Thursday, April 10, 2008

Etika Perampingan Perusahaan

Sekilas ketika kita membaca artikel ini, muncul kesan bahwa penulisnya, John Orlando, berada pada posisi netral di antara para pendukung dan penentang downsizing (perampingan) perusahaan. Kesan itu terlihat dari tulisannya yang mengulas baik penentang maupun pendukung tindakan downsizing dalam perusahaan. Namun ketika kita perhatikan dengan seksama, sebenarnya Orlando tidaklah pada posisi netral, tetapi ia termasuk dalam kelompok penentang downsizing. Itu terlihat ketika ia menguraikan argumen para pendukung downsizing ini. Dalam menjelaskan argumen para pendukung, sebenarnya ia juga menyelipkan argumennya sendiri yang menentang argumen mereka itu. Lebih jelasnya, berikut uraiannya.

I. Argumen yang mendukung downsizing dan kritik atas argumen tersebut.

a. Hak milik (property right)
Secara alamiah dinyatakan bahwa pemilik yang sah atas sesuatu memiliki hak milik atasnya. Dan dalam konteks perusahaan, para pemegang saham adalah orang yang memiliki hak milik itu. Akan tetapi, apakah hal itu lantas membuat para pemegang saham lebih utama dari yang lain, seperti para pekerja?

Jawaban Orlando adalah “tidak”. Investasi mereka dalam perusahaan tidak lantas membuat mereka harus didahulukan. Harus dibedakan dalam hal ini antara hak guna dan hak laba. Hak guna memang ada pada pemegang saham. Merekalah yang dari awal memilikinya. Akan tetapi hak akan laba adalah berbeda. Laba adalah hasil kerja bersama seluruh komponen perusahaan. Karenanya tidak benar kalau pemegang saham harus didahulukan.

b. Stockholder adalah yang pertama.
Biasa dipahami bahwa para stockholder atau para pemegang saham memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari para karyawan. Hal itu dapat dilihat dari sikap banyak manajer perusahaan yang lebih mendahulukan kepentingan para pemegang saham daripada para karyawan.

Tetapi, bagi Orlando, hal itu tidaklah benar. Baik para pemegang saham maupun para pekerja menduduki posisi yang sejajar dalam sebuah perusahaan. Terdapat equalitas antara stockholder dengan employees. Memang para pemegang saham telah memberikan tugas kepercayaan kepada para manajer, akan tetapi tugas kepercayaan ini hanyalah penamaan bagi sebuah kewajiban manajer terhadap pemegang saham, dan bukan berarti sebuah tugas untuk mendahulukan kepentingan para pemegang saham. Bukti sejarah menunjukkan bahwa keseimbangan yang harus ada dalam tugas manager ini telah mendapat pengakuan dan perlindungan, seperti peraturan pengadilan tahun 1741 dalam buku The Charitable Corporation. Karenanya, tugas kepercayaan harus diartikan sebagai kewajiban untuk tidak mendahulukan kepentingan pribadi melawan kepentingan pemegang saham.

c. Resiko
Argumen ini diambil Orlando dari Ian Maitland. Bahwa para pemegang saham telah mengambil resiko dengan menanamkan sahamnya pada perusahaan itu. Maka wajar apabila mereka mendapat kompensasi yang lebih tinggi daripada pihak-pihak lainnya. Tetapi, menurut Orlando, perlu diketahui bahwa resiko tidak hanya ada pada pemegang saham. Sejak awal para pekerja juga telah menanggung resiko yang sama beratnya. Para pekerja ini telah beresiko kehilangan pendapatan potensial yang mungkin akan didapatkannya dari peluang-peluang yang lain. Maka mengabaikan peluang lain dan menjatuhkan pilihannya pada suatu perusahaan, juga merupakan resiko yang sama beratnya dengan resiko dari para pemegang saham. Demikian juga bekerja pada perusahaan yang sekarang tetap akan menimbulkan resiko bagi diri dan masalah lainnya yang terkait.

d. Kontrak
Kontrak adalah pilihan bebas dalam perjanjian bisnis. Di sini terjadi kontrak antara para pekerja di satu sisi dan pemilik perusahaan di sisi lain. Kontrak ini membentuk kewajiban bagi masing-masing pihak yang terikat dalam pejanjian. Maka, kalau terjadi perampingan dan hal itu kelihatan sudah sesuai dengan kontrak, apa salahnya?

Kesalahan terletak pada keadaan yang melingkupi kontrak itu. Kontrak mengandaikan kesamaan posisi tawar antara pekerja dan pihak perusahaan. Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa para pekerja yang membutuhkan pekerjaan lebih banyak daripada perusahaan yang membutuhkan pekerja. Sehingga para pekerja tidak memiliki pilihan bebas lagi yang mengakibatkan daya tawarnya menjadi lemah. Hal itu membuat pihak perusahaan dengan seenaknya sendiri memperlakukan para pekerja.

e. Publik vs privat
Argumen ini berasal dari M. Friedman. Ia menolak bahwa perusahaan bertanggungjawab kepada selain pemegang saham. Bahwa uang perusahaan adalah uang pemegang saham, karenanya uang yang dipercayakan itu harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Begitu juga keharusan untuk terlibat dalam aksi-aksi sosial akan bertentangan dengan tujuan perusahaan. Karena perusahaan adalah milik privat, bukan milik umum, sehingga tidak memiliki kewajiban publik kepada pihak luar.

Keduanya adalah tidak benar. Memang uang itu adalah milik pemegang saham. Akan tetapi mereka dapat menarik kembali modalnya sebelum terkena pajak. Dan keikutsertaan dalam amal sosial justru akan menguntungkan dan mengamankan kepentingan perusahaan dalam jangka panjang.

II. Argumen yang menentang downsizing

a. Membahayakan sedikit orang demi keuntungan banyak orang
Orlando berusaha membuktikan bahwa praktek downsizing ini telah gagal dan tidak dapat dibenarkan secara moral. Pertimbangannya, selain pertimbangan yang di atas, adalah bahwa praktek ini telah membahayakan, paling tidak merugikan, sedikit orang untuk memberikan keuntungan kepada banyak orang. Dan sebenarnya keuntungan yang yang didapat oleh banyak orang itu sangatlah kecil, tidak sebanding dengan bahaya besar yang diterima oleh orang yang diberhentikan.

Para pekerja ini harus kehilangan pekerjaan yang merupakan satu-satunya sumber penghasilan baginya. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak angka bunuh diri yang disebabkan oleh tindakan downsizing ini. Sedangkan para pemegang saham sebenarnya hanya mendapat keuntungan yang kecil dari tindakan ini, apalagi kalau keuntungan itu masih harus dibagi lagi dengan para pemegang saham yang lain. Ini jelas ketimpangan yang sangat lebar. Apalagi kalau downsizing dilakukan hanya karena suatu pemberitaan bahwa tindakan ini akan disambut baik oleh pasar.

b. Harapan yang terlegitimasi
Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap orang telah membuat rencana berkenaan dengan masa depannya. Begitu pula para pekerja. Ketika mereka telah masuk dan bekerja dalam perusahaan, mereka akan membuat rencana di masa depannya dengan hasil kerjanya itu. Harapan itu biasanya berkenaan dengan hal-hal yang lebih mendasar seperti kesejahteraan diri dan keluarganya. Akan tetapi ketika ia diberhentikan, maka harapan yang telah ia rencanakan itu musnah sudah.

Di pihak lain, para pemegang saham juga telah mengetahui bahwa pasar tidak stabil dan selalu berubah. Namun ia toh tetap berinvestasi. Maka menjadi tidak adil kalau para pekerja hancur masa depannya karena diberhentikan dari bekerja, sedangkankan para pemegang saham dapat enak-enakan menikmati masa depannya yang telah ia rencanakan.

c. Kejujuran
Ide dasar argumen ini adalah bahwa seseorang tidak berhak mendapat penghargaan ataupun hukuman atas apa yang tidak menjadi tanggung-jawabnya. Termasuk yang tidak menjadi tanggung-jawabnya itu adalah apa yang berhubungan dengan faktor genetik dan institusi sosial di mana ia hidup.

Diterapkan dalam perusahaan, para pekerja yang kehilangan pekerjaannya itu diberhentikan bukan karena kegagalan dalam diri mereka sendiri, akan tetapi seringkali karena kesalahan manajemen perusahaan. Maka tidak adil kalau hukuman untuk kesalahan manajemen harus ditanggung oleh para pekerja. Sedangkan perusahaan sendiri tidak melakukan penyelidikan tentang performa pekerja. Sehingga manajemenlah yang diuntungkan karena tidak tersentuh tindakan downsizing.

Di pihak lain, para pemegang saham tidak ikut campur dalam urusan perusahaan. Mereka hanya memberikan kepercayaan kepada pihak manajemen. Lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan keuntungan dari tindakan downsizing ini?

III. Penutup

Manajer bisnis harus terlebih dahulu menguji keadaan aktual shareholder, para pekerja, dan juga perusahaan, untuk memastikan bahwa keputusan untuk melakukan downsizing dibenarkan secara moral. Ia tidak boleh begitu saja memberi prioritas utama kepada shareholder/pemegang saham. Karena perusahaan juga memiliki tanggung jawab sosial di samping tanggung jawab terhadap shareholder sendiri. Sebuah tindakan perampingan yang dilakukan untuk mencegah ruginya perusahaan hanya dapat dibenarkan jika memang perusahaan itu hanya dapat diselamatkan dengan menutup cabangnya. Akan tetapi perampingan yang dilakukan demi untung memerlukan analisis yang mendalam berkenaan dengan kerugian dan keuntungan semua pihak yang terkait.

Akhirnya, sekarang ini para investor sering menempatkan investasi mereka di banyak perusahaan yang berbeda. Sehingga kerugian yang dialaminya dalam satu perusahaan hanyalah kerugian kecil dari seluruh kekayaannya. Hal ini berarti tindakan perampingan menyebabkan kerugian besar bagi sedikit orang untuk memberi sedikit keuntungan bagi banyak orang.

Lalu, kenapa komunitas filosofis seakan tidak mengindahkan masalah downsizing ini? Mungkin saja hal itu karena persepsi bahwa penentangan terhadap downsizing akan melukai jantung pasar bebas, dan dianggap hanya sebagai emanasi dari marxisme atau sistem filsafat lainnya yang telah usang.

Tanggapan Marx Atas Kritik Agama Feuerbah

Di sini, pertama-tama yang harus diketahuai tentu adalah kritik agama Feuerbach. Inti kritik itu kurang lebih adalah demikian: bukan Tuhan yang menciptakan manusia, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, (angan-angan) manusialah yang menciptakan Tuhan. Agama hanyalah proyeksi hakekat manusia. Namun manusia menganggap proyeksi itu terlalu sempurna dan menjadi lupa bahwa itu hanyalah hakekatnya sendiri. Sehingga, dengan agama, alih-alih manusia merealisasikan hakekatnya, ia malah menyembah dan mengharapkan berkah darinya. Dalam agama, yang terjadi adalah penyembahan manusia kepada hasil ciptaannya sendiri yang sudah tidak disadarinya lagi. Agama adalah ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri.

Kritik agama Feuerbach ini mendapat tanggapan yang sangat menarik dari Karl Marx. Marx mengaimi kritik agama Feuerbach ini. Ia sepakat bahwa agama adalah proyeksi hakekat manusia. Agama adalah bentuk keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Namun, menurut Marx, Feuerbach masih kurang jeli dan konskuen dengan kritiknya sendiri. Seharusnya Feuerbach bertanya, mengapa manusia melarikan diri dalam dunia khayalan, dan tidak merealisasikan hakekatnya dalam dunia yang nyata ini? Kekurang-konskuenan itu terjadi lantaran manusia yang dibicarakan Feuerbach adalah manusia yang abstrak. Bagi Marx, tidak ada yang namanya manusia. Yang ada adalah orang-orang konkret yang hidup dalam masyaraat dan pada waktu tertentu. Sehingga akar keterasingan itupun harus dicari dalam dunia yang konkret ini.

Dari kritik agama Feuerbach inilah Marx mengelaborasi lebih jauh keterasingan manusia, yang merupakan tema penting dalam karya-karyanya. Jawaban Marx atas pertanyaan di atas adalah karena kehidupan nyata, dunia dimana manusia hidup, yang berarti struktur kekuasaan dalam masyarakat, tidak mengijinkan manusia untuk mengekspresikan hakekatnya. Mereka melarikan diri ke dalam dunia khayalan karena merasa tertindas dalam dunianya yang nyata.

Benar bahwa agama adalah tanda keterasingan manusia, akan tetapi ia bukanlah dasarnya. Agama hanyalah bentuk pelarian manusia dari kehidupan nyata yang tidak menyediakan ruang bagi pengekspresian hakekatnya. “Agama adalah realisasi hakekat manusia dalam angan-angan karena hakekat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh… Penderitaan religius adalah ekspresi penderitaan nyata, sekaligus protes terhadap penderitaan nyata… Agama adalah candu rakyat.”

Dengan demikian, kritik agama menjadi kurang relevan lagi. Yang dibutuhkan adalah mengubah struktur kekuasaan dalam masyarakat yang telah menyebabkan manusia lari ke dalam agama. Usaha belum cukup kalau hanya pada penghilangan ilusi, akan tetapi harus menghilangkan akar yang menyebabkan munculnya ilusi itu. Kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Karena kritik agama saja tidak berguna kalau tidak mampu merubah keadaan masyarakat. Sebagaimana tesis Marx tentang Feuerbach, “Para filsuf hanya menginterpretasikan dunia secara berbeda, yang perlu adalah mengubahnya.” Maka, “Perjuangan melawan agama secara tidak langsung adalah perjuangan melawan dunia yang bau harumnya adalah agama.” Sehingga, dengan sendirinya agama akan hilang jika manusia dapat merealisasikan hakekatnya dalam dunia nyata yang dibangunnya.

Kontekstualisasi al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi sumber utama hukum dan ajaran Islam yang mengajak kepada manusia untuk menghambakan diri kepada Pencipta. Ia diturunkan selama 23 tahun, sebagai mu’jizat Nabi Muhammad dimana tidak ada seorangpun yang dapat menandingi al-Qur’an. Ia adalah penyeimbang akidah, syari'at, dan akhlak yang mulia. Sedangkan manusia adalah makhluk yang terhormat di sisi Allah. Dia dikaruniai oleh Allah dengan kemampuan fisik dan rasio, di samping juga ada nafsu yang harus dijaga. Di sisi lain, manusia adalah abdu, hamba Allah, yang memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan berdasar ketentuan dan kemampuan ikhtiar. Sejauh manusia memenuhi kewajiban tersebut, maka ia tetap berada dalam keistimewaan di sisi-Nya.

Di samping itu, manusia adalah khalifatullah. Ia diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Tugasnya adalah imaratul ardh atau memakmurkan bumi, di samping ibadatullah. Dan memakmurkan bumi ini adalah sebagai cara ibadatullahi untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Maka masyarakat dalam al-Quran adalah masyarakat ibadah dan ‘imarah, dimana keduanya saling berkaitan. Hal itu secara nyata telah dipraktekkan oleh Nabi ketika baru saja tiba ke Madinah dalam hijrahnya. Dua bangunan pertama yang beliau bangun adalah Masjid Quba dan pasar. Karenanya, tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, antara ibadah dan bekerja.

Dalam perubahan, al-Quran menempatkan manusia sebagai objek sekaligus objekknya. Manusia tidak akan berkembang dan berubah jika ia sendiri tidak merubahnya. Keberhasilan proses pembangunan ditentukan oleh sumber daya manusianya. Karennya manusia harus selalu berpacu dalam kebaikan, yang memerlukan dinamika tinggi dan bermutu, wawasan kreatif dan inovatif, serta analisis yang tajam. Semua itu menuntut etos kerja yang tinggi. etos kerja ini dalam al-Qur’an disebut sebagai ibtigha’ fadhlillah atau amal saleh. Al-Qur’an juga menyebut potensi diri manusia yang merupakan penentu dalam kualitasnya. Potensi itu adalah qawiyyun, atau makinun.

Dan ketika pembangunan ekonomi semakin merajalela, maka nilai-nilai religius semakin tersisihkan. Bahkan nilai yang terakhir ini juga diekonomiskan. Dari sinilah bilai-nilai iman dan tawakkal terancam, dan diganti oleh ghurur ad-dunya. Dalam hal ini, al-Qur’an memandang kehidupan dunia sebagai materi yangmenipu. Karenanya, al-Qur’an menawarkan konsep al-wasath dan al-‘adl. Keadilan berarti keseimbangan dalam kehidupan manusia. Takut akan siksa Allah diimbangi dengan optimis akan ampunan dan rahmat-Nya. Dalam mengolah bumi, harus ada keseimbangan sehingga tidak israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (mubadzir). Kehidupan harus didasari semangat keseimbangan antara etos kerja dan tawakal. Etos kerja adalah ikhtiar yangmerupakan sarana. Sedangkan keberhasilannya adalah ditawakkalkan kepada Allah yang adalah penentu keberhasilan tidaknya sesuai dengan qudrah iradah-Nya.

Fikih yang Ramah Zaman

Dua aspek fundamental dalam Islam adalah akidah dan syariah. Akidah menyangkut kepercayaan seseorang tentang Tuhan dan yang gaib dalam agama, sedangkan syari'at lebih berkenaan dengan hukum yang harus ditegakkan oleh setiap Muslim dalam kehidupan sehari-harinya. Bentuk konkret dari syari'at ini adalah fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama yang berkompeten dalam bidangnya dalam memahami syari'at Tuhan. Secara garis besar, fikih memuat masalah ubudiya (peribadatan), muamalah (transaksi dan semua hubungan-hubungan sosial), munakahah (perkawinan), dan jinayah (pidana). Biasa dipahami bahwa untuk mengukur kadar keimanan seorang muslim adalah dengan ibadahnya. Kuat lemahnya iman dapat dilihat dari intensitas ibadahnya. Demikian juga mukmin tidaknya seseorang dapat dilihat dari ibadahnya.

Dalam hal ibadah, niyat memainkan peran yang sangat penting. Seseorang tidak akan dianggap beribadah tanpa ada niyat dan motif dalam melakukan kebaikannya. Karenanya, seseorang yang melakukan perbuatan yang seakan biasa-biasa saja dapat menjdai ernilai ibadah karena memang ada niyat untuk itu. Dalam Islam, karena itu, ibadah menyangkut aspek yang sangat luas. Sabda nabi, “Semua amal tergantung pada motif dan niyatnya.” Hanya saja masih diperselisihkan, apakah niat termasuk rukun/bagian integral dari ibadah atau hanya sebagai syaratnya saja.

Ibadah terbagi menjadi dua, yang bermanfaat hanya pada diri sendiri, dan yang mermanfaat secara sosial. Namun dalam kenyataan sehari-hari, fikih terlihat semakin jauh dari realitas sosial yang konkret. Fikih menjadi semakin formal. Titik kehidupan yang semakin teologis menjadi tidak seimbang dengan konsep legal formal yang ada dalam fikih. Fikih yang merupakan kumpulan hukum Islam memiliki seperangkat kerangka teoritik dalam pengambilan keputusan hukum agama. Karenanya dikenal istilah ushul fikih dan kaidah fikih yang sangat terkenal dalam pengambilan keputusan hukum. Sebenarnya sistematika penalaran yang ada dalam fikih dapat dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak ketinggalan zaman. Sebagai contoh, hadits Nabi yang menyuruh umat Islam untuk memperbanyak keturunan. Dalam era seperti sekarang, memperbanyak anak secara kuantitatif hanya akan menambah beban sosial yang sudah berat. Karenanya harus dipahami secara baru. Misalnya menjadi usaha peningkatan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.

Gagasan formalistik fikih ini sangat berbahaya, karena fikih bisa menjadi suci menyamai, bahkan mengungguli, al-Qur’an dan Hadits Nabi. Karenanya, fikih yang banyak tertuang dalam kitab-kitab kuning mulai sekarang harus mulai dipahami secara kontekstual. Dengan gagasan kontekstual bukan berarti fikih tersisihkan. Akan tetapi malah sebaliknya, semua aspek kehidupan akan semakin terjiwai oleh fikih secara konseptual dan tidak menyimpang dari fikih itu sendiri. minimal kitab-kitab klasikakan semakin digemari. Fikih harus terus berkembang mengikuti gerakan zaman secara fleksibel.

Toleransi Berbasis al-Qur’an

“Sayangilah mereka yang ada di bumi, niscaya engkau akan disayangi oleh mereka yang ada di langit.” (al-Hadits)

Dalam imperatif kategorisnya, yang termuat dalam Kritik atas Rasio Praktis, Immanuel Kant merumuskan suatu prasyarat penting bagi setiap tindakan agar dapat dikategorikan sebagai tindakan moral, yaitu universalisasi maksim. Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif bagi tindakan seseorang. Nah, tindakan yang seseorang perbuat akan menjadi bermoral (wajib dilakukan) hanya jika maksim yang ia gunakan dapat diuniversalisasikan. Artinya, semua orang, di mana dan kapan saja, dalam keadaan yang sama seperti dia, pasti akan melakukan tindakan yang akan ia perbuat itu. Tetapi jika masksimnya tidak dapat diuniversalisasikan, maka wajib baginya untuk tidak melakukan tindakan tersebut.

Seturut dengan prinsip di atas, sulit rasanya mengkategorikan tindakan-tindakan sebagian pemeluk agama yang mengancam dan merusak tempat-tempat ibadah umat dan aliran yang berbeda sebagai tindakan yang bermoral. Karena jika maksim mereka, yang kira-kira berbunyi “Jika keadaan memungkinkan, maka orang lain yang tidak sepaham dan berbeda dengaku, akan aku paksa agar sepaham denganku, atau menyingkirkan mereka menjadi tidak ada sama sekali” diuniversalisasikan, betapa kacaunya dunia ini. Yang akan terjadi adalah rasa tidak aman dan saling curiga. Manusia akan kembali kepada apa yang oleh Hobbes disebut sebagai state of nature, keadaan alamiah manusia yang penuh dengan permusuhan satu sama lain.

Maka, di samping tidak bermoral, tindakan merusak tempat ibadah orang lain, melarang mereka menjalankan praktek keagamaannya, serta memaksa minoritas untuk mengikuti paham dan aliran yang sama dengan mayoritas, hanya menunjukkan kebelumdewasaan para pelakunya serta menodai kesucian agamanya sendiri.

Sebenarnya tindakan semacam itu tidak akan terjadi seandainya masing-masing umat beragama saling berendah hati dalam menyikapi keyakinan dan klaim kebenaran agamanya. Tindakan tersebut terjadi lantaran pihak penyerbu merasa bahwa keyakinan merekalah yang benar, sedangkan keyakinan yang lain adalah salah. Padahal, hanya Tuhan saja yang dapat menentukan dan memberi petunjuk atas kebenaran. Mengklaim bahwa hanya dia dan kelompoknya yang benar, sedangkan yang lain adalah salah, sama saja dengan mendaku sebagai tuhan, lantaran telah mengambil hak-Nya sebagai penentu kebenaran dan kesalahan.

Paradigma baru
Karena itu, toleransi adalah hal yang niscaya dalam kehidupan keagamaan yang penuh dengan pluralitas keyakinan seperti sekarang ini. Dibutuhkan suatu sikap penghargaan terhadap yang lain, bahwa yang lain bukanlah sama sekali lain dari kita. Mereka adalah orang-orang yang secara hakiki juga memiliki hak yang sama dengan kita.

Pandangan Martin Buber, seorang filsuf Yahudi, mungkin baik untuk tidak sekedar dikutip. Bahwa hubungan aku dengan orang lain bukanlah seperti aku dengan benda (I-It), di mana yang berlaku adalah hukum penguasaan, suatu hubungan tuan-budak. Hubungan aku dengan yang lain adalah hubungan antar subjek yang sama (I-Thou). Hubungan dengan yang lain adalah hubungan yang paling utama, fakta primer dalam setiap antropologi dan filsafat. Hubungan antar subjektivitas inilah yang mengantar ke jalan menuju pengenalan akan Tuhan. Hadist yang dikutip di awal tulisan ini kiranya memiliki pesan yang sama dengan apa yang dikatakan Buber.

Di sinilah buku karya Zuhairi Misrawi ini terasa tepat kehadirannya. Ia mengajak kita untuk membangun sikap toleransi dari dalam. Yaitu toleransi yang harus tumbuh dan menjadi kesadaran umat Islam sendiri dengan berpijak pada landasan teologis yang kuat. Landasan teologis, yang berdasar pada al-Qur’an sebagai sumber utama teologi Islam, ini penting karena menunjukkan bahwa kitab suci sendiri telah memerintahkan umatnya untuk selalu memberikan penghargaan terhadap yang lain. Dan upaya menghadirkan toleransi sebagai kesadaran yang tumbuh dari dalam inilah di antara keistimewaan buku ini.

Puncak dari buku ini adalah usaha penulis dalam menghadirkan ayat-ayat al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai dasar dan pedoman bagi sikap yang toleran. Penulis mencatat setidaknya ada 300-an ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan umat Islam untuk selalu mengedepankan sikap toleransi. Di samping itu, dalam buku ini pengarang juga melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang selama ini digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai legitimasi terhadap tindakan intoleran mereka.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam toleransi. Pertama, mengakui perbedaan dan keragaman. Al-Qur’an sendiri telah mencatat dengan baik keragaman ciptaan Tuhan ini. Dalam QS. 49:13 disebutkan bahwa manusia diciptakan dalam keragaman; laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, tidak lain adalah agar mereka saling mengenal. Begitu pula dengan keragaman syariat yang telah diberikan Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya. Dan yang kedua adalah pencarian titik temu (kalimatun sawa’) dan koeksistensi (al-ta’amul al-silmy). Demikian karena pengakuan akan keragaman saja belum mencukupi tanpa dibarengi dengan usaha untuk mencari titik-titik pertemuan dan koeksistensi. Titik pertemuan itu dalam konteks agama adalah fondasi keberimanan yang sama, dan dalam konteks keindonesiaan adalah Pancasila sebagai ideologi bersama yang menampung kemajemukan dan pluralitas bangsa. (hal. 11)

Dan Nabi Muhammad saw. sendiri dalam kehidupannya telah menunjukkan sikap toleransi yang sangat tinggi terhadap umat lain. Piagam Madinah adalah salah satu bukti sejarah yang menunjukkan hal tersebut. Dalam piagam itu disebutkan bahwa umat non-Muslim bersama umat Muslim adalah satu umat (ummatan wahidah), di mana semua orang mendapat perlakuan yang sama tanpa ada diskriminasi. (hal. 17)

Titik tolak yang berbeda
Sama-sama sebagai kitab suci, satu hal penting yang membedakan al-Qur’an dari dua kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, adalah pandangan umat Islam terhadap kalamullah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Umat Yahudi dan Kristiani meyakini bahwa kalimat-kalimat dalam kitab suci mereka adalah ’karangan’ manusia yang ditulis dengan tuntunan Ilahi. Singkatnya, kitab suci mereka adalah kalam Ilahi secara ma’nan, tetapi tidak secara lafdzan. Sedangkan sebagian besar umat Islam berkeyakinan bahwa al-Qur’an adalah lafdzan wa ma’nan dari Allah.

Karena itu usaha hermeutik yang berlangsung begitu deras di dua agama pendahulu itu tidak mudah untuk diterapkan di dalam Islam. Umat Muslim merasa takut dan sungkan untuk menerapkan prinsip-prinsip antropologi, sosiologi, kultural, dsb. yang biasa digunakan dalam hermeneutika untuk menafsirkan kata-kata Ilahi.

Maka, selama al-Qur’an dipandang sebagai kalamullah lafdzan wa ma’nan sekaligus, sulit rasanya untuk memperoleh penafsiran yang progresif sesuai dengan semangat dan perubahan jaman. Karena penafsiran semacam ini mengandaikan kebebasan penafsir dalam mengeksplorasi sebuah teks, suatu pandangan yang tidak terdapat pada penafsir yang memandang teks penuh dengan kesucian dan tak terjangkau olehnya. Meski demikian, usaha semacam itu bukannya tidak ada. Sudah banyak ulama klasik yang mencoba ke arah sana, akan tetapi tidak diperhitungkan karena kalah bersaing dengan paham mayoritas seiring dengan perjalanan sejarah. Dan karangan Zuhairi ini adalah salah satu usaha untuk menghidupkan kembali budaya intelektual yang sempat berhenti itu.

Dengan demikian, salah satu kekuatan buku ini adalah penafsirannya terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang progresif, namun tetap memiliki acuan pada tafsiran para sarjana Muslim klasik. Eksplorasi terhadap pandangan-pandangan ulama klasik (progresif) inilah yang mungkin tidak terdapat di banyak karya tafsir lain masa kini. Di samping itu, buku ini merupakan buku tafsir tematis al-Qur’an pertama tentang toleransi yang ada, setidaknya dalam konteks Indonesia.

Membumikan toleransi
Salah satu ayat yang disitir sebagai ayat toleransi adalah ayat basmalah. Basmalah adalah ayat paling familier bagi umat Islam lantaran paling sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun nilai dan hikmah di baliknya sering kali tidak diperhatikan, karena ia telah menjelma menjadi ritual belaka.

Kata pertama dalam basmalah adalah bismillah, atas nama Tuhan. Bismillah berarti penghambaan total terhadap Tuhan, dan tidak mengakui sama sekali penghambaan terhadap selain-Nya, baik itu manusia maupun institusi. Atas nama Tuhan berarti menjauhkan diri dari berbagai kepentingan hawa nafsu dan ambisi politik tertentu. Karena itu sifat otoriter tidak layak bagi seorang makhluk, karena Tuhanlah yang berhak atasnya. Bersikap otoriter terhadap sesama berarti mengambil wewenang dan otoritas Ilahi.

Basmalah juga mengandung ungkapan al-rahman, Tuhan yang maha pengasih. “Karena Tuhan disimbolisasikan sebagai al-rahman, maka Tuhan harus senantiasa dijadikan sebagai cermin oleh setiap manusia agar selalu meneteskan embun kasih-Nya di muka bumi.” (hal. 233)

Ungkapan terakhir dari basmalah adalah al-rahim, Tuhan maha penyayang. Nabi Muhammad juga dijuluki sebagai al-rahim, pembawa kasih sayang. Mengakui Tuhan dan Nabi-Nya sebagai penyayang, umat Islam juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Karena itulah “diperlukan rancang-bangun peradaban basmalah. Yaitu peradaban yang mampu mengangkat citra Islam sebagai agama kasih sayang, karena esensi syariah adalah kasih sayang.” (hal. 234)

Itulah salah satu panfsiran terhadap satu dari beberapa ayat toleransi yang terdapat dalam buku ini. Penafsiran yang berorientasi inklusif, plural, dan multikultural akan dijumpai juga dalam penafsiran ayat-ayat yang lain, seperti QS. 21: 107, QS. 2: 256, dan seterusnya.

Terhadap sikap intoleran yang marak, penulis buku ini mencatat setidaknya ada dua faktor pemicunya. Pertama, pemahaman keagamaan yang dangkal, sempit, dan picik. Pemahaman semacam ini tidak hanya karena kurangnya pengetahuan, akan tetapi juga sebagai akibat pertarungan politik internal umat Islam dalam memperebutkan kekuasaan. Kedua, ketidakadilan sosial dan global yang dirasakan oleh banyak umat Islam. Ketidakadilan inilah yang melahirkan fundamentalisme yang akhir-akhir ini merebak di kalangan Islam. (hal. 224)

Satu dari beberapa ayat yang selama ini digunakan oleh kalangan tertentu sebagai justifikasi tindakan kekerasan terhadap umat atau kelompok lain adalah ayat “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”(QS. 2:20) Terhadap hal ini, pengarang mengajak kita untuk menilik lebih lanjut konteks historis ayat tersebut diturunkan.

Ayat tersebut adalah ayat Madaniyyah dan turun dalam suasana perang. Karena itu, redaksi ayat tersebut harus dilihat dalam konteks peperangan, di mana strategi melawan musuh dan penumbuhan semangat dalam diri umat Islam menjadi hal yang penting. Di samping itu, perubahan arah kiblat, sebagai faktor teologis, untuk menciptakan “kemandirian” syariat Islam, yang pada waktu itu memang banyak dicemooh oleh umat Yahudi dan Kristen, juga ikut mewarnai turunnya redaksi ayat ini. Dengan demikian, ketidakrelaan dari umat lain itu memang ada, seperti dalam gencatan senjata dan perubahan arah kiblat. Namun dalam banyak hal lainnya, seperti pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi misalnya, masih sangat terbuka suatu kerja sama yang erat. (hal. 382)

Mungkin ada yang berkeberatan dengan metode yang digunakan oleh pengarang dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu yang terlihat mencomot dari sana-sini. Akan tetapi hal itu tidak mengurangi keistimewaan buku ini yang telah merintis usaha sulit untuk membangun sebuah hubungan yang penuh dengan sikap penghargaan dan toleransi terhadap yang lain. Hubungan yang saling menghormati tanpa ada rasa saling curiga. Hanya dengan hubungan yang setara dan saling tidak merendahkan antar sesama semacam inilah suatu kehidupan ideal sebagaimana dicita-citakan oleh ajaran suci agama akan tercapai. Wallahu a’lam.


Tentang Buku:
Judul : Al-quran Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme
Pengarang : Zuhairi Misrawi
Penerbit : Fitrah
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : 520 hlm + xxxiii

Tektualitas Al-Qur’an

Kajian tentang I’jaz, Munasabah, Ambiguitas-Distingsi, Amm-Khash, dan Tafsir-Ta’wil dalam Al-Qur’an*

I. I’jaz

Al-Quran dan Puisi
Kajian tentang i’jaz pada dasarnya adalah kajian tentang karakteristik teks yang membedakannya dan membuatnya lebih unggul dari teks-teks lain dalam kebudayaan. Artinya, Al-Quran sebagai mu’jizat tidak dapat dilepaskan dari keunggulan tekstualnya dari teks serupa pada jamannya. Di sisi lain, keberadaan al-Quran, yang di dalamnya terdapat kei’jazan yang adalah mukjizat bagi Nabi Muhammad, terkait erat dengan kondisi nyata masyarakat pada masa beliau hidup. Nabi Muhammad hidup pada masa dimana sastra menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena itu, kemu’jizatan Nabi Muhammad berupa teks yang yang dapat mengalahkan semua bentuk teks yang ada pada masa itu, sehingga tidak ada satupun dari manusia yang dapat menandinginya. Sebagai kilas balik, Nabi Musa hidup pada masa dimana sihir meraja-lela dalam masyarakat. Karenanya, Allah memberikan kepadanya mukjizat berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular yang dapat mengalahkan semua sihir kaumnya. Demikian pula dengan Yesus yang hidup pada masa ketika pengobatan berkembang dengan sangat pesatnya. Maka di antara kemukjizatannya adalah kemampuannya dalam menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan menghidupkan kembali orang yang telah mati.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Dipandang dari kesusartraannya, ada kemiripan antara al-Quran dengan puisi yang merupakan teks dalam kebudayaan pra Islam. Meski memiliki kemiripan dengan puisi, dari segi esensinya sebagai komunikasi, ia dalam banyak hal berbeda dari puisi. Perbedaan itu tampak dalam proses dan hubungan komunikasi dan siapa-siapa saja yang terlibat. Hubungan dalam wahyu bersifat vertikal antara hamba dengan Tuhan, sedangkan dalam puisi bersifat horizontal, karena jin bagi bangsa Arab adalah komunitas yang hidup dalam kawasan tertentu – sebagaimana diketahui, banyak sekali puisi-puisi Arab yang bicara tentang jin, sesembahan mereka, di samping bicara tentang wanita dan daya tarik seksualnya. Di samping itu, wahyu memerlukan mediator dalam penyampaiannya, sedangkan puisi langsung dari seseorang kepada temannya. Dan teks al-Quran berbeda dari semuanya. Ia tidak bisa dimasukkan dalam kelompok puisi ataupun prosa yang dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam, baik itu teks pidato, sajak para peramal, atau teks perumpamaan. Karenanya, umat Islam mengganti istilah-istilah yang lazim dalam pusisi dengan istilah yang baru, seperti qafiyah diganti dengan fashilah, bait dengan ayat, dan qashidah dengan surat.

Teks al-Quran berusaha menolak sebutan puisi juga karena alasan-alasan yang berkaitan dengan konsepsi bangsa Arab mengenai esensi puisi dilihat dari segi sumber dan fungsinya. Teks al-Quran juga menolak Muhammad sebagai penyair karena fungsi penyair dalam masyarakat berbeda dengan fungsi yang diberikan oleh teks terhadap beliau. Penyair menjadi corong kabilah, sedangkan Muhammad adalah penyampai risalah. Puisi adalah teks yang menyuarakan kepentingan kelompok dalam menghujat musuh-musuhnya dan dan membantu sekutu-sekutunya. Sedangkan al-Quran adalah teks yang bertujuan merekonstruksi realitas dan mentransformasikannya ke arah yang lebih baik. Karena itu, Muhammad bukanlah penyair dan al-Quran bukanlah puisi. Hal ini tidak berarti puisi terlarang dalam Islam. Teks wahyu sangat memerlukan bantuan puisi dan teks-teks sejenis dalam kebudayaan untuk memahami teks wahyu itu sendiri. Teks wahyu memberi dukungan kepada puisi yang dapat membantu mewujudkan fungsi teks wahyu, dan menyangkal puisi yang tidak dapat membantunya dalam hal tersebut. Karenanya, konsep Islam tentang puisi bersifat ideologis yang harus dilepaskan dari halal dan haram. Ia menolak yang bertentangan dan menerima yang sejalan.

Kaum Muslim awal sendiri menyadari bahwa teks wahyu tidak terpisah dari realitas, dan karenanya mereka tidak segan-segan untuk memahami teks al-Quran dari perspektif teks-teks lain, khususnya puisi. Prinsip dasar yang dipegang semenjak usaha awal penafsiran adalah “apabila kamu mengalami kesulitan dengan al-Quran, maka kembalilah kepada puisi”. Banyak riwayat dari sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa mereka menggunakan puisi untuk menjelaskan kata yang asing dan sulit dalam al-Quran.

Al-Quran dan Saja’
Di dalam kalam saja’, unsur makna mengikuti kata yang menimbulkan saja’. Akan tetapi tidak demikian dengan al-Quran – kalau dikatakan ia sebagai saja’, karena kata di sini mengikuti makna. Ada perbedaan antara kalam yang tersusun melalui kata-kata yang dapat mengungkapkan makna yang dimaksud, dengan makna yang tersusun tanpa kata. Apabila makna terkait dengan saja’, maka manfaat saja’ seperti manfaat lainnya, dan apabila makna terkait dengan dirinya sendiri tanpa saja’, maka makna akan menimbulkan semacam jinas dalam kalam, bukan membenarkan makna.

Upaya ulama kono untuk membedakan antara al-Quran dari saja’ sebenarnya bertujuan membedakan kalam Ilahi dari jaran manusia. Dan kalam, sebagaimana dalam doktrin Asy’ariyah, adalah salah satu sifat zat Ilahi, bukan tindakannya. Karena itu, teks al-Quran dibedakan dari teks-teks yang lain. Hanya saja pemisahan ini menyebabkan teks menjadi sacral dalam dirinya sendiri. Maka disepakati tidak boleh menamakan fashilah dengan qafiyah, karena ketika Allah membebaskan al-Quran dari sebutan puisi, maka sebutan qafiyah juga harus dilepaskan dari al-Quran, karena qafiyah termasuk dalam istilah puisi. Dan digantilah dengan fashilah.

I’jaz di Luar Teks
Ulasan di atas adalah pembicaraan tentang kemu’jizatan teks wahyu dipandang dari dirinya sendiri, menyatunya penanda (dal) dan petanda (madlul) dalam teks wahyu. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa kemu’jizatan itu berasal dari luar, yaitu ketidakmampuan bangsa Arab yang hidup semasa dengan turunnya teks untuk membuat yang sepadan dengannya sebagimana yang ditantang oleh teks sendiri. Ketidakmampuan ini bersifat aksidental karena terdapat intervensi kehendak Tuhan, dimana para penyair dan orator dihalangi untuk dapat menerima tantangan tersebut dan membuat yang sepadan.

Dalam pandangan Mu’tazilah, yang menunjukkan kebenara Nabi adalah adanya sesuatu yang melemahkan (mu’jiz) pada dirinya. Sesuatu yang melemahkan itu dapat berupa perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan kebiasaan dan alam, dan juga perbuatan-perbuatan biasa alamiyah yang dapat dilakukan oleh manusia, namun pada saat itu manusia tidak dapat melakukan perbuatan yang biasa tersebut, padahal sebelumnya tidak sulit baginya. Dan kekuatan yang melemahkan itu adalah pemberi mu’jizat itu sendiri, yaitu Allah.

I’jaz di Dalam Teks
Beberapa ulama mengatakan bahwa kemu’jizatan al-Quran terdapat dalam dirinya sendiri, tidak berasal dari intervensi eksternal yang menutup kemungkinan bangsa Arab untuk membuat yang sepadan. Termasuk di antara mereka adalah al-Baqillani. Ia membedakan teks al-quran dari teks yang lain dari dua sisi. Sisi pertama adalah bentuk eksternal, struktur umum, atau genre sastra. Aspek umum ini adalah susunan dan style (uslub). Bahwa al-Quran memiki susunan yang sedemikian bervariatif dan beragam, menyimpang dari seluruh system kalam dan ujaran pada umumnya. Demikian juga dalam hal ukuran dan panjangnya. Al-Quran memiliki karakter panjang yang tidak biasa terdapat dalam teks-teks Arab. Kedua, susunannya yang menakjubkan dan penataannya yang indah dan harmonis. Tidak terdapat kontradiksi meski banyak aspek yang ditata di dalamnya seperti kidah, nasehat, argument, kata mutiara, peringatan, janji, ancaman, dan lain-lain. Hal itu berbeda dengan banyak karya manusia yang mengandung banyak kontradiksi, padahal hanya dalam satu aspek saja.

I’jaz di Dalam Bahasa Teks (Nazhm)
Beberapa ulama mengatakan bahwa kemu’jizatan al-Quran didasarkan pada temuan atas hukum-hukum umum yang dapat diterima oleh akal manusia. Kemu’jizatan bukan dilihat dari perbedaannya dengan teks lain dalam kebudayaan dari segi bentuk, jenis, atau tipenya. Sebab perbedaan bentuk tidak berarti kelebihan atau suatu keistimewaan. Syarat sebuah teks menjadi fashih adalah adanya pesan yang bagus dan kata yang jernih. Abdul Jabbar menetapkan fashahah melalui tiga dimensi dalam struktur bahasa; 1) penggantian (diksi) yang terkait dengan kata-kata. Yaitu pemilihan kata-kata tertentu dari kata-kata yang lain. 2) posisi yang terkait dengan prinsip mendahulukan dan mengakhirkan (taqdim wa ta’khir). 3) I’rab yang terkait dengan posisi kata secara gramatikal dalam kalimat tertentu.

Karena itu, kemukjizatan al-Quran dapat terjadi dalam satu kalimat sebagaimana dapat terjadi pula dalam kalimat yang banyak, dapat terjadi dalam ayat yang pendek, sebagaimana dapat terjadi dalam ayat yang panjang, selama hukum-hukum bahasa yang menjelaskan fashahah i’jaz memiliki efektifitasnya dalam satu kalimat, dan juga dalam teks yang panjang. Dan karena itu juga, konsep notasi (irama) tidak disertakan sebagai bagian dari definisi karakteristik ujaran. Karena irama terkait dengan puisi dalam konsep budaya. Lantaran perbedaan antara al-Quran dan puisi adalah penting dan niscaya, maka usaha ulama kuno mengeluarkan dimensi tersebut dari konsep fashahah dan i’jaz juga penting dan niscaya. Keindahan nada dan kelembutan ungkapan memang menjadikan ungkapan enak didengar. Tetapi hal itu bukan unsure yang menjadikan fashahah, sebab yang menjadikan istimewa dalam hal ini adalah jelas, yaitu dalam ujaran dan penceritaannya. Unsur tersebut juga terdapat dalam tulisan, sebagaimana terdapat dalam ujaran lisan.

II. Munasabah Antarayat dan Surat

Fokus perhatian ilmu munasabah adalah bukan pada kronologi histories dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antarayat dan antarsurat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan urutan bacaan sebagai bentuk lain dari urutan turunnya ayat. Di sini diperselisihkan apakah urutan surat dalam mushhaf itu taufiqi atau tauqifi sebagaimana urutan ayat dalam surat. Perbedaan antara urutan turun dan urutan bacaan terletak pada susunan dan penataan. Melalui perbedaan susunan dan penataan ini, persesuaian antarayat dalam surat dan antarsurat dalam mushhaf, dapat disingkap.

Dasar munasabah antarayat dan surat adalah bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling berkaitan. Tugas mufassir adalah untuk menemukan hubungan-hubungan itu. Hanya saja, menurut Syaikh Izzuddin, keterkaitan ujaran dianggap bagus apabila keindahan terjadi karena satu hal yang sama, yang pertama terkait dengan yang akhir.

Munasabah Antarsurat
Karena munasabah ini, maka surat al-Fatihah menempati kedudukan yang istimewa lantaran kedudukannya sebagai pengantar dalam mushhaf. Ia disebut sebagai umm al-kitab, induk kitab, yang mengandung tauhid, peringatan, kisah, dan hukum. Itu semua adalah isi dari al-qur’an itu sendiri. Dan hal yang sama juga dapat diterapkan dalam surat al-Ikhlash yang dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Tetapi hubungan-hubungan umum ini bukanlah pengganti hubungan khusus surat al-Fatihah dengan surat setelahnya, surat al-Baqarah. Hubungan khusus lebih bersifat stalistika kebahasaan, sementara hubungan umum lebih bersifat isi dan kandungan.

Sebagai contoh hubungan ini adalah akhir surat al-Fatihah yang berupa doa “Ihdinashirathal mustaqiem….”. Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat al-Baqarah berupa “Alif Lam Mim, Dzalikal kitab…”. Demikian juga hubungan antara surat al-Baqarah dengan surat sesudahnya, surat Ali Imran. Yang pertama mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sedangkan surat Ali Imran sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh. Surat al-Baqarah mengacu pada hukum-hukum yang ditunjukkan surat al-Fatihah, sementara surat Ali Imran memuat keragu-raguan para musuh, khususnya yang berkaitan dengan dalil tersebut. Oleh karena keragu-raguan musuh terhadap dalil Islam muncul dari pihak Yahudi atau Nasrani, maka wajar jika surat al-Baqarah mendahului surat Ali Imran lantaran hubungan yanglebih awal antara Islam dan Yahudi pada satu sisi, dan dan lantaran Taurat mendahului Injil dalam sisi yang lain. Maka wajar kalau dua surat setelahnya, yaitu an-Nisa’ dan al-Maidah, memuat detil-detil hukum dan syariat. Olehkarena itu, urutan surat dalam mushhaf didasarkan pada asas mendahulukan yang universal yang pertama-tama dibentuk oleh surat al-Fatihah, kemudian surat al-Baqarah, dst.

Ada bentuk hubungan lain yang berbeda dari yang telah diuraikan tadi, yaitu yang didasarkan pada adanya semacam hubungan kebahasaan atau pengulangan bahasa antara kata yang terdapat pada akhir surat dengan kata yang ada pada awal surat berikutnya. Seperti surat al-Waqi’ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih, dengan surat al-Hadid yang diawali dengan tasbih. Demikian juga antara surat al-Kahfi dengan surat al-Isra’. Sedangkan dalam surat al-Masad dan al-Ikhlash, kita akan menemukan keterkaitan dalam ritme fashilah terakhir. Beberapa surat yang lain, seperti al-Ma’un dan al-Kautsar, serta surat ad-Dhuha dan as-Syarh, kita menemukan di antara masing-masing dari keduanya keterkaitan kontras; beberapa sifat yang disebut dalam suatu surat, yang kemudian disebut lawannya dalam surat berikutnya. Dalam surat al-Ma’un, Allah melukiskan orang munafik dengan empat karakter; kikir, meninggalkan shalat, riya’ dalam shalat, daj menolak zakat. Kemudian dalam surat setelahnya, Allah menyebutkan lawan-lawan dari sifat tersebut; pemurah, senantiasa shalat, ikhlas kepada Allah, dan berkorban.

Munasabah Antarayat
Pada dasarnya, konsep kesatuan teks berasal dari persoalan i’jaz, yaitu persoalan yang sebagian besar bersumber pada perdebatan antara yang mengatakan teks (Allah) dengan pembicara-pembicara selainnya. Karenanya, munasabah antarayat ini dihindari oleh beberapa ulama. Di sini, hubungan antara keduanya kadang berlawanan, seperti munasabah rahmat yang disebut setelah dosa, senang setelah takut. Al-Quran biasa menyebut hukum setelah menyebut janji dan ancaman. Hal itu adalah untuk membangkitkan dorongan mengamalkan apa yang sudah disebutkan, kemudian menyebutkan ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah, agar diketahui keagungan Zat yang memerintah dan melarang.

Beberapa hal penting dalam munasabah ini adalah keterkaitan dua ayat yang seolah tidak berkaitan sama sekali, seperti ayat-ayat awal surat al-Isra’. Ayat pertama berbicara tentang isra, sedangkan ayat kedua beralih pada pembicaraan tentang Musa dan Bani Israil. Kemudian beralih lagi kepada masalah al-Quran. Pertanyaannya, hubungan apa yang ada antara isra dengan cerita Bani Israil? Mengapa focus utama tentang mereka disebutkan sebagai keturunan orang yang bersama dengam Nuh, padahal semua umat manusia dianggap sebagai berasal dari keturunan ini, bukan hanya Bani Israil saja. Menurut al-Zarkasyi, perubahan focus dari kisah Bani Israil ke al-Quran setelahnya merupakan bentuk penyimpangan lain menuju hikmah al-Quran, sebab ia merupakan ayat yang terbesar. Atas dasar ini, dapat dianaogkan perubahan dari satu situasi ke situasi yang lain.

Beberapa masalah lain yang muncul adalah apabila dua ayat yang berdampingan, masing-masing ayat memiliki sebab turunnya sendiri, apakah hukum dari salah satu ayat tersebut dapat dimasukkan ke dalam hukum ayat lainnya atas dasar keumuman kata pada ayat yang lain? Apakah kata yang mengungkapkan hukum pada ayat pertama merupakan sebab atau ia tidak memiliki kekuatan yangmenentukan sebab? Ini adalah masalah pelik yang tidak mudah ntuk dipecahkan. Dan beberapa ulama Islam berbeda pendapat dalam masalah ini.

III. Ambiguitas dan Distingsi

Ada dua istilah penting dalam ilmu tafsir yang berhubungan dengan ambiguitas dan distingsi suatu teks, yaitu ayat yang muhkam dan ayat yang mutasyabih. Ayat muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maknanya, sehingga tidak lagi memerlukan takwil. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang ambigu, sehingga diperlukan sebuah takwil. Aturan penggunaan keduanya adalah yang mutasyabih harus dikembalian pada yang muhkam. Artinya, tafsir atas ayat yang ambigu dikembalikan kepada yang jelas. Yang muhkam harus menjadi panduan dalam memahami dan menafsirkan yang mutasyabih.

Selain itu, juga dibedakan lagi menjadi yang tersurat dan tersirat. Dalam hal ini, terdapat empat pola yang berbeda, pertama nash, yaitu penanda yang menunjuk pada makna tanpa menunjuk pada makna yang lain. Kedua dhahir, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna, akan tetapi yang digunakan adalah yang diunggulakan. Ketiga ta’wil, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna, akan tetapi yang digunakan adalah yang tidak dhahir. Keempat ambigu (ghumudh), yaitu teks yang mengandung dua makna, dan keduanya sulit dipastikan mana yang diunggulkan. Empat pola tersebut didasarkan pada pola gradasi dariyang distingsi ke ambigu. Nash adalah yangpaling jelas, yang berlawanan dengan mujmal. Dhahir lebih dekat kepada nash, sedangkan ta ‘wil lwbih dekat dengan mujmal.

Namun persoalannya menjadi kompleks ketika kita melihat makna yang tersirat kadang berlawanan dengan yang tersurat. Makna ini bida terjadi melalui muwafaqah, dan kebalikannya, mukhalafah. Muwafaqah seperti larangan untuk mengucapkan kata ‘hus’ kepada orang tua. Karenanya, kalau mengatakan hus saja tidak boleh, maka menyakiti keduanya jauh lebih tidak boleh. Yang kedua, mukhalafah, yaitu ketikayang tersurat menunjukkan makna yang secara bahasa dibatasi oleh keterangan sifat sehingga pengertian yang terbatas tersebut menunjukkan di luar makna tersebut yang dinafikan. Seperti firman ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu didatangi orang fasik denga membawa berita, maka carilah kejelasan’. Karenanya, berita yang datangnya bukan dari orang fasik maka tidak memerlukan pencarian kejelasan. Semuanya tersebut menunjukkan bahwa produksi makna dalam bahasa tidak terlepas dari dialektika pembaca. Bahkan, takwil tidak berangkat dari data bahasa teks, akan tetapi pertamakali berangkat dari kerangka kultural yang merepresentasikan wawasan pembaca yang melakukan tindak pembacaan. Contoh paling terkenal dari ambiguitas ini adalah ayat warraskhuna fil’ilmi ….. Apakah wawu di sini wawu athaf atau wawu isti’naf. Mungkin kalau hanya seputar masalah gramer seperti ini tidak masalah. Akan tetapi perbedaan antara wawu athaf atau wawu isti’naf ini telah menimbulkan masalah besar pada makna teks.

Prinsip yang dilontarkan oleh para mufassir adalah bahwa ambiguitas yang berasal dari ijmal maknanya dapat diraih dengan kembali kepada teks itu sendiri di tempat lain. Sebab suatu ayat yang mujmal di suatu tempat mempunyai penjelasan di tempat lain. Teks melalui sistem bahasa dan semantiknya membentuk leksikografinya yang khas dan memberikan dasar penafsiran terhadap yang ambigu dalam beberapa bagiannya.

Dan ketika kita membaca al-Quran, maka kita akan menemukan banyak pengulangan ayat, yang maknanya sama, akan tetapi dengan redaksi yang berbeda. Perlu diketahui bahwa perbedaan tersebut menunjukkan kei’jazan al-Quran, dalam arti bahwa teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa terjerumus ke dalam pengulangan secara literal. Jika perbedan, ketika dibaca melalui yang rasional, melenyapkan anggapan adanya kontradiksi, maka perbedaan menjadi semacam variasi yang tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa teks tunggal dan sumbernya satu.

As-Suyuti mengatakan, ‘Andaikata seluruh al-Quran itu muhkam, maka ia hanya akan cocok bagi satu kalangan saja, dan tidak mengakui semua hal yang tidak berasal dari golongan tersebut. Akan tetapi jika al-Quran memuat yang muhkam dan mutasyabih, maka masing-masing pengikut dari satu golongan akan berusaha untuk mendapatkan di dalamnya sesuatu yang menguatkan golongannya dan mendukung pendapatnya. Dan apabila mereka bersikap berlebih-lebihan dalam hal menafsirkan, maka yang muhkam akan menafsirkan yang mutasyabih.’

Penggalan Huruf pada Awal Surat
Penggalan pada awal surat juga menimbulkan ambiguitas dalam makna. Ada beberapa huruf yang diletakkan pada awal surat, dan tidak seorang pun yang mengetahui maknanya secara pasti. Sebagian ulama menjadikan huruf-huruf tersebut dalam bingkai mutasyabih, dimana hanya Allah saja yang mengetahuinya, sebagaimana teks yang berkaitandengan hari kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim, dan roh. Dari penggalan huruf pada awal surat ini muncullah banyak penafsiran dari para ulama. Ada yang menafsirkannya menurut angka-angka, seperti as-Suhaily yang menjumlahkan semua huruf-huruf tersebut. Menurutnya, jumlah keseluruhan huruf tersebut adalah 14 huruf, dan dapat dikumpulkan dalam kalimat alam yasti nashshu haqqi karihin. Setelah dijumlahkan menurut perhitungan jumal, jumlahnya menjadi 730. jumlah ini jika ditambah 1000, menurutnya, akan menjadi usia dariagama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Hal itu berbeda dengan Ibn Abbas yang menafsirkan huruf-huruf tersebut menjadi sifat-sifat Allah. Seperti huruf alif dari Allah, lam dari Latif, dan mim dari Majid. Beberapa ulama yang lain mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut tidak memiliki makna, akan tetapi hanyalah sebagai bagian dari sistem bahasa yang menjadi sandaran teks. Keberadaannya yang terpencar-pencar menunjukkan teks yang merupakan mukjizat itu tersusun dari huruf yang sama dengan huruf yang digunakan oleh masyarakat dalam menyusun teks mereka. Beberapa ulama lain bahkan sampai pada interpretasi bahwa 14 huruf tersebut adalah representasi dari seluruh fenomena suara yang ada dalam bahasa Arab, yaitu hams, jahr, syiddah, rakhawwah, infitah, dan ithbaq. Ia juga representasi pembagian huruf menurut makhrajnya, yaitu antara huruf faringal dan nonfaringal. Ini berarti pemilihan huruf-huruf tersebut tidak serampangan dan asal-asalan, tetapi memang sudah disesain oleh Allah sedemikian rupa sehingga menunjukkan keistimewaan al-Quran. Jika asal-usul bahasa adalah tauqifi, natural, maka hal tersebut jelas. Dan jika asalny bahasa adalah konvensi sosial, maka hal itu juga ajaib karena tidak mungkin berbagai kepentingan menjadi satu seperti itukecuali karena izin Allah.

IV. Amm dan Khash

Dalam ilmu amm dan khash, para ulama menegaskan bahwa meskipun ayat-ayat diturunkan karena sebab-sebab tertentu, namun dari segi maknanya ayat-ayat tersebut melampaui sebab-sebab tersebut. Karenanya dipertanyakan, manakah yang dijadikan pertimbangan, kekumuman lafad atau kekhususan sebab? Perselisihan ini adalah perselisihan fiqhiyyah, menyangkut ayat-ayat hukum, bukan yang lain. Bahwa menarik makna teks dari sebab khusus ke arah keumuman lafad harus didasarkan pada tanda-tanda dalam teks itu sendiri yang membolehkanpenarikan dan peralihan tersebut. Perlu diketahui bahwa salah satu watak bahasa adalah ia mengungkapkan realitas secara simbolis. Wujud fisik dari sesuatu dalam bahasa berubah menjadi simbol-simbol bunyi. Perubahan ini hanya dapat berlangsung kalau wujud materi ditarik menjadi wujud mental dalam bentuk konsep-konsep yang sama. Dengan demikian, dasar mekanisme bahasa adalah kemampuan generalisasi. Maka ulama dengan gigih menegaskan keumuman lafad dalam memberlakukan hukum yang disyariatkan teks. Meski demikian, keumuman ini tidak mengurangi pentingnya ilmu asbab al nuzul yang dalam banyak hal upaya menyingkapkan makna teks justru tergantung dari ilmu ini.

Mekanisme Keumuman
Beberapa lafad yang diklaim memiliki makna umum adalah sebagai berikut: kata kullu (semua), isim maushul (kata penghubung), kata ayy, ma, dan man (mana, apa, siapa saja), kata jama’ yang dima’rifatkan baik dengan alif lama tau dengan idhafah, isim jinis yang dima’rifatkan baik dengan al atau dengan idhafah, isim nakirah dalam konteks larangan, nafi, dan syarat. Sebagai contoh isim maushul adalah ayat ‘Qad sami’a Allah qaula allati tujadiluka…..’ ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan salamah binti Skhr. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana teks tersebut dimulai dengan peristiwa parsial, yaitu pengaduan istri tentang suaminya, kemudian teks menjadi umum dengan mempergunakan isim maushul. Hukum menjadi mencakup siapa saja yang yang dapat dikenai atribut isim maushul.

Mekanisme Kekhususan
Pengertian kekhususan terangkum secara bahasa dalam salah satu dari dua hal, pertama, kata dengan format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan oleh kata tersebut, tetapi maknanya khusus. Makna khusus ini dapat dipahami dari struktur teks. Ini dinamakan dengan amm yuradu bihi khash. Kedua, kata yangmenurut bentuk dan maknanya amm, tetapi hukum yang ada dalam teks tidak dapat diterapkan pada acuannya. Ini disebut dengan amm al-mukhashshash. Bentuk keduan inilah yang umum dalam hukum syariat. Yang membedakan antara keduanya adalah perbedaan semantis yang pada dasarnya dapat ditentukan melalui beberapa sudut. Pertama, bahwa makna kata dalam tipe pertama tidakmenyeluruh meliputi semua bagian yang tercakup dalam semua pengertian kata tersebut, sementara makna pada tipe kedua adalah meyeluruh. Kedua, dari segi hukum yang dikandung, hukum pada tipe pertama hanya dapat diterapkan pada makna khusus dari kata, sementara hukum pada tipe kedua tidak sejalan dengan makna katanya sebab kata tersebut umum, namun hukumnya khusus. Ketiga, bahwa makna pada tipe pertama adalah metaforis, sedangkan pada tipe kedua adalah hakiki. Keempat, konteks takhsish pada tipe pertama bersifat rasional, sementara konteks pada tipe kedua bersifat verbal. Kelima, konteks rasional pada tipe pertama berkaitandengan ujaran, sedangkan konteks verbal pada tipe kedua dapat berkaitan dan dapat pula terpisah.

Di samping itu, ulama kuno menetapkan lima gejala dalam bahasa sebagai konteks yang bersambung. Kelimanya adalah pengecualian, sifat, syarat, kehinggaan/ghayah, dan mengganti sebagian dari keseluruhan (badal ba’dh min kull). Perangkat kebahasaan ini dapat dianggap sebagai penentu-penentu semantis dalam struktur bahasa, penentu semantis yang merumuskan kembali makna dari beberapa kata sehingga dapat mengubah dari makna yang umum menjadi makna yang khusus.

Muthlaq dan Muqayyad
Bahwa jika ada teks yang muthlaq, kadang ada teks lain yang membatasi kemutlakan teks tersebut. Artinya, takhsish terkadang dapat dilakukan dengan menghadapkan teks-teks pada dalam keseluruhan teks yang umum atau antara al-Quran dengan teks keagamaan lainnya. Teks yang mutlak dalam teks apapun tetap dalam status kemutlakannya selama tudak ada teks lain yang membatasi kemutlakannya. Dasar yang dipergunakan ulama ushul dalam hal ini adalah bahwa al-Quran bagaikan satu ayat. Dialektika antara keumuman dan kekhususan memeprlihatkan bahwa ulama fiqih memperlakukan teks al-Quran sebagai teks tunggal. Jika ayat-ayat, dari segi turunnya, berkaitan erat dengan realitas dan latar belakang yang mengungkapkan makna-makna ayat, maka upaya membuahkan hukum dari teks memperlakukan teks sebagai satu kesatuan semantik yang tunggal.

Namun jika terjadi pertentangan antarteks wahyu, sehingga sulit diklasifikasi dan dikompromikan, maka dibutuhkan data sejarah, dan ayat yang turun lebih dulu diabaikan demi yang turun terakhir. Ini berarti naskh (penghapusan) bagi yang pertama. Jika tidak diketahui data sejarahnya namun ada ijma’ atas praktek dari salah satu ayat, maka yang menaskh adalah apa yangmenjadi ijma’. Dan setiap ada ayat yangbertentangan dalam al-Quran, pasti tidak lepas daridua ketentuan ini.

V. Tafsir dan Ta’wil

Ta’wil sendiri dalam pemkiran agama ‘resmi’ adalah istilah yang dibenci demi istilah tafsir. Ada upaya pemberantasan semua orientasi pemikiran oposisi baik dalam tataran intelektual maupun tataran perdebatan kontemporer dalam kebudayaan. Klaim ta’wily disematkan pada mereka yang dicap sebagai sesat dan ahli bid’ah. Sebaliknya, ta’wil dari pemikiran resmi disebut sebagai tafsir, untuk menyematkan objektivitas dankebenaran mutlak terhadap ta’wil tersebut. Sikap semacam ini sama dengan yang ditempuh oleh aliran tradisional dalam tradisi pemikiran yang mencap semua ta’wil yang bertentangan dengan ta’wilnya sebagai rusak, atau paling banter sebagai tafsir birra’yi (tafsir dengan pikiran) yang merupakan larangan. Mereka digolongkan sebagai ahli bid’ah dankeluar dari golonganahli sunnah wal jama’ah .

Kriteria yang benar menurut kalangan ahli sunnah wal jama’ah, baik dalam tataran tradisi ataupun pemikiran agama resmi kontemporer, adalah riwayat yangberasal dari Rasul atau sahabat yang menyaksikan turunnya wahyukarena mereka lebih tahu tentang maknanya. Tafsir harus didasarkan pada naql (riwayat), sebab melakukan penalaran selalu menyebabkan kekeliruan. Ilmu yang didasarkan pada penalaran, bukan riwayat, banyak menimbulkan kekeliruan yang dilakukan oleh dua kelompok yang muncul setelah sahabat, tabiin, dan tabi’i tabi’in. Tafsir tersebut hampir tidak memuat kedua kelompok tersebut, pertama, kelompok yang meyakini makna-makna, kemudian kata-kata al-Quran dimaknai dengan makna-makna tersebut. Kedua, kelompok yang menafsirkan al-Quran hanya denganm akna yang dapat diterima oleh orang Arab, tanpa memerhatikan pembicara nya (Allah), penerima (Nabi) dan sasaran(umat).

Tafsir menurut Ahli Sunah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno. Padahal penafsiran semacam ini menyebabkan makna teks terikat dengan horizon nalar dan bingkai kultural era generasi pertama kaum kuslimin. Keterkaitan ini bertentangan secara mendasar dengan konsep yang sudah mapan dalam kebudayaan bahwa makna teks melampaui batas-batas ruang dan waktu. Akibatnya mereka cukup dengan kebenaran azali sebagai kebenaran final, dan menjauhi metode eksperimental dalam mengkaji fenomena alam dan kemanusiaan. Kekeliruan mendasar pada sikap Ahlu Sunah adalah pandangannya terhadap gerak sejarah danperkembangan zaman sebagai gerak menuju yang lebih buruk dalam semua lapisan. Karenanya mereka mengkaitkan makna teks dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, dan masa turunnya wahyu. Mereka lupa bahwa hal ini berarti menegaskan temporalitas wahyu bukan saja dari sisi keterbukaan teks, tetapi juga dari sisi makna dan signifikansinya.

Tafsir dan Ta’wil (Makna Bahasa dan Istilah)
Terdapat perbedaan dalam mencari akar kata tafsir menurut para ahli bahasa. Apakah ia berasal dari kata fasara atau safara. Fasara (al-fasru) berarti pengamatan seorang dokter terhadap air. Bahwa mufasir harus bertindak bagai seorang dokter. Ia harus memiliki pengetahuan terhadap penyakit dan gejala-gejala agar ia dapat menemukan penyakit dari materi, agar ia dapat melakukan proses penafsiran. Sedangkan safara berarti perpindahandan perjalanan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan kemunculan. Atas dasar ini, kata tafsir baik berasal dari safar atau fasru adalah sama, bermakna mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufassir (orang yang menafsirkan), melalui tanda itu ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi dan samar.

Sedangkan kata ta’wil sendiri dalam al-Quran justru lebih populer karena muncul lebih banyak dibandingkan dengan tafsir. Ta’wil muncul 17 kali, sedangkan tafsir hanya sekali saja. Mungkin hal ini karena ta’wil merupakan konsep yang dikenal dalam kebudayaan pra Islam, berkaitan dengan tafsir terahdap mimpi atau ta’wil al-ahadits. Dalam surat Yusuf kita akan menemukan bahwa struktur surat tersebut didasarkan pada mimpi Yusuf pada awal surat, yaitu mimpi yang ta’wilnya terealisasi pada akhir kisah. Atau mimpi raja dan mimpi dua teman penjara Yusuf, dimana Yusuf menafsirkannya. Di sini ta’wil berarti memberitahukan kejadian sebelum terjadi secara faktual. Artinya, ta’wil tidak hanya terbatas pada ta’wil mimpi saja, akan tetapi (Yusuf mampu) menceritakan kejadian sebelum terjadi. Akhirnya, ta’wil bermakna kembali pada yang usul dan juga berarti sampai pada tujuan.

Dari keterangan tersebut, terdapat perbedaan pentingantara tafsir dan ta’wil. Hal itu tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan medium yang diamati mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya. Sedangkan ta’wil adalah proses yang tidak selalu membutuhkan medium tersebut, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental intelektual dalam menemukan asal mula gejala, atau dalam mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara subjek dan objek, sedangkakn proses ini dalam tafsir tidak berlangsung karena melalui medium yang berupa teks bahasa atau suatu penanda. Tafsir terkait dengan aspek-aspek umum yang eksternal dari teks, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, makkiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukh, dll. Semuanya adalah ilmu-ilmu naqliyah yang didasarkan pada riwayat menurut ulama kuno. Dalam ilmu-ilmu tersebut, tidak ada tempat untukberijtihad, selain mentarjih atau mengkopromikannya.

Dari pembatasan ini, ilmu tafsir nampak sebagai ilmu yang menghimpun semua ilmu yang menjadi pengantar bagi ta’wil yang berarti upaya mu’awwil untuk mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Maka tafsir adalah bagian dari ta’wil, dan hubungan antara keduanya adalah hubungan antara khash dengan amm, serta hubungan naql dengan ijtihad. Pembedaan ini mengandung satu dimensi penting dari proses ta’wil, yaitu peran pembaca dalam menghadapi teks dan dalam menemukan maknanya. Tetapi peran pembaca bukanlah mutlak, melainkan harus didasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan erat dengan teks, yang termasuk dalam konsep tafsir. Muawwil harus mengetahui benar tentang tafsir sedemikian rupa sehingga ia dapat memebrikan ta’wil yang diterima terhadap teks, yaitu ta’wil yang tidak menundukkan teks pada kepentinga subjektif, kecenderungan pribadi, dan ideologinya. Inilah ta’wil terlarang dan bertentangan dengan teks baik tersurat maupun tersirat.

Mekanisme Ta’wil
Dalam menjalankan kegiatannya, seorang mufassir harus tetap dalam batas-batas ilmu al-Quran dan bahasa. Ilmu al-Quran berkaitan dengan teks, karena ilmu tersebut membicarakan berbagai aspek teks. Dan ilmu bahasa yang diketahui mufassir adalah tentang bentuk-bentuk morfologis dan semantiknya, hubungan kata kerja dengan petandanya, proses derivasi dan perubahan. Kemudian ilmu nahwu dan i’rab. Meski demikian, dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik yang lebih dalam dan memerlukan gerak mental intelektual dalam menghadapi teks. Di sinilah ta’wil menjadi penting setelah mufassir dengan sejumlah perangkat ilmiahnya menguras segala bentuk kemungkinan makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut. Ta’wil mendakup semua bagian teks, tidak hanya pada yang ambigu atau teks yang kepadatan maknanya sangat tinggi. Ijtihad adalah keharusan praktis yang dituntut oleh perkembangan realitas dan pluralitas masyarakat Islam. Sabda nabi, ‘Perbedaan pendapat di antara umatku adalah suatu rahmat.’

Dalam hal kata yang memiliki dua makna, maka pertama, salah satu dari dua makna tersebut lebih jelas dari yang lainnya. Karenanya harus dimaknai secara dhahir, kecuali ada dalil yang menunjukka bahwa maknanya adalah yang samar, maka harus diterapkan pada makna yang samar tersebut. Kedua, keduanya jelas dan pemakaian keduanya adalah haqiqi. Hal ini ada dua bagian, pertama, asal-usul makna haqiqi kedua makna tersebut berbeda. Jika salah satunya adalah hakiki secara bahasa, sedangkan yang satunya adalah hakiki secara syara’, maka makna syara’ harus didahulukan. Jika kehakikiannya berkisar antara bahasa dan kebiasaan, maka maka makna kebiasaan lebih diutamakan. Atau antara makna syara’ dan kebiasaan, maka makna syara’nya lebih kuat.

Kedua, asal-usul makna hakikinya sama. Jika keduanya saling menafikan, maka harus berijtihad. Namun jika tidak saling menafikan, maka harus dimaknai menurut keduanya. Dalam ta’wil, teks selalu terbuka terhadap pembacaan baru. Meski demikian, pembaca harus tenggelam total dalam dunia teks, sebab tanpa yang demikian, pembaca akan tetap dangkal dan berkutat pada taa’wil yang dibenci. Dasar memahami makna-makna al-Quran adalah dengan tadabbur dan tafakkur. Dan seseorang tidak akan dapat memahami makna wahyu yang sebenarnya. Seseorang tidak akan dapat melihat rahasia-rahahsia ilmu tentang pengetahuan gaib, sementara dalam hatinya terdapat bid’ah danbergelut dalam dosa,atau dalam hatinya ada kesombongan, nafsu, cinta dunia, atau imannya yang sebatas kata-kata, atau kurang kuat daya nalarnya, atau hanya mendasarkan pada nalarnya.

Pembedaan tafsir dan ta’wil memang benar adanya. Akan tetapi menggunakan perbedaan tersebut dengan mengedepankan tafsir, dan mengorbankan ta’wil, pada dasarnya sangat bertendesi ideologis yang didasarkan pada tradisi dan tujuan untuk mendukung status quo lewat upaya memapankan makna teks sebagai hasil ijtihad ulama kuno. Akhirnya, muawwil (orang yangmena’wilkan) harus bersandar pada kepentingan mayoritas umat, dan menyuarakan kepentingan tersebut. Ia tidak hanyaharus menguasai ilm-ilmu naqliyah tradisional, tetapi juga ilmu-ilmu bantu dalam memahami realitas, menangkap gerak perubahan dan perkembangan dalam menyikapi realitas dan kekuatan-kekuatan yang saling bertarung.
===============================================================

*Disarikan dari: Abu Zaid, Nasr Hamid, ‘Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an’, Yojakarta: LKiS.

Gerakan Anti Korupsi (GAK) Berbasis Pesantren

Sebuah Upaya Menyadarkan Umat

Pendahuluan
Agama, sebagai ‘institusi’ yang eksis di dalam dan di tengah-tengah masyarakat, telah turut memberikan andil, baik positif maupun negatif, terhadap kehidupan mereka. Sejarah agama sendiri sejak kemunculannya adalah sejarah akan perubahan. Hanya saja, bagi pemeluknya, agama dianggap sebagai sebuah progresifitas dari sebuah keajegan. Sedangkan bagi yang tidak cocok, agama dianggap sebagai sebuah kemunduran. Seiring dengan berjalannya waktu, agama yang meyakini nilai-nilai tertentu ini juga terus berjuang, baik untuk merubah suatu keadaan ataupun sekedar mempertahankan diri. Karenanya, perubahan dalam suatu masyarakat beragama menjadi tidak terelakkan. Pertanyaannya, siapa yang menjadi penggeraknya, agama yang menggerakkan masyarakat atau masyarakat yang menggerakkan agama?

Di sinilah beberapa ahli sosiologi agama berbeda pendapat. Bagi Marx yang materialis, perubahan dunia materi (ekonomi) akan merubah agama. Seiring dengan menghilangnya kelas sosial, maka agama juga akan hilang dengan sendirinya, karena agama hanya buatan kelas atas untuk ‘membius’ kelas bawah/proletar agar menerima kehidupannya dengan apa adanya. Karenanya bukan agama yang merubah masyarakat, akan tetapi masyarakatlah yang merubah agama. Sedangkan menurut Weber, agama juga dapat merubah masyarakat. Hal ini lantaran manusia memiliki makna-makna subjektif. Dan agama sangat memengaruhi nilai-nilai subjektif ini, sehingga agama juga memungkinkan untuk merubah masyarakat.

Tulisan ini mau menunjukkan sebuah bukti dalam kehidupan nyata, sekaligus membenarkan pandangan Weber, bahwa agama memang dapat membuat sebuah transformasi dalam kehidupan sosial. Tepatnya, berdasarkan nilai-nilai yang diyakini sebagai nilai penting dalam agamanya, para penganutnya lantas melakukan tindakan-tindakan untk mengsahakan nilai itu yang dengan demikian harus bersinggungan dengan institusi lain yang kadang tidak dapat berkompromi.

Sejarah Awal
Didorong oleh kepedulian akan kehidupan masyarakat, khususnya di pedesaan dan akar rumput, yang cenderung tersingkir dan terbelakang, di samping untuk mengupayakan tata kehidupan masyarakat yang adil, demokratis, dan bermartabat, beberapa kiai terkemuka dari pesantren-pesantren Jawa bersama dengan para cendekiawan membentuk suatu lembaga yang dinamakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada 18 Mei 1983. Mereka itu adalah KH. Jusuf Hasyim, KH. MA. Sahal Mahfudh, Hj. Dr. Tuty Alawiyah, KH. Abdurrahman Wahid, Adi Sasono, Soetjipto Wirosarjono, M. Dawam Rahardjo. Pada awalnya, P3M merupakan wadah aspirasi kalangan pesantren termasuk karya sosial dan pengembangan masyarakat yang secara tradisional menjadi karakteristik pesantren, di samping mencari akar teologis yang kokoh bagi upaya pengembangan masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, lembaga ini secara profesional ditangani oleh para alumni pesantren dan kiai muda, dengan dewan pengurus dan penasehat tetap dipegang oleh para kiai-kiai tua terkemuka. Lembaga ini memiliki jaringan dengan pesantren-pesantren NU baik di Jawa maupun di luar Jawa. Meski demikian, kegiatan pemberdayaan masyarakat ini tidak hanya terbatas pada kalangan santri dan pesantren, akan tetapi juga masyarakat secara umum. Ada banyak divisi dalam lembaga ini, yang salah satunya adalah Gerakan Anti Korupsi (GAK).

Gerakan Anti Korupsi (GAK): menyadarkan umat akan hak-haknya
Gagasan utama Gerakan Anti Korupsi (GAK) Berbasis Pesantren yang dimotori oleh P3M pada dasarnya adalah mencoba mendorong terwujudnya kantong-kantong anti korupsi dan kontrol anggaran yang dimotori kalangan kiai dan nyai pesantren selaku pemuka agama dan masyarakat dalam bentuk partisipasi dan pengawasan terhadap kebijakan publik, termasuk memantau perilaku pejabat publik dalam penggunaan kekuasaan dan uang negara. Langkah-langkah yang dilakukan antara lain dengan menumbuhkan kesadaran dan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai dampak korupsi, baik terhadap kelangsungan hidup negara maupun terhadap kesengsaraan rakyat, selain menyebarluaskan pesan-pesan antikorupsi dari pandangan keagamaan dan sosial kepada khalayak lewat berbagai instrumen yang “dekat” dengan masyarakat.

Beberapa aksi strategis yang telah dilakukan oleh GAK adalah menggarap sisi kognitif berkaitan dengan pemberian wawasan mengenai anatomi korupsi serta bagaimana peran ajaran Islam. Dalam agenda ini program GAK mencoba mengantarkan pada analisis kritis mengenai akar persoalan korupsi di negeri ini beserta dampaknya yang parah bagi kepentingan dan pemenuhan hak-hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya warga. Lalu, bagaimana realitas yang memprihatinkan ini dilihat serta dipahami oleh Islam – maksudnya: agamawan dan atau kalangan pesantren – serta bagaimana demokrasi dan/atau ajaran doktrin Islam memberikan konsepsi resolusi. Yang dimaksud dengan doktrin Islam itu bisa disebut fiqh (fikih) yang merupakan pegangan kalangan pesantren.

Pada tahap ini, yang dikembangkan adalah upaya penafsiran-ulang (reintreprestasi) doktrin di tingkat teologis yang memaknai kembali bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tugas biasa yang bersifat profan, tetapi merupakan tugas suci atau panggilan keagamaan. Demikian juga halnya dengan uang yang selama ini dipahami sebagai uang negara, sesungguhnya merupakan uang rakyat yang dipungut dari pajak. Karena itu, mengawasi atau mengontrol distribusi anggaran – khususnya yang berkait sektor publik – merupakan kewajiban setiap warga negara, termasuk masyarakat pesantren. Keluaran pokok yang menonjol dari kegiatan-kegiatan ini antara lain diharapkan berupa rumusan tegas tentang pendasaran atau ketetapan keagamaan yang lebih memadai atas larangan korupsi. Semacam fatwa atau penetapan hukum Islam, menyangkut definisi, respon kasus, dan hukum. Suatu upaya berkaitan dengan penegasan ini telah dilakukan dengan langkah rintisan menyelenggarakan beberapa kegiatan Bahtsul Masail (BM) kiai pesantren. Dalam kegiatan ini, yang utama dibahas adalah “membangun fiqh antikorupsi”. Pendasaran fiqh ini penting, karena dalam tradisi pesantren kedudukan fiqh cukup sentral sebagai sebuah acuan dalam menghadapi permasalahan sosial yang berkembang di kalangan warga NU khususnya dan umat Islam umumnya
Selain itu, didorong pula kegiatan yang mewacanakan interpretasi baru atas konsep zakat. Zakat – yang memiliki kedudukan penting sebagai ajaran salah satu dalam lima rukun Islam – dirumuskan sebagai acuan “moral politik perpajakan dan penganggaran yang menjunjung tinggi prinsip keadilan, kemaslahatan umum, dan pemihakan pada rakyat lemah. Pajak dimaknai sebagai fungsi ilahiyah yang hanya berhak dipungut “Tuhan”, sementara penyelenggara negara hanyalah distributor yang wajib menyalurkan pajak itu pada kelompok yang paling lemah – sebagaimana disebutkan al-Qur’an, fungsi penataan politik-ekonomi-sosial yang adil dan bebas korupsi, kontrol pada jalannya sistem tersebut, dan pendistribusian hasil pajak, menjadi fardlu a’in (imperative categories) atas setiap warga negara.

Beberapa contoh pelatihan yang diselenggarakan oleh GAK adalah training CO GAK di 3 region Jawa. Kegiatan training ini dimaksudkan untuk menyiapkan organizer dari pesantren yang memiliki kemampuan analisis kritis terhadap kebijakan publik; dan terampil mendorong masyarakat agamawan (NU/Pesantren) dalam gerakan pemberantasan korupsi terutama di level daerah kabupaten. Dari kegiatan ini ditargetkan, peserta memiliki ketrampilan mengkompilasi data dan masalah (isyu) korupsi sekitar APBD atau Perda, serta memiliki kemampuan menganalis persoalan korupsi daerah terutama pada aspek pembacaan anggaran (uang publik sebagai hak rakyat), serta bagaimana melakukan aksi dan advokasi atas persoalan korupsi tersebut. Kegiatan yang lain adalah worksop pemetaan masalah tentang korupsi daerah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memetakan isyu strategis menyangkut problem korupsi di beberapa daerah, dan juga penetapan fokus gerakan apa yang paling mungkin bisa dilakukan oleh CO dan stake holder (kyai pesantren) dalam mengurangi korupsi berkait dengan kebijakan-kebijakan yang ada. Para peserta adalah para kiai muda dan para alumni pelatihan sebelumnya.

Kegiatan yang dilakukan oleh para peserta setelah pelatiahan adalah suatu kegiatan dimana para kyai ulama pesantren dengan forum BM melancarkan kritik dan kontrol APBD di daerah agar benar-benar memihak rakyat lemah, dengan mendesakkan APBD menuju kepada keberimbangan alokasi dana (minimal 70% dari total anggaran) untuk kepentingan riil pemberdayaan masyarakat. Yakni, pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti peningkatan pada sektor pertanian, dan pengembangan usaha kecil- menengah dan koperasi); peningkatan pelayanan publik (seperti pada pelayanan kesehatan dan pendidikan yang baik dan murah serta terjangkau); jaminan pengaman perlindungan sosial (seperti beras miskin dll). Sedangkan keperluan kebutuhan rutin mestinya hanya sebesar 30%.

Bagi GAK, perhatian gerakan “revitalisasi BM oleh Kyai-ulama pesantren” dengan fokus pada ”politik anggaran daerah” ini sangat penting digalakkan dan didesakkan kerena kenyataan di semua Pemerintah Daerah APBD telah menyedot sebagian besar (hampir 80%) total anggaran, seperti yang tercermin pada alokasi angka yang besar untuk fasilitas, tunjangan, uang pesangon, dan perjalanan dinas, yang berlebihan. Padahal sementara itu banyak rakyat di banyak daerah itu, saat ini kesulitan untuk tetap dan meneruskan sekolah sampai tingkat SLTA apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka juga kesulitan untuk membiayai kesehatan ketika sakit, karena biaya periksa dan obatnya makin mahal. Dan mereka yang kebanyakan berprofesi petani atau nelayan, juga mendapat hasil olahannya makin tak cukup untuk hidupnya. Sampai saat ini, kegiatan Bahtsul Masail yang dikoordinatori oleh GAK ini sudah berjalan di 12 daerah di Pulau Jawa, yakni, Cianjur, Tasik, Ciamis, Garut, Pati, Kuningan, Brebes, Jepara, Lamongan, Ponorogo, Blitar dan Sumenep.

Proses
Biasanya Bahtsul Masail dimulai dengan sesi teologi anggaran sebagai upaya memberikan sumber inspirasi teologis bagi kyai dalam gerakan anti korupsi. Hal ini terutama menyangkut konsep penganggaran yang adil dalam Islam. Kemudian sesi “Bedah Anggaran” untuk memberikan analisis dan data realitas problem korupsi APBD sejak dari perencanaan sampai tingkat pelaksanaan. Untuk materi dan fasiltasi proses sesi ini (analisa anggaran) dihadirkan expert tentang analisa anggaran baik dari akademisi atau NGO di satu pihak, dan kadang dihadirkan pula expert soal anggaran ini dari eksekutif atau legislatif dari daerah bersangkutan. Ini dilakukan untuk mendapat perimbangan informasi dan data. Forum BM ini kemudian diakhiri dengan penyusunan rekomendasi (tausiyah) yang disampaikan oleh forum sebagai tuntutan dan sikap bersama agamawan (pesantren) terhadap realitas problem ketidakberpihakan APBD daerah bersangkutan kepada pemberdayaan rakyat. Tausyiah ini kemudian dalam beberapa hari setelah acara BM tersebut disampaikan ke pihak-pihak yang terkait. Sebagian besar penyampaian ke pihak yang terkait itu dilakukan via surat pos atau kurir tercatat, namun sebagian disampaikan bersamaan dengan loby kepada pihak-pihak tersebut, bahkan ada dalam bentuk protes mobilisasi massa.

Kegiatan revitalisasi Bahtsul Masail untuk kontrol kebijakan publik ini mendapat respon yang sangat positif dan antusias dari para kyai ulama pesantren daerah. Bahkan di semua tempat kegiatan ini muncul forum-forum tindak lanjut untuk mengusung gerakan ini. Sebutlah di Pati terbentuk LK2P (Lajnah Kajian Kebijakan Publik), di Lamongan terbentuk Forum Kajian Ilmiah dan Bahtsul Masail (FKIBM), di Brebes terbentuk Forum Kajian Alternatif (FOKAL), di Cianjur terbentuk Jaringan Kerja Untuk Kedaulatan Rakyat (JAGAT), dan lain lain.

Contoh kasus perubahan sosial di Ciamis
Para kiai/ajengan dan para peserta Bahtsul Masa’il umumnya merasa mendapatkan pencerahan yang lebih konkret tentang arti pentingnya pengawasan terhadap dana publik, khususnya APBD. Mereka umumnya merasa mendapatkan wawasan baru dan sekaligus legitimasi baru bahwa pemberantasan korupsi merupakan kewajiban publik yang memiliki makna ibadah. Bahkan kiai yang paling memiliki otoritas di kota ini, merasa bahwa gerakan ini benar-benar merupakan pembaruan pemikiran di kalangan mereka yang perlu dilestarikan dan ditindaklanjuti. Demikian juga hasil tausiyah/rekomendasi yang disebarkan ke kalangan publik, terutama di kalangan stakeholder, membuat mereka terperangah atas angka-angka APBD yang sama sekali tidak memihak pada kemaslahatan rakyat.

Seperti umumnya APBD di berbagai daerah, alokasi APBD 2003 kabupaten Ciamis juga menunjukkan besarnya alokasi dana untuk kepentingan belanja rutin dan kecilnya belanja pembangunan. Sekilas kebutuhan dana aparatur itu (Rp. 126.166.099.200) jauh lebih kecil dibandingkan dana belanja publik (Rp. 465.421.135.300). Namun jika dilihat lebih rinci angka belanja publik itu sebagian besar telah dihabiskan untuk belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, dan belanja tidak tersangka. Sedangkan yang untuk belanja modal dan belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang berkait langsung dengan masyarakat hanya Rp. 32.895.197.000 atau 7,07% dari total Anggaran Belanja Daerah.

Hal itu diperparah oleh anggapan masyarakat Ciamis, termasuk para kiai, bahwa kepemimpinan bupati mereka memiliki cacat, mulai dari moralitas pribadinya yang dianggap cela, terlalu arogan, banyaknya kebijakan publik yang dianggap mengabaikan kepentingan rakyat. Mereka bersama-sama mengeluarkan Deklarasi Penjalu untuk menentang bupati dan menurunkannya. Namun bupati dengan kekuasaannya tetap bisa eksis. Sehingga akhirnya para anggota DPRD Ciamis dibai’at di dalam masjid Pesantren Cijantung yang dipimpin langsung oleh KH Achmad Hidayat, salah satu pendukung utama Bahtsul Masa’il GAK. Inti bai’at itu adalah bahwa atas nama Tuhan para anggota DPRD harus tunduk pada hati nurani sendiri dan bukan yang lain (money politics). Di tengah-tengah kuatnya aspirasi penolakan bupati lama, khususnya oleh ulama, maka secara implisit bai’at itu telah memuat pesan agar para anggota DPRD itu tidak memilih lagi bupati tersebut. Dan hal itu terbukti, bahwa dalam pemilihan berikutnya bupati yang bersangkutan tidak terpilih. Setelah bupati yang baru terpilih, cara bai’at kembali diterapkan. Dan di sini telah terjadi kontrak politik tak tertulis (konvensi) antara bupati baru dengan para kyai. Inti dari kontrak politik itu antara lain: ulama akan mendukung bupati selama apa yang dijalankan memihak pada kepentingan rakyat banyak, sebaliknya jika bupati telah melanggar komitmen, maka ulama tidak akan segan-segan untuk melakukan kontrol yang lebih keras, termasuk kemungkinan menurunkan di tengah jalan.

Seberapa jauh janji itu akan ditepati hanya sejarah yang akan menguji. Upaya lain yang dilakukan untuk mengontrol kekuasaan adalah ketika pihak pesantren Cijantung (tempat Bahtsul Masa’il dilaksanakan) telah mengagendakan untuk mengundang para anggota DPRD terpilih (2004-2009), dalam acara syukuran. Akan tetapi inti yang dikehendaki oleh para ulama itu adalah melakukan semacam kontrak politik dalam bentuk bai’at lagi. Di sini ulama bukan saja memiliki bargaining politik yang cukup besar, tetapi juga memegang kendali kontrol terhadap stakeholder di saat lembaga legislatif telah kehilangan fungsinya sebagai kontrol kekuasaan.

Cerita lain atas keterlibatan ulama di Ciamis ini adalah terjadinya pengawalan publik, yaitu ketika para kyai atas dukungan pihak kejaksaan yang telah berani mengungkapkan kasus korupsi yang telah dilakukan oleh seluruh anggota DPRD. Yaitu kasus penyelewengan dana tahun 2001-2002 senilai lebih dari Rp. 5,6 milyar, guna untuk membayar uang pensiun atas dirinya sendiri, yang dianggap melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 tentang kedudukan keuangan DPRD. Apalagi telah diketahui bahwa para anggota dewan yang mendapat uang pensiun Rp. 2 juta perbulan itu, semuanya masih bekerja (tidak pensiun). Dalam acara persidangan itu para kyai datang untuk memberi dukungan kejaksaan yang telah dianggap memiliki keberanian politik dalam menuntaskan kasus korupsi. Bentuk dukungan itu diantaranya melakukan azan tujuh kali di kantor kejaksaan, sebagai tanda penetapan kasus ini sebagai pelanggaran publik sesuai kaidah fiqh yang berlaku.

Penutup
Apa yang saya paparkan di atas adalah bukti konkret dari keterlibatan agama, utamanya kalangan agamawannya yang percaya akan luhurnya nilai-nilai agama yang dipeluknya, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Keterlibatan ini bernilai positif karena di samping membuat mereka sendiri sadar akan hak-haknya, juga membuat mata umatnya menjadi terbuka dan menyadari hak-hak yang harus mereka dapatkan. Kasus Ciamis hanyalah salah satu kasus kesadaran akan hak dari para kiai dan umatnya yang telah dirintis oleh Gerakan Anti Korupsi (GAK). Masih banyak kasus serupa yang terjadi di daerah-daerah yang dikoordinasi oleh GAK ini. Hal ini menunjukkan akan katerlibatan kalangan agamawan dalam perubahan dalam dua jenjang. Pertama, dari para pendiri P3M yang adalah para kiai besar di Jawa. Mereka menempatkan kiai-kiai mudanya di lembaga ini untuk menyadarkan dan menggerakkan para kiai-kiai daerah untuk melakukan transformasi sosial. Kedua, dari kiai-kiai daerah ini lahir gerakan-gerakan konkret yang dilakukan bersama umatnya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, baik dalam hal keagamaan maupun sosial-kemasyarakatan.

Lebih dari itu adalah bukti bahwa agama ternyata juga dapat menimbulkan transformasi sosial. Dalam hal tersebut di atas, nilai-nilai Islam tentang keadilan, keterbukaan, persamaan, juga tentang zakat dan pajak yang harus ditujukan untuk semua, mendorong mereka untuk ikut bergerak memperbaiki keadaan masyarakat yang mereka anggap masih jauh dari sempurna. Memang tidak ada jaminan bahwa keterlibatan mereka dalam perubahan ini tidak membuat mereka ikut jatuh dalam politik praktis yang akhirnya sering kali membahayakan mereka sendiri. Akan tetapi paling tidak gerakan ini telah menyadarkan mereka dan umatnya akan pentingnya pemenuhan hak-hak mereka sendiri sebagai warga negara. Maka benarlah jika dikatakan bahwa agama adalah agen perubahan dalam masyarakat.


Pustaka
Burhan, AS., Fighting Corruption to Papua, 10 Stories o Combating Corruption in Indonesia, Jakarta: Partnership, 2006.
Burhan, AS. Ed., Mengutamakan Hak-hak Dasar Rakyat; Panduan Gerakan Pesantren Mengawal Kebijakan Anggaran Daerah, Jakarta: P3M, 2006.
Hendropuspito,D., Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1983.
Magnis-Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 1999.
Mas’udi, Masdar, F., Menggagas Ulang Zakat sebagai Etika Pajak dan Belanja Negara untuk Rakyat, Bandung: Mizan, 2005.
Proceeding Koordinasi Program dan Pelatihan Analisis Anggaran, GAK-P3M, 2006. Tulisan tidak diterbitkan.
Proceeding Rapat Umum Anggota P3M, 4-5 Maret 2003. Tulisan tidak diterbitkan.
Samatan, Nuriyati, Dinamika Pemikiran Kalangan Muda Nahdlatul Ulama, disertasi doctor dalam ilmu-ilmu sosial pada Universitas Padjadjaran. Naskah belum diterbitkan.
Sukamzawi, Suraji, Mengawal Kebijakan Anggaran dari Pesantren, paper untuk penulisan Gerakan Advokasi Anggaran; Refleksi Membangun Kedaulatan Rakyat Atas Anggaran, Sekretariat Nasional Fitra, 2007.
Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris, Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, Jakarta: P3M, 2004.

Paradoks dalam Agama

I
Siapa yang masih mau mengatakan bahwa seluruh ajaran agama, sejak semula, masih relevan dengan tuntutan dan kondisi masa kini? Siapa yang masih menganggap bahwa apa yang dibawa dan diatasnamakan agama, dari awal mula kemunculannya, berlaku bagi umatnya di mana dan kapan saja? Orang yang masih mengafirmasi jawabannya atas pertanyaan semacam itu, menurut saya, telah menutup matanya, atau kalau tidak begitu, ia pasti tidak memanfaatkan secara maksimal nalarnya dalam melihat kenyataan di hadapan dan sekelilingnya.

Tidak ada satu agama pun yang masih eksis sampai sekarang dalam bentuk asli sebagaimana ia lahir pertama kalinya. Dapat kita tengok, hampir semua ajaran agama di dunia ini menjadi matang seiring dengan berjalannya waktu. Doktrin-doktrin agama pada masa awal kelahirannya, bisa dipastikan, tidak akan sebanyak doktrin yang ada pada masa sekarang ketika agama telah berumur ratusan bahkan ribuan tahun. Doktrin-doktrin itu telah mengalami perubahan, baik dalam bentuk perluasan, modifikasi, atau malah pengurangan. Beberapa ajaran dari suatu agama yang terdapat pada masa awal kelahirannya sudah tidak lagi kita jumpai pada masa sekarang. Atau masih kita jumpai, akan tetapi dalam bentuk yang telah termodifikasi. Adapun yang lazim kita jumpai adalah ajaran-ajaran baru yang tidak terdapat secara eksplisit pada masa awal kemunculan suatu agama.

Perubahan tersebut jelas tidak langsung berasal dari Tuhan – kalau memang ia adalah agama samawi – akan tetapi sebagai hasil pergulatan panjang umat dan agama tersebut dalam menapaki sejarahnya. Perubahan itu tidak terelakkan lantaran pergumulan yang terus menerus antara idealisme yang mau diusung oleh agama dengan realitas yang mengelilinginya yang sering kali tidak saling selaras. Bahkan perubahan ajaran itu tidak hanya terjadi ketika wahyu sudah tidak turun lagi, akan tetapi pada masa ketika wahyu masih turun pun, ajaran agama – tepatnya wahyu – berada dalam keadaan yang selalu berubah-ubah. Hal itu dapat kita saksikan dari banyaknya ayat dalam kitab suci yang kelihatan tidak dapat didamaikan antara satu dengan lainnya.

Terkait dengan masalah relevan dan tidaknya sebuah ajaran agama (wahyu) dengan realitas masa kini, kita dapat melihat gambaran kasar dari dua sikap yang berbeda dari pemeluk suatu agama terhadap wahyu yang diturunkan kepada mereka. Kaum fundamentalis mengatakan bahwa wahyu Tuhan yang ada dalam kitab suci berlaku kapan dan di mana saja, sehingga tidak perlu penafsiran ulang. Kita tinggal mengikuti apa yang ada dalam kitab suci untuk menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Kehendak Tuhan telah jelas tertera dalam kitab suci-Nya. Sedangkan kalangan yang moderat (dan liberal) menerima penafsiran atas ayat-ayat wahyu yang jelas tidak relevan dengan masa kini. Penafsiran ini penting agar ajaran agama dapat langgeng, sehingga diterima tidak hanya oleh generasi masa lalu saja, akan tetapi juga oleh generasi masa sekarang dan yang akan datang. Dengan demikian, keuniversalan suatu agama dapat terbukti.

Dari dua kelompok itu, kelompok pertama, para fundamentalis, mungkin yang paling tidak dapat diterima. Fakta membuktikan bahwa banyak sekali ayat-ayat wahyu yang tidak sesuai dengan masa kini. Berita dan gambaran yang ada dalam wahyu banyak yang bertentangan dengan kondidi aktual masa sekarang. Bahkan ramalan yang tersebut dalam wahyu banyak yang gugur lantaran tidak terbukti. Ilmu pengetahuan memainkan peran penting dalam keruntuhan klaim kebenaran wahyu ini. Ia telah membuktikan bahwa apa yang tertera dalam wahyu banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Namun yang mengherankan, kalangan fundamentalis masih berpegang teguh pada apa yang tersurat dalam kitab wahyunya. Meraka tetap mempercayainya meskipun hal itu bertentangan dengan kebenaran faktual. Di sini yang saya maksud dengan kebenaran faktual adalah kebenaran yang telah diakui bersama bahwa itu adalah benar; kebenaran yang telah menjadi pengetahuan umum.

Kelompok yang kedua mungkin lebih baik daripada yang pertama. Ayat-ayat dalam wahyu yang jelas tidak sesuai dengan kenyataan, mereka tafsirkan ulang agar sabda Tuhan tetap relevan dengan semangat zaman. Mereka menerima pendekatan historis dalam membaca wahyu. Bahwa wahyu yang sesuai dengan masa kelahirannya tidak harus sesuai pula dengan masa kini yang telah banyak mengalami perubahan. Karena itu, penafsiran ulang adalah sebuah keniscayaan.

Kelompok yang kedua ini menggunakan berbagai cara dalam mengupayakan agar wahyu tetap sesuai dengan kebenaran faktual. Mereka percaya bahwa wahyu selamanya tidak pernah salah – suatu sikap yang tentunya berbasis pada keimanan. Akan tetapi, kebenaran wahyu tidak harus bermakna tunggal dan tertentu. Wahyu terbuka bagi penafsiran untuk menyingkap kebenarannya. Sangat mungkin bagi setiap generasi untuk menafsirkan wahyu sesuai dengan masanya, sehingga wahyu tidak menjadi barang yang kedaluwarsa. Justru karena keterbukaan wahyu terhadap berbagai penafsiran itulah di antara tanda kebenaran wahyu.

Namun, dari sikap kalangan moderat ini kita akan menemukan suatu sikap yang paradoks. Di satu sisi, mereka mengakui kebenaran wahyu, kapan dan di mana saja. Di sisi lain, kebenaran wahyu itu tidak mengacu pada diri wahyu itu sendiri, akan tetapi mengacu pada realitas di luar wahyu, yaitu kebenaran faktual pada suatu masa dan tempat tertentu. Artinya, yang menjadi acuan sebenarnya bukanlah wahyu itu sendiri, akan tetapi kebenaran faktual yang telah diketahui bersama. Ketika wahyu dan kebenaran faktual tidak bertentangan, hal itu diklaim sebagai bukti kebenaran akan wahyu. Namun ketika keduanya bertentangan, maka yang dijadikan acuan adalah kebenaran faktual yang untuk selanjutnya digunakan sebagai landasan dalam menafsirkan wahyu. Di sini jelas, kebenaran faktual lebih diutamakan daripada wahyu. Kebenaran wahyu menganut dan bersandar pada kebenaran faktual.

Maka dapat dipertanyakan, manakah yang benar, wahyu atau kebenaran faktual? Manakah yang menjadi pegangan sebenarnya, agama atau kebenaran faktual, kalau akhirnya agama ditafsirkan sesuai dengan kebenaran yang terakhir ini? Kenapa orang harus repot-repot memeluk agama, bahkan bersusah payah menafsirkan teks agama, kalau akhirnya yang ia temukan tidak lebih dari apa yang ada dalam kebenaran faktual yang sesungguhnya telah diketahui bersama. Kalau dikatakan bahwa misi utama agama adalah menegakkan nilai-nilai agung universal, seperti kebenaran, keadilan, dan kejujuran, sedangkan penafsiran teks agama adalah upaya untuk mempermudah penerapan nilai-nilai universal tersebut dalam praksis, bukankah tanpa memeluk agama pun kita telah mengetahui dan sadar akan nilai-nilai agung universal tersebut? Kenapa orang harus memeluk agama kalau apa yang mau ia cari dan perjuangkan sebenarnya telah ada dalam pengetahuannya sendiri, sudah ia miliki dan ketahui bersama dengan manusia yang lain?

II
Ketika menyaksikan suatu tindakan tidak bermoral yang dilakukan oleh pemeluk agama dengan mengatasnamakan agamanya, seseorang yang membela agama biasa mengatakan bahwa pelaku amoral tersebut salah dalam menafsirkan agamanya. Agama selamanya tidak pernah salah, akan tetapi umatlah yang salah dalam memahaminya. Bagi mereka, agama tidak identik dengan realitas umatnya.

Benarkah agama berbeda dengan umatnya? Benarkah dalam masalah tersebut umat salah memahami ajaran agamanya? Apakah pembela agama tersebut masih mau mengatakan jawaban semacam itu kalau ternyata yang melakukan pelanggaran moral adalah umat dalam jumlah yang banyak, tidak hanya satu dua saja? Apakah mungkin umat yang sebegitu banyak salah semua dalam memahami ajaran agama? Lalu pemahaman mana yang benar, kalau pemahaman umatnya saja dianggap salah? Bukankah mereka yang lebih mengerti ajaran agama mereka? Bukankah mereka menafsirkannya dari ajaran agamanya? Kalau memang ajaran agama yang sesungguhnya berbeda dari apa yang ditafsirkan oleh umat tersebut, lalu yang manakah bentuk agama itu? Bukankah agama hanya kelihatan ketika terekspresi dalam kehidupan umatnya?

III
Dalam semua agama di dunia ini, kita akan menemukan sebuah fakta yang bertentangan dengan nilai yang mau diusung oleh masing-masing agama. Yaitu sebuah fakta yang tidak mengenakkan yang muncul dalam sejarah perkembangan suatu agama. Fakta itu adalah sejarah pertumpahan darah dalam menyebarkan ajaran-ajaran moral agama. Kekuatan senjata telah digunakan sebagai alat bagi tersebar luasnya ajaran kedamaian agama.

Dalam hal ini, mungkin Islam yang paling banyak disoroti lantaran banyak ayat-ayat dalam kitab sucinya yang berbicara tentang perang dengan kelompok yang dianggap sebagai musuh. Oleh beberapa kalangan moderatnya, hal itu dijawab bahwa ayat-ayat perang tersebut muncul dalam konteks Madinah, yang tidak ada sarana lain untuk mempertahankan diri waktu itu kecuali melalui perang. Bagi mereka, ajaran yang sesungguhnya dari Islam adalah ajaran yang terdapat dalam ayat-ayat yang turun pada periode Makah, yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang, persamaan, dan nilai-nilai universal yang lain. Sedangkan ayat-ayat Madinah hanyalah penjabaran dalam bentuk praktis dari ayat-ayat umum Makah. Artinya, ayat-ayat Madinah adalah ajaran yang pas dan sesuai dengan masa itu, yang tidak mungkin bagi umat Islam masa itu untuk tidak melakukannya. Sedangkan untuk masa sekarang, umat harus kembali lagi kepada ayat-ayat Makah yang universal, karena kondisi Islam Madinah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat Madinah tidak lagi sama dengan masa sekarang.

Jawaban berdasarkan turunnya ayat ini jelas tidak memuaskan. Jawaban tersebut sama saja dengan mengatakan bahwa yang benar dari al-Qur’an hanya separuhnya saja, yaitu ayat-ayat Makah. Sedangkan ayat-ayat Madinah sudah tidak diperlukan lagi, alias dibatalkan dan salah untuk masa sekarang. Padahal, sebagaimana diketahui, baik ayat-ayat Makah maupun Madinah sama-sama diyakini sebagai satu kesatuan dalam kitab suci. Keduanya sama-sama sebagai firman Tuhan. Dan perlu diingat juga bahwa Nabi Muhammad, seseorang yang diturunkan wahyu kepadanya, hidup dan meraih kesuksesan dakwahnya ketika berada di Madinah. Hanya mengakui ayat-ayat Makah saja berarti tidak mengakui Islam Madinah, pusat tersebar luasnya Islam ke berbagai penjuru dunia sampai sekarang. Justru pada masa Madinahlah Islam sebagai agama mulai diakui oleh umat lain.

Melihat kekerasan yang selalu mengatasnamakan Tuhan dan agama dalam sejarah agama, saya berpikir, jangan-jangan itulah sifat yang hakiki dari setiap agama. Agama-agama memang mengajarkan kedamaian, kejujuran, kebaikan, pembebasan, dan berbagai sifat lainnya yang terpuji. Akan tetapi semua sifat-sifat yang baik yang memandang semua manusia secara egaliter itu hanya diajarkan kepada manusia seluruhnya secara tulus sewaktu agama yang bersangkutan sedang dalam keadaan lemah dan tidak berdaya. Sedangkan ketika agama tersebut telah menjadi kuat, ia akan berupaya untuk memaksakan nilai-nilai kebenarannya kepada kelompok lain dengan berbagai macam cara. Dan nilai-nilai kebenaran yang terakhir ini sudah tidak lagi sama dengan nilai-nilai kebenaran yang ia ajarkan ketika masih dalam keadaan lemah. Akan tetapi nilai-nilai kebenaran yang telah berubah menjadi nilai kebenaran yang hanya sesuai dengan tujuan dan kepentingan agama itu sendiri.

Sebagaimana yang telah dipaparkan, Islam periode Makah lazim diakui sebagai Islam yang mengajarkan persamaan, kasih sayang, keadilan, dst. Akan tetapi ketika sudah memasuki periode Madinah, dimana Islam telah menjadi kuat, maka muncullah ajaran-ajaran yang mengandung kekerasan untuk mengekspansi umat lain agar memeluk agama baru ini. Perilaku ekspansif ini semakin menguat sampai berabad-abad setelah generasi Madinah. Demikian juga dalam agama lain, Kristen misalnya. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Injil memang menyerukan kepada kita untuk berbuat kasih sayang kepada semua orang, tidak peduli siapa dia, bahkan kepada musuh sekalipun. Namun, menurut saya, hal itu terjadi karena Yesus hidup pada masa sulit dan selalu dalam kondisi tertindas. Seluruh dakwahnya terjadi ketika ia dalam kondisi yang lemah, sebagaimana Nabi Muhammad ketika masih berada di Makah. Ia belum sempat merasakan kekuasaan yang memungkinkannya bebas dalam menyebarkan ajaran-ajarannya.

Melihat keadaannya yang semacam itu, Yesus tidak akan mungkin mengajarkan perlawanan, apalagi ekspansi, kepada kelompok lain. Maka pantas kalau ajaran-ajarannya pun adalah ajaran kasih sayang, yang mengajarkan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Karena memang hanya itulah yang dapat diperbuat oleh orang yang berada dalam keadaan tertindas. Hal itu berbeda dengan ketika agama Kristen telah menjadi kuat, yaitu ketika ia dijadikan sebagai agama resmi negara Romawi. Maka kekuatan senjata pun digunakan sebagai alternatif dalam menyebarluaskan agama ini. Bahkan penjajahan di awal abad moderen yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia, terjadi di antaranya untuk tujuan penyebarluasan agama ini. Demikian juga dengan sejarah agama-agama lainnya. Agama Budha dan Hindu yang terkenal sebagai agama damai pun, keduanya di China dan India sibuk berupaya untuk merepresi kelompok minoritas yang dianggap menyimpang dari dua agama tersebut. Masing-masing hidup dalam konflik dan sering kali terjadi pertumpahan darah, baik dengan saudara seiman maupun dengan umat beriman lain.

Apa yang telah saya utarakan di atas hanyalah sedikit renungan tentang hal-hal yang membingungkan dari agama. Masih banyak lagi hal yang membingungkan dan paradoks dari agama yang tidak mungkin akan termuat dalam tulisan pendek ini. Tulisan ini hanyalah refleksi dari seseorang yang masih percaya akan keimanannya, agar orang-orang yang sama dengannya dari kalangan orang-orang beriman, melakukan introspeksi terhadap keimanan dan agamanya. Bahwa dalam agama dan keimanannya ternyata masih ada luka lebar yang harus ia sembuhkan dan sadari bahwa itu memang luka. Bahwa tidak selamanya apa yang ia peluk dan diyakini sempurna itu sepi dari kekurangan dan kesalahan. Dengan demikian, ia akan semakin terbuka dengan orang lain, baik yang berbeda pemahaman, berbeda agama, bahkan dengan orang yang tidak beragama sekalipun. Ia akan menjadi seseorang yang menghargai orang lain sebagaimana ia menghargai dirinya sendiri. Wallahu a’lam.