Sunday, December 13, 2009

Perpisahan

“Heh, sadar Met. Dipanggil tuh,” bentakan dan tepukan tangan Ihsan di pundak Selamet membuyarkan lamunannya. “Ada apa San?” tanya Selamet yang masih bingung. “Ah, pura-pura nggak tahu aja. Dipanggil ke depan tuh.” Kamis pagi itu adalah hari perpisahan para siswa kelas tiga aliyah Perguruan Islam Manbaul Huda. Dipilihnya hari Kamis karena esoknya, hari Jumat, adalah hari libur tiap pekannya.

Sudah kebiasaan bahwa tiap perpisahan akhir tahun di madrasahnya, Selamet Raharjo selalu naik ke podium untuk menerima penghargaan sebagai siswa teladan. Sejak kelas satu tsanawiyah sampai tiga aliyah, siswa teladan tidak pernah lepas dari genggamannya. Padahal, prestasi ini tidaklah mudah didapatkan. Proses seleksinya ketat dan berbeda dari sekolah lain. Di madrasah pesantren yang sangat salaf ini, dari semua angkatan kelas satu, dua, dan tiga aliyah, hanya satu saja yang dipilih sebagai siswa teladan. Berbeda dari sekolah lain yang di setiap angkatannya terdapat satu siswa teladan. Sehingga, untuk mendapatkan gelar ini, Selamet harus mengalahkan prestasi semua teman-temannya dari kelas satu sampai kelas tiga aliyah, yang masing-masing angkatannya terdapat enam sampai tujuh kelas.

Selamet berjalan menuju podium tanpa menghiraukan tepukan tangan ribuan teman-temannya. Tidak terlihat keceriaan di mukanya. Dan ketika direktur madrasah menyerahkan piagam penghargaan kepadanya, ia hanya terlihat tersenyum sebentar, lalu kembali murung. Beberapa pujian yang datang dari guru yang memberi sambutan sudah tidak terdengar lagi olehnya. Isi surat yang dikirim Nala tadi pagi telah mengalahkan hingar bingarnya perpisahan.

Telah menjadi rutinitas, tiap habis ngaji Subuh Selamet selalu meluangkan sekitar setengah jam untuk sowan ke makam Mbah Ahmad, leluhur semua kiai daerah itu dan dipercaya sebagai seorang wali. Di makam, dia biasa nderes beberapa juz al-Quran. Di tengah perjalanan pulang, Fitri, sahabat dekat Nala, menghampirinya. Ia menyerahkan sebuah amplop kepada Selamet. “Kang, ini ada surat dari Mbak Nala. Dia memintaku untuk menyerahkannya kepada Kang Selamet,” ujar Fitri. “Makasih ya Mbak,” balas Selamet.

Selamet tidak mau menunggu lama untuk membacanya. Segera setelah Fitri hilang di pertigaan, Selamet langsung membelok ke musola di sebelahnya. Sebenarnya Selamet sudah biasa menerima surat dari Nala, tetapi pengiriman kali ini terasa asing baginya. Terlalu pagi. Dan belum sampai akhir ia membaca, ia tutup kembali suratnya. Tak kuasa meneruskan. Tak disangka akhirnya akan seperti itu.

Sudah empat tahun Selamet dan Nala berpacaran. Awalnya memang iseng saja. Cinta itu berawal dari surat bangku yang Selamet tulis untuk teman duduknya. Di madrasahnya, waktu belajar siswa dan siswi tidak bersamaan. Kalau para siswa masuk pada pagi hari dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang, maka para siswi menempati kelasnya dari jam setengah satu siang sampai jam lima sore. Sedangkan ruang kelas yang mereka gunakan adalah sama. Sehingga seorang siswa dapat mengirim surat kepada teman putri yang duduk dibangkunya hanya dengan meninggalkan tulisan di laci mejanya. Itulah surat bangku.

Di kelas tiga tsanawiyah-lah, Selamet pertama kali menulis surat bangku untuk teman duduknya, yang kemudian diketahui bernama Nala. Karena masing-masing merasa nyambung, tukar-menukar surat itu terus berlanjut sampai akhir tahun. Dan beruntungnya, selama tiga tahun di aliyah, mereka selalu mendapatkan undian untuk menempati kelas yang sama. Karenanya mereka dapat mengatur tempat duduknya untuk tetap satu bangku. Dari sinilah cinta bersemi, dan keinginan untuk melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih serius terjadi. Maklum, meski masih di aliyah, tetapi santri aliyah pesantren salaf berbeda dari yang lain. Lebih dewasa. Bagaimana tidak, umurnya saja sudah dua puluhan ke atas.

Sesekali dalam sebulan mereka bertemu setelah ziarah di makam Mbah Ahmad. Tentu setelah membuat perjanjian sebelumnya lewat surat bangku. Dan teman-teman mereka juga sudah tahu kalau keduanya berpacaran. Lagian tidak ada salahnya, keduanya sama-sama bibit unggul, pikir teman-temannya. Nala adalah anak tunggal Kiai Hasib yang memiliki pesantren dengan seratusan santri. Sedangkan Selamet sudah tidak diragukan lagi kecerdasannya.

Sehari sebelum perpisahan itu, Kiai Hasib datang ke pesantrennya Nala untuk menghadiri perpisahan sekolah putrinya, sekalian memohonkan pamit kepada Kiai Umar, kiainya Nala, untuk memboyong putrinya pulang. Waktu berkunjung inilah Kiai Hasib menasehati putrinya. Bahwa di pesantrennya tidak ada lagi penerus selain putri satu-satunya itu. Karenanya, dengan terpaksa ia harus menjodohkan Nala dengan Gus Faishal, putra seorang kiai yang memiliki sebuah pesantren kecil di desa sebelah. Sebenarnya Nala pernah mengatakan kepada abahnya dahulu sewaktu liburan puasa kalau ia sudah punya pacar di sekolah. Hanya saja sang abah tidak menganggapnya serius. Lagi pula Nala harus mendapat jodoh yang setingkat dengannya, anak kiai pesantren, sehingga dapat meneruskan pesantren yang telah ia rintis. Tentu di samping faktor gengsi.

Selamet memang pintar, tetapi ia bukanlah seorang gus. Ia hanya seorang santri ndalem, santri yang bekerja kepada kiai untuk mendapatkan pendidikan dan tempat gratis di pesantren. Posisi tawarnya jelas di bawah Gus Faishal. Dan kejadian itulah yang diceritakan Nala kepada Selamet dalam suratnya. “Maafkan saya kang, saya tidak bisa membantah apa yang abah katakan,” salah satu kalimat yang tertulis dalam suratnya Nala.

***

Di bis dalam perjalanan pulang, Selamet membuka kembali surat yang diberikan Nala beberapa hari yang lalu. Dibacanya bagian yang belum ia selesaikan. Tidak ada yang baru, isinya sudah dapat ia tebak sebelumnya. Lalu pikirannya ganti tertuju pada pertemuannya yang akan terjadi sebentar lagi dengan abah, umi, dan saudara-saudaranya. Teringat ia ketika saudara-saudaranya mengejeknya tidak bisa membaca kitab kuning. “Mau kau apakan warisan abahmu itu kalau kau tidak bisa membaca kitab? Memangnya sekolah SMA mau jadi apa? Pegawai negeri?” ujar Mukhlis, kakaknya. “Agar mudah mendapat bantuan dari pemerintah kali,” ejek mbakyunya, Laila. “Jangan begitu, sekolah SMA-pun nanti juga ada manfaatnya. Toh dia nanti kan bisa baca kitab kuning juga,” abahnya menyela.

Mendekati rumahnya, ia teringat kalau hari itu adalah Selasa, sehingga tidak mungkin ia masuk rumah dari depan, karena semua tempat pasti sudah dipenuhi para santri yang sedang mengaji. Ia berputar ke pintu belakang dan langsung masuk ke kamar. Untung posisi kamarnya masih seperti delapan tahun yang lalu ketika ia meninggalkannya. Dari dalam kamar, ia mendengarkan dengan jelas suara abahnya lewat pengeras suara yang sedang mengajar. Satu jam kemudian pengajian berakhir. Empat ribuan santri berhamburan ke kamarnya masing-masing, persiapan untuk mengikuti shalat Ashar.

Suara tarkhim sudah terdengar dari pengeras suara masjid, tanda sebentar lagi adzan akan berkumandang. Suara seseorang yang berjalan dengan tongkat semakin mendekat. Yakin itu suara abahnya, ia membuka pintu kamar dan keluar. Tidak jauh darinya, seorang tua bersorban yang membopong sebuah kitab di dadanya belum mengetahui keberadaannya. “Assalamu ‘alaikum. Abah, saya sudah pulang,” ujar Selamet. Orang tua itu mengangkat pandangannya, “Kaukah Mahrusku, nak?” “Iya, saya Mahrus, putera abah.” Keduanya langsung berpelukan. Air mata mengalir di pipi masing-masing. “Umi, anakmu pulang Mi’,” ujar Kiai Ali, abah Mahrus, dengan sedikit serak. Uminya datang dari balik korden kamar sebelah, dan langsung memeluk anak bungsunya itu. “Dari mana saja kamu selama ini nak? Kenapa tak memberitahu keadaanmu kepada kami? Sudah kemana-mana kami mencarimu,” kata ibunya. “Saya di pesantrennya Kiai Nur Hadi Kaliwungu Mi’. Tapi, di mana yang lain?” balik Mahrus bertanya.
“Kakak-kakakmu?”
“Iya.”
“Kakakmu Mukhlis sudah membuat pesantren sendiri di belakang pesantrenmu ini. Mbakyumu Laila sudah menikah dengan Gus Utsman, putra Kiai Dahlan Lasem.”

Di masjid, semua santri memperhatikan Gus Mahrus, gus baru mereka. Maklum, sebagian besar dari mereka datang ke pesantren setelah Gus Mahrus pergi ke Kaliwungu. “Gus, gimana kabarnya? Kangen nih sama kocekan bolanya,” ujar Madun, santri senior yang telah mengenalnya. “Kapan-kapanlah kita main bareng-bareng. Sampeyan Kang Madun yang pinter bikin sambel goreng itu kan?” balas Mahrus. Keduanya tertawa.

Jakarta, Januari 2007