Monday, May 9, 2011

Tehnik Mempertahankan Kekuasaan a la Machiavelli

“Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.” [Niccolo Machiavelli]

***********

Mereka yang tertarik dengan politik atau pemikiran politik pasti mengenal Machiavelli. Dalam kedua bidang tersebut, pemikirannya banyak dikutip dan terus menjadi pembahasan sampai sekarang. Wajar, ia adalah salah satu pemikir besar dalam bidang politik yang dengan baik direkam oleh sejarah.

Machiavelli lahir di Italia pada tahun 1469 ketika metode ilmu pengetahuan alam modern ditemukan dan dikembangkan [Renaisans]. Orang tuanya adalah seorang bangsawan dan pengacara kaya di daerahnya. Selain berpendidikan tinggi, ia juga memiliki jabatan yang cukup prestisius di pemerintahan. Ia adalah penasihat pribadi Cesare Borgia, seorang yang sangat ambisius dan gila kekuasaan di Florence. Namun karir politiknya hancur karena dikuasainya Florence oleh Medici yang sangat membencinya. Oleh penguasa yang baru ini, ia dijebloskan ke penjara selama setahun sebelum akhirnya mendapatkan amnesti. Ia lalu menyingkir dari dunia politik dan menuliskan hasil pengamatan dan pengalamannya selama berkarir di dunia politik dalam sebuah buku yang sangat terkenal, Il Principe [Sang Pangeran].

Tehnik-tehnik mempertahankan kekuasaan

Apa yang akan saya uraikan di bawah adalah pemikiran-pemikiran Machiavelli yang terdapat di dalam buku Il Principe. Buku ini terbit tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya di tahun 1527. Di dalam buku ini, ia membahas banyak hal yang di antaranya sejarah dan bentuk-bentuk pemerintahan, keberuntungan dalam kekuasaan, militer, tehnik-tehnik kekuasaan, jatuhnya pemerintahan, dan negara Italia. Namun di sini saya cukup membatasi diri untuk membahas tehnik-tehnik Machiavellian dalam mempertahankan kekuasaan seorang pemimpin atau pemerintahan.

Tidak mengandalkan keberuntungan

Mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi seorang pemimpin adalah sebuah keberuntungan atau takdir dari Yang Kuasa. Dikejar sampai kemanapun dan dengan usaha bagaimanapun, kalau jabatan itu bukan takdir kita, maka ia tidak akan dapat kita raih. Machiavelli tidak menolak bahwa takdir itu benar adanya. Namun seorang yang menginginkan sebuah jabatan atau mempertahankan kekuasaannya tidak boleh menyerahkan diri sepenuhya hanya kepada takdir. Saya menyebut takdir untuk istilah fortuna yang digunakan oleh Machiavelli.

Seseorang yang berambisi terhadap kekuasaan, selain mengharap pada takdir [fortuna], juga harus menggunakan kecerdikannya [virtu]. Menurut Machiavelli, kecerdikan adalah faktor terbesar yang menentukan kekuasaan seseorang. Karena itu seorang penguasa harus memeras otaknya agar kekuasaannya tidak lenyak darinya.

Sorang pemimpin yang hanya mengandalkan keberuntungan pasti akan binasa ketika keberuntungan itu menjauh darinya. Karena itu dibutuhkan strategi dan persiapan matang dalam setiap tindakan dan kebijakannya. Dengan persiapan dan strategi yang baik ini maka ia akan dapat menyesuaikan diri jika keadaan menuntut adanya perubahan. Machiavelli menuliskannya seperti ini:

“Seorang pangeran yang menyandarkan diri sepenuhnya pada keberuntungan akan binasa, segera setelah keberuntungan ini berbalik arah. Bila seseorang bersikap hati-hati, sabar, kondisi yang cocok, disertai dengan tindakan yang bagus, maka rencananya akan berhasil. Namun jika kondisi berubah, ia akan binasa karena tidak mempersiapkannya. Hanya saja jarang ada manusia yang sebegitu cerdiknya sehingga ia tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.”

Fleksibel

Seorang penguasa harus flesibel dalam bertindak. Ia harus dapat memosisikan dirinya secara tepat dalam berbagai situasi. Ia tidak boleh kaku memegang prinsip. Pada satu waktu, ia harus gesit dari setiap usaha yang akan menjeratnya, dan di waktu yang lain ia harus tegas demi mempertahankan kekuasaannya.

“Seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas. Ia harus bisa memainkan dua peran itu, karena yang satu tanpa yang lain tidak akan terwujud. Sebagai binatang buas, pangeran harus bisa mencontoh rubah dan singa, dimana singa tak bisa lepas dari jerat, sedangkan rubah tak bisa lolos dari serigala. Jadi dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala.”

Karena itu seorang penguasa tidak harus menepati janjinya jika dipandang janji tersebut hanya akan merugikannya. Jika situasi ini yang terjadi, maka dia harus mencari bermacam alasan yang cocok dan mendukung. “Juga seorang pangeran,” kata Machiavelli, “jangan sampai kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pelanggaran janjinya.”

Harus ditakuti

Seorang pemimpin tidak boleh kelihatan lemah, melainkan harus terlihat kuat dan ditakuti. Ia tidak boleh terlihat sama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang berwibawa akan membuat rakyat tunduk dan kekuasaan tetap dalam genggaman sang pemimpin.

Menurut Machiavelli, ada dua ancaman yang berpotensi mengganggu kelangsungan kekuasaan seorang pemimpin. Dua ancaman itu adalah ancaman dari dalam dan luar negeri. Karenanya, baik oleh rakyatnya sendiri maupun negara/kekuatan asing, seorang pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan ditakuti. Dan salah satu cara untuk memngamankan kekuasaan dari ancaman asing ini, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan militer yang handal. Militer yang tangguh dan berada di bawah kontrolnya akan membantu seorang pemimpin melanggengkan kekuasaannya. Di samping itu ia juga harus membangun koalisi dengan negara lain yang ia pandang baik untuk diajak bekerja sama demi tujuan status quo ini.

Adapaun ancaman dari dalam negeri adalah persekongkolan/pemberontakan dari kelompok tertentu. Menurut Machiavelli, ada satu cara ampuh untuk mencegah munculnya persekongkolan ini, yaitu dengan mencegah adanya kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Jadi agar tidak muncul sebuah persekongkolan, rakyat harus dikondisikan sedemikian rupa agar tidak berkembang di antara mereka kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Pemimpin harus membuat rakyat mencintai dirinya. Dengan adanya cinta dan nihilnya kebencian ini maka tidak akan ada lagi persekongkolan. Dan kalaupun ada pihak-pihak yang tetap berniat bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan, maka pihak-pihak ini pasti akan berpikir dua kali untuk melakukannya, karena rakyat pasti tidak akan mendukung mereka.

“Sarana yang paling mujarab yang dimiliki oleh seorang pangeran untuk melawan persekongkolan adalah mencegah kebencian dan penghinaan terhadap dirinya. Jika orang yang berkomplot itu tahu bahwa dia akan membuat rakyat marah karena perbuatannya itu, maka dia akan kehilangan keberanian untuk melakukannya, karena kesuliatan-kesulitan sebuah persekongkolan tidak terbilang banyaknya.”

Karena itu, selain harus ditakuti, seorang pemimpin harus berusaha agar ia selalu dicintai rakyatnya. Jika kedua hal ini ada pada seorang pemimpin, maka kepemimpinannya akan aman. Namun jika dua hal ini tidak bisa dimiliki sekaligus oleh seorang pemimpin, maka dia harus memilih salah satunya. Menurut Machiavelli, pilihan untuk ditakuti adalah yang paling realistis. Hal ini karena rasa cinta itu tergantung pada selera masing-masing orang. Bila hati mereka sedang baik, mereka bisa mencintai pemimpinnya. Namun apabila hati mereka sedang tidak enak, maka bisa saja muncul rasa benci. Sedangkan rasa takut tidak tergantung pada rakyat, melainkan tergantung pada diri sang pemimpin itu sendiri. Selama sang pemimpin menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan menakutkan, maka rakyat, dalam kondisi batin yang bagaimanapun, akan takut padanya. Dan karena membuat rasa takut terdapat pada diri sang pemimpin sendiri, maka pilihan itu adalah yang paling mudah dilakukan.

“Orang seharusnya berupaya agar ia dicintai dan ditakuti sekaligus. Namun karena keduanya sulit untuk dipersatukan, maka akan jauh lebih pastilah ditakuti daripada dicintai, kalau hanya salah satu dari keduanya yang mungkin…. Karena cinta manusia tergantung pada selera mereka, namun rasa takut mereka tergantung pada sikap sang pangeran. Seorang pangeran yang bijaksana harus menyandarkan diri pada apa yang tergantung pada dirinya, dan tidak pada apa yang tergantung pada orang lain.”

Karenanya seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang tegas, tidak peragu, dan berwibawa. “Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.”

Pamer kebaikan

Untuk menjaga citra sebagai pemimpin yang baik agar tetap dicintai oleh rakyat, seorang pemimpin tidak boleh malu-malu untuk memperlihatkan kebaikan dan kemurahannya kepada rakyat. Tak ada kamus ikhlas dalam pikiran seorang pemimpin. Semua kebaikannya harus dipertunjukkan di hadapan rakyat. Dengan begitu maka rakyat akan tahu bahwa dia adalah seorang pemimpin yang baik dan murah hati. Tindakan seorang pemimpin yang banyak berbuat kebaikan untuk rakyat namun mereka tidak tahu perbuatan itu, bagi Machiavelli, adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena dengan kebaikan yang tersembunyi itu rakyat akan tetap mencelanya.

“Kemurahan hati yang kau lakukan sedemikian rupa tanpa perhitungan justru akan merugikanmu. Jika kemurahan hati itu dilakukan dengan cara yang baik, namun tidak diketahui orang lain, engkau tidak akan menghindari sedikitpun celaan. Jadi jika seorang pangeran ingin mendapat nama baik di antara orang lain karena kemurahan hatinya, pangeran itu justru harus memamerkan kemurahan hatinya itu secara megah.”

Meski demikian, seorang pemimpin harus penuh pertimbangan dalam menggunakan kekayaan untuk bermurah hati di hadapan rakyat. Ia harus berpikir seksama dulu apakah uang yang ia gunakan itu berasal dari kekayaan pribadi atau kekayaan negara. Karena jika perekonomian negara kolaps gara-gara tindak kemurahan hati ini, maka rakyat juga akan membencinya. Sebaliknya seorang pemimpin juga tidak perlu cemas jika ia terlihat hemat di hadapan rakyat, asal penggunaan keuangan negara dapat dipertanggungjawabkan, sehingga uang yang sedianya akan digunakan untuk bermewah-mewah tersebut dialokasikan ke pos-pos lain yang strategis dan lebih membutuhkan, seperti pembangunan infrastruktur dll. Dengan demikian rakyat akan mengerti dan memakluminya.

Bertindak kejam secara proporsional

Seorang pemimpin yang ingin mempertahankan kepemimpinannya tidak harus selalu berbuat baik. Dalam situasi-situasi tertentu, menurut Machiavelli, tindakan kejam juga harus dilakukan. “Seorang manusia yang dalam segala hal hanya ingin berbuat baik, di tengah-tengah manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang jahat, pasti akan binasa. Oleh karena itu seorang pangeran yang ingin menegaskan dirinya harus mampu bertindak kejam, jika hal itu diperlukan.”

Benar bahwa seorang pemimpin harus dikenal sebagai seorang yang berbelas kasih, tidak sebagai seorang yang kejam. Namun menurut Machiavelli, prinsip ini tidaklah kaku. Seorang pemimpin harus bertindak secara proporsional antara berbelas kasih dan kejam sesuai dengan situasi dan kondisi. Machiavelli memberi contoh Cesare Borgia yang oleh orang-orang dianggap kejam. Tapi jangan lupa, dengan kekejamannya itu Cesare berhasil menertibkan dan menyatukan kerajaan Rogmana serta menjaga perdamaian dan loyalitas warganya. “Maka itu seorang pangeran tidak boleh segan melakukan kekejaman untuk membuat rakyatnya bersatu dan loyal kepadanya.”

Lalu seperti apakah kekejaman yang proporsional itu? Menurut Machiavelli, kekejaman yang proporsional adalah kekejaman yang dilakukan hanya sekali saja untuk menegaskan kewibawaannya, dan setelah itu dihentikan dan diganti dengan tindak-tindak kebaikan. Dengan kekejaman ini maka rakyat akan tahu bahwa pemimpinnya adalah seorang yang tegas, kuat, ditakuti, dan berwibawa. Namun harus diingat bahwa kekejaman ini tidak boleh terus dilakukan. Karena dengan kekejaman yang hanya sekali saja maka rakyat akan mudah untuk melupakannya. Dan jika kekejaman ini terus dilakukan maka rakyat akan marah sehingga kepemimpinan akan terancam.

“Pemakaian kekejaman yang tepat, jika orang dapat menyebutnya demikian, adalah kekejaman yang dilakukan sekali demi keamanan diri, namun kemudian dihentikan dan sebanyak mungkin diubah sehingga berguna bagi rakyat. Saya akan menamainya penyalahgunaan kekejaman jika kekejaman itu pada awalnya sedikit namun lama-kelamaan menjadi terus meningkat. Sebab itu semua aksi kekerasan harus berlangsung sekali, karena kekerasan itu akan dirasakan sedikit dan kemudian dilupakan.”

Sebagai contoh dari tindak kekejaman, Machiavelli menggambarkannya seperti ini, “Jika perlu untuk menghabisi nyawa seseorang, maka lakukanlah itu hanya jika penyebabnya jelas.”

Tak mencampuri urusan privat rakyat

Untuk menjaga nama baiknya, seorang pemimpin tidak boleh mencampuri urusan pribadi rakyatnya. Selain merendahkan dirinya sendiri, ikut campur urusan pribadi rakyat hanya akan membuat sang pemimpin dibenci. Untuk urusan privat rakyat ini, Machiavelli memberi contoh masalah harta dan istri. Menurut dia, seorang pemimpin tidak boleh mengambil sedikitpun harta yang dimiliki rakyatnya. Demikian juga istri. Pemimpin tidak boleh merebut istri rakyatnya. “Namun terutama sang pangeran tidak boleh mencuri harta rakyatnya. Karena manusia lebih muda melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.”

“Seorang pangeran akan membuat dirinya sendiri dibenci karena rakus harta dan menyentuh harta milik dan istri-istri dari rakyatnya. Dia seharusnya pantang melakukan itu, sebab selama harta dan kehormatan mereka tidak dirampas maka mereka akan senang.”

Dan jika seorang pemimpin terpaksa mencampuri urusan privat rakyatnya, maka harus dipastikan bahwa dia bertindak dengan objektif, sehingga kewibawaannya tetap terjaga. “Jika seorang pangeran campur tangan ke dalam urusan-urusan privat rakyatnya, dia harus berupaya bahwa penilaian-penilaiannya tidak ditarik kembali dan mempertahankan nama baiknya, sehingga tak seorang pun berani menipu atau menyuap dia.”

Menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sandaran bagi yang lain

Untuk terus melanggengkan kekuasaan, seorang pemimpin harus mengondosikan rakyat dan orang-orang di sekelilingnya sedemikian rupa sehingga dialah yang menjadi satu-satunya harapan dan sandaran bagi mereka. Tidak boleh ada orang lain yang berpotensi menyaingi dirinya. Ia harus bisa membuat semua orang tunduk kepadanya. “Di lain pihak, sang pangeran…mengingat menterinya, memberi hormat dan kekayaan, bersekutu dengannya, supaya dia melihat bahwa tanpa sang pangeran dia tidak dapat hidup.”

Jeli memilih sekutu

Di samping itu, seorang pemimpin harus jeli dan awas dalam menentukan siapa yang akan menjadi sekutunya. Dia harus memilih orang yang benar-benar dapat dipercaya dan bekerja untuknya. “Jika engkau mencermati bahwa seorang menteri lebih memikirkan dirinya sendiri dari pada dirimu, dan dalam segala kegiatannya mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, maka orang ini tidak akan pernah menjadi menteri yang baik. Maka janganlah percaya kepadanya.”

Demikian pula dalam menentukan sekutu luar negeri. Ia harus benar-benar waspada dan jangan sampai persekutuan itu justru akan membuat dirinya tunduk pada pemimpin luar itu. “Seorang pangeran tidak boleh gegabah untuk bersekutu dengan orang yang lebih kuat daripada dirinya untuk memerangi pihal lain, sejauh dia tidak terdesak. Karena kalau orang itu menang, maka sang pangeran akan berada di dalam kekuasaannya.”

Penutup

Machiavelli adalah seorang pemikir besar dan cemerlang. Hanya saja namanya selalu dikaitkan dengan praktik kotor dalam dunia politik dan kekuasaan. Orang-orang biasanya menghubungkannya dengan kekuasaan yang diktator. Taktik Machiavellian berarti taktik kotor untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kata Machiavelli sudah terlanjur berkonotasi negatif.

Machiavelli dikenal dengan ajaran politik yang tanpa moral. Mereka yang sok moralis akan kecele ketika membaca karya tokoh ini, bahkan malah menghujatnya. Dari kutipan-kutipan di atas, kita tahu bahwa Machiavelli memang tidak sedang mengajarkan moralitas kepada sang pemimpin. Dia hanya memberi tahu bagaimana caranya agar kekuasaan yang ia genggam tidak hilang atau berpindah.

Dan memang benar, Machiavelli tidak sedang bicara moral, melainkan fakta. Sebagai seorang yang pernah terlibat langsung dalam dunia politik, dia tidak sedang menceritakan apa yang sebaiknya ada, melainkan apa yang kenyataannya ada. Moralitas berarti perbuatan baik yang sebaiknya dilakukan. Machiavelli tidak membahas itu. Ia hanya menceritakan apa saja yang faktanya dapat menyelamatkan kekuasaan.

Maka mereka yang menghujat Machiavelli sebagai pemikir yang tidak bermoral jelas keliru. Dia hanya menguraikan pengalaman dan pengamatannya terhadap sejarah para pemimpin tentang apa saja yang terbukti dapat menyelamatkan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Dan ternyata fakta yang diungkap oleh Machiavelli itu sampai sekarang masih terus berlangsung dan terus dipraktikkan. Diakui atau tidak, praktik politik dan kekuasaan yang berlangsung hampir di seluruh dunia sampai saat ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Machiavelli. Oleh karena itu para pemimpin tidak usah tersinggung jika mereka dikatakan tengah mempraktikkan cara-cara Machiavellian dalam berkuasa. Karena dimana-mana memang seperti itulah adanya.

Pustaka
Machiavelli, Niccolo, Il Principe

Friday, April 22, 2011

Patokan Moral menurut Immanuel Kant

Seorang anggota dewan dari sebuah partai yang mengklaim sebagai partai ‘bersih’ kepergok menonton video porno di tengah sidang paripurna. Dan di tengah kesulitan rakyat kecil memenuhi kebutuhan dasarnya, para anggota DPR bersikukuh untuk membangun gedung mewah sebagai kantor barunya. Terhadap dua peristiwa yang sampai sekarang masih hangat tersebut, rakyat mencibir mereka sebagai wakil rakyat yang tidak bermoral.

Di negeri kita, negeri Timur nan ‘agamis’, kebutuhan untuk bermoral atau berakhlak baik hampir sama pentingnya dengan kebutuhan dasar untuk hidup. Sejak kecil anak sudah diajari agar bermoral yang baik. Murid sekolah dasar sampai mahasiswa di perguruan tinggi tak pernah luput dari serbuan ceramah moral. Mau melamar kerja maupun melamar pasangan hidup pun mensyaratkan moral yang baik. Bahkan sampai mati pun moral seseorang masih menjadi perbincangan di antara mereka yang hidup.

Moral atau akhlak berarti ajaran tentang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak diperkenankan, mana yang pantas dan tidak layak. Biasanya kita mendapatkan ajaran moral dari orang tua, guru agama, atasan, atau orang-orang yang kita anggap [atau menganggap diri mereka sendiri] memiliki kelebihan daripada kita. Sedangkan ajaran-ajaran moral tersebut biasanya bersumber dari ajaran agama, adat-istiadat, kitab-kitab, serta kepercayaan dan keyakinan yang dianut.

Namun benarkah jika kita melakukan sebagaimana yang dianjurkan oleh orang tua atau guru agama lantas membuat kita menjadi orang yang bermoral? Benarkah rajin ibadah, suka membantu mereka yang lemah, mematuhi peraturan yang ada, dst, otomatis membuat kita menjadi orang yang baik? Apakah jika kita berbohong atau tidak menepati janji lantas menjadikan kita sebagai orang yang tidak berakhlak?

Etika Kant

Kalau pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan kepada Kant, dengan tegas ia akan menjawab: belum tentu! Immanuel Kant adalah salah satu filsuf besar yang dilahirkan sejarah. Pemikiran filsuf Jerman kelahiran 22 April 1724 ini masih terus dikaji dan diminati sampai saat ini. Filsuf yang membujang sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun ini banyak memberikan pengaruh tidak hanya kepada orang-orang yang seagama dengannya, yakni Protestan, tetapi juga para pemikir dari bermacam dan beragam agama dan kepercayaan serta yang tidak beragama sekalipun.

Menurut Kant, ada tiga patokan untuk menentukan apakah perbuatan seseorang dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau tidak. Tiga hal ini dalam pemikiran etika Kant masuk dalam syarat-syarat imperatif kategoris, yaitu perintah mutlak yang wajib kita patuhi. Ketiga patokan tersebut adalah prinsip hukum umum, prinsip hormat terhadap person, dan prinsip otonomi.

Pertama, sebuah tindakan dapat disebut sebagai tindakan yang bermoral apabila tindakan tersebut berdasarkan pada prinsip hukum umum. Prinsip hukum umum itu berbunyi sebagai berikut: ”Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum”. Yang dimaksud dengan maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang merupakan patokan individu dan personal. Maksim dibedakan dari ‘hukum’, yang adalah prinsip objektif yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali.

Maksud Kant dengan prinsip hukum umum tersebut sebenarnya begini: untuk mengetahui apakah tindakanku itu wajib aku lakukan atau tidak, maka aku harus bertanya apakah maksimku dapat diuniversalisasikan atau tidak. Jika prinsip atau maksimku itu dapat diuniversalisasikan alias dapat diterapkan untuk semua orang, maka tindakanku itu wajib aku lakukan. Tapi jika tidak dapat diuniversalisasikan, maka aku tidak wajib melakukan tindakan tersebut.

Sebagai contoh adalah sebuah kasus di awal tulisan ini, yaitu seorang anggota dewan yang menonton video porno di waktu sidang paripurna DPR karena merasa tidak ada yang memperhatikannya. Bagi anggota dewan ini, maksim/prinsip yang ia pakai adalah sbb: “Jika saya sedang mengikuti sidang paripurna, dimana masing-masing anggota dewan sibuk dengan perhatiannya masing-masing, maka saya akan menggunakannya untuk menonton video porno”. Nah untuk mengetahui apakah tindakannya ini wajib dilakukan atau tidak, maka ia harus bertanya apakah prinsip/maksim yang ia gunakan itu dapat diterapkan secara universal kepada semua orang atau tidak.

Untuk contoh kasus di atas, tentu saja jawabannya tidak bisa. Sebab andai saja maksim yang ia pakai tersebut digunakan oleh semua anggota dewan, maka tujuan sidang tidak akan tercapai. Hal ini karena setiap anggota dewan, lantaran merasa tidak ada yang memperhatikannya, akan menonton video porno di setiap sidang paripurna. Dan kalau ini yang terjadi, tentu sidang paripurna DPR tidak akan terlaksana dan justru kekacauan yang muncul. Karena maksim tersebut tidak dapat diuniversalisasikan, maka tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.

Syarat kedua agar tindakan kita bisa dikategorikan sebagai tindakan bermoral adalah penghormatan terhadap person. Prinsip ini berbunyi: ”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia, entah itu di dalam personmu atau di dalam person orang lain, sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana”. Prinsip ini mau mengatakan dua hal. Pertama, aku tidak boleh menjadikan diriku sendiri ataupun diri sesamaku sebagai sarana belaka. Kedua, dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan moral, kita wajib memperhatikan pihak lain.

Contoh dari prinsip kedua ini adalah tindakan orang yang akan bunuh diri karena beratnya beban yang ia tanggung. Menurut Kant, sebelum orang tersebut melakukan bunuh diri, ia harus bertanya dulu: apakah tindakan bunuh diri ini sesuai dengan prinsip hormat kepada manusia atau tidak? Apabila ia bunuh diri untuk lepas dari penderitaan, maka mungkin saja ia tidak merugikan orang lain. Tetapi tidak dengan dirinya sendiri. Sebab melakukan bunuh diri berarti ia tidak menghormati personnya sendiri, dan hanya memperlakukannya sebagai sarana untuk melepaskan penderitaan. Karenanya jelas tindakan ini tidak boleh dilakukan.

Prinsip ketiga yang membuat sebuah tindakan disebut sebagai tindakan bermoral adalah prinsip otonomi. Prinsip ini mengatakan: “Bertindaklah sedemikian rupa dimana kehendak dari dirimu sendirilah yang menentukan tindakan tersebut”. Maksud dari prinsip ini adalah semua tindakan yang kita lakukan harus murni karena kehendak dan keinginan kita sendiri, bukan karena pengaruh apalagi paksaan dari orang lain. Kant menyebut prinsip ini dengan ‘kehendak otonom’, yaitu kehendak yang mau melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang ditentukannya sendiri. Lawan dari kehendak otonom adalah kehendak heteronom, yaitu melakukan sesuatu bukan karena kehendak kita sendiri, tetapi demi hukum di luar hukum orang tersebut, seperti karena ikut-ikutan orang lain.

Seturut dengan prinsip ketiga ini, Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Legalitas adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban/hukum. Legalitas merupakan tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan demi kepentingan tertentu yang terpuji atau menguntungkan. Misalkan saja ada seorang penjual yang tidak mau menipu pembelinya. Menurut Kant, tindakan penjual tersebut belum tentu bermoral. Karena bisa jadi ia melakukan itu bukan karena tindakan itu baik, tetapi agar pembelinya terus menjadi pelanggannya. Kalau demikian adanya, maka tindakan penjual tersebut tidak masuk kategori bermoral, tetapi hanya legal saja.

Sedangkan moralitas adalah tindakan yang dilakukan demi untuk kewajiban. Tindakan ini mengesampingkan unsur-unsur subjektif seperti kepentingan sendiri, melainkan berpedoman pada kaidah objektif yang menuntut ketaatan kita begitu saja, yaitu hukum yang diberikan oleh rasio dalam batin kita.

Korelasi

Itulah tiga syarat imperatif kategoris yang dijadikan Kant sebagai patokan moral. Jika sebuah tindakan tidak memenuhi satu dari ketiga prinsip tersebut, maka otomatis tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang bermoral. Tindakan yang tidak bermoral berarti tindakan yang tidak memiliki nilai moral di dalamnya, yang dalam bahasa agama berarti tindakan yang tidak berpahala.

Umat Kristiani sangat berhutang besar kepada Kant dalam merumuskan etika. Karena dari prinsip ketiga, yaitu prinsip otonomi, berkembanglah apa yang disebut dengan suara hati, yaitu kesadaran moral dalam situasi konkret. Konsep suara hati ini memiliki posisi penting dalam etika Kristiani. Suara hati adalah kesadaran dalam batin saya bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Dan dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya sebagai manusia. Dan hanya saya sendirilah yang dapat dan berhak untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Suara hati menegaskan bahwa hanya saya, bukan orang lain, yang memutuskan tindakan saya, meskipun dipengaruhi oleh banyak pertimbangan luar. Saya lah penentu dan penanggungjawabnya.

Meski demikian, suara hati juga dapat ditemukan dalam kazanah keilmuan Islam, yang lazim kita sebut dengan hati nurani [nur ‘aini], kendati belum dikembangkan secara maksimal oleh para sarjana Muslim. Sabda Nabi, “Istafti nafsaka”, mintalah nasehat pada hati nuranimu. Di sini Nabi menegaskan, dalam menentukan sebuah tindakan, kita diperintah agar bertanya pada hati nurani kita yang terdalam, apakah tindakan tersebut baik atau tidak.

Dalam bahasa agama, konsep moralitas dan legalitas dari Kant dapat kita sebut sebagai ikhlas dan tidak ikhlas. Moralitas yang berarti melakukan sebuah tindakan murni demi sebuah kewajiban dan nilai kebaikan dari tindakan itu, tidak jauh berbeda dengan konsep ikhlas. Sedangkan lawannya, legalitas, berarti tidak ikhlas yang bisa jadi riya/pamer atau lainnya.

Dan dari konsep moralitas dan legalitas ini pula menjadi jelas bahwa yang menentukan suatu tindakan menjadi bermoral atau tidak adalah maksud/niyat pelakunya. Sebuah tindakan bisa kelihatan baik, tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot moral karena pelakunya memiliki niyat yang lain. Konsekuensi dari ajaran etika Kant ini adalah kita tidak bisa menilai sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Kita tidak akan bisa mengetahui apa maksud dan niyat seseorang melakukan sebuah tindakan tertentu.

Karena itu, setiap penilaian bahwa orang lain adalah seorang pendosa, terkutuk, pantas masuk neraka, dsb, adalah sebuah kemunafikan yang justru menunjukkan sifat-sifat tersebut kembali kepada pengucapnya. Hanya pelakunya sendiri dan Tuhan saja yang tahu apa motif dan tujuan dari sebuah tindakan. Karenanya, memberikan penilaian-penilaian tersebut kepada sesama manusia sama saja artinya dengan merebut hak preogratif Tuhan. Sebuah tindakan yang dalam Islam disebut dengan syiri’.

Monday, February 28, 2011

Islam Menghargai Keragaman

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujarat [49]:13).

Keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa kita ingkari. Ayat dalam Surat al-Hujarat di atas meneguhkan hal itu. Kita diciptakan Allah bukan dalam keseragaman, tapi dalam keragaman dan perbedaan, baik berbeda dalam hal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, agama, keyakinan, dan lain sebagainya. Dari perbedaan itu, Allah memerintahkan agar kita saling mengenal dan mengasihi, bukan untuk saling memusuhi.

Sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad telah menegaskan semangat kerukunan dan kasih sayang, seturut dengan ayat al-Qur’an di atas. Sebagaimana diketahui, sebelum Islam datang, di Arab telah berkembang bermacam agama dan kepercayaan yang berbeda, seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Dan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana juga sudah ada beragam agama yang dianut, dimana yang terbesar adalah Yahudi dan Kristen. Bahkan, di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya menemukan keragaman agama, tetapi juga keragaman suku dan adat istiadat.

Sebagaimana ayat tersebut di atas, sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi keragaman suku dan agama di Madinah bukan dengan memusuhi, tetapi dengan saling menghargai, menghormati, bahkan saling melindungi. Hal ini dapat kita saksikan dari dokumen penting yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dari dokumen ini diketahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan.

Salah satu paragraf dalam Piagam Madinah itu adalah sebagai berikut: “Jika seorang pendeta atau pejalan kaki berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka Aku (Nabi Muhammad) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab ketika Islam menguasai Yerusalem, dimana sebagian besar penduduknya beragama non-Islam. Beliau, sebagai penguasa, membuat sebuah undang-undang yang salah satu isinya adalah sebagai berikut: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dan dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Dari petikan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa doktrin Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin bukanlah slogan yang tanpa bukti. Praktek kehidupan Nabi dan sahabat telah membuktikan itu. Nabi datang dan diutus Allah dengan membawa kabar gembira bagi seluruh alam, bukan hanya kepada golongan tertentu saja.

Sebagai pembawa agama yang rahmatan lil’alamin, Nabi Muhammad adalah orang yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Beliau, sebagaimana Hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibn ‘Umar, adalah pribadi yang tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas, tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.

Sabda Nabi, “ Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan,” yang artinya: Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik. Dan sabda Nabi Muhammad yang lain, “Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi,” yang berarti: Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari daripadanya.

Karena itu, dalam rangka memperjuangkan prinsip yang semulia apapun, hendaklah kita tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

Dalam kitabnya yang terkenal, Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan tahapan-tahapan bagi mereka yang akan melaksanakan perintah nahi munkar. Pertama adalah dengan cara memberi penjelasan, karena bisa jadi orang tersebut melakukan kemunkaran lantaran dia tidak mengetahui apa yang telah ia perbuat. Tahapan kedua adalah dengan cara memberi nasehat yang baik dan menakut-nakutinya akan siksa di akhirat nanti. Tahapan ketiga adalah dengan melarang secara tegas, tetapi tetap harus dengan menghindari kata-kata yang kasar dan tidak sopan. Ini dilakukan apabila cara-cara yang lemah lembut sudah tidak membekas lagi. Sedangkan tahapan terakhir adalah dengan cara kekuasaan dan pemaksaan.

Namun demikian, Imam Ghazali mewanti-wanti bahwa tahapan yang terakhir, yaitu dengan cara kekuasaan yang disertai dengan pemaksaan, hanya dapat dilakukan oleh negara melalui aparaturnya. Selain itu, tindakan ini juga harus berlandaskan undang-undang yang ada. Adapun masyarakat biasa, yaitu warga sipil yang bukan aparatur pemerintah, sama sekali tidak memiliki hak untuk melakukan pemaksaan, pengrusakan, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Dengan demikian hukum berdiri tegak dan kehidupan berjalan teratur.

Karena itu, kita yang ditakdirkan hidup di bumi Indonesia sudah seharusnya mensyukuri kekayaan keragaman yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Keragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, warna kulit, agama, kepercayaan, dll adalah anugerah dan rahmat Allah yang harus senantiasa kita jaga dan pelihara. Hal ini bukan hanya karena pemeliharaan dan penghargaan terhadap keragaman ini akan membuat bangsa dan negara kita menjadi besar dan disegani, akan tetapi penghargaan dan pemeliharaan ini adalah perintah Allah dan Nabi Muhammad, sebagaimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menegaskan hal itu.

Dan penghargaan terhadap keragaman ini dapat mulai kita praktekkan dalam lingkup kehidupan yang kecil dan sederhana yaitu bertetangga. Dalam bertetangga, Islam mengajarkan kita untuk menghormati siapapun tetangga kita, baik mereka itu seagama, sesuku, dan sama warna kulitnya, maupun mereka itu berbeda agama, berbeda suku, dan berbeda warna kulitnya. Nabi Muhammad bersabda, “Siapapun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya.” Di sini Nabi tidak merinci tetangga dengan sifat-sifat tertentu; yang berarti siapapun tetangga kita, dari manapun asal-usulnya, dan apapun agama dan kepercayaannya, harus selalu kita hormati dan hargai. Wallahu a’lamu bis shawab.

Monday, January 10, 2011

Semangat Integritas dari Orang-orang Biasa

Jejaring sosial sebagai sarana penggerak perubahan dalam dunia nyata bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Dua peristiwa yang menggegerkan masyarakat beberapa waktu lalu, kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra dan perseteruan Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional, membuktikan hal tersebut. Dukungan yang besar dari masyarakat melalui jejaring sosial ikut memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap proses hukum yang terjadi di dua peristiwa itu.

Demikian juga dukungan yang sampai sekarang masih mengalir kepada Sri Mulyani Indrawati (SMI).Dukungan ini berawal ketika kasus Bank Century (BC) mulai hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam kasus Bibit-Chandra dan Prita, mereka yang mendukung ini benar-benar orang-orang biasa, namun melek informasi, yang berbeda latar belakang pendidikan, usia, profesi, dan wilayah tempat tinggalnya. Mereka tergerak untuk memberi dukungan karena melihat proses hukum yang mereka anggap tidak adil yang menimpa orang-orang yang mereka anggap sudah bertindak dengan benar. Dalam kasus SMI, mereka berkumpul dalam grup Facebook bernama “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati” atau KPI-SMI.

Sebagai Media Penyeimbang

Buku “Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century” adalah hasil diskusi para facebookers KPI-SMI yang dengan apik dirangkum dan diolah menjadi buku oleh Steve Susanto. Buku ini dimaksudkan untuk membeberkan rangkaian fakta dan logika yang kurang mendapat porsi pemberitaan yang memadai di masyarakat sebagai akibat dari pemberitaan media yang tidak proporsional. Karenanya buku ini bertujuan untuk menyingkap tabir kebenaran yang menyelimuti perhelatan besar di pentas nasional yang bernama kasus BC (hlm 9).

Ingin menyingkap tabir lantaran kasus BC bukan lagi merupakan kasus hukum murni, tetapi sudah menjadi skandal politik yang melibatkan banyak pihak yang saling berkepentingan. SMI, yang oleh Presiden SBY disebut sebagai salah satu pembantu terbaiknya, bagi orang-orang biasa ini, tidak layak diperlakukan dengan tidak adil karena ia telah melaksanakan tugasnya secara benar dan profesional.

SMI, wanita paling berpengaruh di dunia nomor 23 tahun 2008 versi Forbes, telah banyak melakukan reformasi dan meletakkan dasar-dasar good governance di lembaga yang dipimpinnya, Kementerian Keuangan. Untuk mereformasi lembaga yang menangani sekitar 70 persen keuangan negara ini misalnya, ia telah memutasikan puluhan ribu anak buahnya. Ia juga dengan berani mencopot tokoh-tokoh lama dan menggantinya dengan figur-figur baru yang ia anggap kredibel di pos-pos penting kementeriannya (hlm 30).

Pemojokan terhadap SMI

Pemojokan SMI, yang mencapai klimaksnya dalam sidang-sidang di Pansus yang berujung pada ‘terusirnya’ dia ke Bank Dunia, dapat ditelusuri awal mulanya dari kecurigaan-kecurigaan seputar kemenangan besar Partai Demokrat di 2009. Kecurigaan ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang di antaranya “Apa yang membuat Demokrat bisa menang sedemikian meyakinkan?”, disusul pertanyaan “Dari mana sumber dananya?”, dan dilanjutkan “Siapa yang bertanggung jawab menggelontorkan uang itu?”.

Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh para politisi, dihubungankan dengan bailout BC yang membengkak dari Rp 632 M menjadi Rp 6,7 T. Padahal kalaupun tuduhan tersebut berdasar, maka yang berhak menyelidiki seharusnya adalah lembaga hukum seperti KPK, bukan pengadilan politik seperti Pansus. Lagi pula, mengapa yang dikriminalkan justru malah kebijakannya, bukan menelusuri kemana aliran dana itu (hlm 41).

Bagi para facebookers ini, penyelamatan BC adalah pilihan yang terbaik di antara pilihan yang ada pada saat itu. Dengan diselamatkannya BC maka kerugian negara dapat diminimalkan. Biaya total penyelamatan BC yang mencapai Rp 6,7 T, bagi mereka, dapat dijustifikasi bila dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk melikuidasi BC yang mencapai Rp 6,4 T (hlm 168).

Di samping itu, mereka juga melihat banyak ekonom dan politisi yang menentang proses bailout BC sebagai tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terjadi lantaran di tahun 2008 mereka menyatakan di berbagai media bahwa telah terjadi krisis ekonomi dan perekonomian Indonesia harus segera diselamatkan. Namun di tahun berikutnya tiba-tiba mereka berbalik arah dan menyangkal apa yang telah diucapkannya.

Pemojokan terhadap SMI semakin intens berkat bantuan media, terutama televisi, yang terus-menerus menyiarkan dan menggiring opini masyarakat agar sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dilihat dari proporsi yang selalu timpang antara nara sumber yang pro dan anti bailout yang dihadirkan untuk membahas kasus BC ini.

Akhirnya, bagi orang-orang biasa ini, bukan manfaat yang diperoleh dari proses panjang Pansus BC, tetapi hanya mudharat yang dihasilkan. Di antara mudharat itu adalah besarnya biaya yang digunakan untuk Pansus, perdebatan politik yang tidak jelas ujung pangkalnya sampai sekarang, dan tersendatnya laju perekonomian Indonesia yang sedang bangkit (hlm 101).

Sayangnya buku ini tidak membahas ‘terusirnya’ SMI ke Bank Dunia serta menguatnya kartel politik yang terjadi setelah Pansus berakhir. Buku ini juga terkesan membela kebijakan Presiden SBY. Padahal, sebagaimana kata Eep Saifullah Fatah dalam launching buku ini, andai saja pidato pembelaan dan pertanggungjawaban SBY atas skandal BC terjadi tiga bulan sebelumnya, maka diyakini SMI masih akan tetap berada di Indonesia, Pansus tidak perlu terbentuk, dan buku ini tidak perlu disusun.

Tapi toh semua itu malah menunjukkan kualitas dan ketokohan seorang SMI. Dan bukan SMI yang dirugikan dari carut-marut ini, tetapi kita semua yang dirugikan karena telah kehilangan seorang tokoh reformis, profesional, dan berintegritas. Setidaknya demikian menurut para pendukungnya.

Judul : Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century
Penulis : Steve Susanto
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : xv + 202 halaman