Thursday, May 31, 2007

Islam, Kristen, dan Filsafat

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sampai pada Abad Pertengahan Islam telah menahkodai hampir semua ilmu pengetahuan. Tidak ada cabang ilmu pengetahuan yang luput dari perhatian para sarjana Muslim. Di kota-kota, apalagi yang menjadi pusat pemerintahan, pusat-pusat studi baik keislaman maupun pengetahuan umum menjadi tempat berkumpulnya para sarjana dari berbagai belahan dunia.

Bahkan para sarjana Muslimlah yang memperkenalkan kepada para sarjana Barat dan Kristen ilmu pengetahuan dari Yunani. Malalui pena sarjana-sarjana Muslim ini pula, diakui atau tidak, para sarjana dan teolog Kristen banyak mengambil ide dan mendapat inspirasi dalam pemikirannya.

Filsafat dalam Islam
Namun jaman sudah berubah. Pusat pengetahuan tidak lagi berada di dunia Islam, melainkan telah berpindah ke Barat. Di sanalah ilmu pengetahuan sampai yang mutakhir akan kita jumpai. Filsafat, dalam pengertiannya yang luas, yang pada jaman kejayaan Islam menjadi pilar utama kemajuan peradabannya, sekarang dalam dunia Islam hanya tinggal puing-puingnya. Bahkan menjadi ilmu yang terkutuk bagi orang-orang Islam.

Dari berserakannya puing-puing itu, terdapat kelompok-kelompok kecil yang masih menunjukkan kepeduliannya akan filsafat. Tentu jika dibandingkan dengan para filsuf Barat tidak akan terdengar gaungnya lantaran kalah baik dalam segi kuantitas maupun kualitas.

Bisa dipastikan, dari jaman modern sampai sekarang di dalam dunia Islam belum ditemukan lagi filsuf besar yang tidak hanya berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan keislaman tetapi juga terhadap ilmu pegetahuan secara umum, sebagaimana kita menemukannya dalam diri Ibn Rusyd, al-Farabi, dan lain-lain. Tidak ada lagi filsuf Muslim yang menjadi acuan baik bagi sarjana Muslim maupun para sarjana non-Muslim. Yang ada hanyalah sedikit orang-orang yang masih belajar filasafat dan beberapa filsuf Muslim (didikan Barat) yang hanya populer di wilayahnya sendiri.

Dari sedikit yang mengetahui filsafat ini pun masih harus menghadapi masalah-masalah internal umat Islam sendiri. Oleh sebagian besar umat Islam, mereka dianggap sebagai kafir dan murtad, dan kalau memungkinkan harus dibinasakan. Mereka dianggap lebih berbahaya dari orang yang secara terang-terangan mengaku sebagai non-Muslim, lantaran dianggap mengobok-obok Islam dari dalam. Karenanya, banyak para pemikir Muslim yang memilih hidup di negara lain daripada harus hidup dengan bayang-bayang kematian di negaranya sendiri. Ringkasnya, bagi mayoritas Muslim ini, filsafat telah menjadi racun, dan tentu bagi semua agama juga.

Sebenarnya citra yang demikian itu tidaklah berlebihan. Bahwa banyak anak-anak Muslim yang setelah belajar filsafat tidak lagi menjadi saleh sebagaimana harapan masyarakat luas, akan tetapi malah mengkritisi dan “mendangkalkan” doktrin-doktrin yang oleh mayoritas dianggap telah mapan dan tak dapat diganggu-gugat dalam agama. Bahkan dalam batas-batas tertentu, mereka memang kelihatan menjelek-jelekkan agamanya sendiri.

Artinya, belum ada – kalaupun ada masih sangat sedikit – usaha sistematis-filosofis dalam memahami doktrin-doktrin ajaran Islam secara utuh. Yang baru terjadi adalah usaha-usaha kritis di sana sini terhadap apa yang dianggap tidak relevan lagi tanpa usaha yang menyeluruh dan komprehensif. Hal itu membuat gerakan pencerahan ini terlihat sporadis sehingga umat malah berpaling darinya. Tentu hal tersebut juga berpangkal dari tidak adanya filsuf besar Islam saat ini yang dapat mengemban tugas maha berat tersebut.

Filsafat bagi umat Kristiani
Perlawanan terhadap filsafat oleh sebagian besar umat Islam ini bertolak belakang dengan apa yang ada dalam agama Kristen, paling tidak Katolik. Belajar filsafat bagi para calon pemuka/imam dalam agama tersebut adalah fardhu ‘ain hukumnya. Sehingga, banyak sekali dari para imam-imam tersebut adalah para filsuf. Maka tidak mengherankan kalau banyak filsuf besar dunia sekaligus adalah pemimpin agama ini, atau paling tidak pemeluk agama yang taat.

Sehingga muncul kesan; kalau para calon imam belajar filsafat untuk lebih mendalami dan memantapkan penghayatan keagamaannya, maka banyak anak-anak Muslim yang belajar filsafat malah untuk mendangkalkan agamanya, untuk menjauh dari agamanya.

Sebagaimana kita ketahui, di Barat pun tidak semua filsuf adalah Kristen atau mendukung agama tersebut. Banyak sekali filsuf dari agama Protestan maupun Katolik yang kemudian dianggap menyimpang dan murtad oleh komunitasnya. L. Feuerbach dan Nietzsche adalah contoh dua filsuf modern yang lahir dari lingkungan Kristiani. Mereka berdua adalah filsuf besar yang mendobrak serta menginjak-injak doktrin-doktrin sentral agama lamanya.

Respon yang berbeda
Dan tentu ada perlawanan dari para pemuka agama Kristen. Bahkan agama ini sampai pada abad modern jubahnya dipenuhi dengan lumuran darah para filsuf. Tetapi yang membedakan Kristen sekarang dari Islam adalah bahwa kritik dan cemoohan dari para filsuf tersebut tidak lagi membuat para pemuka agama Kristen gentar apalagi surut ke belakang. Akan tetapi mereka menerima kritik dan cemoohan itu dan balik membalasnya sehingga terjadi debat yang sehat dan konstruktif. Sehingga tantangan-tantangan yang muncul tidak membuat doktrin-doktrin agama Kristen melemah, tetapi malah justru semakin memperkuat – paling tidak seperti itulah yang dirasakan pemeluknya.

Sedangkan respon sebagian besar ulama Islam sekarang adalah justru menghindar dari kritik-kritik filosofis yang diajukan terhadap agama mereka. Para ulama ini belum menerimanya secara lapang dada lalu mengkritik balik lawannya, tetapi masih menganggap kafir dan murtad pengkritik dan melarang umat untuk dekat-dekat dengan orang-orang yang telah keluar dari “rel agama” tersebut. Dan, yang lebih disayangkan, di beberapa tempat muncul fatwa hukuman mati bagi para pengkritik ini. Sehingga perlawanan yang muncul hanya bersifat pasif karena tidak mau menyerang balik lawan secara argumentatif, tetapi malah menutup diri darinya.

Bukan berarti saya menyamakan agama Islam dengan Kristen, atau menganggap bahwa doktrin-doktrin Kristen sulit dipahami tanpa filsafat. Setiap agama pasti memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang tidak sama satu sama lain. Tetapi setidaknya kita dapat belajar dari agama yang dibawa oleh Nabi Isa as. itu. Bahwa terhadap kritik, betapapun itu pedih dan menyakitkan, kita tidak harus menutup diri. Tetapi kita harus berlapang dada serta menanggapinya dengan kritis pula. Sebagai orang yang beriman, kita harus dapat mempertanggungjawabkan keimanan kita. Hanya dengan demikian umat Islam dapat kembali maju dan tidak hanya menjadi penonton dalam gerak perubahan jaman[].

No comments: