Tuesday, November 24, 2009

Penemuan Makam Yesus

Dari tanggal 1-11 April 1980, arkeolog Amos Kloner, Yosef Gath, Eliot Braun, dan Shimon Gibson di bawah pengawasan Otoritas Kepurbakalaan Israel (OKI), menggali makam sebuah keluarga yang berada di Talpiot, wilayah yang terletak sebelah selatan kota lama Jerusalem. Dalam penggalian itu mereka menemukan 10 osuarium (peti tulang terbuat dari batu gamping) tua yang diperkirakan berasal dari masa pra-tahun 70 masehi, akhir Perang Yahudi I melawan Roma. Beberapa kejadian lain terkait dengan keberadaan makam ini juga terjadi.Di antaranya adalah James D Tabor dengan buku kontroversialnya di tahun 2006, The Jesus Dynasty, film dokumenter The Lost Tomb of Jesus yang dikeluarkan oleh Discovery Channel pada maret 2007, dan Simcha Jacobovici serta Charles Pellegrino dengan bukunya Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence That Could Change History. Semuanya menyimpulkan bahwa makam Talpiot adalah benar-benar makam Yesus dari Nazareth.

Namun sampai sekarang hanya sembilan osuarium yang masih ada pada OKI, sedangkan yang satu hilang. Enam dari sembilan osuarium itu berinskripsi (1) "Yesus anak Yusuf" (bahasa Aram), (2) "Maria" (Aram), (3) "Mariamene e Mara" ("Maria sang Master"=Maria Magdalena) (Yunani), (4) "Yoses" (Aram), (5) "Matius" (Aram), (6) "Yudas anak Yesus" (Aram). Matius adalah anak Alfeus, saudara Yusuf, ayah legal Yesus. Demikian menurut J. Tabor. Pada tahun 2005 Dr Carney Matheson dan timnya dari Laboratorium Paleo-DNA Universitas Lakehead di Ontario telah memeriksa mitokondria DNA terhadap human residue dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dari penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan persaudaraan maternal antara "Yesus" dan "Maria Magdalena". Karena orang luar yang ditemukan dalam makam keluarga, maka ada kemungkinan Maria Magdalena adalah istri Yesus, dan Yudas adalah anak mereka berdua.

Editor dari Biblical Archaelogy Review, Hershel Shanks, pada 2002 telah menemukan osuarium yang berinskripsi Aramik “Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus”. Dari penelitian dipastikan bahwa osuarium Yakobus ini adalah osuarium yang hilang dari makam Talpiot. Jika pengujian DNA diizinkan dan terbukti bahwa DNA Yakobus match dengan DNA Yesus (yang sudah diketahui), maka akan tidak terbantahkan lagi bahwa makam keluarga di Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth, Yesus yang punya saudara satu ayah, yang bernama Yakobus, sebagaimana dicatat baik oleh tradisi Kristen (Galatia 1:19; Markus 6:3) maupun oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.

Beberapa sanggahan atas hipotesa tersebut telah diajukan. Bahwa nama yang digunakan dalam makam tersebut bersifat umum untuk masa itu, sehingga tidak dapat dipastikan bahwa makam tersebut adalah makam Yesus dari Nazareth. Namun berkumpulnya nama-nama keluarga Yesus dalam satu cluster adalah kejadian unik. Hal itu didukung oleh kajian statistik yang memanfaatkan teori probabilitas dan yang juga memperhitungkan baik demografi kota Jerusalem pra-tahun 70 (berpenduduk antara 25.000 dan 75.000) maupun data nama-nama yang telah dicatat yang berasal dari semua makam yang telah ditemukan di kawasan-kawasan perbukitan kota Jerusalem.

Menurut Prof Andrey Feuerverger dari Universitas Toronto, kemunculan cluster atau kumpulan keempat nama saja yang berkaitan dengan Yesus ("Yesus anak Yusuf", "Maria", "Maria Magdalena", dan "Yoses") dalam satu makam, dalam konteks kota Jerusalem pada periode itu, adalah suatu kejadian unik dengan peluang 1:600. hal itu berarti, dari 600 kasus yang terjadi, hanya akan ada satu kejadian yang sama dengan kejadian di makam Talpiot itu. Dan jika osuarium Yakobus dimasukkan ke dalam makam Talpiot, maka, menurut Feuerverger, peluangnya berubah menjadi 1:30.000. Atau dari 30.000 kejadian, hanya ada satu kejadian yang mirip.

Sanggahan lain bahwa Perjanjian Baru tidak memberi keterangan bahwa Yesus memiliki anak. Memang PB tidak menyebut hal itu, akan tetapi nama-nama seperti Philo, Rabbi Hillel, Flavius Yosefus, Hanina ben Dosa, Apollonius dari Tyana adalah orang-orang yang benar-benar hidup pada masa awal kekristenan. Dan sangat mungkin bahwa “seorang muda” yang berlari “dengan telanjang” dalam Injil Markus adalah anak Yesus, namun disembunyikan dengan mempertimbangkan keadaan masa itu yang sulit. Sanggahan berikutnya bahwa keluarga Yesus adalah orang miskin sehingga tidak mungkin mampu membuat makam di Jerusalem, dapat disanggah bahwa makam di Talpiot tersebut adalah makam yang sederhana dengan ukuran 3x3 meter dan tinggi kurang dari 2 meter. Hal itu dapat diusahakan oleh para pengikut Yesus. Sepeninggal Yesus, mereka memusatkan pergerakan messianik mereka di Jerusalem dengan dipimpin oleh Yakobus (wafat tahun 62), saudara Yesus, yang semasa Yesus masih hidup telah menetap di Jerusalem.

Dikatakan dalam Matius 6:29 bahwa ketika murid-murid Yohanes Pembaptis mendengar sang guru mereka sudah dibunuh oleh Herodes Antipas, mereka segera datang mengambil mayatnya lalu meletakkannya dalam sebuah kubur. Demikian juga yang terjadi dengan Yesus. Murid Yesus, Yusuf dari Arimatea, memberikan makam pribadinya untuk mengubur Yesus sementara. Dari kubur ini kaum keluarga Yesus kemudian memindahkan mayat Yesus ke makam yang permanen yang disediakan para pengikut pergerakan messianik Yesus yang berpusat di Jerusalem. Telah dipindahkannya mayat Yesus ke kubur lain inilah yang membuat kubur pertama menjadi kosong. Ketika waktunya telah tiba (satu tahun kemudian), tulang-belulang Yesus dimasukkan ke dalam osuarium.

Sanggahan yang bersifat apologetis teologis mengatakan bahwa tidak mungkin di bumi ini ada sisa-sisa jasad Yesus karena Ia telah bangkit beserta raganya. Di sini teologi mereka pakai untuk menghambat penyelidikan interdisipliner terhadap makam Talpiot dan osuarium-osuarium yang terdapat di dalamnya. Merekalah yang seharusnya tidak diperhatikan dalam penelitian sejarah dan makam ini.

Akhirnya, kalau memang jasad Yesus masih dapat kita saksikan bersama di dunia ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus harus kita pahami sebatas metafora, bukan kejadian sejarah objektif. Para penulis Perjanjian Baru tentu memahami dengan sebaik-baiknya hal ini, karena mereka sudah pasti dapat membedakan mana perbedaan antara realitas dan fantasi serta delusi. Yesus memang bangkit, akan tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup yang dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus memang naik ke surga, akan tetapi dalam arti Ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Yang dibutuhkan dalam kebangkitan dan kenaikan adalah tubuh rohani, bukan sekedar tubuh fisik.

Tanggapan

Mengatakan bahwa kebangkitan dan kenaikan Yesus hanya sebatas tubuh rohani, tidak beserta tubuh fisiknya, adalah kesimpulan yang masih sangat prematur. Metafora hanya bergerak dalam ranah subjektif, tidak objektif. Kerena itu pilihannya adalah prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis". Kontroversi yang marak tentang penemuan makam keluarga Yesus dan kepastian kebangkitan-Nya dengan tubuh-Nya perlu ditempatkan dalam kerangka besar penelitian kisah- kisah ajaib di dalam Kitab Suci. Penelitian semacam itu sebenarnya bukanlah hal yang baru sama sekali, akan tetapi telah lama berlangsung sejak jaman dulu kala.

Dari penelitian-penelitian itu terdapat keyakinan bahwa hal-hal yang ajaib adalah berbeda dan bertentangan dengan penjelasan ilmiah. Maksud dari penelitian ilmiah semacam ini adalah ingin menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang dianggap aneh dan ajaib yang terdapat dalam Kitab Suci sebenarnya adalah kejadian lumrah dan biasa yang dapat dijelaskan dengan pendekatan ilmu-ilmu positif. Prinsipnya, segala mukjizat bisa ditemukan penjelasan ilmiahnya. Dalam pendekatan ini, peristiwa yang dikisahkan dalam Kitab Suci dapat terjadi secara historis. Konskuensinya jelas, peran Ilahi disingkirkan dan harus tunduk pada peran sains. Dengan demikian, peran Ilahi tidaklah sedahsyat yang diceritakan oleh Kitab Suci.

Namun dalam kenyataan, banyak kisah mukjizat dalam Kitab Suci yang tidak berhubungan dengan peristiwa alam. Perjanjian baru mengisahkan tentang penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus dan para murid-Nya dengan menggunakan kuasa dan nama Allah yang kudus. Maka kalau ditanyakan apakah kisah tersebut benar-benar terjadi, maka di sini yang disingkirkan bukan hanya kemungkinan intervensi Ilahi, tetapi juga kejadian itu sendiri. Kalau memang tidak ada penjelasan ilmiahnya, apakah kesimpulannya kejadian macam itu memang tidak pernah terjadi? Ternyata fakta berbica lain. Banyak orang yang menderita sakit dan tidak dapat disembuhkan menurut ilmu kedokteran, ternyata mengalami kesembuhan.

Akhirnya orang akan berhadapan dengan kenyataan empiris bahwa kejadian-kejadian ajaib memang pernah terjadi. Artinya, "yang ajaib" bisa sungguh terjadi secara historis dalam ruang dan waktu di mana manusia ini hidup dan bergerak. Mukjizat bisa benar-benar terjadi. Craig A Evans mengatakan bahwa di antara kesalahan serius adalah “kegagalan untuk memperhitungkan perbuatan ajaib Yesus.” Karenanya perlu disayangkan kalau para peneliti memulai penelitiannya dengan membawa prinsip awal yang tak dapat dirubah bahwa “yang ajaib pasti tidak historis”.

Prinsip semacam itu mengakibatkan proses demirakulisasi (Latin miraculum; Inggris miracle) Yesus, yaitu sebuah proses pengingkaran terhadap apa yang sebenarnya begitu jelas terlihat meskipun tidak bisa dijelaskan dengan akal budi. Karenanya menjadi jelas, bahwa Yesus yang benar-benar ada secara historis harus dijelaskan dengan menghilangkan semua hal ajaib dan mukjizat sebagaimana yang ada dalam Kitab Suci. Tentu hal ini akan membuat sang peneliti mencomoti data-data yang terlepas dari konteksnya. Dan di antara peneliti dengan system kerja semacam ini adalah James D. Tabor dalam meracik bukunya The Jesus Dynasty. Sebagai contoh adalah penjelasannya tentang pekerjaan Yesus sebelum tampil ke publik Galilea. Pekerjaan itu dalam Injil disebut dengan tekton. Tetapi tabor mencomot tukang bangunan sebagai arti dari kata tekton yang sebenarnya memiliki banyak arti. Ia mencomot teks terlepas dari konteks begitu saja.

Kedua adalah usaha tabor dalam merekonstruksi tahap perjalanan Yesus dan para murid-Nya ke Jerusalem. Ia menggabungkan data dan loncatan kreatif berdasarkan informasi Injil. Namun ada satu hal penting yang ia tinggalkan. Dalam Injil Yohanes bab 11 dikisahkan bahwa di sebuah kampung yang bernama Betania, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematiannya. Tentu kisah ini berada di luar pembuktian mukjizat berdasarkan gejala alam. Tabor ingin membuktikan bahwa tubuh Yesus telah dipindahkan oleh para pengikut-Nya dari tempat semula Ia dimakamkan setelah penyaliban, ke tempat yang baru. Untuk maksud itu Tabor berani membuat pernyataan bahwa Ia telah menemukan makam Yesus dan keluarga-Nya.

Karena itu, temuan-temuan arkeologis baru-baru ini harus ditempatkan dalam kerangka demirakulisasi para peneliti. . Film dokumenter The Lost Tomb of Jesus dengan produser pelaksana James Cameron, buku karangan Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino The Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence that Could Change History, dan buku James D Tabor The Jesus Dynasty adalah contoh-contoh dari proses demirakulisasi ini. Prinsip-prindip tersebut dengan pasti akan menolak bukti sejarah yang sampai sekarang dipercaya bahwa “yang ajaib adalah benar-benar terjadi”. Hal ini berlaku juga bagi kebangkitan Yesus. Peristiwa itu adalah hal ajaib. Dan bagi para peneliti ini, kejadian ini tidaklah historis, dan yang historis adalah bahwa Yesus tidak bangkit dengan seluruh tubuhnya. Karenanya, penemuan makam Talpiot dijadikan bukti kuat oleh mereka.

Padahal, kalau memang ingin setia pada data-data empiris, kesimpulan yang muncul adalah: (1) Ada sebuah kompleks makam keluarga tempat ditemukan 10 osuarium; satu dari osuarium itu telah hilang; enam dari yang masih ada memiliki inskripsi nama-nama yang sangat umum; (2) Kesatuan nama-nama umum itu hanya terjadi satu kali dari antara 600 kasus; (3) Yesus anak Yusuf dan Maria Magdalena bukan saudara-saudara sekandung.

Jika kesimpulannya lebih dari itu, maka sudah barang tentu kesimpulan tersebut hanya sebuah hipotesa belaka. Namun Tabor justru membuat hipotesa sebagai kesimpulan. Ia berkesimpulan bahwa osuarium yang berinskripsi "Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus" adalah satu osuarium yang hilang dari makam keluarga di Talpiot itu. Demikian pula hipotesis yang lain, "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dan hipotesis lanjutannya yang berupa “Yudas anak Yesus” ia katakan sebagai hasil perkawinan dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena".

Dari semua kesimpulan yang ia buat, kesimpulan bahwa tulisan dalam osuarium “Yesus anak Yusuf” adalah Yesus yang lahir di Nazareth yang dikisahkan oleh Injil merupakan kesimpulan yang paling berani. Hal itu sama saja dengan mengatakan bahwa “Bambang anak Suharto” dalam sebuah kuburan di Indonesia adalah Bambang anak Suharto penguasa Indonesia. Padahal sangat mungkin sekali bahwa yang dimaksud dengan tulisan “Bambang anak Suharto” itu adalah seorang petani di Muria yang kebetulan bernama sama dengan nama seorang penguasa di Indoesia.

Karena itu, masih sangat dini kalau sampai pada kesimpulan semacam itu. Juga terlalu awal kalau sampai percaya bahwa kebangkitan Yesus dari Nazaret adalah sebuah metafora belaka, bukan persitiwa historis; sebuah metafora yang bergerak hanya dalam ranah subyektif, bukan obyektif. Maka, pilihannya kembali antara prinsip "yang ajaib pasti tidak historis" atau "yang ajaib bisa sungguh historis".


* Diringkas dari tulisan Iones Rahmat, Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, yang dimuat dalam rubrik Bentara Kompas tanggal 5 April 2007 dan tulisan Deshi Ramadhani, Historisasi Makam Kosong Yesus, dalam rubrik Bentara Kompas tanggal 5 Mei 2007.