Thursday, April 10, 2008

Fikih yang Ramah Zaman

Dua aspek fundamental dalam Islam adalah akidah dan syariah. Akidah menyangkut kepercayaan seseorang tentang Tuhan dan yang gaib dalam agama, sedangkan syari'at lebih berkenaan dengan hukum yang harus ditegakkan oleh setiap Muslim dalam kehidupan sehari-harinya. Bentuk konkret dari syari'at ini adalah fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama yang berkompeten dalam bidangnya dalam memahami syari'at Tuhan. Secara garis besar, fikih memuat masalah ubudiya (peribadatan), muamalah (transaksi dan semua hubungan-hubungan sosial), munakahah (perkawinan), dan jinayah (pidana). Biasa dipahami bahwa untuk mengukur kadar keimanan seorang muslim adalah dengan ibadahnya. Kuat lemahnya iman dapat dilihat dari intensitas ibadahnya. Demikian juga mukmin tidaknya seseorang dapat dilihat dari ibadahnya.

Dalam hal ibadah, niyat memainkan peran yang sangat penting. Seseorang tidak akan dianggap beribadah tanpa ada niyat dan motif dalam melakukan kebaikannya. Karenanya, seseorang yang melakukan perbuatan yang seakan biasa-biasa saja dapat menjdai ernilai ibadah karena memang ada niyat untuk itu. Dalam Islam, karena itu, ibadah menyangkut aspek yang sangat luas. Sabda nabi, “Semua amal tergantung pada motif dan niyatnya.” Hanya saja masih diperselisihkan, apakah niat termasuk rukun/bagian integral dari ibadah atau hanya sebagai syaratnya saja.

Ibadah terbagi menjadi dua, yang bermanfaat hanya pada diri sendiri, dan yang mermanfaat secara sosial. Namun dalam kenyataan sehari-hari, fikih terlihat semakin jauh dari realitas sosial yang konkret. Fikih menjadi semakin formal. Titik kehidupan yang semakin teologis menjadi tidak seimbang dengan konsep legal formal yang ada dalam fikih. Fikih yang merupakan kumpulan hukum Islam memiliki seperangkat kerangka teoritik dalam pengambilan keputusan hukum agama. Karenanya dikenal istilah ushul fikih dan kaidah fikih yang sangat terkenal dalam pengambilan keputusan hukum. Sebenarnya sistematika penalaran yang ada dalam fikih dapat dikembangkan secara kontekstual, sehingga tidak ketinggalan zaman. Sebagai contoh, hadits Nabi yang menyuruh umat Islam untuk memperbanyak keturunan. Dalam era seperti sekarang, memperbanyak anak secara kuantitatif hanya akan menambah beban sosial yang sudah berat. Karenanya harus dipahami secara baru. Misalnya menjadi usaha peningkatan kualitas hidup keturunan kaum muslimin.

Gagasan formalistik fikih ini sangat berbahaya, karena fikih bisa menjadi suci menyamai, bahkan mengungguli, al-Qur’an dan Hadits Nabi. Karenanya, fikih yang banyak tertuang dalam kitab-kitab kuning mulai sekarang harus mulai dipahami secara kontekstual. Dengan gagasan kontekstual bukan berarti fikih tersisihkan. Akan tetapi malah sebaliknya, semua aspek kehidupan akan semakin terjiwai oleh fikih secara konseptual dan tidak menyimpang dari fikih itu sendiri. minimal kitab-kitab klasikakan semakin digemari. Fikih harus terus berkembang mengikuti gerakan zaman secara fleksibel.

No comments: