Tuesday, August 4, 2009

Superioritas Wakil Rakyat

A. Biografi singkat

Lahir pada tahun 1588 di Malmesbury, Inggris, Hobbes hidup pada masa yang kejam dan berdarah dalam sejarah Inggris. Waktu Hobbes lahir, Ratu Elisabeth I menundukkan golongan Katolik di Irlandia dan Skotlandia dengan kejam. Setelah inggris dikuasai oleh Stuart, Inggris terpecah antara gereja Anglikan resmi, kaum puritan, dan Katolik; serta pertikaian antara raja dan parlemen. Hobbes sendiri sedikit banyak ikut terlibat dalam konflik politik ini.


Tahun 1651 terbit Leviathan yang membuat nyawanya terancam karena memuat kritik atas Gereja Anglikan. Tahun 1679 Hobbes meninggal dengan relatif tenang, karena telah berdamai dengan penguasa waktu itu.

B. Latar belakang Leviathan

Situasi sosial-kenegaraan semasa Hobbes hidup, yang penuh dengan gejolak dan pertikaian, ikut berandil besar dalam mempengaruhi filsafat politiknya. Seakan ia terobsesi oleh pertanyaan: bagaimana masyarakat dapat diatur sedemikian rupa sehingga kekacauan tidak lagi terjadi sebagaimana yang telah ia alami?

C. Asumsi dasar tentang manusia

Dari pengamatannya, Hobbes berkesimpulan:
1. Tidak mungkin menata masyarakat dengan berdasarkan pada prinsip normatif.
2. Masyarakat hanya dapat ditata dengan melepaskan pengaruh emosi dan nafsunya, yaitu dengan metode ilmu ukur yang bersifat pasti.

Kesimpulan yang terkait dengan dua asumsi tersebut adalah bahwa seluruh tindakan manusia dapat dikembalikan pada satu dorongan saja: perasaan takut pada kematian atau naluri untuk mempertahankan diri.

“Dari semua gairah, yang paling kecil mendorong manusia untuk melanggar hukum adalah ketakutan. Sungguh, kecuali beberapa sifat kebajikan, inilah satu-satunya hal, yang membuat manusia menjaga diri mereka.” [Bab 27 hlm. 343]

D. Terbentuknya negara

Keadaan alami yang bebas membuat tak seorang pun berwewenang mengatur lainnya. Karenanya mereka hidup dalam persaingan satu sama lain. Tak ada yang tidak adil di sana, karena tidak adanya hukum. Dengan demikian manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

“Dalam perang semacam ini, tidak ada yang tidak adil…… Gagasan tentang benar dan salah, keadilan dan ketidakadilan, di sana tidak memiliki tempat. Di mana tidak ada kekuatan bersama, maka tidak ada hukum. Dan di mana tidak ada hukum, maka tidak ada keadilan.” [Bab 13]

Sebelum lahirnya negara, tidak ada konsep keadilan dan ketidakadilan, karena hukum, sebagai acuan keadilan, belum terbentuk. Tidak adanya otoritas membuat semua subjek/orang bebas untuk berbuat.

[15] “Orang berkenalan dengan arti adil dan tidak adil baru di dalam negara.”

Dari keadaan kacau inilah terlahir kontrak antar individu untuk membentuk negara.

“Aku menyerahkan hakku untuk memerintah diriku sendiri, kepada manusia ini atau masyarakat ini, dengan syarat bahwa engkau juga menyerahkan hakmu atas dirimu sendiri kepadanya. Jika ini dijalankan, di mana banyak orang dipersatukan dalam satu orang, disebut sebagai persemakmuran, dan dalam bahasa Latin civitas (negara, penj). Dengan cara itulah terjadi leviathan yang dahsyat itu, atau – sebutlah – Allah yang dapat mati.” [Bab 17 hlm. 227]

E. Hak-hak para wakil rakyat

Di sini wakil rakyat saya gunakan untuk menyebut para pemegang kedaulatan, yang oleh Hobbes bisa berarti satu orang atau banyak orang, yang adalah negara itu sendiri.

Kutipan di atas [Bab 17 hlm. 227] menunjukkan bahwa perjanjian/kontrak terjadi bukan antara para invidu dengan negara, akan tetapi antar individu sendiri untuk membentuk negara. Karenanya negara bukanlah peserta pembuat perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian itu sendiri! Maka konskuensinya jelas: negara tidak terikat perjanjian dan karena itu apapun yang dilakukan negara tidak akan melanggar hukum. Karena hukum hanya mengikat para peserta kontrak saja. Dan negara bukan patner dalam kontrak.

“Melalui pendirian negara ini, setiap orang adalah pencipta dari segala hal yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan. Konskuensinya, siapa yang mengeluhkan kerugian dari pemegang kedaulatan, berarti mengeluhkan apa yang ia ciptakan sendiri. Dan dengan demikian sebaiknya ia tidak menghujat siapapun kecuali dirinya sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

a. Dari ketidakterikatan dengan perjanjian ini, pemegang kedaulatan memiliki hak-hak istimewa (hak-hak esensial kedaulatan):

1. Subjek/rakyat tidak dapat mengubah bentuk pemerintahan, karena semua urusan pemerintahan sudah diserahkan kepada para wakilnya, dan dengan demikian semua menjadi urusan para wakil. Dan bentuk pemerintahan tergantung pada selera pemegang kedaulatan.

“Masing-masing dari mereka telah memberikan kedaulatan kepada orang yang mengurusi mereka, dengan demikian, jika mereka menyingkirkannya, maka mereka mengambil apa yang menjadi milik sendiri, dan itu merupakan ketidakadilan.” [Bab 18 hlm. 229]

2. Kekuasaan penguasa tidak dapat dihilangkan. Kekuasaan ini penting karena sebagai penjaga kedamaian dan mencegah terjadinya pertikaian masyarakat, sebagaimana tujuan semula, sehingga state of nature tidak muncul kembali.

“Seandainaya seseorang yakin terhadap adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan, dan yang lain yakin bahwa tidak ada pelanggaran, maka dalam kasus semacam ini (keadaan di mana tidak ada kekuasaan pemegang kedaulatan, penj) tidak ada hakim yang dapat memutuskan, dan keadaan akan kembali lagi ke pedang.” [Bab 18 hlm. 230]

3. Tak seorang pun tanpa ketidakadilan dapat memprotes institusi pemegang kedaulatan yang telah dideklarasikan. Karena siapa saja yang mempermasalahkan pemegang kedaulatan, berarti ia telah berbuat tidak adil.

“Karena pihak mayoritas lewat suara-suara persetujuannya telah mendeklarasikan satu pemegang kedaulatan, seseorang yang berkeberatan harus menyetujuinya sebagaimana orang lain.” [Bab 18 hlm. 231]

4. Tindakan pemegang kedaulatan tidak dapat dihujat. Karena menggugatnya berarti menggugat tindakan yang ia lakukan sendiri. (kutipan telah dikutip di atas, bab 18 hlm. 232)

5. Pemegang kedaulatan tidak akan terkena hukuman karena tindakannya. Karena yang ia lakukan sudah pasti adil. Selain itu ia juga tidak terikat kontrak.

“Tak seorang pun dari pemegang kedaulatan dapat dihukum dengan adil. Dengan melihat bahwa subjek adalah pencipta tindakan-tindakan dari pemegang kedaulatan, maka ia menghukum orang lain atas apa yang ia perbuat sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

“Bahwa seseorang yang dijadikan penguasa tidak membuat perjanjian dengan subjek-subjeknya sejak dini adalah jelas,” [Bab 18 hlm. 230]

Bagi Hobbes, keadilan adalah apa yang sesuai dengan hukum. Dan hukum, yang dibuat para pemegang kedaulatan, dengan sendirinya sudah pasti adil. Karena itu tindakan negara tidak mungkin tidak adil.

6. Pemegang kedaulatan berhak untuk memutuskan apa yang dibutuhkan demi kedamaian dan ketahanan subjek-subjeknya (warga masyarakat).

“Adalah hak orang atau majelis yang memegang kedaulatan untuk memutuskan cara-cara kedamaian dan pertahanan, kendala-kendala dan gangguan-gangguannya…” [Bab 18 hlm. 232]

b. Hak-hak yang lain:
Hak memutuskan doktrin yang tepat untuk diajarkan kepada rakyat. Hanya pemegang kedaulatan yang berhak dan memiliki otoritas untuk menentukan mana doktrin yang benar dan mana yang salah.

“Melekat pada kedaulatan untuk memutuskan opini-opini dan doktrin-doktrin apa yang ditentang, serta apa yang membawa pada kedamaian, dan konskuensinya pada peristiwa apakah, dan seberapa jauh, serta manusia macam apa yang harus dipercaya untuk berbicara di depan rakyat banyak…..[Bab 18 hlm. 233]

Hak untuk membuat undang-undang (hlm. 234).
Hak untuk mengelola keadilan (hlm. 234).
Hak untuk melakukan perang dan kedamaian (hlm. 234-235).
Hak untuk memilih penasehat, menteri, dan pejabat (hlm. 235).
Hak untuk memberi imbalan dan hukuman (hlm. 235).
Hak untuk memberi gelar-gelar kehormatan (hlm. 235-236).

F. Kewajiban-kewajiban pemegang kedaulatan

Dalam menjalankan kekuasaannya, pemegang kedaulatan juga tidak lepas dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka jalankan.
Kewajiban-kewajiban itu, menurut Hobbes, dalam bab 30 Leviatannya, adalah:
1. Memelihara hak-hak esensial dari kedaulatan (hlm. 376-377)
Hak-hak esensial itu harus tetap mereka jaga untuk memungkinkan mereka tetap berkuasa.

2. Kewajiban untuk mengajar rakyat [hlm. 377-385] perihal:
Hak-hak esensial dari kedaulatan.
Untuk tidak mempengaruhi perubahan pemerintahan.
Untuk tidak taat pada tokoh-tokoh populer.
Untuk tidak mempertikaikan kekuasaan pemegang kedaulatan.
Untuk menghormati orang tua-orang tua mereka.
Menjalankan semua itu dengan tulus.

3. “Kewajiban untuk membuat undang-undang yang baik” [hlm. 387-389].
Hobbes membedakan antara undang-undang yang baik dengan undang-undang yang adil. Setiap undang-undang dengan sendirinya adalah adil. Dan undang-undang yang baik adalah undang-undang yang perlu (bagi kesejahteraan rakyat) dan bersifat jelas.

4. Kewajiban untuk memelihara keadilan yang setara di antara warga (hlm. 385).

5. Kewajiban untuk menarik pajak secara setara (hlm. 386) dan memilih komandan tentara yang loyal dan populer (hlm. 393).

6. Kewajiban untuk memilih penasehat yang baik (hlm. 391).

7. Kewajiban untuk menerapkan hukuman dan imbalan yang benar (hlm. 389).

8. Kewajiban untuk tidak memihak pada yang besar, karena hal itu akan menimbulkan peberontakan (hlm. 385).

Para komentator Hobbes mengatakan bahwa para pemegang kedaulatan dalam negara Leviathan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap rakyat. Hal itu, hemat saya, benar sejauh yang dimaksudkan sebagai kewajiban adalah kewajiban murni para pemegang kedaulatan kepada rakyat sebagai konskuensi dari kontrak. Maka benar adanya jika tidak ada kewajiban di sana, lantaran para wakil tidak ikut serta dalam perjanjian, sehingga tidak terikat dengannya.

Akan tetapi, terhadap diri mereka sendiri, para wakil rakyat jelas memiliki kewajiban, yaitu tindakan-tindakan yang harus mereka jalankan agar kedaulatan dan kekuasaan tetap berada dalam genggaman mereka.

Maka kelihatan bahwa sebagian besar kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya adalah hak para pemegang kedaulatan itu sendiri, dan sedikit sekali yang benar-benar merupakan kewajiban yang harus dilakukan murni demi kepentingan rakyat. Akan tetapi hak-hak ini, oleh Hobbes, dianggap sebagai kewajiban, lantaran tanpa itu semua kedaulatan yang mereka genggam akan menjadi hilang. Maka yang terjadi adalah kewajiban terhadap kepentingan pemegang kedaulatan. Atau kewajiban demi diri mereka sendiri.

G. Kendali terhadap kesewenang-wenangan wakil rakyat

Negara Hobbes terlihat sebagai sewenang-wenang, karena semuanya tergantung pada pemegang kedaulatan. Tetapi bagaimana agar pemegang kedaulatan ini tidak menyelewengkan kekuasaannya?

Bagi Hobbes, ada dua macam penghalang bagi kesewenang-wenangan ini:
1. Kesadaran penguasa sendiri. Ia harus seadil Tuhan. Karenanya rakyat hanya dapat mengharapkan, tetapi tidak dapat menuntutnya.
2. Adanya hak alamiah setiap warga. Masyarakat menyerahkan haknya kepada pemegang kedaulatan dengan tujuan agar mereka dapat hidup damai. Karena itu, jika penguasa bertindak sewenang-wenang, maka tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tunduk pada penguasa.

H. Kesimpulan

Negara Hobbes memang mutlak wewenangnya dan tanpa tanding, akan tetapi tidak begitu saja bebas untuk berbuat sewenang-wenang dan jahat. Karena para penguasa juga memiliki kepentingan terhadap baiknya keadaan masyarakat mereka, dan pengaturan yang baik akan dapat menangkal konflik dan pemberontakan.

“Karena tiada raja yang dapat menjadi kaya, mulia, ataupun aman, apabila subjek-subjeknya miskin, hina, terlalu lemah untuk dimintai, atau tidak sepakat untuk melakukan peperangan terhadap musuh-musuhnya.” [Bab 19 hlm. 241]

Namun di sinilah terletak kontradiksi dalam pemikiran Hobbes. Di satu sisi ia mengatakan bahwa pemegang kedaulatan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap para subjek karena tidak terikat kontrak, dan kekuasaan mereka tidak dapat dihilangkan. Namun di sisi lain mereka juga memiliki kewajiban untuk berbuat baik terhadap rakyat, karena jika tidak demikian maka rakyat akan memiliki alasan untuk melawan kedaulatan mereka. Tidak wajib tetapi juga wajib (?)

I. Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, Membangun Pemikiran Politis Melalui Interpretasi Karya-Karya Klasik, Diktat Kuliah 2008.

Hobbes, Thomas, Leviathan, ed. C. B. MacPherson, Harmondsworth: Penguin, 1986.

Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003.

Monday, August 3, 2009

Berjuang sebagai Mahasiswa

Gagasan Keindonesiaan Bung Hatta dalam Pidato Pembelaannya
di Pengadilan Belanda


“Indonesia Merdeka telah menjadi suara pelajar Indonesia Muda. Mungkin suara ini belum terdengar, tetapi pada suatu waktu, suara itu pasti akan tertangkap. Suara itu tidak dapat diabaikan begitu saja, karena di belakangnya berdiri suatu kemauan keras untuk merebut kembali dan mempertahankan hak-hak tertentu, yakni agar dapat dibentuk suatu Negara Indonesia Merdeka, cepat atau lambat!”
-Indonesia Merdeka, 1924-


Biografi

Lahir pada 12 Agustus 1902, Hatta bernama kecil Muhammad Athar. Keluarganya termasuk kalangan ulama Minangkabau di Sumatera Barat. Ia mengawali pendidikan dasarnya di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Europeesche Lagere (ELS) di Kota Padang pada tahun 1913-1916. Ketika berusia 13 tahun, ia lulus ujian masuk di HBS (setaraf SMA) di Batavia. Namun karena ibunya menginginkan agar ia tidak jauh dari rumah terlebih dahulu, ia melanjutkan pendidikannya di MULO Padang. Dan baru pada 1919 ia masuk HBS. Setelah lulus dari HBS pada 1921, ia berangkat ke Rotterdam Belanda untuk belajar ilmu perdagangan di Nederland Handelshogeschool (Pusat Pengajian Perdagangan Rotterdam). Di sana ia tinggal selama 11 tahun.

Ia mulai menetap di Belanda sejak September 1921 dan bergabung dengan Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia). Yaitu tempat pertemuan para pelajar Indonesia yang berdiri pada tahun 1908. Dan semenjak Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo bergabung di dalamnya tahun 1913, perhimpunan tersebut mulai terlibat dalam pergerakan. Di Indische Vereeniging ini, Hatta benar-benar merasakan kebebasan yang belum pernah ia rasakan di tanah airnya. Pada 19 Februari 1922, Hatta menduduki jabatan bendahara Indische Vereeniging menggantikan Hermen Kartawisastra. Pada masa-masa ini, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging, sebuah cikal bakal bagi nama bangsa selanjutnya.

Pada tahun 1927, Hatta ikut dalam Konggres Internasional Anti Kolonialisme di Brussel. Dalam konggres yang dirancang dengan dorongan Liga Anti Imperialisme dan Kolonialisme yang bermarkas di Berlin ini, Hatta memperluas pergaulannya dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Jawaharlal Nehru dari India. Karena kegiatan-kegiatan inilah, ia dan beberapa temannya ditangkap di pondokannya pada 23 September 1927. Pada 9 Maret 1928 ia mengemukakan pembelaannya yang terkenal dengan judul Indonesie Vrij. Dan ia bersama keempat temannya dibebaskan tanggal 22 maret 1928. Pada 5 Juli 1932, ia lulus ujian doktoral dan memperoleh gelar Drs Belanda dari Nederlandsch Handelshogeschool te Rotterdam. Pada 20 Juli ia meninggalkan Rotterdam dan sampai di Batavia pada 24 Agustus 1932.

Pendahuluan

Membaca karangan Bung Hatta Indonesia Merdeka yang merupakan pembelaannya dalam sidang pengadilan di Belanda ketika ia masih menempuh studi telah memberikan kepada kita sebuah gambaran pergolakan kemerdekaan yang terjadi baik di wilayah Indonesia maupun dalam jiwa para mahasiswanya di Belanda. Meskipun mereka masih dalam status belajar, namun pikiran mereka tidak hanya tertuju pada pelajaran di bangku kuliah saja, akan tetapi, lebih dari itu, nasib tanah air dan bangsanya telah menjadi kesadaran yang dipergunakan sebagai acuan dan sandaran dalam proses menimba ilmu di sana.

Kesadaran akan politik dan pergerakan, menurut Hatta, sudah muncul dalam sanubari pemuda-pemuda Indonesia sejak masih dalam taraf belajar. Hal ini berbeda dengan anak-anak Belanda dan Eropa lainnya yang memasuki dunai politik baru setelah lulus dari pendidikannya. Demikian ini lantaran anak-anak Indonesia melihat dengan mata kepala sendiri penderitaan dan keterpurukan rakyat dan bangsanya, dimana tidak ada harapan lain selain yang ada pada pundak mereka sendiri. Penderitaan itu dilihat dan dirasakan sejak kecil, sehingga tidak ada jalan lain untuk memperbaikinya kecuali ikut serta dalam pergerakan dalam usia dini. “Perjuangan kemerdekaan yang berat telah membayang di depannya, sehingga membuat ia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya.” Hal itu juga karena mereka melihat banyak dari orang tua-orang tua mereka hanya sebatas boneka yang dengan mudah dipermainkan oleh Belanda. Mereka tidak ingin mengulangi sejarah yang sama yang telah terjadi pada orang tuanya.

Politik dalam negara terjajah berbeda dengan politik di negara merdeka yang berarti memberikan saran dan kritik terhadap pemerintah. Di negara terjajah, politik adalah mempropagandakan gagasan tentang kemerdekaan, menyadarkan orang-orang akan makna kemerdekaan. Dengan melihat kepicikan, kepelitan, dan sifat mengadu dombanya Belanda, para mahasiswa semakin yakin bahwa penjajah tidak akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Para pemuda telah sampai pada kesadaran bahwa tujuan kolonialisasi adalah pemuasan akan materi dan harta jajahan. Kolonialisasi tidak untuk mentrasfer kebudayaan dan kemajuan Eropa ke Indonesia. Sehingga terdapat perbedaan mencolok yang tak terdamaikan antara negeri penjajah dan negeri yang terjajah. Yang terjadi adalah hubungan kekuasaan antara ras kulit putih yang memerintah dan ras kulit berwarna sebagai yang diperintah. Dengan melihat kenyataan bahwa kemerdekaan tidak akan diberikan oleh penjajah, akan tetapi hanya dengan usaha sendiri, dan kesadaran untuk memimpin bangsanya kelak, telah membuat para pemuda mengesampingkan kepentingannya sendiri. Mereka tidak murni belajar untuk mencari pengetahuan, apalagi posisi yang baik dalam masyarakat, akan tetapi juga untuk mempersiapkan diri demi tugas mulia di hari depan.

Derita Rakyat

Secara terbuka Hatta mengakui bahwa Perhimpunan Indonesia bukanlah tempat berkumpul dan bersenang-senang para anggotanya, sebagaimana yang telah berlangsung sebelumnya, akan tetapi sebuah organisasi yang menganjurkan kepada para anggotanya agar kelak ikut terjun dan bergabung dengan massa untuk berjuang bersama-sama. Perhimpunan Indonesia dari yang semula masih memberikan tempat bagi peran Belanda, berubah menolak kerja sama setelah melihat dan yakin bahwa pihak Belanda tidak akan serius dalam melakukan kerja sama. Bukti konkret dari hal tersebut adalah keengganan Pemerintah hindia Belanda untuk memenuhi janji yang telah mereka berikan pada 18 November 1918 tentang perbaikan-perbaikan yang akan dilakukan.

Pada tahun 1924, untuk menghilangkan suara-suara yang tidak enak, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan sensor pers. Dengan keras Bung Hatta menanggapi sensor pers ini dengan menyatakan bahwa hal itu hanyalah sebuah kemunduran sejarah. Belanda telah melakukan perbuatan yang dulu mereka benci, yaitu ketika mereka masih dalam kekuasaan Napoleon. Padahal, kebebasan pers adalah penyalur yang mencegah tekanan yang terlalu tinggi dalam ‘ketel uap’ kebangsaan. Jika penyalur itu dihilangkan, maka ketel akan meledak pada waktu yang tidak terduga sama sekali, lantaran Belanda tidak memiliki cukup mata-mata untuk mengawasi rakyat Indonesia.

Hatta dengan tajam mengkritik pemerintahan Fock yang melakukan penghematan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, dan kesejahteraan rakyat. Bagi Hatta, mengacu pada pemerintahan Fock, setiap pemerintah yang tidak disenangi selalu terombang-ambing antara dua pikiran. Di satu pihak ingat akan janji, di pihak lain cemas akan munculnya peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkannya. Sehingga mereka tidak bersemangat menjalankan pemerintahan, yang mengakibatkan cibiran dan olokan saja dari rakyat. Padahal rakyat sudah cukup dengan peringatan-peringatannya, namun hal itu tidak ditangkap oleh pemerintah. Bisa saja pemerintah menangkap para pemimpin dan warga, akan tetapi apa yang mereka anggap sebagai kejahatan tidak akan bisa lenyap. Kejahatan itu tidak terdapat pada diri rakyat yang memberontak, akan tetapi pada jiwa pemerintah jajahan sendiri, dan pada cara-cara yang digunakan untuk mempertahankan pemerintahan itu.

Dalam hal kesejahteraan sosial, ia membalas kritik Pemerintah Hindia Belanda yang mengklaim bahwa rakyat Indonesia pemalas dan tidak gemar menabung. Bagaimana mungkin rakyat mampu untuk menabung, kalau kebutuhan hidup minimal dalam sehari-harinya saja tidak tercukupi. Apalagi pajak yang mencekik membuat perekonomian rakyat semakin sekarat. Pajak-pajak yang mencekik inilah yang kalau Belanda mau memikirkannya merupakan sebab terjadinya pemberontakan dari rakyat. Jika tidak ada kemelaratan ekonomi dan penindasan oleh pemerintah, maka pemberontakan itu tidak akan meletus. Sedangkan dalam hal pendidikan, rupanya Belanda masih belum bisa menjadikan 7% dari penduduk Indonesia melek huruf, meski mereka sudah menjajah negeri ini tiga abad lebih lamanya.

Karena itu tidak mengherankan, setelah menyaksikan penderitaan yang dialami oleh bangsanya, para mahasiswa dari Indonesia melakukan suatu pergerakan di negeri Belanda. Mereka memberontak karena mengingat penderitaan rakyat yang menjadi tumpuan harapan, keinginan, dan cinta mereka. Mereka telah dapat merasakan perbedaan antara merdeka dan bernilainya hukum di negeri Belanda dengan apa yang mereka saksikan di Indonesia. Karena itu usaha untuk membebaskan Indonesia adalah suatu keharusan. Di banding dengan sesamanya di Indonesia, para pelajar ini sudah dapat melihat lebih jelas tentang realitas kolonialisme.

Hatta dan Perhimpunan Indonesia

Dalam pembelaannya, Hatta banyak memosisikan diri sebagai pembela Perhimpunan Indonesia tempat dimana ia aktif sebagai aktivis. Hatta dan Perhimpunan Indonesia-nya berprinsip nonkoperasi. Hal itu berarti bahwa ia tidak lagi menengadahkan tangan untuk meminta belas kasihan dari Belanda. Tetapi berdiri dan percaya pada kekuatan sendiri. Dengan demikian, penghargaan terhadap kekuatan diri sendiri mutlak diperlukan. Gerakan nonkoperasi ini tidak hanya sebatas protes atas tidak dipenuhinya janji Belanda, akan tetapi lebih dari tiu, ia adalah prinsip utama dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Merdeka tidak mungkin tercipta lewat jalan kerja sama. Hal demikian ini karena kerja sama mengandaikan dua pihak yang berdiri yang memiliki kesamaan hak dan kepentingan. Tetapi hal itu tidak terpenuhi dalam kerja sama Belanda-Indonesia, karena posisi pihak kedua yang selalu inferior dari pihak pertama. Dengan demikian, prinsip nonkoperasi adalah suatu uangkapan bangsa yang percaya akan dirinya sendiri, yang sadar akan munculnya tenaga segar dan muda di dalamnya. Bagi Hatta, di dalam negeri terjajah, hukum dan keadilan hanyalah kata-kata kosong belaka, yang terlalu sering diucapkan oleh penguasa, sedangkan di balik itu semua terdapat sebuah kepalsuan yang nyata.

Baginya, hubungan kolonial ditentukan oleh pertanyaan sampai mana negeri penjajah dalam kebutuhan materialnya bergantung dari negeri jajahan. Karena itu kalau penjajah berkenan memberikan otonominya kepada bangsa yang terjajah, maka otonomi tersebut hanyalah otonomi semu belaka. Bukti akan otonomi yang semu ini dapat dilihat dalam tiga bentuknya yang konkret: (a) jika terdapat badan perwakilan dalam negeri jajahan, maka mayoritas anggotanya adalah warga kulit putih. (b) Jika anggota badan perwakilan tersebut adalah orang-orang bumi putera, maka sebaian besar mereka adalah pejabat pemerintah yang harus tunduk pada keinginan pemerintah penjajah. (c) Jika badan perwakilan ini terdiri dari orang bumi putera yang tidak menjadi pegawai pemerintah, maka status badan perwakilan ini diturunkan menjadi badan penasehat saja, dengan gubernur jenderal yang berkulit putih memiliki hak veto yang tidak terbatas.

Belanda sering kali mengatakan bahwa Indonesia belum siap untuk mengurus pemerintahan sendiri, karena itu cara efektif untuk sampai kesana adalah pemberian kemerdekaan secara perlahan-lahan. Namun di balik kedok “belum matang” dan “secara perlahan-lahan” ini nampak dengan jelas motif egoisme dan keserakahan dari Belanda. Mereka tidak akan mengizinkan sebuah tindakan yang dapat melemahkan kedudukan kuat penjajah atas penduduk Indonesia. Namun yang sebenarnya terjadi bukanlah bangsa Indonesia yang belum matang untuk memerintah sendiri, akan tetapi Belanda-lah yang belum matang untuk membimbing jajahannya ke arah kemerdekaan. Apa yang telah dilakukan oleh Amerika di Filipina selama 18 tahun belum bisa dilakukan oleh Belanda yang telah tinggal lebih dari tiga abad.

Bagi Hatta, masalah kemerdekaan adalah masalah kekuasaan. Perubahan dalam hubungan kolonial hanya dapat dilakukan dengan mengajukan persoalan kekuasaan. Dan untuk sampai ke sana yang diperlukan adalah massa aksi, yaitu membentuk kekuatan yang berturut-turut harus dicapai dengan propaganda untuk kesatuan Indonesia, solidaritas Indonesia, kepercayaan dan kesadaran akan diri pribadi. Hanya Indonesia yang bersatu, yang mengesampingkan perbedaan antar kelompok, yang akan dapat mematahkan kekuasaan kaum penjajah. Perjuangan tidak terletak pada sejumlah kecil kaum intelek, akan tetapi pada masyarakat luas. Intelektual hanya perlu menemukan kekuatan rakyat yang meluap-luap dan menjadi juru bahasanya. Dalam hal ini kelihatan bahwa Hatta adalah pengikut marxis.

Bagi Hatta, sulitnya kita menghadapi penjajah karena mereka lebih kuat dari kita. Menurutnya, kekuatan mereka terdiri dari dua faktor, dan diharapkan dengan mengetahui dua kekuatan ini, kemampuan bangsa Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri akan lekas tercapai. Faktor pertama adalah kekuatan nyata berupa kekuatan senjata dan tentara yang selalu siap sedia. Namun selain faktor itu masih ada faktor kedua yang memainkan peranan penting bagi semakin kuatnya penjajah, yaitu bentuk psikologis yang di atasnya berdiri pemerintah dan gengsi penguasa.

Faktor-faktor kedua ini adalah (a) politik memecah belah. Karena itulah Indonesia Muda harus memainkan peranan yang sentral. Ia harus mewujudkan persatuan kaum muda, di samping menciptakan kondisi sehingga angkatan baru dapat mambangun sebuah kehidupan nasional yang baru. Kesatuan bangsa tidak karena satu keturunan, seagama, sekepercayaan, atau sebahasa. Akan tetapi karena kepercayaan bahwa mereka dapat bersatu.

(b) Membiarkan massa menjadi dungu. Karena itu, pendidikan massa menjadi penting. Menurut istilah Hatta, Indonesia tidak akan menunggu kemerdekaannya sampai petani terakhir dari desa yang terakhir bisa menulis. Tugas pendidikan adalah untuk membentuk watak massa, karena kapasitas rakyat pertama-tama tidak ditentukan oleh jumlah yang melek huruf, akan tetapi watak rakyat itu sendiri. Selain itu yang juga penting adalah pendidikan politik dengan menyadarkan massa akan hak-hak politiknya. Dengan demikian prinsip nonkoperasi menjadi menjadi semakin penting.

c) Gagasan tentang keunggulan bangsa kulit putih dan ketidakmampuan bangsa Indonesia sebagai bangsa. Karena itu, rasa rendah diri rakyat di hadapan penjajah harus dihilangkan. Massa rakyat harus dipompa dengan kepercayaan akan diri pribadi dan harga diri. Rakyat harus belajar membantu diri sendiri dalam perjuangan hidup. Mereka harus yakin, bahwa politik kolonial tidak dapat memperbaiki nasib mereka. Rakyat di bawah pimpinan sendirilah yang harus mangambil inisiatif untuk memajukan kesejahteraannya. Maka tugas intelektual adalah merangsang kemauan bertindak sesama bangsa, membimbing mereka dalam mengembangkan tenaga sendiri dengan memakai ilmu dan tehnologi baru. Termasuk di antara cara tersebut adalah melalui koperasi.

(d) Politik asosiasi. Dengan politik asosiasi ini, penjajah ingin meciptakan asosiasi antara Belanda dan Indonesia dalam satu persekutuan kenegaraan, yang sama hak dan kewajibannya. Keduanya tidak bertentangan kepentingannya, melainkan memiliki kepentingan yang sama. Namun jelas, bahwa politik asosiasi ini telah menembunyikan unsur penting dalam sistem kolonial, yaitu pertentangan kepentingan dan pertentangan ras. Keduanya itulah yang merangsang hasrat untuk mencapai kemerdekaan dengan segera.

Rintangan-rintangan psikolgis yang dibuat oleh penjajah tersebut dapat dihancurkan dengan (a) persatuan nasional dengan mengakui kesatuan Indonesia dan mengesampingkan perbedaan antar kelompok yang dapat merintangi tujuan bersama, (b) perasaan senasib sepenanggungan, (c) prinsip nonkoperasi, dan (d) membantu diri sendiri. Namun karena Perhimpunan Indonesia adalah perhimpunan para mahasiswa yang berada di luar negeri, maka tugasnya hanyalah sebatas mempersiapkan. Adapun tugas untuk mengalihkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam tindakan-tindakan nyata adalah tugas organisasi-organisasi di tanah air.

Karena itu diperlukan sebuah partai politik nasionalis murni yang tidak bekerja sama dengan penjajah. Partai itu harus memperjuangkan dalam bidang politik, di antaranya, hak menentukan nasib sendiri kepada bangsa Indonesia, bentuk negara Indonesia kelak atas dasar demokrasi murni yang bertolak dari masyarakat desa, kemerdekaan pers dan hak tak terbatas untuk berserikat dan berkumpul, hak memilih untuk semua. Dan dalam bidang ekonomi untuk memajukan koperasi pertanian dan bank-bank rakyat, memajukan kerajinan nasional atas dasar koperasi, penghapusan sistem pajak bumi, penghapusan tanah partikelir, pengaturan pembayaran pajak yang adil dengan membebaskan pajak dari petani yang memiliki tanah kurang dari setengah bahu. Dan dalam bidang sosial, memperjuangkan perundang-undangan sosial, hari kerja 8 jam, pemberantasan riba secara radikal, memajukan pengajaran dan pendidikan nasional, serta perbaikan kesehatan rakyat.

Perjuangan dan Kekerasan

Hatta tidak setuju dengan penggunaan kekerasan dalam perjuangan ini. Kekerasan bukanlah sebuah prinsip dalam perjuangannya. Dalam konteks Indonesia, hal itu ditopang oleh budaya bangsa yang mencintai pola hidup damai dan menghindari kekerasan. Karena itu, bila bangsa yang lembut ini beralih kepada kekerasan, maka hal itu disebabkan oleh tidak adanya jalan lain, dan oleh kaerna kekerasan itu dipaksakan padanya oleh pihak atas. Dan kekerasan dalam mengatasi masalah kolonial hanya dapat dihindari apabila salah satu pihak melepaskan pendiriannya. Padahal keduanya sama-sama tidak pernah mau untuk melepas pendiriannya. Belanda tetap pada prinsipnya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Sedangkan bagi bangsa Indonesia, mereka lebih suka untuk melihat dirinya berkubang tanah daripada harus hidup sebagai abdi sebuah negeri asing.

Dengan keyakinan bulat, bangas Indonesia harus yakin akan kemerdekaannya. Sehingga masalahnya tidak lagi bisa atau tidak, akan tetapi cepat atau lambat.

Penutup

Buku Indonesia Merdeka adalah tulisan Hatta semasa masih kuliah. Karena itu dapat dimaklumi kalau bahasanya sangat provokatif, yang menggambarkannya sebagai seorang aktivis muda yang penuh gelora dan semangat. Di sana kita bisa menyaksikan akan hasrat akan cepat tercapainya Indonesia merdeka dan bebas dari negara asing. Namun ketika melihat aksi-aksi Hatta selanjutnya, kita dapat menjumpai hilangnya beberapa sifat progresif ini. Hal ini terlihat misalnya ketika terjadi perdebatan antara kalangan tua dan kalangan muda tentang pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hatta yang mewakili kalangan tua tidak ingin cepat-cepat dalam mendeklarasikan kemerdekaan. Hal yang, menurut sekilas pandangan saya, berbeda dengan semangat yang ada ketika masih muda.

Meski begitu, Hatta adalah salah satu orang yang mampu menembus kabut dan kebekuan masanya. Masa ketika orang-orang masih terlelap tidur dan asyik dengan mimpi-mipinya. Tetapi ia dapat melihat posisi diri dan bangsanya, sehingga dapat mengambil sikap dan menempatkannya dengan tepat. Dia telah mampu untuk membaca masa depan, sehingga tindakan dan perjuangannya tidak sia-sia. Dan Indonesia ini, akhirnya, ‘merdeka’ juga.

Pustaka

Hatta, Mohammad, Indonesia Merdeka, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1976.
Kompas, 9 Agustus 2002
--------, 24 Mei 2003
www.id.wikipedia.orgsen: Prof. Dr. Mudji Sutrisno, SJ