Friday, August 3, 2007

merenung

“Alangkah beruntungnya memiliki ‘aql yang bebas, dan qalb yang selalu khusyu’ mengingat Allah.”

Monday, July 9, 2007

Metafisika, Mungkinkah Sebagai Ilmu Pengetahuan?

Pandangan Immanuel Kant Tentang Metafisika

Pengantar
Lama sebelum Kant muncul dengan pemikirannya, metafisika telah menjadi “ratu” dalam ilmu pengetahuan. Ia mengklaim dapat mengetahui rahasia paling dalam dari kenyataan. Namun Kant justru mempertanyakan klaim kesahihan metafisika ini. Apakah metafisika memang memberi pengetahuan yang benar tentang kenyataan? Apakah konsep-konsep metafisika yang apriori dan tidak berasal dari pengalaman itu dapat dibenarkan dan dipertanggung-jawabkan?

Pemikiran dan kritik Kant dalam metafisika
Kant terkenal dengan usahanya dalam mensintesiskan dua paham besar dalam pengetahuan, yaitu rasionalisme dan empirisme . Yang pertama mengklaim bahwa pengetahuan hanya berasal dari rasio, sedangkan yang kedua mengasalkannya hanya dari pengalaman. Keduanya sama-sama mengklaim dapat menjelaskan kenyataan secara tuntas. Kant sendiri memulai filsafatnya dengan memusatkan penyelidikan tentang subjek, tidak penyelidikan atas benda-benda sebagai objeknya. Karenanya, filsafat Kant dinamai dengan kritisisme, lantaran mengawali perjalanannya dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio terlebih dahulu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Kant membedakan dua macam putusan; putusan analitis dan putusan sintesis. Putusan analitis adalah putusan yang predikatnya sudah terkandung dalam subjek, sehingga predikat hanyalah analisis atas subjek. Sedangkan putusan sintesis adalah putusan yang predikatnya tidak terkandung dalam subjek, sehingga mengandung informasi baru. Putusan analitis bersifat apriori, dan putusan sintesis bersifat aposteriori. Namun masih ada putusan jenis ketiga, yaitu sintesis apriori. Mengingat banyaknya ilmu pengetahuan yang berhasil dalam menggunakan putusan jenis ketiga ini, bagaimana putusan ini dapat diterangkan? Sekaligus kalau metafisika ingin menjadi ilmu pengetahuan, ia harus memiliki putusan sintesis apriori ini.

Pengetahuan pada taraf indra.
Menurut Kant, pengetahuan kita pada taraf indra adalah sintesis atas unsur-unsur yang sudah ada sebelum pengalaman, dan unsur-unsur yang didapat setelah pengalaman. Yang pertama bersifat apriori, dan yang kedua bersifat aposteriori. Unsur aposteriori yang merupakan materi pada taraf ini adalah cerapan-cerapan atas objek. Sedangkan unsur apriori yang merupakan formanya adalah ruang dan waktu. Kant tidak memahami ruang dan waktu ini sebagaimana Newton, akan tetapi memahaminya sebagai perlengkapan mental atau instrurmen rohaniyah yang menggarap data-data indrawi. Di sini belum ada pengetahuan, akan tetapi baru pengalaman.

Dengan demikian, ada realitas pada dirinya sendiri. Das Ding an sich itu tidak dapat kita ketahui karena kita hanya dapat mengetahui gejala atau penampakannya saja yang merupakan sintesis antara cerapan-cerapan atas subjek dengan ruang dan waktu.

Pengetahuan pada taraf akal (verstand)
Menurut Kant, ada dua kemampuan pada diri subjek, yaitu sensibilitas (kemampuan untuk menerima data-data indrawi) dan verstand (kemampuan untuk menghasilkan konsep). Dalam pembentukan putusan ini, juga terjadi sintesis antara unsur materi dan forma. Materi dalam verstand adalah data-data indrawi yang oleh akal diolah menjadi fenomena atau penampakan. Sedangkan formanya adalah 12 kategori yang merupakan syarat apriori pengetahuan. Keduabelas kategori itu adalah kesatuan, kejamakan, keutuhan, realitas, negasi, pembatasan, substansi, kausalitas, resipresitas, kemungkinan, peneguhan, dan keperluan.

Agar suatu objek dapat diketahui, objek tersebut harus menyesuaikan diri dengan kedua-belas kategori itu, bukan sebaliknya. Karenanya, 12 kategori itu mirip dengan kaca mata berwarna yang kita pakai, sehingga semuanya terlihat sesuai dengan warna kaca mata itu. Tanpa 12 kategori itu, realitas tidak akan tampak. Dengan demikian, pengetahuan alam jelas menjadi mungkin, karena dalam pengenalan manusiawi, subjek tidak mengarahkan diri kepada objek, melainkan pengenalanlah yang berpusat pada subjek.

Pengetahuan pada taraf rasio atau buddhi (vernunft)
Di sini, rasio menghasilkan ide-ide transendental yang tidak memperluas pengetahuan kita, tetapi mengatur putusan-putusan akal ke dalam sebuah argumentasi. Jika akal langsung berkaitan dengan penampakan, maka rasio berkaitan dengannya secara tidak langsung, yaitu melalui akal. Di sini rasio menerima putusan-putusan akal untuk mendapatkan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Dalam penyusunan putusan-putusan ini, rasio dipimpin oleh tiga macam idea, yaitu idea jiwa, idea dunia, dan idea Allah. Ide jiwa menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek dalam hubungannya dengan diri sendiri. Ide dunia menjamin kesatuan akhir dalam hubungan kausal dalam penampakan objektif. Sedangkan ide Allah menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan.

Dengan demikian, kesalahan metafisika adalah ia memandang ketiga idea itu sebagai gagasan tentang benda yang berada. Ia mau menerapkan 12 kategori itu pada idea-idea, padahal 12 kategori itu hanya berlaku untuk pengalaman. Kalau metafisika mau menjadi ilmu pengetahuan, ia harus memiliki objek yang berhubungan dengan idea-idea transendental. Padahal tak ada objek pengalaman bagi ketiga idea itu. Karenanya, metafisika tidak mungkin menjadi ilmu pengetahuan.

Tanggapan
Usaha Kant dalam membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme masih terlihat berat sebelah ke arah rasionalisme. Hal itu terlihat dalam ajarannya tentang proses pengetahuan. Di situ nampak bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka makin berkuranglah peran unsur aposteriorinya.

Friday, July 6, 2007

Suara Hati dan Fitrah Manusia

Ada sebuah ungkapan yang dikenal di kalangan orang-orang kerohanian, bahwa di dalam diri manusia ada “ruang kosong” yang harus kita isi dengan hal-hal yang baik. Jika kita tidak mengisinya dengan hal-hal yang baik, maka ruang kosong itu, otomatis akan diisi dengan hal-hal yang buruk. Ibarat sebuah roda, ruang kosong itu adalah yang menjadikannya sebagai roda. Metafor ini bisa dipakai untuk manusia: ruang kosong itulah yang menjadikan kita berarti secara spiritual sebagai manusia. Itulah: suara hati, atau hati nurani.

Apa yang berkaitan dan sering dibicarakan sebagai "suara hati" (conscience) ini dalam Islam digambarkan dengan berbagai nama, qalb, fu`âd, lûbb, sirr, `aql, dan sebagainya, yang semuanya berhubungan dengan pengertian kesadaran, atau biasa disebut dalam wacana Islam sebagai "hati" (qalb, kalbu) saja, dari kata qalaba yang artinya "membalik" --berpotensi bolak-balik: di suatu saat merasa senang, dan di saat lain merasa susah, di suatu saat menerima, di saat lain meolak. Sehingga hati seringkali tidak konsisten, sehingga dibutuhkanlah cahaya Ilahi (maka disebut "hati-nurani" –yang maknanya hati yang bercahaya). Hati bisa "bolak-balik" sebab, kadangkala ia menerima bisikan malaikat (lammah malakîyah), kadangkala bisikan setan (lammah syaithânîyah), kadangkala bisikan nafsunya sendiri.

Kedudukan hati ini sangat penting dalam Islam, sehingga dalam Sufisme—pemikiran mistisisme Islam—misalnya, menaruh uraian tentang hati ini dalam jantung ajarannya. Walaupun kata "hati" ini barangkali kurang mengena bagi orang-orang modern dewasa ini yang terbiasa dengan wacana ilmu pengetahuan yang rasional, tetapi asing dengan istilah-istilah metafor—seperti "hati" yang lebih banyak merupakan tamsil-ibarat dari ilmu-ilmu kearifan. Tetapi justru inti ajaran agama—yang membawa manusia pada moralitas luhur (akhlâq al-karîmah) ada dalam wacana suara hati ini.

Imam al-Ghazali—seorang teolog besar Muslim abad 12—membahas soal suara hati ini dalam salah satu babnya dalam buku Ihya’ Ulum-i al-Din yang sangat terkenal. Pembahasan al-Ghazali tentang hati dalam buku tersebut, dapat dibandingkan dengan pembahasan tentang “Kecerdasan Emosi” (Emotional Intelligence, EQ) dan “kecerdasan spiritual” (spiritual intelligence, SQ) dalam psikologi kontemporer. Dalam buku tersebut, al-Ghazali menjelaskan “hati” sebagai acuan yang harus dikembangkan dalam pencapaian kehidupan rohani. Bahkan ia menafsirkan hati sebagai esensi dari kemanusiaan itu sendiri. Ia membandingkan hati dengan sebuah kaca yang mencerminkan segala sesuatu di sekelilingnya. Jika hati ada dalam situasi yang kacau, di mana akal-budi (`aql) yakni potensi yang dapat mengembangkan suara hati ini ditaklukkan dan tak dikenali, maka hati menjadi “mendung dan gelap” (artinya orang mengalami perasaan-perasaan negatif (sering disebut negative ego, dalam spiritualitas), akibatnya menjadi kurang cerdas secara emosi dan spiritual, yang biasa disebut dalam tasawuf "penyakit hati").

Sebaliknya jika keseimbangan yang benar ditegakkan, kaca hati tersebut akan mencerminkan kecemerlangan bidang rohani, dan dengan demikian terbukalah sifat-sifat langit, dan terpantullah akhlak Allah. Sesuai dengan Hadits Nabi, “Hiasilah dirimu dengan akhlak Allah.” Melalui dzikir kepada Allah, dan terhiasinya sifat-sifat positif dari akhlak-Nya, maka suara hati ini (kesadaran moral) pun mencapai apa yang dalam agama disebut “jiwa yang tenang” (nafs al-muthmainnah) yang membuka pintu bagi kedekatan kepada Allah. Sehingga hati menjadi tempat bagi ingatan akan Allah, sehingga akhirnya hati ini menjadi cahaya Allah. Hal ini seperti diungkap dalam al-Qur’an: al-Nûr/24: 35.

Islam menyebut bahwa melalui hati inilah manusia menemukan kesadaran ketuhanannya --yang nantinya akan mempunyai segi konsekuensial pada kesadaran moral dan sosialnya. Kesadaran yang disebut ketakwaan ini tumbuh dalam hati; sebaliknya dosa dan kekafiran juga berkembang dalam hati.

Pandangan tentang Manusia dan Pembinaan Suara Hati
Islam menegaskan bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Pelihara saja dasar itu, tidak usah ditambahi dan dikurangi. Meminjam istilah Dante Alegieri dalam bukunya Divina Comedia, menurut Islam manusia itu dilahirkan dalam fitrah yang suci. Sehingga seorang bayi, hidup dalam alam paradiso (kalau mati dalam Islam dianggap langsung masuk ke surga). Dalam perkembangan selanjutnya—dalam istilah keagamaan—karena kelemahannya sendiri, sang bayi yang tumbuh pelan-pelan menjadi dewasa ini lalu tergoda, karena tarikan kehidupan dunia, sehingga sedikit demi sedikit ia masuk ke alam inferno: “neraka dunia” (metafor untuk mereka yang menjauhi diri dari suara hatinya yang suci). Karena dosanya hatinya pun menjadi kotor. Kemudian dalam suatu keadaan yang disebut penyucian, seorang manusia dilatih kembali untuk lepas dari inferno-nya, dari neraka dirinya. Inilah proses ke alam purgatorio, alam pembersihan diri, dimana dari sini akan terbuka kembali alam kefitrahannya, yang pada dasarnya setiap manusia dilahirkan dalam kefitrahan ini: keadaan hati yang ada dalam kecemerlangannya. Sebenarnya fitrah ini bukanlah sesuatu yang didapatkan atau diusahakan, tetapi sesuatu yang “ditemukan kembali.” Itu sebabnya istilah yang dipakai (seperti misalnya dalam Idul Fitri kita minggu depan) adalah “kembali ke fitrah” yang secara simbolik artinya adalah merayakan kembalinya diri kita kembali ke alam paradiso—surga diri, alam kefitrahan manusia, "kembali kepada kecemerlangan suara hati"; asal dari penciptaannya. "Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu Ia menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu." (Q. s. al-Rûm/30:30).

Lawan dari fitrah ini, adalah dosa. Apa itu dosa? Al-Qur'an menyebut orang yang berdosa itu sebagai zhâlim –yang sudah menjadi bahasa Indonesia, zalim, lalim-- dan sering diterjemahkan dengan arti aniaya. Secara harafiah, zhâlim artinya orang yang menjadi gelap. Dosa dalam bahasa Arab, zhulmun, kegelapan, artinya membuat hati yang gelap (suara hati yang tertutup). Kalau seseorang banyak berdosa, maka hati (suara hati)-nya tidak lagi bersifat nûrânîy (bersifat cahaya [bandingkan istulah bahasa Indonesia suara-hati [kata-hati] dengan hati-nurani ini, yang sama-sama sering dipakai sebagai terjemahan dari conscience]), tetapi sudah zhulmânîy.

Kalam Cinta Dari Tuhan

Salah satu unsur pokok agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindakan moral, menurut hipotetis kategoris-nya Immanuel Kant, adalah adanya sifat otonomi. Seturut prinsip ini, suatu tindakan dapat disebut sebagai tindakan moral hanya jika dilakukan dengan kesadaran bahwa tindakan tersebut memang bernilai pada dirinya sendiri, dan karena itu layak untuk dilakukan. Sifat ini berlawanan dengan sifat moral heteronom, dimana tindakan dilakukan bukan karena kesadaran akan nilai dari tindakan tersebut, namun semata karena dorongan dan pengaruh faktor-faktor eksternal seorang pelaku.


Persis sifat moral otonom inilah yang akan kita jumpai sebagai karakter sekaligus menjadi kepribadian tokoh-tokoh utama dalam novel Kalam Cinta dari Tuhan karya Ali Sobirin El Muannatsy ini. Dalam menentukan sikap dan tindakan, apalagi menyangkut hal-hal penting dalam hidup yang harus diputuskan, dua tokoh utamanya, Jony ‘Kesiangan’ dan Revy, meski mendapat berbagai ide, saran, dan bahkan penentangan dari luar, mereka tetap pada prinsip dan keyakinan moralnya masing-masing yang dianggapnya benar. Masukan dan saran dari orang lain memang sangat berguna, tetapi keputusan akhir tetap ada pada pelaku. Karenanya, mereka sendiri juga yang akan mempertanggung-jawabkannya kelak dihadapan Sang Khalik.


Novel ini berkisah tentang salah satu bagian dari perjalanan hidup Jony, seorang mahasiswa UIN Ciputat yang sedang menjalani semester akhir masa perkuliahannya. Diceritakan, untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya yang hidup pas-pasan di sebuah desa di Jawa Tengah, Jony, bersama teman-temannya, membuka usaha rental komputer dan foto copy di kost-kostannya. Selain dikaruniai wajah yang lumayan, Jony juga berotak encer. Tidak hanya itu, ia juga memiliki “bakat alami” dalam bergaul dengan teman-teman ceweknya. Pengarang mengistilahkannya dengan ‘kalung usus’, sebuah keyakinan kuno bahwa anak yang lahir dengan usus melingkar di lehernya, kelak ia akan mudah bergaul dan disukai banyak orang Tetapi justru lantaran “bakat alami” yang dimilikinya ini ia menuai banyak masalah. Pasalnya, banyak dari teman-temannya cewek yang tergila-gila padanya. Bahkan, seorang pelanggannya yang sudah bersuami pun ikut pula kesengsem.


Dalam perjalanan selanjutnya, muncullah drama cinta segi tiga antara Revy dan Betty yang sama-sama mencintainya, serta Yuni yang ia cintai karena lebih dewasa. Namun pilihan akhirnya tertuju pada Revy, gadis manja yang sering bertingkah kekanakan. Dan dari sinilah muncul banyak ketegangan. Di satu sisi memang Jony mencintai Revy, namun di sisi lain keduanya tidak se-kufu; Jony yang merupakan anak dari keluarga miskin merasa tidak sepadan dengan Revy yang berasal dari keluarga elit. Hal itu masih ditambah dengan beban Jony yang masih harus menyelesaikan masa akhir studinya. Sedangkan Revy sendiri juga tidak luput dari tekanan orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan laki-laki pilihan mereka. Kisah ini berakhir secara happy ending dengan pertemuan tak terduga antara keduanya di rumah Revy, yang ternyata adalah anak dari teman Abi-nya Jony sendiri.


Sebuah pesan
Membaca cerpen ini ibarat hadir dalam sebuah majlis taklim yang sarat dengan petuah-petuah moral yang menyejukkan kalbu. Bedanya, ajaran-ajaran moral yang diutarakan di sini tidak disampaikan secara ngotot dan berpretensi. Melainkan, meski sangat jelas, pesan tersebut dibalut dengan perumpamaan dan dialog yang mengalir, sehingga tidak terkesan menggurui.


Lebih dari itu, ini adalah salah satu dari beberapa novel yang mengandung nilai-nilai Islam yang wasath. Nilai-nilai Islam yang tidak kaku, kolot, dan jumud. Ia memberi kepada kita sebuah pengertian bahwa berislam tidak berarti mengikuti secara buta apa yang ada pada generasi masa silam, apalagi menyontek ajaran yang sebenarnya hanya merupakan produk budaya dari sebuah kebudayaan tertentu. Islam adalah agama yang menghargai baik budaya masa lalu maupun masa kini. Novel ini mengkritik keras pola keberislaman masyarakat Indonesia, terlebih mereka yang dianggap sebagai pemuka agama, yang lebih menyukai bentuk-bentuk luar ajaran, tanpa berusaha untuk mengetahui dan menghayati isi dan kandungan ajarannya yang hakiki. Di samping itu, pertentangan antara nilai-nilai al-haya’ yang ‘islami’ dengan permisifisme yang ‘sekuler’ juga mendapat porsi tersendiri di sini.


Kritik pedas terhadap kapitalisme juga akan segera kita jumpai dalam novel ini sejak dari awal. Percakapan antartokohnya memberikan pengertian kepada kita akan dampak buruk kapitalisme yang diusung oleh Barat untuk kita. Kritiknya tajam terhadap merebaknya mall-mall besar milik pemodal asing di Jakarta, sehingga menggusur lahan pencarian nafkah para pedagang lokal yang bermodal pas-pasan. Demikian juga kritik terhadap mode yang menjadi menu utama orang-orang kelas atas. Padahal banyak saudaara-saudaranya yang untuk dapat bertahan hidup tiap harinya saja sudah beruntung. Mungkin ini sesuai dengan consern penulisnya yang aktif di sebuah LSM pemberdayaan masyarakat.


Penulis cukup baik dalam mendiskripsikan latar dan kejadian cerita, dengan dilengkapi data-data yang agak lengkap, sehingga pembaca seolah benar-benar mengalaminya sendiri. Karenanya, sebagaimana Gusmus dalam pengantarnya, seorang yang berada di luar lingkup UIN akan segera tahu bagaimana hal-ihwal UIN; kampusnya, kurikulum dan kegiatan ekstra kurikulernya, serta kehidupan anak kost-kostan. Bahkan, beberapa tempat wisata di Jawa Tengah juga ikut dipromosikan oleh penulis. Sebuah usaha yang patut dihargai dalam era dimana wisata ke luar negeri menjadi primadona.


Akhirnya, beberapa hal dalam novel ini menurut saya juga perlu dikritik. Di antaranya adalah sebuah ending yang mudah untuk ditebak. Meski dibumbui dengan lika-liku peristiwa yang mendebarkan di seputar tokoh utama, tetapi pembaca akan segera dapat menebak bagaimana kira-kira akhir ceritanya, ketika telah menyelesaikan bacaan sampai pada halaman tengah buku. Hal itu terlihat ketika Pak Dany, orang tua Revy, ingin menitipkan putrinya kepada salah satu teman lamanya di pesantren, yang ternyata adalah ayahnya Jony, untuk mencarikan jodoh buat Revy.


Beda lagi dengan percintaan antara Jony dengan Betty. Kisah keduanya yang saling mencintai tiba-tiba hilang dalam cerita. Tidak lagi diketahui bagaimana kelanjutan kisah tersebut, padahal kisah ini, menurut saya, sangat berpengaruh terhadap alur cerita selanjutnya. Di samping itu, beberapa dialog yang ada juga masih terlihat kaku. Meski demikian, ini tetaplah novel penyemangat hidup, yang mengajari kita untuk tetap optimis menatap masa depan, dan mengisi hari-hari dengan karya. Novel gaul sekaligus islami.

Thursday, June 14, 2007

Tuhan dalam Bencana

Mungkin inilah negeri bencana. Tidak henti-hentinya bencana menimpa negeri yang dikenal cukup religius ini. Bayangkan, tak ada bagian dari wilayah negeri ini yang luput dari bencana. Di darat, gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir, datang silih berganti. Di laut, air yang meluap telah menelan ratusan ribu nyawa manusia yang menjadi korban. Mengekspor asap ke negara tetangga juga menjadi hal yang biasa.

Terakhir yang menjadi pusat perhatian adalah kecelakaan transportasi. Tidak tanggung-tanggung, semua jenis alat transportasi baik darat, laut, maupun udara, tidak luput dari malapetaka yang mendera. Tidak hanya itu, bencana transportasi dari semua lini ini terjadi saling susul-menyusul dalam waktu yang berdekatan.

Mungkin lantaran bencana yang terjadi secara beruntun inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan zikir nasional sehabis shalat Jum’at di Masjid Istiqlal pada hari Jum’at, 9 Maret lalu. Beberapa ulama besar turut hadir, begitu pula hampir semua pejabat tinggi negara. Tak ayal, acara zikir nasional ini pun menyedot banyak perhatian sebagaimana bencana yang telah terjadi itu sendiri. Sehabis acara, kalangan agamawan mengajak umat untuk bertaubat dan mengintrospeksi diri.

Teodisia

Adalah tantangan terbesar umat yang mengaku beragama untuk memecahkan masalah adanya penderitaan di dunia. Semua agama mengklaim bahwa tuhannya adalah tuhan yang maha pengasih, maha penyayang, maha adil, maha pemurah, dan berbagai sifat lainnya yang baik. Dalam Islam, kita mengenal adanya al-Asma’ al-Husna, 99 nama Allah yang baik. Ajaran yang sama dalam bentuk berbeda akan kita temui dalam agama-agama yang lain.

Tetapi kenyataan dalam dunia konkret sehari-hari sering kali bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh agama-agama tersebut. Bencana datang silih berganti, musibah juga tiada henti. Penderitaan-penderitaan tersebut seakan meruntuhkan klaim setiap agama bahwa tuhannya dipenuhi dengan sifat-sifat kebaikan. Inilah yang disebut masalah teodisia, istilah yang pertama kali dimunculkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz [1646-1716]. Bahwa dengan banyaknya penderitaan di dunia ini, seolah-olah eksistensi Tuhan perlu pembenaran. Kalau Tuhan adalah maha pemurah dan kasih sayang, lalu dari mana datangnya bencana dan penderitaan ini? Mengapa Tuhan yang maha baik membiarkan penderitaan ini terjadi?

Epikuros, seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu, telah membahas penderitaan di dunia ini dalam kaitannya dengan keberadaan Tuhan. Dia mengajukan empat kemungkinan yang masih tetap aktual sampai sekarang. Pertama, Tuhan mampu menghapus penderitaan di dunia ini, tetapi tidak mau. Kedua, Dia mau, tetapi tidak mampu. Ketiga, Dia tidak mau dan tidak mampu. Keempat, Dia mau dan mampu. Tiga kemungkinan yang pertama, bagi orang yang beragama, tentu tidak dapat diterima karena bertentangan dengan hakekat Tuhan yang maha kuasa dan maha penyayang. Tetapi kalau kita menerima kemungkinan yang keempat, hal itu tampak sekali bertentangan dengan kenyataan konkret di sekeliling kita yang dipenuhi dengan banyaknya penderitaan.

Penjelasan yang tidak memadai

Penjelasan terhadap masalah bencana dan penderitaan banyak kita dapatkan dari kalangan agamawan. Penjelasan-penjelasan yang familier bagi kita itu di antaranya adalah pertama, bencana merupakan hukuman dari Allah atas dosa yang kita lakukan. Kedua, bencana adalah cobaan terhadap kualitas iman kita terhadap Tuhan. Ketiga, dalam bencana itu sendiri sudah terkandung pahala, yang berarti kebahagiaan di akhirat bagi kita yang terkena. Keempat, secara keseluruhan, dunia dengan penderitaan akan lebih baik daripada yang tanpa penderitaan. Kelima, bencana sudah menjadi nasib kita, sebagai qadla’ dan qadar-Nya kepada kita, sehingga tidak layak bagi kita untuk mempertanyakannya, melainkan tinggal menerimanya saja.

Meski penjelasan-penjelasan yang mereka ajukan ini kelihatan memuaskan, akan tetapi tetap saja tidak memadai. Jawaban pertama, bahwa bencana adalah hukuman atas dosa yang kita lakukan, tidak memperhatikan kenyataan bahwa banyak dari mereka yang terkena bencana adalah orang yang tidak melakukan dosa yang menyebabkan bencana itu. Dalam banjir Jakarta misalnya, katakanlah yang melakukan dosa adalah orang-orang yang membuang sampah di sungai dan orang-orang yang membuat villa di puncak. Tetapi banjir ternyata juga menimpa orang-orang yang sama sekali tidak melakukan kesalahan-kesalahan itu. Bahkan anak kecil yang tidak berdosa pun ikut menderita.

Penjelasan kedua bahwa bencana adalah cobaan dan ujian bagi kualitas keimanan kita juga kurang memadai. Ia menafikan kenyataan dari beberapa orang yang malah semakin menderita dan hancur lantaran terlalu beratnya ujian yang harus mereka hadapi. Jawaban ketiga juga sangat problematis. Apakah Tuhan yang maha baik menuntut bayaran yang begitu “kejam” dari orang yang akan masuk surga? Mengapa surga harus dibayar? Kalau Tuhan mencintai kita, kenapa Dia harus membuat kita menderita sebelum memasuki surganya?

Bagitu pula penjelasan yang keempat bahwa dunia dengan penderitaan akan lebih baik dari pada yang tidak. Pandangan ini berbahaya karena melegitimasi adanya penderitaan sebagian orang demi kebaikan orang banyak. Adapun penjelasan kelima bahwa manusia harus diam saja terhadap qadha’ dan qadar-nya, terhadap bagian salibnya, terhadap karmanya, juga tidak memadai. Apakah tidak boleh memprotes apa yang dirasa sebagai tidak adil? Kalau Allah itu memang sama sekali lain, apa gunanya kita mengatakan bahwa Allah itu maha adil dan maha penyayang?

Kritik agama Marx

Dari beberapa keberatan di atas, maka sudah selayaknya bagi para agamawan untuk tidak begitu saja mengalamatkan bencana dan penderitaan berasal dari Tuhan. Mengembalikan persoalan kepada Tuhan dengan mengesampingkan sebab-sebab riel yang seharusnya dipecahkan tentu tidak akan membawa manfaat, tetapi justru kemunduran dan kerugian besar bagi kita sendiri.

Kembali kepada Tuhan tanpa usaha nyata untuk memperbaiki keadaan justru membenarkan tesis Karl Marx, tesis yang sangat ditentang oleh para agamawan, bahwa agama adalah candu rakyat serta buatan kelas atas dan penguasa. Bagi Marx, agama, sebagaimana candu, hanya memberi kepuasan semu tanpa dapat mengubah kondisi buruk orang kecil dan tertindas. Agama menjanjikan ganjaran yang besar di akhirat bagi orang yang dengan tabah menerima nasibnya.

Kalau sudah demikian, siapa yang paling diuntungkan? Tidak lain adalah para penguasa dan kelas atas. Alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukakan berkali-kali oleh pemerintah, rakyat malah menerima bencana sebagai ujian dari Tuhan. Alih-alih mempersoalkan dan menuntut ganti rugi yang adil dari perusahaan yang telah menghilangkan masa depan hidupnya, rakyat malah ikhlas menghadapinya sebagai qadla’ dan qadar dari-Nya.

Karena itulah, kita seharusnya curiga setiap kali penguasa mengkhotbahi kita tentang nilai-nilai luhur dan kewajiban-kewajiban moral yang suci. Kita seharusnya mengecek apa sebenarnya dibalik seruan untuk intropeksi diri dari mereka itu. Karena, sering tanpa disadari, khotbah-khotbah semacam itu sarat dengan pamrih, alias ideologis, untuk mempertahankan kepentingan kelas penguasa.

Hukum Nurani

Oleh Ulil abshar Abdalla

Gejala yang sangat khas pada umat Islam sejak dulu hingga sekarang adalah kecenderungan untuk menanyakan hukum agama berkenaan dengan semua hal, hingga ke aspek-aspek yang paling detil. Inilah yang menjadi lahan subur untuk lahirnya ribuan fatwa. Setiap umat Islam hendak melakukan sesuatu, mereka selalu bertanya kepada seorang ulama bagaimana hukum Islam mengenai sesuatu itu.
Ilmu fikih tumbuh subur karena adanya mentalitas selalu ingin menanyakan hukum segala hal itu. Gejala ini dianggap normal oleh umat Islam, sebab hal itu menunjukkan bahwa umat Islam sadar hukum dan sadar tentang pentingnya menaati hukum (Tuhan) dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Memang tidak seluruhnya gejala semacam ini jelek, tetapi jika berlangsung dengan eksesif, ia jelas akan beradampak buruk pada perkembangan corak keberagamaan dalam umat Islam.
Jika anda membaca rubrik fatwa yang sekarang menjamur di mana-mana, anda akan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh, kadang menggelikan. Dalam suatu rubrik fatwa, saya pernah membaca seseorang menanyakan kepada seorang ulama yang mengasug rubrik tanya-jawab agama tentang bagaimana hukum mengkonsumsi minyak ular: apakah diperbolehkan menurut Islam atau tidak.
Waktu saya kecil dulu, pernik-pernik perkara ibadah memang didiskusikan hingga sudut-sudut yang paling pojok sekalipun. Misalnya, bagaimana hukumnya jika seseorang yang berpuasa mandi lalu air masuk secara tak sengaja ke lubang telinga: batalkah puasanya? Jika seseorang salat memakai sajadah, lalu ujung sajadah itu menyentuh suatu kotoran (najis, misalanya tahi ayam), apakah salat orang itu batal atau tidak?
Gejala inilah yang dulu diejek kaum reformis Islam sebagai "fiqh-oriented". Saya ingin menyebutnya sebagai "fikihisme". Gejala ini dulu umum berlaku hanya di kalangan Muslim tradisional di pedesaan. Anehnya, gejala ini sekarang muncul kembali di tengah-tengah masyarakat Muslim kota, dan justru di kalangan terdidik.
Gejala ini, menurut saya, menandakan adanya "ketidakdewasaan moral" dalam umat Islam. Menanyakan hukum Islam mengenai segala sesuatu menandakan bahwa umat Islam tidak berani berpikir sendiri. Mereka memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang tertera dalam teks Kitab Suci, sementara hasil penalaran manusia bukan dianggap sebagai suatu hukum yang mengikat.
Karena orang-orang yang dianggap sebagai ahli tentang teks agama adalah para ulama, maka mereka selalu berpaling kepada ulama untuk menanyakan segala hal. Menggantungkan segala keputusan kepada ulama, umat Islam tidak berani melakukan penalaran rasional sendiri atas segala hal yang mereka hadapi.
Saya tidak "anti ulama". Ulama, buat saya, adalah semacam eksemplar moral yang menjadi inspirasi bagi umat, bukan menjadi semacam "mesin kalkulator" untuk menjawab semua pertanyaan umat. Pada akhirnya umat harus didorong untuk berpikir sendiri secara dewasa.
Untuk itulah saya mengajukan suatu bentuk hukum lain, yakni hukum nurani. Inspirasi gagasan ini saya peroleh dari hadis Nabi yang terkenal, "Istafti qalbaka", mintalah fatwa pada nuranimu sendiri.
Artinya, sangat penting bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran moral yang tinggi, mendalam, dan penuh tanggungjawab. Hal itu tak bisa lain kecuali jika umat Islam terus mengasah agar nuraninya berkembang dengan sehat. Nurani yang sehatlah yang akan menjadi pemandu bagi seorang beriman.
Dalam menghadapi segala sesuatu, ia tak perlu bertanya kepada seorang ustad; ia hanya perlu bertanya kepada nuraninya sendiri. Ia boleh bertanya kepada seorang ustad, tetapi pada akhirnya keputusan final tetap ada di tangan nurani yang bersangkutan.
Dengan demikian, umat Islam akan pelan-pelan menjadi subyek yang secara moral dewasa. Dan itulah tujuan akhir agama yang sangat penting: kedewasaan moral. Dengan nurani yang matang dan sikap moral yang dewasa, seorang beriman akan menjalankan agama bukan karena aturan-aturan formal yang dipakasakan dari luar, tetapi karena dorongan yang kuat dari dalam "diri" sendiri.

Thursday, May 31, 2007

Islam, Kristen, dan Filsafat

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sampai pada Abad Pertengahan Islam telah menahkodai hampir semua ilmu pengetahuan. Tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang luput dari perhatian para sarjana Muslim. Di kota-kota, apalagi yang menjadi pusat pemerintahan, pusat-pusat studi baik keislaman maupun pengetahuan umum menjadi tempat berkumpulnya para sarjana dari berbagai belahan dunia.

Bahkan para sarjana Muslimlah yang memperkenalkan kepada para sarjana Barat dan Kristen ilmu pengetahuan dari Yunani. Malalui pena sarjana-sarjana Muslim ini pula, diakui atau tidak, para sarjana dan teolog Kristen banyak mengambil ide dan mendapat inspirasi dalam pemikirannya.

Filsafat dalam Islam
Namun jaman sudah berubah. Pusat pengetahuan tidak lagi berada di dunia Islam, melainkan telah berpindah ke Barat. Di sanalah ilmu pengetahuan sampai yang mutakhir akan kita jumpai. Filsafat, dalam pengertiannya yang luas, yang pada jaman kejayaan Islam menjadi pilar utama kemajuan peradabannya, sekarang dalam dunia Islam hanya tinggal puing-puingnya. Bahkan menjadi ilmu yang terkutuk bagi orang-orang Islam.

Dari berserakannya puing-puing itu, terdapat kelompok-kelompok kecil yang masih menunjukkan kepeduliannya akan filsafat. Tentu jika dibandingkan dengan para filsuf Barat tidak akan terdengar gaungnya lantaran kalah baik dalam segi kuantitas maupun kualitas.

Bisa dipastikan, dari jaman modern sampai sekarang di dalam dunia Islam belum ditemukan lagi filsuf besar yang tidak hanya berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan keislaman tetapi juga terhadap ilmu pegetahuan secara umum, sebagaimana kita menemukannya dalam diri Ibn Rusyd, al-Farabi, dan lain-lain. Tidak ada lagi filsuf Muslim yang menjadi acuan baik bagi sarjana Muslim maupun para sarjana non-Muslim. Yang ada hanyalah sedikit orang-orang yang masih belajar filasafat dan beberapa filsuf Muslim (didikan Barat) yang hanya populer di wilayahnya sendiri.

Dari sedikit yang mengetahui filsafat ini pun masih harus menghadapi masalah-masalah internal umat Islam sendiri. Oleh sebagian besar umat Islam, mereka dianggap sebagai kafir dan murtad, dan kalau memungkinkan harus dibinasakan. Mereka dianggap lebih berbahaya dari orang yang secara terang-terangan mengaku sebagai non-Muslim, lantaran dianggap mengobok-obok Islam dari dalam. Karenanya, banyak para pemikir Muslim yang memilih hidup di negara lain daripada harus hidup dengan bayang-bayang kematian di negaranya sendiri. Ringkasnya, bagi mayoritas Muslim ini, filsafat telah menjadi racun, dan tentu bagi semua agama juga.

Sebenarnya citra yang demikian itu tidaklah berlebihan. Bahwa banyak anak-anak Muslim yang setelah belajar filsafat tidak lagi menjadi saleh sebagaimana harapan masyarakat luas, akan tetapi malah mengkritisi dan “mendangkalkan” doktrin-doktrin yang oleh mayoritas dianggap telah mapan dan tak dapat diganggu-gugat dalam agama. Bahkan dalam batas-batas tertentu, mereka memang kelihatan menjelek-jelekkan agamanya sendiri.

Artinya, belum ada – kalaupun ada masih sangat sedikit – usaha sistematis-filosofis dalam memahami doktrin-doktrin ajaran Islam secara utuh. Yang baru terjadi adalah usaha-usaha kritis di sana sini terhadap apa yang dianggap tidak relevan lagi tanpa usaha yang menyeluruh dan komprehensif. Hal itu membuat gerakan pencerahan ini terlihat sporadis sehingga umat malah berpaling darinya. Tentu hal tersebut juga berpangkal dari tidak adanya filsuf besar Islam saat ini yang dapat mengemban tugas maha berat tersebut.

Filsafat bagi umat Kristiani
Perlawanan terhadap filsafat oleh sebagian besar umat Islam ini bertolak belakang dengan apa yang ada dalam agama Kristen, paling tidak Katolik. Belajar filsafat bagi para calon pemuka/imam dalam agama tersebut adalah fardhu ‘ain hukumnya. Sehingga, banyak sekali dari para imam-imam tersebut adalah para filsuf. Maka tidak mengherankan kalau banyak filsuf besar dunia sekaligus adalah pemimpin agama ini, atau paling tidak pemeluk agama yang taat.

Sehingga muncul kesan; kalau para calon imam belajar filsafat untuk lebih mendalami dan memantapkan penghayatan keagamaannya, maka banyak anak-anak Muslim yang belajar filsafat malah untuk mendangkalkan agamanya, untuk menjauh dari agamanya.

Sebagaimana kita ketahui, di Barat pun tidak semua filsuf adalah Kristen atau mendukung agama tersebut. Banyak sekali filsuf dari agama Protestan maupun Katolik yang kemudian dianggap menyimpang dan murtad oleh komunitasnya. L. Feuerbach dan Nietzsche adalah contoh dua filsuf modern yang lahir dari lingkungan Kristiani. Mereka berdua adalah filsuf besar yang mendobrak serta menginjak-injak doktrin-doktrin sentral agama lamanya.

Respon yang berbeda
Dan tentu ada perlawanan dari para pemuka agama Kristen. Bahkan agama ini sampai pada abad modern jubahnya dipenuhi dengan lumuran darah para filsuf. Tetapi yang membedakan Kristen sekarang dari Islam adalah bahwa kritik dan cemoohan dari para filsuf tersebut tidak lagi membuat para pemuka agama Kristen gentar apalagi surut ke belakang. Akan tetapi mereka menerima kritik dan cemoohan itu dan balik membalasnya sehingga terjadi debat yang sehat dan konstruktif. Sehingga tantangan-tantangan yang muncul tidak membuat doktrin-doktrin agama Kristen melemah, tetapi malah justru semakin memperkuat – paling tidak seperti itulah yang dirasakan pemeluknya.

Sedangkan respon sebagian besar ulama Islam sekarang adalah justru menghindar dari kritik-kritik filosofis yang diajukan terhadap agama mereka. Para ulama ini belum menerimanya secara lapang dada lalu mengkritik balik lawannya, tetapi masih menganggap kafir dan murtad pengkritik dan melarang umat untuk dekat-dekat dengan orang-orang yang telah keluar dari “rel agama” tersebut. Dan, yang lebih disayangkan, di beberapa tempat muncul fatwa hukuman mati bagi para pengkritik ini. Sehingga perlawanan yang muncul hanya bersifat pasif karena tidak mau menyerang balik lawan secara argumentatif, tetapi malah menutup diri darinya.

Bukan berarti saya menyamakan agama Islam dengan Kristen, atau menganggap bahwa doktrin-doktrin Kristen sulit dipahami tanpa filsafat. Setiap agama pasti memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang tidak sama satu sama lain. Tetapi setidaknya kita dapat belajar dari agama yang dibawa oleh Nabi Isa as. itu. Bahwa terhadap kritik, betapapun itu pedih dan menyakitkan, kita tidak harus menutup diri. Tetapi kita harus berlapang dada serta menanggapinya dengan kritis pula. Sebagai orang yang beriman, kita harus dapat mempertanggungjawabkan keimanan kita. Hanya dengan demikian umat Islam dapat kembali maju dan tidak hanya menjadi penonton dalam gerak perubahan jaman[].

Wednesday, May 30, 2007

hak asasi manusia; titik temu universalitas dan relativitas

Hak asasi manusia, atau HAM – begitu kata-kata ini lazim disebut – telah memiliki kekuatan yang luar biasa pada masa kontemporer ini. Ia jauh lebih kuat daripada agama, meski sama-sama menerobos batas wilayah dan negara. Banyak orang, terlebih negara, semakin takut mendengar kata ini. Takut bukan hanya karena HAM semakin ‘menguasai’ mereka, akan tetapi justru kalau sampai mereka dianggap jauh dari HAM.

HAM telah menjadi senjata ampuh negara-negara kuat untuk menaklukkan negara yang lemah. Atas nama HAM yang diklaim universal, sebuah negara memaksakan keberlakuannya pada negara lain; sesuatu yang dalam pandangan awam saja sudah jelas terlihat bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap HAM itu sendiri.

Benarkah HAM bersifat universal, yang berlaku kapan dan di mana saja? Benarkah HAM adalah konsep terbaik yang ada, yang tidak berkompromi sama sekali dengan budaya dan peradaban yang berbeda? Atau malah sebaliknya, bahwa HAM tidaklah lebih dari nilai-nilai budaya yang dianut oleh setiap komunitas masyarakat dalam ragam yang berbeda? Apakah HAM hanya sebuah nilai yang datang dari ‘Barat’ yang tidak bernilai lebih dari pada nilai-nilai ‘Timur’? Jelasnya, apakah HAM hanyalah salah satu nilai di antara nilai-nilai yang ada?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu akan dicoba untuk dijelaskan dalam tulisan ini. Bagaimana HAM yang dianggap bernilai itu mau diterapkan ke seluruh umat manusia –yang tentu mengandaikan HAM bersifat universal. Namun di sisi lain, sebuah fakta tak dapat disangkal; dunia tidaklah satu dan sama. Ada bermacam keragaman yang tidak dapat dipukul rata begitu saja.

Masing-masing masyarakat memiliki budaya dan nilai yang dianggapnya benar bagi komunitasnya. Keberadaan nilai asing yang merangsek masuk ke dalam budaya suatu komunitas, tak pelak dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi dan kedaulatan komunitas tersebut. Memang tidak semua nilai-nilai budaya yang beragam di masing-masing kelompok itu dapat memenuhi ‘kebutuhannya’ sendiri. Akan tetapi juga merupakan fakta bahwa beberapa masyarakat, dan juga negara, telah sukses memenuhi kesejahteraan warganya tanpa menerapkan kaidah dan hukum HAM universal yang dari luar.

Dalam ketegangan dua kutub pandangan yang saling bertolak belakang ini, diskursus tentang HAM, juga aturan-aturan legal yang lahir dari rahim HAM, tidak bisa mengambil posisi salah satu dari keduanya sehingga berlawanan dengan yang lain. Kalau memang HAM menganggap diri universal, ia harus mampu melepaskan baju kekolotannya yang menganggap benar diri sendiri, dengan tanpa kehilangan jati diri dan tujuannya yang dapat diberlakukan secara universal. Kalau demikian, di manakah seharusnya HAM beroperasi?

II. Universalitas HAM

a. Pandangan HAM yang universal
Manusia, dengan segala hak dan kebebasannya, telah menjadi bahan perbincangan serius dalam sejarah umat manusia. Pemikiran para filsuf, bahkan yang hidup sebelum kalender Masehi dibakukan, tentang kedaulatan manusia (berhadapan dengan negara) telah banyak kita jumpai dalam karya-karya mereka. Perbincangan tersebut semakin mendapatkan relevansinya setelah beberapa dokumen kesepakatan tentang martabat manusia muncul dalam sejarah. Dokumen-dokumen inilah yang dianggap sebagai cikal bakal tertulis Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkembang semakin pesat pada masa-masa selanjutnya.

Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Magna Charta (1215) yang memuat kesepakatan antara raja John di Inggris dengan para bangsawannya. Yang kedua The Bill of Rights (Inggris, 1689), dimana raja tidak lagi dapat bertindak sewenang-wenang dalam menetapkan hukum baru, melainkan harus melalui persetujuan parlemen. Yang ketiga The American Declaration of independence (1776) yang memuat perlindungan atas hidup dan kebebasan di Amerika. Hal yang sama termuat dalam The US Bill of Rights (1791). Kemudian muncul The Declaration of the Rights of Man and Citizen (1789 di Perancis) yang memuat jaminan kebebasan pribadi berdasarkan prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.

Kesepakatan-kesepakatan yang baru diakui beberapa negara tersebut mendapatkan momentum bagusnya untuk diakui secara universal lantaran tragedi Perang Dunia I dan II, serta holocoust di Jerman pada masa rezim Hitler. Maka Muncullah Universal Declaration of Human Rights/Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948 yang ditanda-tangani oleh sebagian besar anggota PBB. Dari DUHAM inilah selanjutnya muncul HAM generasi I (hak-hak sipil-politik), HAM generasi II (hak-hak ekonomi, sosial dan budaya), dan HAM generasi III (hak-hak kelompok).

Hak-hak Asasi yang termuat dalam deklarasi-deklarasi tersebut diklaim dapat berlaku universal, dengan tidak memandang waktu dan tempat ia diberlakukan. Para penganjur HAM optimis bahwa kesepakatan substansial tentang standar perilaku pemerintah dapat diciptakan di kalangan para anggota PBB. Mereka berharap standar-standar ini adalah ungkapan dari harapan berjuta-juta manusia di seluruh dunia yang merindukan kebebasan dan kehidupan yang lebih baik. Gagasan ini awal mulanya memang muncul dan mendapatkan dukungan kuat di negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang dikenal dengan negara-negara Dunia Pertama. Merekalah pendukung paling konsisten gerakan HAM internasional di PBB, sekaligus bagian dari para penandatangan awal.

Kalau kita telusuri, pandangan HAM yang universal ini mendapatkan akarnya dalam pandangan-pandangan liberal yang sudah ada jauh sebelum dokumen-dokumen di atas dicetuskan. Pandangan liberal ini menyatakan bahwa manusia terlahir secara setara dan bebas. Manusia adalah makhluk yang otonom. Otonomi, kesetaraan, dan kebebasan ini tidak hanya berlaku pada sekelompok kecil manusia saja, akan tetapi berlaku bagi semua umat manusia. Dan otonomi individu jauh lebih tinggi tempatya dibanding dengan kebebasan masyarakat dan negara. Karena itulah, HAM menjadi relevan. Hak asasi adalah hak yang dimiliki setiap orang sebagai manusia pada dirinya, sejak lahir, yang tidak diberikan oleh pihak lain selain oleh dirinya sendiri.

Ringkasnya, pandangan HAM yang berakar pada kebebasan individu ini dapat diberlakukan pada semua umat manusia. HAM memang bersifat universal. Lalu bagaimana kalangan pendukung universalitas HAM menanggapi keragaman nilai dan budaya yang sulit untuk disangkal dalam kehidupan ini?

Benar bahwa masyarakat tidak homogen, akan tetapi di sana-sini terdapat pluralitas yang tidak dapat diragukan. Meski demikian, HAM tetaplah universal. HAM bukanlah sesuatu yang langsung jadi begitu saja tanpa adanya proses yang mengawalinya. HAM adalah hasil sebuah konsensus internasional. Artinya, dengan diakuinya piagam DUHAM oleh negara-negara dunia, menunjukkan bahwa HAM memang dapat diberlakukan secara universal. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan teori konsensus tumpang-tindih-nya John Rawls. Dia membedakan antara pandangan-pandangan agama, falsafah, dan moral dari konsepsi politis tentang keadilan. Dalam konsepsi politis tentang keadilan, struktur politis masyarakat harus dipahami terpisah dari pandangan agama, budaya, dan sejenisnya. Pandangan-pandangan yang terakhir ini dapat saja masuk dalam konsep HAM, akan tetapi bukan satu-satunya sumber.

Jadi HAM adalah hasil konsensus tumpang-tindih, dimana, sebagaimana teori induksi, pandangan-pandangan dan doktirn-doktrin budaya partikular diakomodasi menjadi sesuatu yang universal, dan karenanya diterima oleh semua kalangan. Karenanya, dasar perekat dalam konsensus ini adalah alasan politis, bukan alasan moral atau agama. Dengan demikian, setiap individu di hadapan negara memiliki kedudukan yang setara. Kebebasan individu untuk menetapkan apa yang terbaik bagi dirinya harus dihormati oleh negara. Negara, dan juga kelompok, tidak dibenarkan memaksakan ide-idenya tentang apa yang boleh dan yang tidak menurut standar salah satu kelompok. Dengan demikian, HAM adalah konsep universal yang dapat diberlakukan kapan dan di mana saja.

b. Tanggapan atas universalitas HAM
Pandangan bahwa HAM berlaku universal tidaklah aman dari deraan kritik. Beberapa di antara kritik itu adalah bahwa HAM, oleh negara-negara berkembang, dicurigai sebagai agen Amerika Serikat dan negara-negara Barat untuk memperluas hegemoninya atas negara-negara Dunia Ketiga. Penolakan terhadap universalitas HAM juga terkait dengan keengganan baru yang bersifat filosofis yang meluas pada manusia dewasa ini terhadap segala sesuatu yang bersifat universal. Hal tersebut mendapatkan pendasarannya dalam post-modernisme yang ditandai dengan, pertama, pembelaan terhadap pluralitas dimana kemerdekaan pertama-tama berarti merdeka untuk berbeda, dan kedua, penolakan terhadap semua bentuk grand narrative sebagai sarana untuk otorianisme terselubung. Grand narrative berarti pernyataan yang mempunyai klaim keberlakuannnya secara universal. Dan termasuk di dalam grand narrative ini adalah HAM yang tidak memberi kemungkinan kepada munculnya konsep ‘HAM’ yang lain.

Para pengkritik HAM dari pihak post-moderen juga mempertanyakan konsep manusia yang ada dalam HAM. Mereka mengkritik bahwa pengertian manusia yang ada dalam DUHAM penuh dengan prasangka gender, prasangka kelas sosial, dan berbagai prasangka yang berhubungan dengan perkembangan biologis dan psikologis seseorang. Artinya, yang biasa dianggap sebagai manusia di sana adalah para lelaki, yang kuat kedudukan ekonominya, yang dewasa, dan tidak ada cacat fisiknya.

Kritik juga muncul dari filsafat komunitarian yang mempermasalahkan keabsahan filsafat liberal dan politik yang didasarkan pada individualisme dalam filsafat antropologinya. Mereka mempertanyakan, sebagai apakah manusia dilahirkan? Jawaban mereka adalah sebagai anggota komunitas untuk pertama kalinya, baru kemudian menjadi individu yang otonom dan bebas. Karenanya, bukan hak-hak individu yang harus diperjuangkan karena asasinya, tetapi kewajiban seseorang terhadap komunitasnya yang telah membuatnya tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, yaitu menjadi individu.

Perlu untuk diketahui bahwa pada awalnya, Deklarasi Universal HAM hanya disetujui oleh 60 negara saja, dan baru setelah itu ‘dipeluk’ oleh banyak negara di dunia. Artinya, konsep HAM yang dianggap universal tidak dapat menyembunyikan asal-usulnya yang berasal dari ‘minoritas’, yaitu negara-negara Eropa. Dan konsensus yang diklaim sebagai landasan HAM itu pada awalnya memang belum representatif untuk dapat mewakili seluruh umat manusia. Untuk selanjutnya, beberapa kritik atas universalitas HAM tidak dikemukakan di sini karena terkait juga dengan bagian-bagian yang lain.

III. Relativisme Kultural

a. Pandangan relativisme kultural
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa praktek relativisme kultural adalah memberikan prioritas kepada keputusan-keputusan yang berlaku secara budaya di dalam masyarakat. Tidak dapat disangkal lagi bahwa ada perbedaan-perbedaan dan keragaman yang mendasar dalam kelompok-kelompok di dunia ini. Keragaman itu dapat kita lihat baik dalam segi norma dan nilai moral yang mereka anut maupun sudut pandang dunia yang mengiringinya. Di samping itu, isi dan hakekat norma-norma serta nilai moral suatu kelompok berasal dari – dan dengan demikian relatif terhadap – budaya dan tuntutan kelangsungan hidup kelompok itu sendiri. Tidak ada norma dan nilai dalam suatu kelompok yang lepas dari konteksnya. Norma dan nilai selalu berkait-kelindan dengan budaya dan lingkungan tempatnya tumbuh dan berkembang. Karenanya, keyakinan moral harus diterangkan dalam kaitan budaya dan tuntutan kelangsungan hidup kelompok.

Lebih jauh, pandangan ini sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada metode rasional untuk memilih atau menjustifikasi norma-norma dan nilai-nilai moral yang tidak dapat diketahui kebenaran atau kepalsuannya. ‘Fakta ilmiah’ menunjukkan bahwa tidak ada cara untuk mengevaluasi budaya. Siapa yang dapat mengklaim bahwa budayanya adalah lebih unggul dari budaya yang lain? Karena lemahnya pemahaman moral kita itulah, maka kita harus selalu berhati-hati untuk tidak memaksakan keyakinan moral kita kepada pihak lain. Belum tentu budaya yang mau kita hapus dan gantikan dengan budaya kita adalah lebih buruk daripada budaya kita. Tidak ada alasan untuk lebih menyukai standar-standar HAM daripada standar-standar yang lain. HAM hanyalah salah satu nilai di antara banyak nilai yang ada dalam kehidupan ini. Karena itu, kelompok-kelompok yang berbeda-beda sebaiknya memilki standar yang berbeda-beda pula apabila budaya atau keadaan mereka memang berbeda.

Dalam pandangan relativis ini, norma-norma kelompok tidak diderivasikan dari, sekaligus tidak dapat dijustifikasikan dengan, sudut pertimbangan-pertimbangan rasional. Konsekuensinya, gerakan Hak Asasi Manusia tidak memiliki basis rasional dan harus dipandang sebagai upaya yang masih mentah dari sejumlah orang yang memaksakan nilai-nilai mereka kepada orang lain. Tidak ada yang namanya nilai moral universal dan tanpa perkecualian. Yang universal hanyalah tuntutan toleransi terhadap kebiasaan dan praktek orang lain.

Namun jika hak asasi manusia didasarkan pada kodrat manusia, yang tentu diklaim sebagai universal, bagaimana dapat menjelaskan bahwa HAM bersifat relatif? Jawaban kaum relativis adalah bahwa kodrat manusia itu juga relatif. Kodrat manusia, yaitu esensi yang diwujudkan dari makhluk-makhluk insani yang riil, sekaligus merupakan suatu proyek sosial dan keterberian kodrati. Maka, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa norma-norma kaum relativisme kultural adalah sebagai berikut: a) tidak adanya prinsip moral yang universal; b) seseorang bertindak sesuai dengan prinsip kelompoknya; c) satu-satunya prinsip moral yang berlaku adalah prinsip moral kelomponya; d) prinsip moral yang berlaku tidak ditentukan lewat pengolahan rasio, namun melalui doktrin-doktrin yang harus diyakini menurut ketentuan komunitasnya.

b. Kritik terhadap relativisme kultural
Sebagai mana pandangan universalitas HAM, relativisme kultural juga tidak sepi dari kritik dan sanggahan. Di antara objek kritik itu adalah pandangan relativisme kultural yang menganggap hanya nilai moral kelompok yang dapat berlaku. Di satu sisi, kaum relativis menolak konsep universal yang berlaku kapan dan di mana saja. Akan tetapi, dengan menerapkan kaidahnya bahwa prinsip kelompoklah yang berlaku, berarti mereka sendiri melakukan universalisasi kelompok. Dengan demikian, pernyataan mereka sebenarnya mengandung kontradiksi. Relativisme kultural juga tidak mengindahkan pentingnya diskursus moral. Pandangan relativisme kultural gagal dalam memandang budaya sebagai proses sejarah dan institusional yang terus berkembang. Padahal budaya adalah hasil diskursus dan praktek yang berkembang. Budaya berkembang secara dinamis dan terus-menerus diperdebatkan sesuai dengan zamannya. Budaya bukanlah sesuatu yang statis dan tidak berubah.

Di samping itu, pandangan para relativis kultural sering kali kabur dan bermain dalam tingkat kekuasaan dan politik. Argumen mereka sering kali digunakan oleh para elit ekonomi dan politik untuk mempertahankan kepentingan mereka sendiri dengan dalih melindungi nilai-nilai tradisi. Jadi, perdebatan mengenai hak asasi manusia tidak harus dilihat dalam kaitannya dengan pensubordinasian keberadaan tradisi yang ada. Tetapi perlu dilihat juga siapa yang mewakili komunitas itu, karena dialah yang menafsirkan tradisi dan norma yang berlaku di dalamnya. Keengganan mereka menerapkan nilai-nilai HAM dengan tetap menjalankan budayanya sendiri juga dicurigai sebagai tameng untuk melindungi kebrutalan kelompok terhadap para anggotanya.

Kritik kaum relativis kultural bahwa HAM hanyalah alat konspirasi Barat untuk menguasai Dunia Ketiga juga lemah. Mereka gagal memperlihatkan hubungan antara HAM internasional dengan dukungan pada kebijakan-kebijakan yang menguntungkan perekonomian Barat. Kritik mereka meniadakan suara orang miskin yang juga menginginkan kebebasan. Demikian juga, nilai-nilai budaya pada dasarnya diterima bukan karena asal-usulnya, akan tetapi karena sesuai-tidaknya nilai-nilai tersebut dengan kebutuhan budaya yang berkembang dalam suatu kelompok budaya. Karena tidak semua yang berasal dari luar adalah buruk. Banyak sekali institusi ‘cangkokan’ terbukti sukses dalam penerapannya. Selain itu, relativisme kultural juga tidak mengakui bahwa pada budaya kita sendiri, seringkali terdapat institusi-institusi yang bekerja secara buruk dan menjadi ketinggalan zaman. Perubahan sosial dan tehnologi sering membuat norma dan praktek-praktek lama tidak lagi sesuai dengan kebutuhan kelompok.

c. ‘Nilai-nilai Asia’
Terkait dengan keberadaan kita sebagai orang Asia, di samping adanya beberapa hal yang membedakan Asia – dalam masalah HAM– dengan lainnya, baik kiranya untuk sedikit membahas nilai-nilai dari Asia ini. Di Asia Timur dan Asia Tenggara, persoalan HAM memang sempat menjadi aktual seiring dengan munculnya nilai-nilai Asia (Asian Value) sebagaimana digembar-gemborkan oleh Lee Kuan Yew dan Mahathir Muhammad. Hal tersebut semakin menarik karena dalam kenyataannya beberapa negara Asia yang tidak menerapkan nilai-nilai HAM ternyata sukses dalam mensejahterakan warganya. Nilai-nilai Konfusian kemudian dipandang sama dengan etika Protestan yang lebih awal telah sukses mensejahterakan negara-negara kapitalis di Eropa dan Amerika.

Kiranya beberapa hal yang, dalam hal tertentu, membedakan negara-negara Asia dari negara-negara Barat penganut HAM adalah kedaulatan. Cina, misalnya, menolak HAM dengan alasan kedaulatan ini, karena, menurut mereka, adalah hak mereka untuk menggunakan atau tidak menggunakan standar-standar yang ada dalam HAM. Negara harus berdaulat dan tidak didekte dari luar. Di samping itu, negara-negara Asia masih terlalu muluk untuk membicarakan HAM, terutama hak sipil dan politik. Keadaan mereka menuntut untuk terlebih dahulu mengutamakan kesejahteraan warganya. Tidak ada artinya bicara tentang kebebasan kalau diri sendiri masih kelaparan. Dengan kata lain, hak-hak ekososbud jauh lebih utama daripada hak-hak sipol yang oleh negara-negara Eropa lebih diutamakan. Demikian juga pembangunan. Mendesaknya kebutuhan akan pembangunan membuat sedikit pelanggaran terhadap hak asasi manusia menjadi tidak terhindarkan. Hal itu tentu mendapatkan pendasarannya dalam paham etika etilitarisme. Nilai-nilai Asia juga di anggap lebih menekankan pada kebersamaan dan komunitas, hal yang berbeda dari nilai-nilai Eropa dan HAM yang lebih menekankan individualisme.

d. Kritik terhadap ‘nilai-nilai Asia’
Tentu kritik-kritik terhadap relativisme budaya juga berlaku di sini. Di samping kritik-kritik tersebut, dapat ditambahkan di sini beberapa kritik yang lain. Dalam bidang politik, nilai-nilai Asia seringkali digunakan sebagai alat di negara-negara Asia untuk memaafkan pelanggaran terhadap prinsip demokrasi dalam pelaksanaan politik sehari-hari. Banyak oposisi yang ditindas karena alasan stabilitas negara. Dengan kata lain, nilai-nilai Asia telah menjadi sarana pembenaran diri negara atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap hak-hak politik masyarakat. Di samping itu, anggapan bahwa nilai-nilai Konfusian membuat semakin sejahteranya negara-negara Asia juga terlalu berlebihan. Karena di Cina Daratan sendiri, tempat lahir dan berkembang luasnya nilai-nilai itu, kesejahteraan warga masih belum tercapai. Dengan demikian, pasti ada faktor-faktor lain yang membuat semakin sejahteranya para ‘macan Asia’ itu, yang kemudian dicoba untuk dibenarkan dengan nilai-nilai Asia.

IV. Sebuah Kompromi

Dari perdebatan panjang yang seakan tidak menemui titik temu di atas, menjadi niscaya bagi rumusan-rumusan HAM untuk tidak mengambil salah satunya dengan mengabaikan yang lain. Tidak mungkin HAM berpegang teguh pada universalitasnya dengan mengabaikan sama sekali pluralitas nilai dan budaya yang tidak dapat dipungkiri. Atau sebaliknya, HAM mengambil keragaman itu sebagai landasannya dan mengabaikan universalitasnya sehingga ia menjadi sangat lentur dan bahkan hilang sama sekali lantaran tidak adanya titik pijak. Tetapi HAM harus mengkompromikan keduanya, sehingga ia di satu sisi tetap dapat berlaku universal, namun di sisi lain tetap menghargai dan tidak membabat habis keragaman nilai dan budaya yang ada.

Andrew Nathan mengusulkan sebuah universalisme lunak yang cocok untuk diterapkan dalam HAM. Bahwa HAM adalah sesuatu yang fundamental, dan karenanya bersifat universal. Namun ruang substansial tetap diberikan bagi rupa-rupa variasi dalam pelaksanaan kaidah-kaidah universal. Gagasan inti dalam deklarasi dan dokumen-dokumen HAM memang pada umumnya dipandang berlaku tanpa perkecualian. Namun ia sekaligus juga menjadi sasaran beragam penafsiran, meski tetap dalam bingkai gagasan utamanya.

Di sini perlu dibedakan antara konsep, interpretasi, dan implementasi HAM. Deklarasi Universal HAM memformulasikan hak-hak pada tahap konsep (substansi), yaitu suatu abstrak tentang nilai dan orientasi pernyataan yang bersifat umum. Dan bermacam interpretasi dapat dilakukan sebatas tidak mempertentangkan konsep-konsep tersebut secara esensial. Demikian juga implementasinya. Lebih daripada interpretasi, implementasi HAM harus mempertimbangkan fakta sosial yang ada. Dengan kata lain, universalitas dalam tataran konsep DUHAM harus tetap dipertahankan, dan implementasinya dapat dilakukan sesuai dengan budaya masing-masing, selama tidak menentang konsep DUHAM.

Kalau kita memperhatikan rumusan-rumusan HAM yang sudah ada, sesungguhnya usaha-usaha kompromi itu sudah ada di sana. Hal itu terlihat antara lain bahwa, 1) rumusan-rumusan itu hanya memberikan standar-standar minimal pada sejumlah bidang yang terbatas; 2) istilah-istilah yang dipakai untuk merumuskan HAM seringkali cukup umum dan abstrak untuk membuka ruang gerak bagi interpretasi lokal; 3) kemungkinan untuk mengesampingkan sejumlah hak asasi manusia dalam situasi darurat telah diperbolehkan secara eksplisit; 4) kewajiban untuk menaati standar hak asasi manusia adalah kondisional berdasarkan kesanggupan untuk melakukannya; 5) gerakan hak asasi manusia juga menyokong diversitas melalui dukungannya pada prinsip penentuan nasib sendiri dan prinsip non-intervensi dalam soal-soal tertentu.

Dalam implementasinya, perlu segera dibentuk badan-badan yang tidak berat sebelah dan tidak memihak guna memantau kesepadanan baik dengan hak-hak asasi manusia maupun dengan hak-hak kaum minoritas. Kalau memang sulit menemukan ‘orang dalam’ yang sanggup menjalankan tugas berat ini, maka komunitas internasional dapat memainkan peranan penting dengan menyediakan hakim yang tidak berat sebelah dalam pemantauan.

V. Penutup

Hak asasi manusia, sebagai hasil kompromi, mengandung nilai (keadilan) minimal. Tidak mungkin ia mengakomodasi seluruh tuntutan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain. Dengan kompromi, tentu masing-masing pihak merasa dirugikan karena tidak semua tuntutannya terpenuhi, akan tetapi di sisi lain, sebenarnya di situ tersimpan sesuatu yang sangat bernilai bagi kehidupan bersama. HAM, sebagaimana teks, selalu mengandung dua hal yang pasti; mengungkapkan dan menyembunyikan.

Adanya banyak pelanggaran terhadap HAM yang dilakukan banyak negara di dunia, bahkan oleh negara yang mencetuskan sekaligus mempromosikan HAM, tidak lantas menunjukkan keburukan HAM. Apa yang dirumuskan dalam DUHAM pertama-tama harus dilihat sebagai cita-cita ideal yang wajib dipenuhi dan dijalankan oleh masyarakat yang beradab. HAM bukanlah kenyataan empiris yang sudah ada dan dapat diamati dalam kehidupan setiap hari. Bukti bahwa nilai-nilai HAM patut untuk diperjuangkan adalah kenyataan bahwa negara-negara Dunia Ketiga pun tidak keberatan untuk berpartisipasi dalam gerakan hak asasi manusia di PBB karena sejumlah alasan: 1) ide tentang kebebasan dan hak asasi manusia telah memikat banyak kalangan, dan tidak hanya kalangan negara-negara Barat yang kaya saja; 2) gerakan hak asasi manusia menyediakan sejumlah alat yang berguna bagi negara-negara Dunia Ketiga untuk mengutuk kaum kolonialis dan rasis.

Akhirnya, sebagai bahan introspeksi diri, sebelum kita mengecam dan mencela satu kelompok minoritas karena memaksakan pembatasan-pembatasan kepada para anggotanya, kita pertama-tama wajib untuk memastikan bahwa kita sendiri menghormati semua hak-hak mereka yang sah sebagai kelompok minoritas.

VI. Daftar Pustaka

Binawan, Al. Andang L., Hak Asasi Manusia dan Persoalan Filosofisnya, Jakarta: STF
Driyarkara, 2007.
Ceunfin, Frans (ed.), Hak-hak Asasi Manusia, Aneka Suara dan Pandangan, Maumere: Penerbit Ledalero, 2006.
Gerung, Rocky (ed.), Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, dan Kasus, Depok: Filsafat UI Press, 2006.
Howard, Rhoda E, HAM, Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000.
Nickel, James W, Hak Asasi Manusia, Making Sense of Human Rights, Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jakarta: gramedia, 1996.