Sunday, December 13, 2009

Perpisahan

“Heh, sadar Met. Dipanggil tuh,” bentakan dan tepukan tangan Ihsan di pundak Selamet membuyarkan lamunannya. “Ada apa San?” tanya Selamet yang masih bingung. “Ah, pura-pura nggak tahu aja. Dipanggil ke depan tuh.” Kamis pagi itu adalah hari perpisahan para siswa kelas tiga aliyah Perguruan Islam Manbaul Huda. Dipilihnya hari Kamis karena esoknya, hari Jumat, adalah hari libur tiap pekannya.

Sudah kebiasaan bahwa tiap perpisahan akhir tahun di madrasahnya, Selamet Raharjo selalu naik ke podium untuk menerima penghargaan sebagai siswa teladan. Sejak kelas satu tsanawiyah sampai tiga aliyah, siswa teladan tidak pernah lepas dari genggamannya. Padahal, prestasi ini tidaklah mudah didapatkan. Proses seleksinya ketat dan berbeda dari sekolah lain. Di madrasah pesantren yang sangat salaf ini, dari semua angkatan kelas satu, dua, dan tiga aliyah, hanya satu saja yang dipilih sebagai siswa teladan. Berbeda dari sekolah lain yang di setiap angkatannya terdapat satu siswa teladan. Sehingga, untuk mendapatkan gelar ini, Selamet harus mengalahkan prestasi semua teman-temannya dari kelas satu sampai kelas tiga aliyah, yang masing-masing angkatannya terdapat enam sampai tujuh kelas.

Selamet berjalan menuju podium tanpa menghiraukan tepukan tangan ribuan teman-temannya. Tidak terlihat keceriaan di mukanya. Dan ketika direktur madrasah menyerahkan piagam penghargaan kepadanya, ia hanya terlihat tersenyum sebentar, lalu kembali murung. Beberapa pujian yang datang dari guru yang memberi sambutan sudah tidak terdengar lagi olehnya. Isi surat yang dikirim Nala tadi pagi telah mengalahkan hingar bingarnya perpisahan.

Telah menjadi rutinitas, tiap habis ngaji Subuh Selamet selalu meluangkan sekitar setengah jam untuk sowan ke makam Mbah Ahmad, leluhur semua kiai daerah itu dan dipercaya sebagai seorang wali. Di makam, dia biasa nderes beberapa juz al-Quran. Di tengah perjalanan pulang, Fitri, sahabat dekat Nala, menghampirinya. Ia menyerahkan sebuah amplop kepada Selamet. “Kang, ini ada surat dari Mbak Nala. Dia memintaku untuk menyerahkannya kepada Kang Selamet,” ujar Fitri. “Makasih ya Mbak,” balas Selamet.

Selamet tidak mau menunggu lama untuk membacanya. Segera setelah Fitri hilang di pertigaan, Selamet langsung membelok ke musola di sebelahnya. Sebenarnya Selamet sudah biasa menerima surat dari Nala, tetapi pengiriman kali ini terasa asing baginya. Terlalu pagi. Dan belum sampai akhir ia membaca, ia tutup kembali suratnya. Tak kuasa meneruskan. Tak disangka akhirnya akan seperti itu.

Sudah empat tahun Selamet dan Nala berpacaran. Awalnya memang iseng saja. Cinta itu berawal dari surat bangku yang Selamet tulis untuk teman duduknya. Di madrasahnya, waktu belajar siswa dan siswi tidak bersamaan. Kalau para siswa masuk pada pagi hari dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang, maka para siswi menempati kelasnya dari jam setengah satu siang sampai jam lima sore. Sedangkan ruang kelas yang mereka gunakan adalah sama. Sehingga seorang siswa dapat mengirim surat kepada teman putri yang duduk dibangkunya hanya dengan meninggalkan tulisan di laci mejanya. Itulah surat bangku.

Di kelas tiga tsanawiyah-lah, Selamet pertama kali menulis surat bangku untuk teman duduknya, yang kemudian diketahui bernama Nala. Karena masing-masing merasa nyambung, tukar-menukar surat itu terus berlanjut sampai akhir tahun. Dan beruntungnya, selama tiga tahun di aliyah, mereka selalu mendapatkan undian untuk menempati kelas yang sama. Karenanya mereka dapat mengatur tempat duduknya untuk tetap satu bangku. Dari sinilah cinta bersemi, dan keinginan untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius terjadi. Maklum, meski masih di aliyah, tetapi santri aliyah pesantren salaf berbeda dari yang lain. Lebih dewasa. Bagaimana tidak, umurnya saja sudah dua puluhan ke atas.

Sesekali dalam sebulan mereka bertemu setelah ziarah di makam Mbah Ahmad. Tentu setelah membuat perjanjian sebelumnya lewat surat bangku. Dan teman-teman mereka juga sudah tahu kalau keduanya berpacaran. Lagian tidak ada salahnya, keduanya sama-sama bibit unggul, pikir teman-temannya. Nala adalah anak tunggal Kiai Hasib yang memiliki pesantren dengan seratusan santri. Sedangkan Selamet sudah tidak diragukan lagi kecerdasannya.

Sehari sebelum perpisahan itu, Kiai Hasib datang ke pesantrennya Nala untuk menghadiri perpisahan sekolah putrinya, sekalian memohonkan pamit kepada Kiai Umar, kiainya Nala, untuk memboyong putrinya pulang. Waktu berkunjung inilah Kiai Hasib menasehati putrinya. Bahwa di pesantrennya tidak ada lagi penerus selain putri satu-satunya itu. Karenanya, dengan terpaksa ia harus menjodohkan Nala dengan Gus Faishal, putra seorang kiai yang memiliki sebuah pesantren kecil di desa sebelah. Sebenarnya Nala pernah mengatakan kepada abahnya dahulu sewaktu liburan puasa kalau ia sudah punya pacar di sekolah. Hanya saja sang abah tidak menganggapnya serius. Lagi pula Nala harus mendapat jodoh yang setingkat dengannya, anak kiai pesantren, sehingga dapat meneruskan pesantren yang telah ia rintis. Tentu di samping faktor gengsi.

Selamet memang pintar, tetapi ia bukanlah seorang gus. Ia hanya seorang santri ndalem, santri yang bekerja kepada kiai untuk mendapatkan pendidikan dan tempat gratis di pesantren. Posisi tawarnya jelas di bawah Gus Faishal. Dan kejadian itulah yang diceritakan Nala kepada Selamet dalam suratnya. “Maafkan saya kang, saya tidak bisa membantah apa yang abah katakan,” salah satu kalimat yang tertulis dalam suratnya Nala.

***

Di bis dalam perjalanan pulang, Selamet membuka kembali surat yang diberikan Nala beberapa hari yang lalu. Dibacanya bagian yang belum ia selesaikan. Tidak ada yang baru, isinya sudah dapat ia tebak sebelumnya. Lalu pikirannya ganti tertuju pada pertemuannya yang akan terjadi sebentar lagi dengan abah, umi, dan saudara-saudaranya. Teringat ia ketika saudara-saudaranya mengejeknya tidak bisa membaca kitab kuning. “Mau kau apakan warisan abahmu itu kalau kau tidak bisa membaca kitab? Memangnya sekolah SMA mau jadi apa? Pegawai negeri?” ujar Mukhlis, kakaknya. “Agar mudah mendapat bantuan dari pemerintah kali,” ejek mbakyunya, Laila. “Jangan begitu, sekolah SMA-pun nanti juga ada manfaatnya. Toh dia nanti kan bisa baca kitab kuning juga,” abahnya menyela.

Mendekati rumahnya, ia teringat kalau hari itu adalah Selasa, sehingga tidak mungkin ia masuk rumah dari depan, karena semua tempat pasti sudah dipenuhi para santri yang sedang mengaji. Ia berputar ke pintu belakang dan langsung masuk ke kamar. Untung posisi kamarnya masih seperti delapan tahun yang lalu ketika ia meninggalkannya. Dari dalam kamar, ia mendengarkan dengan jelas suara abahnya lewat pengeras suara yang sedang mengajar. Satu jam kemudian pengajian berakhir. Empat ribuan santri berhamburan ke kamarnya masing-masing, persiapan untuk mengikuti shalat Ashar.

Suara tarkhim sudah terdengar dari pengeras suara masjid, tanda sebentar lagi adzan akan berkumandang. Suara seseorang yang berjalan dengan tongkat semakin mendekat. Yakin itu suara abahnya, ia membuka pintu kamar dan keluar. Tidak jauh darinya, seorang tua bersorban yang membopong sebuah kitab di dadanya belum mengetahui keberadaannya. “Assalamu ‘alaikum. Abah, saya sudah pulang,” ujar Selamet. Orang tua itu mengangkat pandangannya, “Kaukah Mahrusku, nak?” “Iya, saya Mahrus, putera abah.” Keduanya langsung berpelukan. Air mata mengalir di pipi masing-masing. “Umi, anakmu pulang Mi’,” ujar Kiai Ali, abah Mahrus, dengan sedikit serak. Uminya datang dari balik korden kamar sebelah, dan langsung memeluk anak bungsunya itu. “Dari mana saja kamu selama ini nak? Kenapa tak memberitahu keadaanmu kepada kami? Sudah kemana-mana kami mencarimu,” kata ibunya. “Saya di pesantrennya Kiai Nur Hadi Kaliwungu Mi’. Tapi, di mana yang lain?” balik Mahrus bertanya.
“Kakak-kakakmu?”
“Iya.”
“Kakakmu Mukhlis sudah membuat pesantren sendiri di belakang pesantrenmu ini. Mbakyumu Laila sudah menikah dengan Gus Utsman, putra Kiai Dahlan Lasem.”

Di masjid, semua santri memperhatikan Gus Mahrus, gus baru mereka. Maklum, sebagian besar dari mereka datang ke pesantren setelah Gus Mahrus pergi ke Kaliwungu. “Gus, gimana kabarnya? Kangen nih sama kocekan bolanya,” ujar Madun, santri senior yang telah mengenalnya. “Kapan-kapanlah kita main bareng-bareng. Sampeyan Kang Madun yang pinter bikin sambel goreng itu kan?” balas Mahrus. Keduanya tertawa.

Jakarta, Januari 2007



Tuesday, November 24, 2009

Penemuan Makam Yesus

Dari tanggal 1-11 April 1980, arkeolog Amos Kloner, Yosef Gath, Eliot Braun, dan Shimon Gibson di bawah pengawasan Otoritas Kepurbakalaan Israel (OKI), menggali makam sebuah keluarga yang berada di Talpiot, wilayah yang terletak sebelah selatan kota lama Jerusalem. Dalam penggalian itu mereka menemukan 10 osuarium (peti tulang terbuat dari batu gamping) tua yang diperkirakan berasal dari masa pra-tahun 70 masehi, akhir Perang Yahudi I melawan Roma. Beberapa kejadian lain terkait dengan keberadaan makam ini juga terjadi.Di antaranya adalah James D Tabor dengan buku kontroversialnya di tahun 2006, The Jesus Dynasty, film dokumenter The Lost Tomb of Jesus yang dikeluarkan oleh Discovery Channel pada maret 2007, dan Simcha Jacobovici serta Charles Pellegrino dengan bukunya Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence That Could Change History. Semuanya menyimpulkan bahwa makam Talpiot adalah benar-benar makam Yesus dari Nazareth.

Namun sampai sekarang hanya sembilan osuarium yang masih ada pada OKI, sedangkan yang satu hilang. Enam dari sembilan osuarium itu berinskripsi (1) "Yesus anak Yusuf" (bahasa Aram), (2) "Maria" (Aram), (3) "Mariamene e Mara" ("Maria sang Master"=Maria Magdalena) (Yunani), (4) "Yoses" (Aram), (5) "Matius" (Aram), (6) "Yudas anak Yesus" (Aram). Matius adalah anak Alfeus, saudara Yusuf, ayah legal Yesus. Demikian menurut J. Tabor. Pada tahun 2005 Dr Carney Matheson dan timnya dari Laboratorium Paleo-DNA Universitas Lakehead di Ontario telah memeriksa mitokondria DNA terhadap human residue dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dari penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan persaudaraan maternal antara "Yesus" dan "Maria Magdalena". Karena orang luar yang ditemukan dalam makam keluarga, maka ada kemungkinan Maria Magdalena adalah istri Yesus, dan Yudas adalah anak mereka berdua.

Editor dari Biblical Archaelogy Review, Hershel Shanks, pada 2002 telah menemukan osuarium yang berinskripsi Aramik “Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus”. Dari penelitian dipastikan bahwa osuarium Yakobus ini adalah osuarium yang hilang dari makam Talpiot. Jika pengujian DNA diizinkan dan terbukti bahwa DNA Yakobus match dengan DNA Yesus (yang sudah diketahui), maka akan tidak terbantahkan lagi bahwa makam keluarga di Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth, Yesus yang punya saudara satu ayah, yang bernama Yakobus, sebagaimana dicatat baik oleh tradisi Kristen (Galatia 1:19; Markus 6:3) maupun oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.

Beberapa sanggahan atas hipotesa tersebut telah diajukan. Bahwa nama yang digunakan dalam makam tersebut bersifat umum untuk masa itu, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa makam tersebut adalah makam Yesus dari Nazareth. Namun berkumpulnya nama-nama keluarga Yesus dalam satu cluster adalah kejadian unik. Hal itu didukung oleh kajian statistik yang memanfaatkan teori probabilitas dan yang juga memperhitungkan baik demografi kota Jerusalem pra-tahun 70 (berpenduduk antara 25.000 dan 75.000) maupun data nama-nama yang telah dicatat yang berasal dari semua makam yang telah ditemukan di kawasan-kawasan perbukitan kota Jerusalem.

Menurut Prof Andrey Feuerverger dari Universitas Toronto, kemunculan cluster atau kumpulan keempat nama saja yang berkaitan dengan Yesus ("Yesus anak Yusuf", "Maria", "Maria Magdalena", dan "Yoses") dalam satu makam, dalam konteks kota Jerusalem pada periode itu, adalah suatu kejadian unik dengan peluang 1:600. hal itu berarti, dari 600 kasus yang terjadi, hanya akan ada satu kejadian yang sama dengan kejadian di makam Talpiot itu. Dan jika osuarium Yakobus dimasukkan ke dalam makam Talpiot, maka, menurut Feuerverger, peluangnya berubah menjadi 1:30.000. Atau dari 30.000 kejadian, hanya ada satu kejadian yang mirip.

Sanggahan lain bahwa Perjanjian Baru tidak memberi keterangan bahwa Yesus memiliki anak. Memang PB tidak menyebut hal itu, akan tetapi nama-nama seperti Philo, Rabbi Hillel, Flavius Yosefus, Hanina ben Dosa, Apollonius dari Tyana adalah orang-orang yang benar-benar hidup pada masa awal kekristenan. Dan sangat mungkin bahwa “seorang muda” yang berlari “dengan telanjang” dalam Injil Markus adalah anak Yesus, namun disembunyikan dengan mempertimbangkan keadaan masa itu yang sulit. Sanggahan berikutnya bahwa keluarga Yesus adalah orang miskin sehingga tidak mungkin mampu membuat makam di Jerusalem, dapat disanggah bahwa makam di Talpiot tersebut adalah makam yang sederhana dengan ukuran 3x3 meter dan tinggi kurang dari 2 meter. Hal itu dapat diusahakan oleh para pengikut Yesus. Sepeninggal Yesus, mereka memusatkan pergerakan messianik mereka di Jerusalem dengan dipimpin oleh Yakobus (wafat tahun 62), saudara Yesus, yang semasa Yesus masih hidup telah menetap di Jerusalem.

Dikatakan dalam Matius 6:29 bahwa ketika murid-murid Yohanes Pembaptis mendengar sang guru mereka sudah dibunuh oleh Herodes Antipas, mereka segera datang mengambil mayatnya lalu meletakkannya dalam sebuah kubur. Demikian juga yang terjadi dengan Yesus. Murid Yesus, Yusuf dari Arimatea, memberikan makam pribadinya untuk mengubur Yesus sementara. Dari kubur ini kaum keluarga Yesus kemudian memindahkan mayat Yesus ke makam yang permanen yang disediakan para pengikut pergerakan messianik Yesus yang berpusat di Jerusalem. Telah dipindahkannya mayat Yesus ke kubur lain inilah yang membuat kubur pertama menjadi kosong. Ketika waktunya telah tiba (satu tahun kemudian), tulang-belulang Yesus dimasukkan ke dalam osuarium.

Sanggahan yang bersifat apologetis teologis mengatakan bahwa tidak mungkin di bumi ini ada sisa-sisa jasad Yesus karena Ia telah bangkit beserta raganya. Di sini teologi mereka pakai untuk menghambat penyelidikan interdisipliner terhadap makam Talpiot dan osuarium-osuarium yang terdapat di dalamnya. Merekalah yang seharusnya tidak diperhatikan dalam penelitian sejarah dan makam ini.

Akhirnya, kalau memang jasad Yesus masih dapat kita saksikan bersama di dunia ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus harus kita pahami sebatas metafora, bukan kejadian sejarah objektif. Para penulis Perjanjian Baru tentu memahami dengan sebaik-baiknya hal ini, karena mereka sudah pasti dapat membedakan mana perbedaan antara realitas dan fantasi serta delusi. Yesus memang bangkit, akan tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup yang dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus memang naik ke surga, akan tetapi dalam arti Ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Yang dibutuhkan dalam kebangkitan dan kenaikan adalah tubuh rohani, bukan sekedar tubuh fisik.

Tanggapan

Mengatakan bahwa kebangkitan dan kenaikan Yesus hanya sebatas tubuh rohani, tidak beserta tubuh fisiknya, adalah kesimpulan yang masih sangat prematur. Metafora hanya bergerak dalam ranah subjektif, tidak objektif. Kerena itu pilihannya adalah prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis". Kontroversi yang marak tentang penemuan makam keluarga Yesus dan kepastian kebangkitan-Nya dengan tubuh-Nya perlu ditempatkan dalam kerangka besar penelitian kisah- kisah ajaib di dalam Kitab Suci. Penelitian semacam itu sebenarnya bukanlah hal yang baru sama sekali, akan tetapi telah lama berlangsung sejak jaman dulu kala.

Dari penelitian-penelitian itu terdapat keyakinan bahwa hal-hal yang ajaib adalah berbeda dan bertentangan dengan penjelasan ilmiah. Maksud dari penelitian ilmiah semacam ini adalah ingin menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang dianggap aneh dan ajaib yang terdapat dalam Kitab Suci sebenarnya adalah kejadian lumrah dan biasa yang dapat dijelaskan dengan pendekatan ilmu-ilmu positif. Prinsipnya, segala mukjizat bisa ditemukan penjelasan ilmiahnya. Dalam pendekatan ini, peristiwa yang dikisahkan dalam Kitab Suci dapat terjadi secara historis. Konskuensinya jelas, peran Ilahi disingkirkan dan harus tunduk pada peran sains. Dengan demikian, peran Ilahi tidaklah sedahsyat yang diceritakan oleh Kitab Suci.

Namun dalam kenyataan, banyak kisah mukjizat dalam Kitab Suci yang tidak berhubungan dengan peristiwa alam. Perjanjian baru mengisahkan tentang penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus dan para murid-Nya dengan menggunakan kuasa dan nama Allah yang kudus. Maka kalau ditanyakan apakah kisah tersebut benar-benar terjadi, maka di sini yang disingkirkan bukan hanya kemungkinan intervensi Ilahi, tetapi juga kejadian itu sendiri. Kalau memang tidak ada penjelasan ilmiahnya, apakah kesimpulannya kejadian macam itu memang tidak pernah terjadi? Ternyata fakta berbica lain. Banyak orang yang menderita sakit dan tidak dapat disembuhkan menurut ilmu kedokteran, ternyata mengalami kesembuhan.

Akhirnya orang akan berhadapan dengan kenyataan empiris bahwa kejadian-kejadian ajaib memang pernah terjadi. Artinya, "yang ajaib" bisa sungguh terjadi secara historis dalam ruang dan waktu di mana manusia ini hidup dan bergerak. Mukjizat bisa benar-benar terjadi. Craig A Evans mengatakan bahwa di antara kesalahan serius adalah “kegagalan untuk memperhitungkan perbuatan ajaib Yesus.” Karenanya perlu disayangkan kalau para peneliti memulai penelitiannya dengan membawa prinsip awal yang tak dapat dirubah bahwa “yang ajaib pasti tidak historis”.

Prinsip semacam itu mengakibatkan proses demirakulisasi (Latin miraculum; Inggris miracle) Yesus, yaitu sebuah proses pengingkaran terhadap apa yang sebenarnya begitu jelas terlihat meskipun tidak bisa dijelaskan dengan akal budi. Karenanya menjadi jelas, bahwa Yesus yang benar-benar ada secara historis harus dijelaskan dengan menghilangkan semua hal ajaib dan mukjizat sebagaimana yang ada dalam Kitab Suci. Tentu hal ini akan membuat sang peneliti mencomoti data-data yang terlepas dari konteksnya. Dan di antara peneliti dengan system kerja semacam ini adalah James D. Tabor dalam meracik bukunya The Jesus Dynasty. Sebagai contoh adalah penjelasannya tentang pekerjaan Yesus sebelum tampil ke publik Galilea. Pekerjaan itu dalam Injil disebut dengan tekton. Tetapi tabor mencomot tukang bangunan sebagai arti dari kata tekton yang sebenarnya memiliki banyak arti. Ia mencomot teks terlepas dari konteks begitu saja.

Kedua adalah usaha tabor dalam merekonstruksi tahap perjalanan Yesus dan para murid-Nya ke Jerusalem. Ia menggabungkan data dan loncatan kreatif berdasarkan informasi Injil. Namun ada satu hal penting yang ia tinggalkan. Dalam Injil Yohanes bab 11 dikisahkan bahwa di sebuah kampung yang bernama Betania, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematiannya. Tentu kisah ini berada di luar pembuktian mukjizat berdasarkan gejala alam. Tabor ingin membuktikan bahwa tubuh Yesus telah dipindahkan oleh para pengikut-Nya dari tempat semula Ia dimakamkan setelah penyaliban, ke tempat yang baru. Untuk maksud itu Tabor berani membuat pernyataan bahwa Ia telah menemukan makam Yesus dan keluarga-Nya.

Karena itu, temuan-temuan arkeologis baru-baru ini harus ditempatkan dalam kerangka demirakulisasi para peneliti. . Film dokumenter The Lost Tomb of Jesus dengan produser pelaksana James Cameron, buku karangan Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino The Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence that Could Change History, dan buku James D Tabor The Jesus Dynasty adalah contoh-contoh dari proses demirakulisasi ini. Prinsip-prindip tersebut dengan pasti akan menolak bukti sejarah yang sampai sekarang dipercaya bahwa “yang ajaib adalah benar-benar terjadi”. Hal ini berlaku juga bagi kebangkitan Yesus. Peristiwa itu adalah hal ajaib. Dan bagi para peneliti ini, kejadian ini tidaklah historis, dan yang historis adalah bahwa Yesus tidak bangkit dengan seluruh tubuhnya. Karenanya, penemuan makam Talpiot dijadikan bukti kuat oleh mereka.

Padahal, kalau memang ingin setia pada data-data empiris, kesimpulan yang muncul adalah: (1) Ada sebuah kompleks makam keluarga tempat ditemukan 10 osuarium; satu dari osuarium itu telah hilang; enam dari yang masih ada memiliki inskripsi nama-nama yang sangat umum; (2) Kesatuan nama-nama umum itu hanya terjadi satu kali dari antara 600 kasus; (3) Yesus anak Yusuf dan Maria Magdalena bukan saudara-saudara sekandung.

Jika kesimpulannya lebih dari itu, maka sudah barang tentu kesimpulan tersebut hanya sebuah hipotesa belaka. Namun Tabor justru membuat hipotesa sebagai kesimpulan. Ia berkesimpulan bahwa osuarium yang berinskripsi "Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus" adalah satu osuarium yang hilang dari makam keluarga di Talpiot itu. Demikian pula hipotesis yang lain, "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dan hipotesis lanjutannya yang berupa “Yudas anak Yesus” ia katakan sebagai hasil perkawinan dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena".

Dari semua kesimpulan yang ia buat, kesimpulan bahwa tulisan dalam osuarium “Yesus anak Yusuf” adalah Yesus yang lahir di Nazareth yang dikisahkan oleh Injil merupakan kesimpulan yang paling berani. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa “Bambang anak Suharto” dalam sebuah kuburan di Indonesia adalah Bambang anak Suharto penguasa Indonesia. Padahal sangat mungkin sekali bahwa yang dimaksud dengan tulisan “Bambang anak Suharto” itu adalah seorang petani di Muria yang kebetulan bernama sama dengan nama seorang penguasa di Indoesia.

Karena itu, masih sangat dini kalau sampai pada kesimpulan semacam itu. Juga terlalu awal kalau sampai percaya bahwa kebangkitan Yesus dari Nazaret adalah sebuah metafora belaka, bukan persitiwa historis; sebuah metafora yang bergerak hanya dalam ranah subyektif, bukan obyektif. Maka, pilihannya kembali antara prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis".


* Diringkas dari tulisan Iones Rahmat, Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, yang dimuat dalam rubrik Bentara Kompas tanggal 5 April 2007 dan tulisan Deshi Ramadhani, Historisasi Makam Kosong Yesus, dalam rubrik Bentara Kompas tanggal 5 Mei 2007.



Friday, October 23, 2009

Hermeneutika Ganda dalam Ilmu-ilmu Sosial

Pada mulanya para pemikir, baik yang berkecimpung dalam ilmu yang sekarang lazim disebut sebagai ilmu alam maupun ilmu sosial, disebut sebagai filosof. Bahkan tidak sedikit dari para pemikir itu yang menguasai kedua-duanya, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dan sampai pada pertengahan abad ke-19, ilmu-ilmu alam semacam matematika, fisika, dan astronomi, lazim disebut sebagai ‘filsafat alam’ (natural philosophy).Sedangkan ilmu-ilmu sosial semacam hukum, sosiologi, dan agama, disebut sebagai ‘filsafat moral’ (moral philosophy). Hanya pada akhir abad ke-19 bidang kajian filsafat moral berkembang menjadi cabang-cabang ilmu yang semakin beragam semacam sosiologi, ekonomi, antropologi, geografi, dsb. Hal inilah yang menjelaskan mengapa perintis ilmu-ilmu sosial tersebut adalah para filosof moral semacam Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Adam Smith, dll. Aristoteles misalanya, ia adalah pakar dalam bidang ekonomi, politik, sosiologi, logika, etika, dll.

Pemisahan antara ilmu-ilmu alam dari ilmu-ilmu sosial memang tidak terelakkan dan dapat dipahami lantaran objek kajian dari keduanaya memang berbeda. Kalau yang pertama menjadiakan alam sebagai objek kajiannya, maka yang dijadikan sebagai objek kajian bagi yang kedua adalah realitas sosial. Karena perbedaan objek kajian ini, maka hubungan antara seorang ilmuwan alam dengan objek yg ia kaji jg berbeda dari hubungan seorang ilmuwan sosial dengan objek kajiannya. Hubungan bagi yang pertama disebut dengan hermeneutika tunggal, sedangakan hubungan pada yang kedua disebut dengan hermeneutika ganda.

Hermeneutika ganda (double hermeneutic) berarti adanya sebuah arus timbal balik antara dunia sosial yg diperbuat oleh khalayak dan wacana ilmiah yg dilakukan oleh ilmuwan sosial. Hal ini lantaran objek kajian ilmu-ilmu sosial yang berupa tindakan dan praktek sosial selalu memberi umpan balik terhadap proses sebuah kajian. Di sini, pengamat tidak berada di luar objek kajian, akan tetapi ia sendiri telah menjadi bagian dari objek kajiannya. Yang terjadi tidak hanya si peneliti yang mengkaji suatu proses sosial tertentu, akan tetapi realitas sosial tersebut ikut memengaruhi si pengkaji dan jalannya penelitian.

Maka yang terjadi adalah mirip dengan permainan petak umpet. Seorang anak yang kebagian peran untuk mencari teman-temannya akan berpikir kira-kira berada di mana para lawan main bermainnya. Begitu juga teman-temannya akan berpikir juga, kira-kira si pencari ini akan mencari mereka di mana, sehingga mereka dapat menghidar. Maka ketika data, konsep, dan teori ilmu-ilmu sosial terlihat lenyap dan kedengaran usang, itu lantaran temuan dan teori-teori itu sudah atau sedang menjadi unsur integral dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, dan karena sudah menjadi bagian dari insting dan praktek sehari-hari.

Hubungan timbal balik di atas tidak terjadi dalam kajian ilmu-ilmu alam, di mana hanya terjadi hubungan satu arah, yaitu dari ilmuwan ke objek kajiannya, dan tidak sebaliknya. Yang terjadi hanyalah hermeneutika tunggal (single hermeneutic). Ambillah contoh seorang peneliti yang mengamati cuaca. Tidak akan terjadi hubungan timbal balik antara subjek (peneliti) dan objek (cuaca). Bagaimanapun keadaan si subjek, baik ia sedang marah, benci, gembira, atau sedih, tidak akan berpengaruh terhadap cuaca yang ia amati. Cuaca akan tetap sebagaimana mestinya lepas dari suka atau tidak sukanya peneliti. Singkatnya, yang terjadi hanyalah peneliti yang mengawasi cuaca, tidak termasuk sebaliknya: cuaca yang ikut ‘mengawasi’ peneliti.

Dalam realitas sosial, contoh dari hermeneutika ganda adalah khidupan keagamaan. Konkretnya sbb: praktek spiritualitas → agama Yahudi → praktek spiritualitas → agama Kristen → praktek spiritualitas → agama Islam, dst. Bahwa telah terjadi sebuah praktek dalam konteks tertentu atas sebuah kepercayaan sehingga melahirkan agama Yahudi, dan dari agama Yahudi ini muncullah praktek-praktek keagamaan yang akhirnya melahirkan agama Kristen. Dan dari agama Kristen ini lalu muncul praktek-praktek keagamaan yang nantinya menumbuhkan agama Islam. Dan dari agama Islam akan muncul praktek-praktek yang nantinya akan melahirkan aliran-aliran yang baru. Begitu seterusnya.

Dari Eksistensi ke Esensi

Dalam proses analisis ilmu-ilmu sosial, pertanyaan tentang ‘siapa manusia?’ sama pentingnya seperti dalam filsafat. Pengetahuan akan esensi manusia ini penting karena dengan mengetahui hakekatnya maka tindakan manusia dan gejala penyebab dan akibatnya akan mudah terpahami. Hanya saja dalam ilmu-ilmu sosial, persoalan tentang esensi manusia ini biasanya baru muncul setelah pengamatan tentang eksistensi manusia.

Berbeda dari penjelasan filsafat yang biasanya bermula dari esensi, penjelasan dalam ilmu-ilmu sosial biasanya bermula dari eksistensi. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu-ilmu sosial memiliki objek kajian yang sudah jelas, yaitu realitas sosial. Realitas sosial adalah segala jenis gejala yang kemunclan, keterjadian, dan konsekuensinya terkait denganfakta tindakan manusia (human action) dalam hubungannya dengan tindakan-tindakan manusia lain.

Dengan demikian maka objek kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah sebuah ‘ruang kosong’ atau pemikiran yang jauh atau tidak berdasar pada realitas. Objek kajian ilmu-ilmu sosial selalu berupa realitas sosial yang menunjuk pada tindakan dan interaksi manusia. Karena itu, objek kajian ini selalu mengacu pada konteks.

Karena objek kajian yang berupa realitas sosial itu, maka yang biasanya akan muncul pertama kali adalah eksistensi dari manusia. Manusia pertama kali tidak dijelaskan bagaimana hakekatnya, akan tetapi dijelaskan bagaimana gambaran dan keadaannya terlebih dahulu. Dan bermula dari pengetahuan tentang eksistensi, baru diteruskan ke pertanyaan tentang esensi. Maka pertanyaan tentang esensi (kodrat manusia) muncul dalam rangka sebagai usaha untuk memahami eksistensi (kondisi hidup).

Contoh dari pengamatan tentang eksistensi manusia yang terjadi lebih dulu dari pada persoalan esensi adalah kajian spiritualitas pada manusia. Ilmu-ilmu sosial terlebih dahulu mengamati realitas sosial yang ada sebagai objek kajiannya, semisal orang-orang yang beribadah di masjid, gereja, pura, dll. Dari realitas sosial yang ada itu baru dapat ditarik sebuah asumsi tentang manusia, semisal manusia adalah makhluk spiritual. Dan dari situ lalu muncul ilmu-ilmu agama.

Hanya saja kerap kali terjadi pereduksian esensi manusia menjadi makhluk yang esensinya ada pada hal tertentu saja. Padahal manusia adalah ‘taman keragaman’, dimana serentak ia adalah makhluk religius, makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk ruang, dan seterusnya. Manusia pastilah makhluk spiritual, akan tetapi makluk spiritual bukanlah keseluruhan manusia. Sebagaimana juga manusia pasti makhluk ekonomi, akan tetapi makhluk ekonomi pasti bukanlah keseluruhan manusia. Karena itu klaim bahwa manusia hanyalah makhluk spiritual, dengan menjadikan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia dikembalikan kepada sisi spiritual – apalagi mengembalikan semuanya pada ajaran agama atau kepercayaan tertentu - , jelas merupakan penciutan kodrat manusia. Klaim semacam itu jelas menyesatkan kita. Namun itulah yang kerap terjadi di sekeliling kita.

Pustaka:

Herry-Priyono, B, Anthony Giddens, Suatu Pengantar, Jakarta: KPG, 2002.
______________, Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
______________, Dektat kuliah mk. Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, STF Driyarkara 2009.



Saturday, October 10, 2009

Teori Pembenaran

I. Pendahuluan

Sebagaimana ciri khas dari setiap tilikan filosofis yang selalu mencari pertanggungjawaban rasional atas setiap klaimnya, apa yang terpapar dalam tulisan ini juga merupakan uraian, meski hanya singkat, bagaimana sebuah klaim kebenaran pengetahuan itu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan akal budi. Kami tidak menyinggung bagamaimana pengetahuan itu diperoleh, tetapi, sebagaimana telah dijelaskan, hanya memfokuskan diri pada teori-teori yang ada dalam epistemologi dalam memberikan pertanggungjawaban atas klaim suatu kebenaran.Dengan perkataan lain, bagaimana pembenaran pengetahuan itu dilakukan. Untuk lebih jelasnya, teori-teori pembenaran yang dimaksud itu adalah sebagai berikut.

II. Fondasionalisme

Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Jenis pengetahuan yang harus memiliki dasar sebagai pembenarannya ini dalam sejarah filsafat sudah dapat kita temui pada Plato dengan ideanya dan Aristoteles dengan materi dan bentuknya. Adapun fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini bisa berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi.

Para penganut teori ini mebedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan. Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan. Sedangkan kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Sebagai contoh, dengan keyakinan bahwa bilangan “positif kali positif adalah positif” sebagai keyakinan dasar, maka semua bilangan yang mengikuti pola “positif kali positif” pada akhirnya harus sesuai dengan keyakinan dasar tersebut, yaitu berhasil akhir positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.

Dengan demikian, pembenaran kebenaran berstruktur hierarkis, dimana kepercayaan dasar sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan simpulan hanya dapat dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Pembenaran kebenaran terjadi secara searah. Dengan kata lain, pembenaran kebenaran bersifat asimetris.

Namun, mengapa pembenaran sebuah keyakinan harus dikembalikan kepada sebuah kepercayaan dasar? Hal itu bagi kalangan fondasionalis adalah untuk (1) menghindarai argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite regress argument). Memang ada sejumlah opsi bagi pendasaran kebenaran ini. Pertama, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dimana B sendiri tidak jelas kebenarannya. Kedua, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai tak terhingga. Ketiga, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar pada kepercayaan A. Keempat, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B yang sudah jelas dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi. Bagi kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada keyakinan lain lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua. Begitu juga dengan pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah ligkaran setan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Adapaun yang pertama sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan karena ketidakjelasannya.

Dengan demikian, kalangan fondasionalis ingin (2) menghindari skeptisisme dalam pengetahuan. Dengan adanya kepercayaan dasar sebagi fondasi yang tidak lagi memerlukan pembenaran dari yang lain, sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian dalam pengetahuan dapat tercapai.

Dalam perkembangannya, teori pembenaran ini dapat kita bagi menjadi dua bagian. Yaitu fondasionalisme versi ketat dan fondasionalisme versi longgar atau moderat. Yang pertama menuntut agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi pembenaran pengetahuan merupakan kepercayaan yang tak dapat keliru, tak dapat diragukan, dan tak dapat dikoreksi lagi. Versi ketat ini juga menuntut agar pembenaran yang merujuk pada kepercayaan dasar itu berdasarkan pada suatu implikasi logis atau induksi dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh dari fondasionalisme versi ketat ini adalah Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.

Kalangan positivis logis misalnya, menyatakan bahwa hanya keyakinan yang berbentuk kalimat analitis dan pernyataan yang dapat diverifikasi yang menunjukkan kebenaran. Selain keduanya adalah pernyataan yang tidak rasional. Demikian juga dengan Descartes. Kepercayaan adanya orang lain dan keberadaan dunia luar adalah kepercayaan simpulan dari kepercayaan akan keberadaan dirinya yang meragukan segala sesuatu, sebagai gagasan yang begitu jelas dan terpilah-pilah dalam pikirannya.

Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi fondasi pembenaran pengetahuan kalau secara intrinsik probabilitas atau kementakan kebenarannya tinggi. Ia tidak menuntut agar kepercayaan dasar harus tak dapat keliru dan tak dapat diragukan. Aliran ini juga tidak menuntut adanya implikasi logis atau induksi penuh. Ia mencukupkan diri pada penjelasan terbaik yang dapat diberikan berdasarkan kepercayaan dasar. Hampir sebagian besar fondasionalis kontemporer mengikuti jenis fondasionalisme ini.

Tanggapan

Fondasionalisme adalah teori pembenaran paling terkenal dalam epistemologi. Hal itu tidak berlebihan karena teori ini memang cukup menarik lantaran penjangkaran empirisnya pada pengalaman, baik indrawi maupun introspektif, sebagai sumber informasi pengetahuan kita tentang dunia ini dan pembenarannya. Sebagaimana diketahui, indra adalah satu-satunya pintu gerbang bagi pemerolehan informasi dari luar diri kita. Di samping itu, intuitif terasa paling dekat dengan pengertian umum tentang pertanggungjawaban klaim kebenaran pengetahuan. Karena kalau biacara tentang pertanggungjawaban kebenaran pengetahuan, biasanya orang akan mencari alasan yang menjadi sumber dari pengetahuan tersebut. Dan dasar, sebagaimana lazim diketahui, memang tidak lagi bersumber pada dasar yang lain. Dengan demikian teori ini terlihat cocok.

Di samping menarik, teori pembenaran ini juga tidak bisa lepas dari kritik. Di antaranya adalah, pertama, fondasionalisme versi ketat dengan berbagai tuntutannya tersebut hampir mustahil untuk terpenuhi. Kalau tuntutan-tuntutan tersebut tetap dipaksakan, maka apa yang dapat diklaim sebagai pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Dengan demikian, kepercayaan-kepercayaan lain yang didasarkan atasnya menjadi amat sedikit dan orang menjadi skeptis terhadap kenyataan dari luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan ingatan, induksi, dll. Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat ternyata kurang memberi pendasaran yang kuat bagi klaim kebenaran pengetahuan yang kita perlukan. Dengan demikian ia menjadi mirip dengan koherentisme moderat.

Kedua, pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan dalam kenyataan juga sulit. Karena apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar, kebenarannya tidak selalu sudah jelas dengan sendirinya bagi setiap orang. Ukuran sebuah kepercayaan untuk dapat dikatakan sebagai kepercayaan dasar tidaklah jelas. Di samping itu, fondasi bagi tiap fondasionalis juga tidak satu dan sama. Apa yang diklaim oleh seorang fondasionalis sebagai kepercayaan dasar yang benar dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi, tidak selalu merupakan kepercayaan dasar pula bagi fondasionalis yang lain. Dan dalam kenyataan, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar ternyata juga merupakan simpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Ketiga, argumen penarikan mundur terus menerus (infinite regress argument) bukanlah argumen yang konklusif, karena argumen tersebut hanya mengandaikan dua asumsi saja; yaitu berhenti pada suatu kepercayaan dasar atau tidak berakhir sama sekali. Dan fondasionalisme mengambil yang pertama. Padahal masih ada kemungkinan yang lain, yaitu alasan atau dasar yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain tanpa jatuh ke lingkaran setan, sebagaimana dalam koherentisme.

III. Koherentisme

Koherentisme berasal dari bahasa Latin yaitu cohaerere yang berarti melekat, tetep menyatu, dan bersatu. Menurut teori ini, ukuran kebenaran adalah hamorni internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan kata lain, proposisi baru dikatakan benar kalau proposisi itu dapat dimasukkan ke dalam suatu sistem tanpa mengacaukan keharmonisan internal sistem tersebut. Menjadi benar berarti menjadi unsur dari suatu sistem yang tidak berkontradiksi. Koherentisme merupakan semua kepercayaan yang mempunyai kedudukan epistemik yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.

Kendati koherentisme tidak didasarkan atas suatu fondasi yang sudah jelas dengan sendirinya dan kebenarannya tak dapat diragukan lagi, suatu kepercayaan sudah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.

Gambaran dasar bagi teori pembenaran koherentisme adalah sebuah sistem jaringan yang terbuat dan memperoleh kekuatannya dari berbagai kepercayaan yang saling mendukung. Sasaran pengujian atau pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenarannya bukan kepercayaan masing-masing secara individu, tetapi seluruh sistem jaringan kepercayaan.

Dengan demikian, pembenaran epistemik merupakan suatu pengertian holistik. Pengertian holistik dalam arti sebagai sesuatu yang saling berkaitan, atau suatu bentuk lingkaran yang berjalan terus-menerus. Teori pembenaran koherentisme erat terkait dengan teori kebenaran koheren atau padangan tentang kenyataan yang disebut idealisme.

Filsuf idealis abad ke-19 seperti Hegel dan Bradley adalah penganut teori pembenaran koherentisme. Mereka termasuk penganut koherentisme garis keras. Keduanya berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren kalau secara logis saling mengimplikasikan. Sedangkan filsuf Barat kontemper yang menganut koherentisme misalnya Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour. Mereka termasuk penganut koherentisme lunak. Mereka berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren apabila komponen kepercayaan yang membentuk sistem jaringan kepercayaan itu konsisten satu sama lain, namun tidak perlu harus sampai secara logis saling mengimplikasikan. Semakin banyak kepercayaan yang menjadi komponen sistem jaringan kepercayaan itu dapat saling mengandiakan, semakin tinggi tingkat koherensi sistem tersebut. Dan semakin banyak komponen kepercayaan yang tak bisa dijelaskan berdasarkan komponen lain dalam sistem, semakin rendah pula tingkat koherensi sistem tersebut.

Koherentisme Linear

Koherentisme dapat dibedakan menjadi dua, linear dan holistik. Yang pertama merupakan suatu kepercayaan yang membentuk lingkaran pembenaran yang penarikannya mundur terus-menerus. Misalnya kepercayaan A1 mendapat pembenaran dari A2, dan A2 dari A3… Dan An sendiri mendapat pembenaran dari A1. Maka koherentisme linear membentuk suatu lingkaran pembenaran yang tampaknya tidak bisa menghindari kesulitan penarikan mundur terus menerus, karena tidak dapat menjelaskan, bagaimana hanya dengan bergerak dalam lingkaran pengandaian dapat memberi pembenaran sama sekali. Kalau A1 tidak memiliki jaminan epistemik pada dirinya sendiri, bagaimana keseluruhannya dapat memperoleh pembenaran epistemik? Inilah yang juga merupakan kelemahan dari koherentisme linear.

Koherensisme Holistik

Dijelaskan bahwa suatu kepercayaan tidak memperoleh pembenaran epistemik melulu dari kepercayaan lain, tetapi dengan memainkan peran penting dalam keseluruhan sistem kepercayaan. Koherentisme holistik ini tidak sama dengan fondasionalisme yang selalu melihat perlunya pembenaran sesuai dengan kepercayaan dasar, sehingga bersifat asimetris. Oleh karena itu, para penganut koherentisme umumnya (misalnya: Hegel dan Bradley; Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour) menolak koherentisme linear dan memeluk koherentisme holistik. Nah, dalam koherensisme holistik, kepercayaan yang dipersoalkan dasar pertanggungjawabannya ditempatkan dalam keseluruhan sistem kepercayaan yang berlaku dan dilihat apakah koheren dengannya atau tidak.

Dalam pandangan koherentisme, kepercayaan yang memerlukan pembenaran berhubungan secara simetris dan timbal balik dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dalam keseluruhan sistem. Kepercayaan A dapat saja mendukung B, dan kepercayaan B secara kompleks juga dapat mendukung A. Sebagai ilustrasi adalah apa yang terdapat dalam teka-teki silang.

Tanggapan

Setidaknya ada beberapa kritik klasik terhadap koherentisme. Pertama, argumen isolasi atau keberatan berdasarkan sistem tandingan. Artinya, teori koherentisme mengisolasi diri dari realitas yang sebenarnya. Suatu kepercayaan bisa koheren dengan kepercayaan yang lain tetapi belum tentu kompatibel dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teori ini juga tidak memadai karena pada dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana membedakan antara 2 sistem atau kepercayaan yang secara internal saling koheren tetapi inkompatibel satu sama lain. Keberatan kedua adalah karena tidak adanya masukan dari dunia luar. Koherentisme sendiri terdiri dari serangkaian kepercayaan yang saling berhubungan dan mendukung. Akan tetapi tidak ada satu ukuran yang pasti untuk menilai sejauh mana kepercayaan itu merujuk ke kenyataan yang sebenarnya di dunia luar.

Keberatan yang ketiga berdasarkan argumen pemunduran yang tak terbatas. Koherentisme menolak kepercayaan dasar. Bagi kaum koherentisme holistik, keseluruhan sistem kepercayaan seseorang adalah sumber pembenaran empiris baginya. Karena kepercayaan inilah mereka akan jatuh pada kelemahan yang berupa terus menerus mundur tanpa batas. Dan argumen yang keempat mempertanyakan keniscayaan perlunya koherensi dan konsistensi sebagai dasar pembenaran. Hal itu karena dalam situasi tertentu suatu kepercayaan itu dpat dibenarkan tanpa harus koheren dengan kepercayaan yang sebelumnya kita anggap sudah benar. Sedangkan terhadap keniscayaan konsistensi, Richard Foley menentang dengan mengatakan bahwa paradoks lotry menunjukkan bahwa seseorang dapat saja tidak konsisten karena memiliki dua kepercayaan yang berbeda satu sama lain dalam satu hal yang sama.

Namun, kaum kohenrentisme menjawab balik kritik yang dilontarkan kepadanya. Terhadap keberatan pertama, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak mengisolasi diri dari dunia luar. Koherentisme tidaklah berbeda dengan fondasionalisme. Hanya saja bagi yang terakhir ini, kepercayaan yang berdasar pengamatan indrawi dipandang sebagai kepercayaan dasar, sedangkan bagi koherentisme masih harus disesuaikan atau dikoherensikan dengan kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik dari adanya sistem tandingan, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak berpendapat bahwa masing-masing sistem itu sebagai benar. Secara ideal hanya ada satu sistem yang benar, hanya saja kita tidak tahu mana dari sistem-sistem itu yang benar. Karena itulah butuh pemeriksaan a la koherentisme.

Terhadap kritik tentang tidak adanya masukan dari duania luar, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak menyangkal dunia fisik di luar subjek. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, masukan dari dunia luar itu tetap masuk ke dalam diri subjek sesuai dengan cara pandang dan kerangka pikir yang telah ia punyai. Karena itu harus dibandingkan juga dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik penarikan argumen mundur terus-menerus, mereka memang tidak menyangkalnya. Dan manusia sebagai makhluk terbatas memang membutuhkan pendasaran yang jelas baginya. Akan tetapi, pendasaran itu sendiri akhirnya juga ditentukan oleh koheren tidaknya ia dengan kepercayaan yang lain dan sistem yang ada. Untuk keberatan yang keempat, penganut teori ini memandangnya hanya sebagai pengecualian. Karena teori ini, bagi mereka, sampai sekarang tetap dapat menjamin kebenaran.

IV. Internalisme

Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan dengan melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Motivasinya adalah bahwa manusia sebagai makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang ia percayai atau apa yang menjadi pendapatnya.

Sebagaimana dua teori pembenaran sebelumnya, internalisme juga dibagi menjadi dua, garis keras dan garis lunak. Internalisme garis keras meyakini bahwa pikiran manusia yang terlatih dengan baik dapat memiliki akses kognitif introspektif yang tak dapat keliru, sebagaimana yang diyakini oleh Plato dan Descartes. Sedangkan internalisme garis lunak berpandangan bahwa kendati mungkin orang tidak secara introspektif mempunyai akses kognitif yang tak dapat keliru, suatu kepercayaan yang memiliki alasan yang masuk akal bagi orang yang memiliki kondisi psikologis yang sehat, maka kepercayaan itu sudah memiliki pembenaran atau pertanggungjawaban rasional.

Namun demikian, para internalis dewasa ini hanya menuntut untuk dapat memberi alasan terbaik yang bisa tersedia bagi kita, entah dari perspektif fondasionalisme ataupun koherentisme. Internalisme menuntut adanya tanggung jawab dari subjek penahu untuk sungguh-sungguh berupaya mencari kebenaran. Motivasinya untuk dapat memberi pertanggungjawaban rasional atas kepercayaan yang dipegang adalah agar kepercayaan atau pendapat itu memang secara benar dan tepat menggambarkan kenyataan dunia sebagaimana adanya. Pertanggungjawaban rasional merupakan sarana untuk menemukan kebenaran. Hal ini analog dengan prinsip prima facie dalam tanggung jawab moral. Dimana secara epistemik kita juga wajib memaksimalkan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yang benar dan meminimalisasikan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yg salah.

Tanggapan

Kritik tajam terhadap teori pembenaran ini datang karena pandangan internalisme yang meyakini bahwa kita memiliki aspek introspektif langsung terhadap apa yang menjamin kebenaran suatu kepercayaan. Pertanyaannya, sungguhkah kita memiliki aspek introspektif langsung semacam itu? Sungguhkah apa yang kita yakini sebagai benar, secara objektif juga benar? Ternyata dalam kenyataan tidak selalu seperti itu. Banyak sekali apa yang kita yakini sebagai benar, ternyata adalah tidak benar.

V. Eksternalisme

Karena paham internalisme tidak menjamin kesahihan suatu klaim kebenaran, maka dibutuhkan suatu teori baru, yaitu eksternalisme. Perbedaan dari keduanya adalah bahwa paham internalisme lebih menekankan pada syarat-syarat psikologi internal dalam subyek penahu sebagai syarat pembenaran pengetahuan. Sedangkan paham eksternalisme lebih menekankan proses penyebaban dari faktor eksternal seperti dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan itu, berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui. Demikian juga lingkungan, sejarah, dan konteks sosial ikut menjadi bagian dari faktor penentu dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.

Salah satu bentuk dari paham eksternalisme adalah reliabilisme. Reliabilisme adalah pandangan bahwa suatu kepercayaan dapat dibenarkan kalau kepercayaan itu dihasilkan oleh suatu proses mengetahui yang dapat diandalkan. Misalnya saya mengatakan bahwa di depan saya terdapat sebuah pulpen berwarna biru. Pernyataan saya ini dapat dibenarkan kalau indra penglihatan saya dalam keadaan normal dan saya sendiri melihatnya.

Salah seorang epistemolog penganut paham eksternalisme adalah Alvin Goldman. Goldman membedakan adanya dua jenis proses kognitif; pertama, proses yang tergantung pada suatu kepercayaan. Misalnya; semua manusia dapat mati. Kedua, proses yang tak tergantung pada kepercayaan. Misalnya saya melihat hantu.

Suatu proses kognitif hanya dapat diandalkan kalau proses itu membawa ke kepercayaan yang benar. Karena keandalan atau reliabilitas proses kognitif sebagian ditentukan oleh lingkungan eksternal dimana kegiatan kognitif itu diandalkan, maka pembenaran epistemiknya dinamakan eksternalisme. Epistemolog lain yang menganut paham eksternalisme adalah Armstrong, Dretske, Sosa, dan Alvin Platinga. Dari kelima filsuf penganut eksternalisme ini, akan dipaparkan di sini pandangan Alvin Platinga tentang eksternalisme.

Tidak seperti yang lain, Platinga menolak paham reliabilisme karena paham ini dianggap belum mencukupi. Sebab bisa terjadi bahwa ada alternatif proses kognitif yang sama-sama wajar dan dapat diandalkan, tetapi membawa hasil pengetahuan yang berbeda. Misalnya dua orang diminta untuk meneliti suatu obyek yang sama. Setelah meneliti obyek yang sama itu dengan saksama, keduanya diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka masing-masing. Dan dalam presentasi itu ada kemungkinan bahwa laporan yang diberikan tidak sama. Dengan demikian terbukti bahwa proses kognitif yang wajar tidak menjamin bahwa pengetahuan yang dihasilkan selalu sapat dibenarkan. Apalagi sangat sulit untuk menentukan ukuran wajar dan tidaknya sebuah proses kognitif.

Sebagai pengganti reliabilisme, Platinga memfokuskan diri pada daya-daya kognitif yang berfungsi semestinya sesuai dengan desain atau rancang bangun daya kognitif tersebut dalam lingkungan yang sesuai. Dari pernyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bagi Platinga suatu kepercayaan terjamin kebenarannya bila di dalam kepercayaan itu tercakup tiga unsur pokok sebagai dasar penilaiannya. Ketiga unsur pokok itu yang pertama adalah adanya rancang bangun dari daya kognitif; kedua, berfungsinya daya-daya kognitif tersebut secara semestinya; ketiga, desain itu seharusnya desain yang baik yang mengarah kepada kebenaran. Dan kalau kita lihat, konsep desain dalam pemikiran Platinga ini bisa juga berarti rencana ilahi dalam menciptakan organ-organ tubuh manusia.

Tanggapan

Pandangan Platinga mengatakan bahwa kita telah didesain sedemikian rupa oleh sang pencipta sehingga dalam keadaan yang sesuai daya-daya kognitif kita berfungsi dengan semestinya. Pertanyaanya, sungguhkah daya-daya kognitif berfungsi semestinya seperti yang dipikirkan oleh Platinga? Tidak mungkinkah bahwa suatu sistem yang telah didesain dengan baik tetap tidak berfungsi semestinya? Adanya desain belum menjamin bahwa akan selalu berfungsi dengan semestinya. Di samping itu, kalau kita memang didesain oleh Sang Maha Sempurna dengan baik, mengapa proses kognitif kita tidak berfungsi lebih baik?

Persoalan kedua adalah menyangkut hubungan antara desain dengan fungsi semestinya. Apakah rancang desain merupakan suatu syarat mutlak untuk adanya jaminan bahwa berfungsi semestinya? Platinga mendefinisikan fungsi semestinya sebagai erat terkait dengan rancang desain yang secara berhasil diarahkan kepada kebenaran. Padahal adanya rancang desain bukanlah syarat mutlak untuk berfungsi semestinya proses kognitif kita. Bisa saja terjadi bahwa proses kognitif befungsi dengan baik, padahal ia tidak didesain dari awal.

Persoalan ketiga yang lebih mendasar adalah penolakan Platinga atas internalisme. Platinga menolak internalisme karena paham deontologisme epistemologi yang ada di dalamnya, yang mewajibkan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran pengetahuan kita. Padahal bagi kaum internalis, paham internalisme sendiri pertama-tama berarti suatu pembenaran subyektif. Artinya, subyek yang membuat klaim kebenaran sendiri sekurang-kurangnya dapat menjawab secara masuk akal bila ditanya tentang alsan mengapa ia percaya apa yang ia percayai. Karena dalam kenyataan kita mempunyai kewajiban prima facie untuk memeriksa bukti-bukti yang tersedia pada waktu yang tepat dan mempertanggungjawabkannya.

VI. Kesimpulan

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa masing-masing teori ternyata mengandung kelemahannya sendiri-sendiri, yang meskipun setiap teori berusaha memperbaiki teori yang muncul sebelumnya, kelemahan tetap masih ada atau bahkan muncul kelemahan yang baru. Hal ini membuat seorang epistemolog seperti Susan Haack berusaha untuk mengambil jalan tengah, dengan memadukan beberapa teori yang telah ada. Ia yakin bahwa teori pembenaran yang memadai haruslah berupa perpaduan antara fondasionalisme dan koherentisme. Sebagaimana telah diuraikan, fondasionalisme mengklaim adanya pengetahuan dasar yang benar dengan sendirinya. Bagi Haack, pengetahuan semacam itu hanyalah mitos belaka. Karena itu koherentisme menjadi diperlukan dan tak dapat diabaikan Namun hanya dengan menggunakan koherentisme murni juga tidak memadai, karena mengabaikan perlunya basis empiris pengalaman sebagai basis kenyataan.

Apalagi fondasionalisme versi ketat, yang menuntut kepercayaan dasar sebagai benar dengan sendirinya dan tidak dapat salah sama sekali, terasa mustahil untuk diupayakan. Demikian juga koherentisme versi ketat yang menuntut adanya koherensi dan implikasi logis dari setiap kepercayaan juga sulit terpenuhi.

Teori perpaduan yang dikemukakan Hacck ini ia namakan dengan foundherentisme. Ia menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional kalau ia memiliki evidensi yang mengindikasikan kebenarannya. Unsur fondasionalisme yang mau ia pertahankan adalah perlunya pendasaran objektif yang baru memadai kalau sunguh mengindikasikan kebenaran. Sedangkan unsur fondasionalisme yang mau ia tolak adalah adanya kepercayaan dasar yang kebenarannya tidak dapat dikoreksi lagi karena sudah benar dengan sendirinya. Adapun aspek koherentisme yang mau ia pertahankan adalah adanya dukungan koherensi antara kepercayaan yang mau dibenarkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Bisa dikatakan, teori Hacck adalah gabungan antara fondasionalisme moderat dengan koherentisme.

Dengan demikian, teori pembenaran yang memadai juga merupakan gabungan antara internalisme dan eksternalisme. Dengan internalisme, subjek tetap memliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan klaim kebenarannya. Subjek harus tahu apa yang ia ketahui dengan mampu memberi alasan rasional atas klaim kebenarannya. Dan hal itu disempurnakan dengan eksternalisme yang menekankan pentingnya mekanisme proses kognitif yang dapat diandalkan.

Namun demikian, usulan Hacck dengan foundherentismenya juga tidak menyelesaikan masalah. Teori perpaduan yang ia usulkan justru menjadi semakin tidak jelas. Bagaimana bisa terwujud suatu pembenaran yang menuntut suatu kepercayaan di satu pihak harus memiliki dasar, tetapi di pihak lain harus juga koheren dengan yang lain? Karena kalau sudah memiliki dasar yang kokoh, maka ia tidak lagi memerlukan koherensi dengan yang lain. Demikian karena, kalau ia masih memerlukan koherensi dengan yang lain, maka otomatis status dasar yang kokoh menjadi hilang, lantaran ia meskipun diklaim sebagai fondasi tetap relatif dengan yang lain. Dan contoh teka-teki silang yang ia ajukan juga tidak pas dengan teori foundherentismenya itu. Karena masing-masing lajur dalam teka-teki silang tidak memiliki dasar sendiri, namun ia hanya benar karena koherensinya dengan yang lain. Artinya, tidak ada unsur fondasionalismenya di situ.

Di samping itu, dengan foundherentisme, pengetahuan yang benar justru menjadi semakin sedikit, karena syarat untuk mencapainya semakin dipersempit lagi lantaran harus sesuai dengan syarat-sayarat dari dua teori yang dipadukan, tidak hanya salah satu teori saja. Padahal itulah yang mau ia kritik dari masing-masing teori. Dengan demikian, ia jatuh pada yang apa yang ia sendiri mau mengkritiknya.

VII. Pustaka

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
K. Moser, K (ed), The Oxford Handbook of Epistemology,…………………………………
Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.



Sunday, October 4, 2009

Subjektivitas dan Objektivitas dalam Pengkajian Sejarah

Di antara pertanyaan mendasar yang muncul ketika kita membaca sejarah adalah apakah sejarah yang kita pelajari dan baca itu memang objektif, atau ia tidak lebih dari gambaran penulis yang telah dipengaruhi oleh berbagai macam nilai? Tulisan ini akan menghadirkan perdebatan seputar masalah subjektivitas dan objektivitas dalam pengkajian sejarah, serta jalan tengah yang diusulkan bagi pertentangan tersebut.Adapaun tanggapan saya – kalau memang ada – atas gagasan-gagasan tersebut, untuk tidak memperpanjang tulisan serta untuk memudahkan alur pembahasan, saya letakkan di akhir masing-masing gagasan dengan kalimat yang dicetak miring.

Subjektivitas dan objektivitas

Pengkajian sejarah menjadi subjektif ketika subjek yang tahu, yaitu sejarawan, ikut hadir di dalamnya. Dan pengkajian menjadi objektif ketika hanya objek penulisan sejarah yang dapat diamati. Subjektivitas ini terjadi, di antaranya, ketika sejarawan membiarkan keyakinan politik dan etisnya ikut berperan serta. Dengan kata lain, ketika nilai-nilai yang dianutnya turut memainkan peran dalam proses pengkajian sejarah. Subjektivitas juga terjadi ketika sejarawan menghadirkan gaya penulisan atau pendapat-pendapatnya yang benar atau tidak benar secara ilmiah.

Kesadaran akan merasuknya nilai-nilai dalam proses penulisan sejarah oleh para sejarawan ini setidaknya sudah muncul di abad ke-16 lewat tulisan Francesco Patrizi. Meski begitu, mereka sepakat bahwa penulisan sejarah yang objektif harus selalu diusahakan. Namun ideal ini tidak berlaku untuk mazhab Prusia di Jerman. Von Sybel dan H. Von Treitshke, dua orang penganut mazhab ini, ingin menjadikan cita-cita politik sebagai pedoman dalam penulisan sejarah. Demikian juga bagi aliran presentisme di Amerika tahun 1920-an. Mereka ingin menulis sejarah yang terilhami oleh “present needs and interest”, yaitu kepentingan politik dewasa ini. Sejarawan harus mampu untuk ikut memecahkan problem-problem masa kini. Demikian juga bagi kalangan marxis. Objektivitas tidak usah diusahakan karena ia sudah merupakan nilai bagi sejarawan dalam penelitiannya.

Tanggapan untuk mereka adalah, bahwa kita menjadi tidak akan mungkin untuk mengetahui kejadian yang “sebenarnya”. Bahkan alur besar cerita yang ada bisa menjadi hilang demi kepentingan sejarawan, yang belum tentu benar. Hal itu menunjukkan bahwa objektivitas memang tidak mudah dicapai. Sehingga pertanyaannya adalah apakah penulisan sejarah yang objektif pada prinsipnya mungkin? Bagi subjektivis, hal itu tidak mungkin. Sedangkan bagi objektivis, hal itu tetap mungkin.

Argumen subjektivitas

(a) Alasan induksi

Menurut G. Myrdal, jika telaah hisotris t1, t2,dan seterusnya bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam, masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif. Namun Myrdal menandaskan bahwa sejarawan harus menyadari nilai-nilai dalam penulisannya. Pendapat ini lemah karena nilai-nilai adalah suatu arus yang kita berada dan ikut berpartisipasi di dalamnya dalam setiap kegiatan memahami, sehingga kita tidak menyadarinya, sebagaimana diutarakan oleh Gadamer. Sangat sulit membedakan nilai dari kebenaran, karena nilai seringkali masuk dalam penulisan sejarah dengan berkedok sebagai kebenaran.

(b) Alasan relativisme

Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, (a) masa silam sendiri, (b) bekas yang tertinggal dari masa silam, dan (c) penggambaran kita terhadap masa silam. Peralihan dari (a) ke (b) tentu subjektif, karena ia adalah hasil penguraian penulis masa itu terhadap apa yang ia anggap perlu untuk ditulis. Dan pada peralihan dari (b) ke (c), subjektivitas itu menjadi semakin jelas dalam tiga hal. Pertama, adalah yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan. Kedua adalah pengaruh kelompok sosial dimana ia berada, yang sulit baginya untuk dapat lepas darinya. Namun dengan mawas diri dan membandingkan tulisannya dengan tulisan sejarawan berhaluan lain, ia dapat menhilangkan subjiketivitas ini. Meski begitu, subjektivitas ini tetap tidak hilang, maksimal hanya diminimalisir. Dan yang tidak dapat dieliminir adalah yang ketiga, subjektivitas waktu. Sudah pasti bahwa sejarawan adalah anak zaman yang menerima nilai-nilai yang dianut oleh zamannya.

Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa kelas sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat sejarah spekulatif yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan konsepnya meskipun hal itu tidak rasional. Tanggapan: sebenarnya tiga macam subjektivitastersebut tidak hanya terdapat pada peralihan dari (b) ke (c), namun juga terdapat dalam peralihan dari (a) ke (b).

(c) Alasan bahasa

Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang dihasilkan bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung penilaian itulah kejadian-kejadian yang “mendebarkan” dapat disusun. Demikian juga bagi A.R. Louch. Ia mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali masa silam. Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dsb. dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam. Dengna kata-kata itu, muncul dalam diri kita perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika menuliskannya. Tanggapan: siapa yang dapat menjamin bahwa perasaan kita akan sama dengan perasaan penulis ketika menuliskannya? Perasaan adalah masalah hati yang tidak seorangpun mengetahuinya.

(d) Alasan idealistis

Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis pun merupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.

(e) Alasan marxis

Bagi penganut paham ini, tidak mungkin memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Dan kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumus sosiologis yang objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.

Argumen objektivitas

Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual dan tidak esensial, sehingga kalau objektivitas dalam sains adalah mungkin, maka dalam sejarah pun juga mungkin.

(a) Memilih objek penelitian.

Meskipun dalam memilih bahan yang dijadikan dalam pengkajian sejarah seorang sejarawan dipengaruhi oleh nilai-nilai subjektifnya, hal itu tidak lantas membuat hasilnya juga subjektif. Seperti seorang ahli fisika yang punya minat terhadap gejala tertentu, tidak lantas membuat hasil penelitiannya subjektif. Namun apakah objek fisika yang dapat diindra itu sama dengan realitas sejarah yang banyak dari gejala-gejalanya tidak dapat diindra?

(b) “Wertung” dan “Wertbeziehung”

Dalam argumen ini, kita perlu membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.

(c) Alasan seleksi

Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya.

Adapaun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada suatu titik dalam penelitiannya dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab revolusi perancis kita tidak harus melacak sebabnya sampai pada masa Bapak Adam. Sekali lagi, sejarah bukanlah sesuatu yang statis yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya. Siapa yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian tertentu?

(d) Alasan antiskeptisisme atau relativisme

Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan. Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan. Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin. Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada di dalamnya, sehingga tidak disadari.

(e) Alasan sebab musabab

Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?

(f) Alasan propaganda

A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya. Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin.
Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya. Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama, penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.

(g) Alasan analogi

Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga muncullah Einstein dengan hukum relativitasnya.

Jalan tengah

(a) Walsh dan Danto

Walsh dengan teori perpektivistisnya mengatakan bahwa perbedaan antar sejarawan adalah wajar. Ada banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengkaji sejarah. Sehingga mereka dapat menggunakannya dari mana mereka suka. Revolusi Perancis dapat didekati dari sudut pandang ekonomis, politis, dsb. Dengan demikian tidak ada masalah dengan perbedaan itu, asal tidak dengan pendekatan yang sama menghasilkan hasil yang berbeda. Hal itu diamini oleh Danto. Hasil yang berbeda dari metode yang berbeda memang tidak bermasalah, asalkan semua itu tecakup dalam satu kesatuan sebuah peristiwa sejarah. Namun bagaimana jika masing-masing hasil itu saling bertentangan satu dengan yang lain? Kalau begitu, mana yang kita anggap benar?

(b) Alasan bahasa sehari-hari

Masalah dalam filsafat muncul karena pada filsuf gemar untuk memberi arti lain terhadap kata yang sebenarnya sudah memiliki artinya sendiri dalam percakapan sehari-hari. Karena itu, sebaiknya penggunaan arti oleh para filsuf itu ditinggalkan. Filsafat hendaknya berawal dari arti kata yang ada dalam hidup sehari-hari. Demikian pula objektivitas dan subjektivitas, harus dikembalikan pada sesuatu yang ada dalam kenyataan. Kalau kita harus kembali kepada realitas yang ada dalam kenyataan, lalu apa gunanya filsafat yang ingin mencari “sumber” dibalik seetiap kenyataan? Bukankah realitas sendiri adalah plural dan terdiri dari banyak bagian yang sering kali saling bertentangan? Di samping itu, bagaimana caranya kita mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari realitas itu? Bukankah pandangan kita terhadap realitas yang ingin kita jadikan sebagai acuan juga subjektif, karena dipengaruhi oleh nilai-nilai kita?

Penutup

Perdebatan antara subjektivitas dan objektivitas masih berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Namun argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari daripada argumen objektivitas. Karena itulah beberapa sejarawan merasa gelisah. Karena jika subjektivisme itu benar, maka perbedaan antarsejarawan tidak berkisar pada sejarah itu sendiri, akan tetapi menjadi perbedaan yang bersifat etis dan politis yang tidak dapat dipecahkan. Maka muncullah ide untuk mengilmiahkan pengkajian sejarah. Namun jika demikian, bukankah sejarah menjadi sesuatu yang kaku, tidak mencerminkan unsur-unsurnya yang saling memengaruhi satu sama lain?

Pustaka

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1987, Bab XII: Subjektivitas dan Objektivitas:Nilai-Nilai dalam Pengkajian Sejarah, hal. 318-346.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogjakarta: 2002.
-------------, Hermeneutika Gadamer, makalah dalam mk. Filsafat Kontemporer, STF Driyarkara 2007.



Tuesday, September 8, 2009

Membumikan Fikih yang Kontekstual

Menurut Budhy Munawar-Rachman, Islam adalah perpaduan antara agama Yahudi dan Kristen, perpaduan antara ajaran yang menekankan pelaksanaan aturan hukum yang kaku dan tegas di satu sisi dengan penekanan pada moralitas dan etika di sisi lain. Kalaupun hal tersebut benar, itu adalah kesimpulan yang kedaluwarsa, setidaknya bagi Islam yang berkembang di negara kita. Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa Islam di Indonesia semakin mendekat ke sisi yang pertama dengan rigitnya aturan hukum, dan menjauh dari nilai dan moralitas yang mendasari hukum itu sendiri. Lihatlah misalnya aturan-aturan syariah yang telah dan akan segera diterapkan di banyak tempat sebagai perda syariah, yang hanya menekankan pada formalitas saja tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Kecenderungan untuk melaksanaan hukum syariah dalam kehidupan ini sebenarnya bukanlah monopoli kalangan Islam radikal atau Islam politik saja, akan tetapi dalam umat yang tergolong sebagai moderat pun, seperti NU misalnya, keinginan tersebut tidak pernah hilang. Bedanya, kalau Islam radikal dan politik menginginkan syariah diimplementasikan dalam bentuk hukum positif negara, sedangkan bagi yang moderat ini syariah cukup dijalankan sebagai pilihan bebas masing-masing individu.

Meski bersifat pilihan, tetapi keterikatan kelompok yang terakhir ini terhadap syariah masih tetap kuat. Hal itu dapat dilihat dari semua aspek kehidupan mereka yang selalu ingin dikaitkan dan mendapatkan pendasaran dari hukum syariah. Dan keterikatan inilah, ditambah anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yang membuat kitab-kitab fikih menjadi laku keras. Kitab-kitab fikih yang sebagian besar ditulis pada abad pertengahan ini telah menjelma menjadi “kitab suci” baru yang mengalahkan dua sumber rujukan utama syariah, al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka lebih nyaman untuk mendasarkan perilakunya pada aturan-aturan syariah yang termuat dalam kitab-kitab kuning karena lebih terperinci, daripada harus melakukan usaha (ijtihad) sendiri melalui dua sumber primer, al-Qur’an dan al-Hadits, yang memang memuat aturan-aturan yang lebih umum.

Karena merupakan produk masa lalu, maka banyak kemajuan dan perubahan masa sekarang yang tidak terantisipasi oleh literatur-literatur klasik ini. Banyak problem yang seharusnya segera dicarikan solusinya menjadi tidak dapat dipecahkan karena tidak ada referensinya dalam sumber klasik. Sehingga yang terjadi adalah kebingungan umat itu sendiri untuk menentukan gerak dan langkahnya dalam menyikapi perubahan. Karena masalah-masalah yang muncul dimasukkan dalam kategori mauquf, dihentikan sementara pembahasannya sampai ditemukan referensi yang sesuai. Padahal referensi itu tidak akan ditemukan dalam literatur klasik karena persoalannya memang baru.

Fikih sosial, sebuah jalan keluar
Dari bermacam masalah tersebut di atas, maka muncullah fikih sosial untuk mencairkan kebekuan fikih klasik. Di satu pihak, fikih sosial mengakui bahwa zaman terus berubah, karena itu permasalahan hukum juga pasti akan terus berkembang dan membutuhkan pemecahan yang baru pula. Di pihak lain, kodifikasi hukum fikih dan metodenya yang termuat dalam berbagai literatur kitab kuning adalah sarana terbaik untuk mengetahui hukum syariah, karena literatur-literatur itulah sarana penghubung bagi kita untuk mengetahui maksud dan kandungan dua sumber utama syariah. Dengan demikian, dapat dihindari sebuah rumusan hukum yang tidak berdasar lantaran telah melakukan lompatan sejarah dengan meninggalkan sarana untuk langsung sampai ke al-Qur’an dan al-Hadits. Dan lompatan inilah yang sering dilakukan kalangan modernis dengan klaim pembaruannya.

Buku ini adalah elaborasi yang dilakukan oleh pengarangnya, Jamal Ma’mur Asmani, terhadap pemikiran-pemikiran KH. Sahal Mahfudh dalam menyikapi tuntutan zaman berdasarkan penguasaanya terhadap fikih. Ditunjukkan bagaimana fikih yang merupakan produk abad pertengahan yang terkesan kaku dan kadang menakutkan itu di tangan kiai ini menjadi fikih yang elastis, progresif, berorientasi praksis, konsekwen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan tetap berpegang pada tradisi yang kuat.

Salah satu gagasan utama fikih sosial adalah menghadirkan fikih, yang merupakan kodifikasi syariah, bukan sebagai hukum positif negara, akan tetapi sebagai etika sosial. Perbedaannya jelas, yang pertama menginginkan campur tangan kekuasaan negara untuk menerapkannya sebagai hukum positif. Sedangkan yang kedua, sebagai etika sosial, campur tangan negara itu tidak diperlukan lagi. Ia lebih menekankan pada proses kebudayaan untuk memasukkan nilai-nilai syariah ke dalam tata kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan ketegangan. Memaksakan hukum-hukum fikih (syariah) sebagai hukum positif jelas berlebihan, di samping akan menghadapi banyak kendala. Indonesia bukanlah negara bagi agama tertentu, akan tetapi negara bagi penduduk dengan beragam kebudayaan dan kepercayaan. Dengan mentransformasikan fikih menjadi nilai-nilai budaya yang hidup, maka ajaran Islam akan tetap hidup dan berkembang di masyarakat tanpa mengganggu kesepakatan politik bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, bagi kiai ini, substansi jauh lebih penting daripada wadah (form). (hal. xxvi)

Karena itu, fikih sosial memiliki ciri-ciri yang di antaranya adalah; pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual, kedua, perubahan pola bermazhab dari qauly (tekstual) ke manhajy (metodologis), ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ashl) dan cabang (far’), keempat, menghadirkan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya. (hal. xiii)

Karena ciri-cirinya tersebut, fikih sosial tidak lagi hanya berkutat dengan masalah ibadah mahdhah dan hukum halal-haram saja, akan tetapi ikut menceburkan diri dalam masalah-masalah yang selama ini luput dari perhatian fikih klasik. Masalah kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, kemiskinan, lingkungan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya juga menjadi tema pembahasan dalam fikih ini. Tidak lagi dibedakan antara masalah “duniawi” dan “ukhrawi”, tetapi melihat keduanya sebagai problem yang harus dipecahkan dan menjadi tanggung jawab bersama, baik kalangan ulama maupun yang bukan ulama. (hal. 126)

Fikih Sosial tidak menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bermacam syarat berat yang dituntut dalam berijtihad sebenarnya dapat disiasati dengan ijtihad jama’i. Yaitu ijtihad kolektif yang tidak hanya mengikutsertakan kalangan ulama saja, akan tetapi juga mengajak para ilmuan dari berbagai macam bidang ilmu untuk ikut serta dalam merumuskan jawaban dari sebuah persoalan. Dengan demikian, ijtihad bukanlah monopoli kalangan ulama saja, akan tetapi menjadi hak dan kewajiban segenap umat. Dan itulah ijtihad yang paling ideal masa sekarang untuk merumuskan suatu produk hukum yang komprehensif. (hal. 268)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah uraiannya yang mengesankan tentang kiat dan metode belajar dalam pesantren tradisional. Mungkin metode yang dipaparkan di sini terasa janggal untuk masa sekarang, akan tetapi sejarah telah mencatat keberhasilannya dalam menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Justru sistem pendidikan pesantren masa kini yang harus segera benahi, karena tidak lagi memiliki arah lantaran kebingungan antara mempertahankan tradisi dan ilmu-ilmu keislaman di satu pihak, dengan tuntutan kemajuan dan modernitas di pihak lain. Kebingungan ini ternyata malah membuat para alumni pesantren menjadi manusia yang gagal; penguasaan ilmu keagamaannya tidak mendalam, sedangkan terhadap ilmu umum, mereka kalah jauh dari para lulusan sekolah umum. (hal. 192)

Meski begitu, beberapa kritik perlu diajukan juga terhadap buku ini. Di samping masih banyaknya kesalahan ketik yang dijumpai di dalamnya, buku ini juga terlalu banyak memuat tema pembahasan. Seakan ingin membahas sebanyak mungkin tema, buku ini menjadi kurang fokus terhadap suatu pembahasan. Beberapa tema sebenarnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut, akan tetapi hanya dibahas secara umum, karena ingin cepat beralih ke tema pembahasan yang lain. Dan lantaran itu juga, beberapa tema tetap dimasukkan meski sebenarnya tidak terkait dengan ide dasar yang mau diusung. Lepas dari itu semua, gagasan-gagasan yang ada dalam buku ini tetap dan makin relevan dengan situasi sekarang, dimana formalisasi hukum agama sedang hangat diperbincangkan. Kiranya sumbangan terbesar buku ini adalah pemahamannya yang baru terhadap fikih. Fikih adalah produk hukum yang dihasilkan pada suatu masa. Karena itu, menganggap fikih sebagai hukum yang berkekuatan tetap dan abadi jelas tidak dibenarkan.

Tentang Buku

Judul Buku : Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh;
Antara Konsep dan Implementasi
Pengarang : Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit : Khalista Surabaya
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : xxxiii + 373 halaman



Sunday, September 6, 2009

Etika dalam Islam

Seorang anak yang baru masuk pesantren dapat dipastikan tidak akan menjumpai perbedaan, apalagi pertentangan, antara ajaran moral di pesantren dengan apa yang pernah ia dapatkan dari orang tua, lingkungan, atau lembaga pendidikan sebelumnya. Sikap sopan kepada teman, berbuat baik kepada sesama, dan pelbagai perbuatan terpuji lainnya sama-sama diajarkan oleh ‘lembaga-lembaga moral’ ini. Bahkan masuk pesantren, di antaranya, adalah untuk memperkuat ajaran-ajaran moral dalam diri anak. Kitab akhlak dasar yang biasa diajarkan di pesantren, al-Akhlaq li al-Banin wa al-Banat, berisi tidak lebih dari apa yang sebenarnya juga menjadi harapan lembaga-lembaga pemantau moral tersebut. Di dalam kitab ini diajarkan bagaimana cara kita berbuat baik kepada guru, orang tua, teman, dan sesama. Di sana juga diajarkan bagaimana cara yang baik untuk makan, berjalan, ke kamar mandi, dan seterusnya dari hal-hal yang sebaiknya kita lakukan dan tidak kita lakukan.

Apa yang saya kemukakan di atas, yaitu contoh-contoh konkret perbuatan baik dan buruk dalam kegiatan sehari-hari, dalam bahasa filsafat disebut dengan moralitas. Yaitu ajaran tentang baik dan buruk yang diterapkan bagi kita. Ia mewakili apa yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut dengan sopan santun, tata krama, unggah-ungguh, etiket, dan sejenisnya. Ia memuat ajaran praktis yang langsung dapat kita terapkan dalam kehidupan konkret. Tidak perlu – tepatnya tidak sempat – lagi dipertanyakan mengapa makan harus memakai tangan kanan, dan cebok dengan tangan kiri. Itu bukan wilayah moralitas. Moralitas memerintahkan kita untuk melakukan itu, dan pelaksanaannya membuat perbuatan kita menjadi bernilai, bermoral. Sebaliknya, tidak melakukannya atau melawannya adalah tindakan tercela dan tidak bermoral. Begitu misalnya anak yang membentak orang tuanya dinilai sebagai bermoral bejat.

Yang penting untuk diperhatikan adalah perbedaan antara moralitas dengan etika. Yang terakhir ini adalah pandangan filosofis tentang moralitas. Ia mengkaji hal-hal yang lebih mendasar daripada moralitas, seperti apa yang harus saya perbuat, mengapa kita harus berbuat baik kepada orang lain, bagaimanakah perbuatan yang baik itu, untuk apakah kita melakukan hal yang baik, dan seterusnya. Artinya, etika adalah ashl, sedangkan moralitas adalah far’-nya. Moralitas lahir dari, dan mesti memiliki dasar dalam, pemikiran etika, meski hal itu kadang tidak disadarinya.

Namun ketika menengok ke pesantren, lembaga pendidikan yang juga merupakan lembaga moral yang cukup disegani sampai sekarang, kita belum menemukan pelajaran yang khusus membahas masalah etika ini. Yaitu etika dalam arti pemikiran filosofis sebagai fan khusus dalam kurikulum pesantren. Bermacam dan berserakannya kitab-kitab akhlaq dalam pesantren semuanya membahas tentang moralitas. Dari tingkat dasar sampai yang tertinggi, yang dinamakan kitab akhlaq adalah kitab yang berisi ajaran tentang kelakuan yang baik dan buruk. Lalu, adakah etika dalam Islam, paling tidak dalam tradisi pesantren kita? Di manakah ia kalau memang ada?

Hampir tidak diragukan, pandangan seseorang tentang dunia dan kehidupan akan sangat mempengaruhinya dalam berolah pikir dan bertingkah laku. Dan etika, sebagaimana tersebut, lahir dari rahim tradisi Barat yang, paling tidak, berusaha memilah antara kehidupan dunia ini dengan kehidupan ‘yang lain’. Karenanya, orientasi etika pun, ketika kita perhatikan dalam perkembangannya, dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan minat dan selera manusia.

Artinya, apa yang dinamakan dan menjadi kriteria baik dan buruk, yang merupakan tema sentral etika, berubah-ubah dari masa ke masa, bahkan dari satu tempat ke tempat lain. Baik bisa berarti sesuai dengan kosmos/alam (kosmosentris), sesuai dengan kehendak Tuhan (teologis), sesuai dengan martabat manusia (antroposentris), dst. Atau dari sisi tempat; kecenderungan umum masyarakat Barat yang menganggap baik hal-hal yang bersifat individual berbeda dari kecenderungan masyarakat Timur, Jawa misalnya, yanglebih mengutamakan kebersamaan sebagai hal yangbaik dalam kehidupan.

Hal itu tidak sama dengan Islam yang seluruh ajarannya berlandaskan pada asas tauhid. Seluruh perilaku dan tindakan umat Islam dituntut untuk selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Khaliq. Dan kehendak Sang Khaliq itu dalam Islam terejawantah dalam syari'at, yang kemudian dalam sejarah direduksi lagi menjadi produk hukum yang bernama fiqih.

Artinya, kriteria baik dan buruk dalam Islam tidak lain adalah kehendak Allah Swt., sesuai dengan hukumnya, yang kemudian direduksi lagi sesuai dengan hukum fiqih. As-Suyuthi dalam Lubb al-Ushul mengatakan, al-hasanu ma yumdahu ‘alaihi, wa al-qabihu ma yudzammu ‘alaihi, yang baik adalah apa yang terpuji, sedangkan yang buruk adalah apa yang dicela. Sedangkan apa yang dimaksud dengan yang terpuji itu, dalam keterangan selanjutnya, tidak lain adalah perkara-perkara wajib dan sunah, sedangkan yang tercela adalah perkara-perkara yang haram dan makruh. Adapun mubah berada di pertengahan antara baik dan buruk.

Dengan demikian dapat disingkap, kalau yang dimaksud dengan etika adalah pemikiran filosofis tentang baik da buruk, maka etika dalam Islam tentu adalah pemikiran yang dapat menghasilkan baik dan buruk dalam konteks Islam. dan kalau baik dan buruk itu wujud konkretnya adalah hukum (fiqih), maka etika adalah penghasil produk fiqih, yaitu ushul al-fiqh dan al-qawaid al-fiqhiyyah.

Menjalani hidup (moralitas) untuk selalu disesuaikan dengan hukum dalam fiqih dapat kita saksikan dalam kenyataan faktual sehari-hari kita. Tak ada masalah yang lepas dari problematika fiqih. Fiqih mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Hal itu malah didukung oleh fakta bahwa sampai sekarang sebagian besar masyarakat muslim masih selalu mencari pendasaran bagi perbuatan atau permasalahannya dalam fiqih. Namun saya hanya membatasi diri pada al-qawaid al-fiqhiyyah, di samping karena ia lebih relevan dengan teori-teori etika, juga lantaran pembahasan yang ada dalam ushul al fiqh lebih sering dan kerap kali disibukkan dengan masalah kebahasaan belaka.

Berbeda dengan ushul al-fiqh yang digunakan sebagai metode dalam merumuskan sebuah hukum fiqih, sehingga secara teoritis, bukan empiris, muncul lebih awal dari fiqih, al-qawaid al-fiqhiyyah muncul baru setelah produk hukum fiqih berlimpah ruah dalam masyarakat Islam. Bisa dikatakan, dari ushul fiqh lahir fiqih, dan baru dari fiqih lahir al-qawaid al-fiqhiyyah. Yang terakhir ini adalah sebuah refleksi tentang proses lahirnya berbagai macam produk fiqih. Meski demikian, dalam perjalanan selanjutnya, al-qawaid al-fiqhiyyah ini juga digunakan sebagai metode dalam perumusan sebuah hukum fiqih, sama dengan fungsi yang dimiliki ushul al-fiqh. Contoh dari dipergunakannya kaidah fiqih sebagai metode perumusan hukum ini dapat kita saksikan dalam bahtsul masail NU, suatu proses pencarian hukum bagi suatu kasus yang baru dalam lingkungan NU.

Kalau kita melihat kembali kaidah-kaidah yang ada dalam al-qawaid al-fiqhiyyah, maka akan kita saksikan kemiripan dengan apa yang ada dalam teori-teori etika pada umumnya. Kaidah pertama dari lima kaidah dasar dalam al-qawaid al-fiqhiyyah, yaitu al-umur bimaqashidiha, bahwa semua perbuatan tergantung pada maksud dan tujuannya, adalah mirip dengan teori kewajiban Immanuel Kant. Kant menyatakan, satu-satunya perbuatan yang baik pada dirinya sendiri adalah kehendak baik. Bahwa sebuah tindakan itu tidak dapat dipaksakan dari luar, akan tetapi harus dilakukan semata-mata karena pelaku menginginkannya, karena ia berniyat melakukannya, sehingga ia menjadi seorang yang otonom. Konsekuensinya, dia sendirilah yang mempertanggung-jawabkan perbuatannya kelak di hadapan Allah Swt., tidak oleh orang lain.

Memang dalam al-qawaid al-fiqhiyyah tidak terdapat maxim (universalisasi niyat/tindakan yang akan dilakukan) sebagaimana dalam teori Kant, akan tetapi kaidah ini juga tidak kalah menariknya dalam beretika. Semisal kaidah-kaidah turunan dari kaidah pertama ini, yang di antaranya adalah “niyat suatu tindakan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain”, dan “tempat niyat hanyalah di hati”, sehingga “jika terjadi perbedaan antara hati dan lisan, maka yang dihitung adalah apa yang ada dalam hati”. Memang di dalam kaidah ini, dan juga kaidah-kaidah yang lain, terdapat banyak pengecualian, yang merupakan ciri umum kaidah-kaidah fiqih. Akan tetapi, yang menarik adalah bahwa kaidah-kaidah ini menunjukkan kebebasan dan otonomi manusia sebagai pelaku tindakan, sama dengan konsep otonomi Kant dalam tradisi Barat. Hal yang hampir sama juga terdapat dalam kaidah yang kedua, al-yaqin la yuzalu bi al-syakk, sesuatu yang sudah pasti tak dapat dihilangkan oleh keraguan. Di antara kaidah turunannya berbunyi “asal mula segala sesuatu adalah ibahah, diperbolehkan, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Kaidah dasar yang lain, al-‘adah muhakkamah, kebiasaan suatu masyarakat dapat dipergunakan sebagai sumber hukum, sangat mirip dengan etika situasi. Bahwa hukum yang berlaku pada suatu daerah, tidak harus berlaku juga pada daerah lain. Kebiasaan yang sudah berlangsung baik pada suatu komunitas tidak harus dibabat lantaran tidak sama dengan produk suatu hukum fiqih. Beberapa produk fikih yang lahir dari teori etika ini adalah lama dan cepatnya masa haidh, usia baligh, dsb. Kaidah lain yang juga hampir mirip adalah al-dharar yuzal, semua yang membahayakan harus dihilangkan, yang di antara kaidah turunannya adalah kaidah terkenal al-dharurah tubihu al-mahdhurat, dalam keadaan darurat kita dapat melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang.

Demikian juga etika utilitarianisme yang mau mengusahakan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Dalam kaidah fiqih, di luar lima kaidah dasar, kita akan menemukan kaidah al-muta’addy afdhalu min al-qashir, perbuatan baik yang berdampak pada lebih banyak orang itu lebih utama daripada yang hanya berdampak pada sedikit orang. Demikian juga, ketika suatu perbuatan mengakibatkan salah satu dari dua bahaya, maka harus diusahakan jangan sampai bahaya yang lebih besar terjadi. Dan masih banyak lagi kaidah-kaidah yang lain, seperti tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah, kebijakan pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan publik. Al-rukhashu la tunathu bi al-ma’ashy, tujuan baik tidak dapat menggunakan cara yang buruk. Al-daf’u afdhalu min al-raf’i, mencegah lebih baik daripada mengobati / menghilangkan.

Kaidah-kaidah tersebut di atas, meski selanjutnya berusaha untuk dibatasi dan diberlakukan banyak pengecualian, tetap menunjukkan sisi keliberalannya. Apa yang lebih liberal dari kaidah ini al-ashlu fi al-asysyya al-ibahah, illa in dalla dalil ‘ala hurmatiha? Saya tidak yakin akan dapat muncul lagi kaidah-kaidah fiqih semacam itu pada masa sekarang. Berbeda dengan teori-teori etika dimana para penganutnya cenderung memegang erat salah teori dan melupakan teori-teori yang lain, dalam al-qawaid al-fiqhiyyah umat Islam tidak harus mempertentangkan, meski pertentangan kerap terjadi, antara satu kaidah dengan yang lain. Seolah tidak ada pertentangan, mereka bebas memilih kaidah mana yang akan dijadikan sebagai acuan dalam tindakannya.

Namun demikian, sebagaimana teori-teori etika, kaidah-kaidah tersebut juga tidak sepi dari kelemahan. Seperti kritik keadilan pada etika utilitarianisme. Apakah secara moral dapat dibenarkan mengusahakan kebaikan bagi banyak orang, tetapi dalam waktu yang bersamaan hak sebagian kecil orang menjadi terampas. Dan dalam etika situasi, apakah menjamin bahwa apa yang sudah menjadi kebiasaan itu adalah bermoral. Apakah merubahnya menjadi lebih baik tidak diperbolehkan?

Di samping kelemahan yang bersifat filosofis tersebut, kita harus ingat bahwa kaidah-kaidah fiqih ini dirumuskan beratus-ratus tahun sebelum masa kita sekarang. Sebagai produk pemikiran, ia tidak bisa lepas dari konteks yang melahirkannya, yang mungkin sekali berbeda dengan konteks masa kita sekarang. Artinya, kaidah-kaidah tersebut masih sangat mungkin, dan dalam hal tertentu mungkin malah wajib, untuk diperbarui demi terciptanya keadaan dan perilaku yang semakin bermoral. Pun tanpa memperbaruinya, dengan menerapkan kaidah-kaidah tersebut sebagai acuan perilaku kita dan metode pembentukan hukum baru, bagi kita yang terbiasa dengan lingkungan tradisional, sudah merupakan sebuah terobosan besar. Demikian itu karena kita sudah mulai berani untuk beralih dari pola bermadzhab qauly ke pola bermadzhab manhajy. Yaitu dari pola bermazhab yang hanya sekedar mengikuti apa yang dikatakan oleh para ulama abad pertengahan, beralih ke cara dan metode mereka dalam memproduksi hukum. Bukankah ini sebuah keberanian, meski pengakuan akan hal tersebut sudah dicanangkan kurang lebih tiga dasawarsa yang lalu dalam munas NU di Lampung, namun sampai sekarang belum banyak yang berani mencoba. Wallahu a'lamu bishshwab.



Tuesday, August 4, 2009

Superioritas Wakil Rakyat

A. Biografi singkat

Lahir pada tahun 1588 di Malmesbury, Inggris, Hobbes hidup pada masa yang kejam dan berdarah dalam sejarah Inggris. Waktu Hobbes lahir, Ratu Elisabeth I menundukkan golongan Katolik di Irlandia dan Skotlandia dengan kejam. Setelah inggris dikuasai oleh Stuart, Inggris terpecah antara gereja Anglikan resmi, kaum puritan, dan Katolik; serta pertikaian antara raja dan parlemen. Hobbes sendiri sedikit banyak ikut terlibat dalam konflik politik ini.


Tahun 1651 terbit Leviathan yang membuat nyawanya terancam karena memuat kritik atas Gereja Anglikan. Tahun 1679 Hobbes meninggal dengan relatif tenang, karena telah berdamai dengan penguasa waktu itu.

B. Latar belakang Leviathan

Situasi sosial-kenegaraan semasa Hobbes hidup, yang penuh dengan gejolak dan pertikaian, ikut berandil besar dalam mempengaruhi filsafat politiknya. Seakan ia terobsesi oleh pertanyaan: bagaimana masyarakat dapat diatur sedemikian rupa sehingga kekacauan tidak lagi terjadi sebagaimana yang telah ia alami?

C. Asumsi dasar tentang manusia

Dari pengamatannya, Hobbes berkesimpulan:
1. Tidak mungkin menata masyarakat dengan berdasarkan pada prinsip normatif.
2. Masyarakat hanya dapat ditata dengan melepaskan pengaruh emosi dan nafsunya, yaitu dengan metode ilmu ukur yang bersifat pasti.

Kesimpulan yang terkait dengan dua asumsi tersebut adalah bahwa seluruh tindakan manusia dapat dikembalikan pada satu dorongan saja: perasaan takut pada kematian atau naluri untuk mempertahankan diri.

“Dari semua gairah, yang paling kecil mendorong manusia untuk melanggar hukum adalah ketakutan. Sungguh, kecuali beberapa sifat kebajikan, inilah satu-satunya hal, yang membuat manusia menjaga diri mereka.” [Bab 27 hlm. 343]

D. Terbentuknya negara

Keadaan alami yang bebas membuat tak seorang pun berwewenang mengatur lainnya. Karenanya mereka hidup dalam persaingan satu sama lain. Tak ada yang tidak adil di sana, karena tidak adanya hukum. Dengan demikian manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

“Dalam perang semacam ini, tidak ada yang tidak adil…… Gagasan tentang benar dan salah, keadilan dan ketidakadilan, di sana tidak memiliki tempat. Di mana tidak ada kekuatan bersama, maka tidak ada hukum. Dan di mana tidak ada hukum, maka tidak ada keadilan.” [Bab 13]

Sebelum lahirnya negara, tidak ada konsep keadilan dan ketidakadilan, karena hukum, sebagai acuan keadilan, belum terbentuk. Tidak adanya otoritas membuat semua subjek/orang bebas untuk berbuat.

[15] “Orang berkenalan dengan arti adil dan tidak adil baru di dalam negara.”

Dari keadaan kacau inilah terlahir kontrak antar individu untuk membentuk negara.

“Aku menyerahkan hakku untuk memerintah diriku sendiri, kepada manusia ini atau masyarakat ini, dengan syarat bahwa engkau juga menyerahkan hakmu atas dirimu sendiri kepadanya. Jika ini dijalankan, di mana banyak orang dipersatukan dalam satu orang, disebut sebagai persemakmuran, dan dalam bahasa Latin civitas (negara, penj). Dengan cara itulah terjadi leviathan yang dahsyat itu, atau – sebutlah – Allah yang dapat mati.” [Bab 17 hlm. 227]

E. Hak-hak para wakil rakyat

Di sini wakil rakyat saya gunakan untuk menyebut para pemegang kedaulatan, yang oleh Hobbes bisa berarti satu orang atau banyak orang, yang adalah negara itu sendiri.

Kutipan di atas [Bab 17 hlm. 227] menunjukkan bahwa perjanjian/kontrak terjadi bukan antara para invidu dengan negara, akan tetapi antar individu sendiri untuk membentuk negara. Karenanya negara bukanlah peserta pembuat perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian itu sendiri! Maka konskuensinya jelas: negara tidak terikat perjanjian dan karena itu apapun yang dilakukan negara tidak akan melanggar hukum. Karena hukum hanya mengikat para peserta kontrak saja. Dan negara bukan patner dalam kontrak.

“Melalui pendirian negara ini, setiap orang adalah pencipta dari segala hal yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan. Konskuensinya, siapa yang mengeluhkan kerugian dari pemegang kedaulatan, berarti mengeluhkan apa yang ia ciptakan sendiri. Dan dengan demikian sebaiknya ia tidak menghujat siapapun kecuali dirinya sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

a. Dari ketidakterikatan dengan perjanjian ini, pemegang kedaulatan memiliki hak-hak istimewa (hak-hak esensial kedaulatan):

1. Subjek/rakyat tidak dapat mengubah bentuk pemerintahan, karena semua urusan pemerintahan sudah diserahkan kepada para wakilnya, dan dengan demikian semua menjadi urusan para wakil. Dan bentuk pemerintahan tergantung pada selera pemegang kedaulatan.

“Masing-masing dari mereka telah memberikan kedaulatan kepada orang yang mengurusi mereka, dengan demikian, jika mereka menyingkirkannya, maka mereka mengambil apa yang menjadi milik sendiri, dan itu merupakan ketidakadilan.” [Bab 18 hlm. 229]

2. Kekuasaan penguasa tidak dapat dihilangkan. Kekuasaan ini penting karena sebagai penjaga kedamaian dan mencegah terjadinya pertikaian masyarakat, sebagaimana tujuan semula, sehingga state of nature tidak muncul kembali.

“Seandainaya seseorang yakin terhadap adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan, dan yang lain yakin bahwa tidak ada pelanggaran, maka dalam kasus semacam ini (keadaan di mana tidak ada kekuasaan pemegang kedaulatan, penj) tidak ada hakim yang dapat memutuskan, dan keadaan akan kembali lagi ke pedang.” [Bab 18 hlm. 230]

3. Tak seorang pun tanpa ketidakadilan dapat memprotes institusi pemegang kedaulatan yang telah dideklarasikan. Karena siapa saja yang mempermasalahkan pemegang kedaulatan, berarti ia telah berbuat tidak adil.

“Karena pihak mayoritas lewat suara-suara persetujuannya telah mendeklarasikan satu pemegang kedaulatan, seseorang yang berkeberatan harus menyetujuinya sebagaimana orang lain.” [Bab 18 hlm. 231]

4. Tindakan pemegang kedaulatan tidak dapat dihujat. Karena menggugatnya berarti menggugat tindakan yang ia lakukan sendiri. (kutipan telah dikutip di atas, bab 18 hlm. 232)

5. Pemegang kedaulatan tidak akan terkena hukuman karena tindakannya. Karena yang ia lakukan sudah pasti adil. Selain itu ia juga tidak terikat kontrak.

“Tak seorang pun dari pemegang kedaulatan dapat dihukum dengan adil. Dengan melihat bahwa subjek adalah pencipta tindakan-tindakan dari pemegang kedaulatan, maka ia menghukum orang lain atas apa yang ia perbuat sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

“Bahwa seseorang yang dijadikan penguasa tidak membuat perjanjian dengan subjek-subjeknya sejak dini adalah jelas,” [Bab 18 hlm. 230]

Bagi Hobbes, keadilan adalah apa yang sesuai dengan hukum. Dan hukum, yang dibuat para pemegang kedaulatan, dengan sendirinya sudah pasti adil. Karena itu tindakan negara tidak mungkin tidak adil.

6. Pemegang kedaulatan berhak untuk memutuskan apa yang dibutuhkan demi kedamaian dan ketahanan subjek-subjeknya (warga masyarakat).

“Adalah hak orang atau majelis yang memegang kedaulatan untuk memutuskan cara-cara kedamaian dan pertahanan, kendala-kendala dan gangguan-gangguannya…” [Bab 18 hlm. 232]

b. Hak-hak yang lain:
Hak memutuskan doktrin yang tepat untuk diajarkan kepada rakyat. Hanya pemegang kedaulatan yang berhak dan memiliki otoritas untuk menentukan mana doktrin yang benar dan mana yang salah.

“Melekat pada kedaulatan untuk memutuskan opini-opini dan doktrin-doktrin apa yang ditentang, serta apa yang membawa pada kedamaian, dan konskuensinya pada peristiwa apakah, dan seberapa jauh, serta manusia macam apa yang harus dipercaya untuk berbicara di depan rakyat banyak…..[Bab 18 hlm. 233]

Hak untuk membuat undang-undang (hlm. 234).
Hak untuk mengelola keadilan (hlm. 234).
Hak untuk melakukan perang dan kedamaian (hlm. 234-235).
Hak untuk memilih penasehat, menteri, dan pejabat (hlm. 235).
Hak untuk memberi imbalan dan hukuman (hlm. 235).
Hak untuk memberi gelar-gelar kehormatan (hlm. 235-236).

F. Kewajiban-kewajiban pemegang kedaulatan

Dalam menjalankan kekuasaannya, pemegang kedaulatan juga tidak lepas dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka jalankan.
Kewajiban-kewajiban itu, menurut Hobbes, dalam bab 30 Leviatannya, adalah:
1. Memelihara hak-hak esensial dari kedaulatan (hlm. 376-377)
Hak-hak esensial itu harus tetap mereka jaga untuk memungkinkan mereka tetap berkuasa.

2. Kewajiban untuk mengajar rakyat [hlm. 377-385] perihal:
Hak-hak esensial dari kedaulatan.
Untuk tidak mempengaruhi perubahan pemerintahan.
Untuk tidak taat pada tokoh-tokoh populer.
Untuk tidak mempertikaikan kekuasaan pemegang kedaulatan.
Untuk menghormati orang tua-orang tua mereka.
Menjalankan semua itu dengan tulus.

3. “Kewajiban untuk membuat undang-undang yang baik” [hlm. 387-389].
Hobbes membedakan antara undang-undang yang baik dengan undang-undang yang adil. Setiap undang-undang dengan sendirinya adalah adil. Dan undang-undang yang baik adalah undang-undang yang perlu (bagi kesejahteraan rakyat) dan bersifat jelas.

4. Kewajiban untuk memelihara keadilan yang setara di antara warga (hlm. 385).

5. Kewajiban untuk menarik pajak secara setara (hlm. 386) dan memilih komandan tentara yang loyal dan populer (hlm. 393).

6. Kewajiban untuk memilih penasehat yang baik (hlm. 391).

7. Kewajiban untuk menerapkan hukuman dan imbalan yang benar (hlm. 389).

8. Kewajiban untuk tidak memihak pada yang besar, karena hal itu akan menimbulkan peberontakan (hlm. 385).

Para komentator Hobbes mengatakan bahwa para pemegang kedaulatan dalam negara Leviathan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap rakyat. Hal itu, hemat saya, benar sejauh yang dimaksudkan sebagai kewajiban adalah kewajiban murni para pemegang kedaulatan kepada rakyat sebagai konskuensi dari kontrak. Maka benar adanya jika tidak ada kewajiban di sana, lantaran para wakil tidak ikut serta dalam perjanjian, sehingga tidak terikat dengannya.

Akan tetapi, terhadap diri mereka sendiri, para wakil rakyat jelas memiliki kewajiban, yaitu tindakan-tindakan yang harus mereka jalankan agar kedaulatan dan kekuasaan tetap berada dalam genggaman mereka.

Maka kelihatan bahwa sebagian besar kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya adalah hak para pemegang kedaulatan itu sendiri, dan sedikit sekali yang benar-benar merupakan kewajiban yang harus dilakukan murni demi kepentingan rakyat. Akan tetapi hak-hak ini, oleh Hobbes, dianggap sebagai kewajiban, lantaran tanpa itu semua kedaulatan yang mereka genggam akan menjadi hilang. Maka yang terjadi adalah kewajiban terhadap kepentingan pemegang kedaulatan. Atau kewajiban demi diri mereka sendiri.

G. Kendali terhadap kesewenang-wenangan wakil rakyat

Negara Hobbes terlihat sebagai sewenang-wenang, karena semuanya tergantung pada pemegang kedaulatan. Tetapi bagaimana agar pemegang kedaulatan ini tidak menyelewengkan kekuasaannya?

Bagi Hobbes, ada dua macam penghalang bagi kesewenang-wenangan ini:
1. Kesadaran penguasa sendiri. Ia harus seadil Tuhan. Karenanya rakyat hanya dapat mengharapkan, tetapi tidak dapat menuntutnya.
2. Adanya hak alamiah setiap warga. Masyarakat menyerahkan haknya kepada pemegang kedaulatan dengan tujuan agar mereka dapat hidup damai. Karena itu, jika penguasa bertindak sewenang-wenang, maka tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tunduk pada penguasa.

H. Kesimpulan

Negara Hobbes memang mutlak wewenangnya dan tanpa tanding, akan tetapi tidak begitu saja bebas untuk berbuat sewenang-wenang dan jahat. Karena para penguasa juga memiliki kepentingan terhadap baiknya keadaan masyarakat mereka, dan pengaturan yang baik akan dapat menangkal konflik dan pemberontakan.

“Karena tiada raja yang dapat menjadi kaya, mulia, ataupun aman, apabila subjek-subjeknya miskin, hina, terlalu lemah untuk dimintai, atau tidak sepakat untuk melakukan peperangan terhadap musuh-musuhnya.” [Bab 19 hlm. 241]

Namun di sinilah terletak kontradiksi dalam pemikiran Hobbes. Di satu sisi ia mengatakan bahwa pemegang kedaulatan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap para subjek karena tidak terikat kontrak, dan kekuasaan mereka tidak dapat dihilangkan. Namun di sisi lain mereka juga memiliki kewajiban untuk berbuat baik terhadap rakyat, karena jika tidak demikian maka rakyat akan memiliki alasan untuk melawan kedaulatan mereka. Tidak wajib tetapi juga wajib (?)

I. Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, Membangun Pemikiran Politis Melalui Interpretasi Karya-Karya Klasik, Diktat Kuliah 2008.

Hobbes, Thomas, Leviathan, ed. C. B. MacPherson, Harmondsworth: Penguin, 1986.

Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003.