faktual yang telah diketahui bersama. Ketika wahyu dan kebenaran faktual tidak bertentangan, hal itu diklaim sebagai bukti kebenaran akan wahyu. Namun ketika keduanya bertentangan, maka yang dijadikan acuan adalah kebenaran faktual yang untuk selanjutnya digunakan sebagai landasan dalam menafsirkan wahyu. Di sini jelas, kebenaran faktual lebih diutamakan daripada wahyu. Kebenaran wahyu menganut dan bersandar pada kebenaran faktual.

Maka dapat dipertanyakan, manakah yang benar, wahyu atau kebenaran faktual? Manakah yang menjadi pegangan sebenarnya, agama atau kebenaran faktual, kalau akhirnya agama ditafsirkan sesuai dengan kebenaran yang terakhir ini? Kenapa orang harus repot-repot memeluk agama, bahkan bersusah payah menafsirkan teks agama, kalau akhirnya yang ia temukan tidak lebih dari apa yang ada dalam kebenaran faktual yang sesungguhnya telah diketahui bersama. Kalau dikatakan bahwa misi utama agama adalah menegakkan nilai-nilai agung universal, seperti kebenaran, keadilan, dan kejujuran, sedangkan penafsiran teks agama adalah upaya untuk mempermudah penerapan nilai-nilai universal tersebut dalam praksis, bukankah tanpa memeluk agama pun kita telah mengetahui dan sadar akan nilai-nilai agung universal tersebut? Kenapa orang harus memeluk agama kalau apa yang mau ia cari dan perjuangkan sebenarnya telah ada dalam pengetahuannya sendiri, sudah ia miliki dan ketahui bersama dengan manusia yang lain?

II
Ketika menyaksikan suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh pemeluk agama dengan mengatasnamakan agamanya, seseorang yang membela agama biasa mengatakan bahwa pelaku amoral tersebut salah dalam menafsirkan agamanya. Agama selamanya tidak pernah salah, akan tetapi umatlah yang salah dalam memahaminya. Bagi mereka, agama tidak identik dengan realitas umatnya.

Benarkah agama berbeda dengan umatnya? Benarkah dalam masalah tersebut umat salah memahami ajaran agamanya? Apakah pembela agama tersebut masih mau mengatakan jawaban semacam itu kalau ternyata yang melakukan pelanggaran moral adalah umat dalam jumlah yang banyak, tidak hanya satu dua saja? Apakah mungkin umat yang sebegitu banyak salah semua dalam memahami ajaran agama? Lalu pemahaman mana yang benar, kalau pemahaman umatnya saja dianggap salah? Bukankah mereka yang lebih mengerti ajaran agama mereka? Bukankah mereka menafsirkannya dari ajaran agamanya? Kalau memang ajaran agama yang sesungguhnya berbeda dari apa yang ditafsirkan oleh umat tersebut, lalu yang manakah bentuk agama itu? Bukankah agama hanya kelihatan ketika terekspresi dalam kehidupan umatnya?

III
Dalam semua agama di dunia ini, kita akan menemukan sebuah fakta yang bertentangan dengan nilai yang mau diusung oleh masing-masing agama. Yaitu sebuah fakta yang tidak mengenakkan yang muncul dalam sejarah perkembangan suatu agama. Fakta itu adalah sejarah pertumpahan darah dalam menyebarkan ajaran-ajaran moral agama. Kekuatan senjata telah digunakan sebagai alat bagi tersebar luasnya ajaran kedamaian agama.

Dalam hal ini, mungkin Islam yang paling banyak disoroti lantaran banyak ayat-ayat dalam kitab sucinya yang berbicara tentang perang dengan kelompok yang dianggap sebagai musuh. Oleh beberapa kalangan moderatnya, hal itu dijawab bahwa ayat-ayat perang tersebut muncul dalam konteks Madinah, yang tidak ada sarana lain untuk mempertahankan diri waktu itu kecuali melalui perang. Bagi mereka, ajaran yang sesungguhnya dari Islam adalah ajaran yang terdapat dalam ayat-ayat yang turun pada periode Makah, yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang, persamaan, dan nilai-nilai universal yang lain. Sedangkan ayat-ayat Madinah hanyalah penjabaran dalam bentuk praktis dari ayat-ayat umum Makah. Artinya, ayat-ayat Madinah adalah ajaran yang pas dan sesuai dengan masa itu, yang tidak mungkin bagi umat Islam masa itu untuk tidak melakukannya. Sedangkan untuk masa sekarang, umat harus kembali lagi kepada ayat-ayat Makah yang universal, karena kondisi Islam Madinah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat Madinah tidak lagi sama dengan masa sekarang.

Jawaban berdasarkan turunnya ayat ini jelas tidak memuaskan. Jawaban tersebut sama saja dengan mengatakan bahwa yang benar dari al-Qur’an hanya separuhnya saja, yaitu ayat-ayat Makah. Sedangkan ayat-ayat Madinah sudah tidak diperlukan lagi, alias dibatalkan dan salah untuk masa sekarang. Padahal, sebagaimana diketahui, baik ayat-ayat Makah maupun Madinah sama-sama diyakini sebagai satu kesatuan dalam kitab suci. Keduanya sama-sama sebagai firman Tuhan. Dan perlu diingat juga bahwa Nabi Muhammad, seseorang yang diturunkan wahyu kepadanya, hidup dan meraih kesuksesan dakwahnya ketika berada di Madinah. Hanya mengakui ayat-ayat Makah saja berarti tidak mengakui Islam Madinah, pusat tersebar luasnya Islam ke berbagai penjuru dunia sampai sekarang. Justru pada masa Madinahlah Islam sebagai agama mulai diakui oleh umat lain.

Melihat kekerasan yang selalu mengatasnamakan Tuhan dan agama dalam sejarah agama, saya berpikir, jangan-jangan itulah sifat yang hakiki dari setiap agama. Agama-agama memang mengajarkan kedamaian, kejujuran, kebaikan, pembebasan, dan berbagai sifat lainnya yang terpuji. Akan tetapi semua sifat-sifat yang baik yang memandang semua manusia secara egaliter itu hanya diajarkan kepada manusia seluruhnya secara tulus sewaktu agama yang bersangkutan sedang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Sedangkan ketika agama tersebut telah menjadi kuat, ia akan berupaya untuk memaksakan nilai-nilai kebenarannya kepada kelompok lain dengan berbagai macam cara. Dan nilai-nilai kebenaran yang terakhir ini sudah tidak lagi sama dengan nilai-nilai kebenaran yang ia ajarkan ketika masih dalam keadaan lemah. Akan tetapi nilai-nilai kebenaran yang telah berubah menjadi nilai kebenaran yang hanya sesuai dengan tujuan dan kepentingan agama itu sendiri.

Sebagaimana yang telah dipaparkan, Islam periode Makah lazim diakui sebagai Islam yang mengajarkan persamaan, kasih sayang, keadilan, dst. Akan tetapi ketika sudah memasuki periode Madinah, dimana Islam telah menjadi kuat, maka muncullah ajaran-ajaran yang mengandung kekerasan untuk mengekspansi umat lain agar memeluk agama baru ini. Perilaku ekspansif ini semakin menguat sampai berabad-abad setelah generasi Madinah. Demikian juga dalam agama lain, Kristen misalnya. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Injil memang menyerukan kepada kita untuk berbuat kasih sayang kepada semua orang, tidak peduli siapa dia, bahkan kepada musuh sekalipun. Namun, menurut saya, hal itu terjadi karena Yesus hidup pada masa sulit dan selalu dalam kondisi tertindas. Seluruh dakwahnya terjadi ketika ia dalam kondisi yang lemah, sebagaimana Nabi Muhammad ketika masih berada di Makah. Ia belum sempat merasakan kekuasaan yang memungkinkannya bebas dalam menyebarkan ajaran-ajarannya.

Melihat keadaannya yang semacam itu, Yesus tidak akan mungkin mengajarkan perlawanan, apalagi ekspansi, kepada kelompok lain. Maka pantas kalau ajaran-ajarannya pun adalah ajaran kasih sayang, yang mengajarkan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena memang hanya itulah yang dapat diperbuat oleh orang yang berada dalam keadaan tertindas. Hal itu berbeda dengan ketika agama Kristen telah menjadi kuat, yaitu ketika ia dijadikan sebagai agama resmi negara Romawi. Maka kekuatan senjata pun digunakan sebagai alternatif dalam menyebarluaskan agama ini. Bahkan penjajahan di awal abad moderen yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, terjadi di antaranya untuk tujuan penyebarluasan agama ini. Demikian juga dengan sejarah agama-agama lainnya. Agama Budha dan Hindu yang terkenal sebagai agama damai pun, keduanya di China dan India sibuk berupaya untuk merepresi kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari dua agama tersebut. Masing-masing hidup dalam konflik dan sering kali terjadi pertumpahan darah, baik dengan saudara seiman maupun dengan umat beriman lain.

Apa yang telah saya utarakan di atas hanyalah sedikit renungan tentang hal-hal yang membingungkan dari agama. Masih banyak lagi hal yang membingungkan dan paradoks dari agama yang tidak mungkin akan termuat dalam tulisan pendek ini. Tulisan ini hanyalah refleksi dari seseorang yang masih percaya akan keimanannya, agar orang-orang yang sama dengannya dari kalangan orang-orang beriman, melakukan introspeksi terhadap keimanan dan agamanya. Bahwa dalam agama dan keimanannya ternyata masih ada luka lebar yang harus ia sembuhkan dan sadari bahwa itu memang luka. Bahwa tidak selamanya apa yang ia peluk dan diyakini sempurna itu sepi dari kekurangan dan kesalahan. Dengan demikian, ia akan semakin terbuka dengan orang lain, baik yang berbeda pemahaman, berbeda agama, bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Ia akan menjadi seseorang yang menghargai orang lain sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Wallahu a’lam.

No comments: