Thursday, June 14, 2007

Tuhan dalam Bencana

Mungkin inilah negeri bencana. Tidak henti-hentinya bencana menimpa negeri yang dikenal cukup religius ini. Bayangkan, tak ada bagian dari wilayah negeri ini yang luput dari bencana. Di darat, gunung meletus, gempa bumi, tanah longsor, dan banjir, datang silih berganti. Di laut, air yang meluap telah menelan ratusan ribu nyawa manusia yang menjadi korban. Mengekspor asap ke negara tetangga juga menjadi hal yang biasa.

Terakhir yang menjadi pusat perhatian adalah kecelakaan transportasi. Tidak tanggung-tanggung, semua jenis alat transportasi baik darat, laut, maupun udara, tidak luput dari malapetaka yang mendera. Tidak hanya itu, bencana transportasi dari semua lini ini terjadi saling susul-menyusul dalam waktu yang berdekatan.

Mungkin lantaran bencana yang terjadi secara beruntun inilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyelenggarakan zikir nasional sehabis shalat Jum’at di Masjid Istiqlal pada hari Jum’at, 9 Maret lalu. Beberapa ulama besar turut hadir, begitu pula hampir semua pejabat tinggi negara. Tak ayal, acara zikir nasional ini pun menyedot banyak perhatian sebagaimana bencana yang telah terjadi itu sendiri. Sehabis acara, kalangan agamawan mengajak umat untuk bertaubat dan mengintrospeksi diri.

Teodisia

Adalah tantangan terbesar umat yang mengaku beragama untuk memecahkan masalah adanya penderitaan di dunia. Semua agama mengklaim bahwa tuhannya adalah tuhan yang maha pengasih, maha penyayang, maha adil, maha pemurah, dan berbagai sifat lainnya yang baik. Dalam Islam, kita mengenal adanya al-Asma’ al-Husna, 99 nama Allah yang baik. Ajaran yang sama dalam bentuk berbeda akan kita temui dalam agama-agama yang lain.

Tetapi kenyataan dalam dunia konkret sehari-hari sering kali bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh agama-agama tersebut. Bencana datang silih berganti, musibah juga tiada henti. Penderitaan-penderitaan tersebut seakan meruntuhkan klaim setiap agama bahwa tuhannya dipenuhi dengan sifat-sifat kebaikan. Inilah yang disebut masalah teodisia, istilah yang pertama kali dimunculkan oleh filsuf Jerman Gottfried Wilhelm Leibniz [1646-1716]. Bahwa dengan banyaknya penderitaan di dunia ini, seolah-olah eksistensi Tuhan perlu pembenaran. Kalau Tuhan adalah maha pemurah dan kasih sayang, lalu dari mana datangnya bencana dan penderitaan ini? Mengapa Tuhan yang maha baik membiarkan penderitaan ini terjadi?

Epikuros, seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu, telah membahas penderitaan di dunia ini dalam kaitannya dengan keberadaan Tuhan. Dia mengajukan empat kemungkinan yang masih tetap aktual sampai sekarang. Pertama, Tuhan mampu menghapus penderitaan di dunia ini, tetapi tidak mau. Kedua, Dia mau, tetapi tidak mampu. Ketiga, Dia tidak mau dan tidak mampu. Keempat, Dia mau dan mampu. Tiga kemungkinan yang pertama, bagi orang yang beragama, tentu tidak dapat diterima karena bertentangan dengan hakekat Tuhan yang maha kuasa dan maha penyayang. Tetapi kalau kita menerima kemungkinan yang keempat, hal itu tampak sekali bertentangan dengan kenyataan konkret di sekeliling kita yang dipenuhi dengan banyaknya penderitaan.

Penjelasan yang tidak memadai

Penjelasan terhadap masalah bencana dan penderitaan banyak kita dapatkan dari kalangan agamawan. Penjelasan-penjelasan yang familier bagi kita itu di antaranya adalah pertama, bencana merupakan hukuman dari Allah atas dosa yang kita lakukan. Kedua, bencana adalah cobaan terhadap kualitas iman kita terhadap Tuhan. Ketiga, dalam bencana itu sendiri sudah terkandung pahala, yang berarti kebahagiaan di akhirat bagi kita yang terkena. Keempat, secara keseluruhan, dunia dengan penderitaan akan lebih baik daripada yang tanpa penderitaan. Kelima, bencana sudah menjadi nasib kita, sebagai qadla’ dan qadar-Nya kepada kita, sehingga tidak layak bagi kita untuk mempertanyakannya, melainkan tinggal menerimanya saja.

Meski penjelasan-penjelasan yang mereka ajukan ini kelihatan memuaskan, akan tetapi tetap saja tidak memadai. Jawaban pertama, bahwa bencana adalah hukuman atas dosa yang kita lakukan, tidak memperhatikan kenyataan bahwa banyak dari mereka yang terkena bencana adalah orang yang tidak melakukan dosa yang menyebabkan bencana itu. Dalam banjir Jakarta misalnya, katakanlah yang melakukan dosa adalah orang-orang yang membuang sampah di sungai dan orang-orang yang membuat villa di puncak. Tetapi banjir ternyata juga menimpa orang-orang yang sama sekali tidak melakukan kesalahan-kesalahan itu. Bahkan anak kecil yang tidak berdosa pun ikut menderita.

Penjelasan kedua bahwa bencana adalah cobaan dan ujian bagi kualitas keimanan kita juga kurang memadai. Ia menafikan kenyataan dari beberapa orang yang malah semakin menderita dan hancur lantaran terlalu beratnya ujian yang harus mereka hadapi. Jawaban ketiga juga sangat problematis. Apakah Tuhan yang maha baik menuntut bayaran yang begitu “kejam” dari orang yang akan masuk surga? Mengapa surga harus dibayar? Kalau Tuhan mencintai kita, kenapa Dia harus membuat kita menderita sebelum memasuki surganya?

Bagitu pula penjelasan yang keempat bahwa dunia dengan penderitaan akan lebih baik dari pada yang tidak. Pandangan ini berbahaya karena melegitimasi adanya penderitaan sebagian orang demi kebaikan orang banyak. Adapun penjelasan kelima bahwa manusia harus diam saja terhadap qadha’ dan qadar-nya, terhadap bagian salibnya, terhadap karmanya, juga tidak memadai. Apakah tidak boleh memprotes apa yang dirasa sebagai tidak adil? Kalau Allah itu memang sama sekali lain, apa gunanya kita mengatakan bahwa Allah itu maha adil dan maha penyayang?

Kritik agama Marx

Dari beberapa keberatan di atas, maka sudah selayaknya bagi para agamawan untuk tidak begitu saja mengalamatkan bencana dan penderitaan berasal dari Tuhan. Mengembalikan persoalan kepada Tuhan dengan mengesampingkan sebab-sebab riel yang seharusnya dipecahkan tentu tidak akan membawa manfaat, tetapi justru kemunduran dan kerugian besar bagi kita sendiri.

Kembali kepada Tuhan tanpa usaha nyata untuk memperbaiki keadaan justru membenarkan tesis Karl Marx, tesis yang sangat ditentang oleh para agamawan, bahwa agama adalah candu rakyat serta buatan kelas atas dan penguasa. Bagi Marx, agama, sebagaimana candu, hanya memberi kepuasan semu tanpa dapat mengubah kondisi buruk orang kecil dan tertindas. Agama menjanjikan ganjaran yang besar di akhirat bagi orang yang dengan tabah menerima nasibnya.

Kalau sudah demikian, siapa yang paling diuntungkan? Tidak lain adalah para penguasa dan kelas atas. Alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas kesalahan yang dilakukakan berkali-kali oleh pemerintah, rakyat malah menerima bencana sebagai ujian dari Tuhan. Alih-alih mempersoalkan dan menuntut ganti rugi yang adil dari perusahaan yang telah menghilangkan masa depan hidupnya, rakyat malah ikhlas menghadapinya sebagai qadla’ dan qadar dari-Nya.

Karena itulah, kita seharusnya curiga setiap kali penguasa mengkhotbahi kita tentang nilai-nilai luhur dan kewajiban-kewajiban moral yang suci. Kita seharusnya mengecek apa sebenarnya dibalik seruan untuk intropeksi diri dari mereka itu. Karena, sering tanpa disadari, khotbah-khotbah semacam itu sarat dengan pamrih, alias ideologis, untuk mempertahankan kepentingan kelas penguasa.

Hukum Nurani

Oleh Ulil abshar Abdalla

Gejala yang sangat khas pada umat Islam sejak dulu hingga sekarang adalah kecenderungan untuk menanyakan hukum agama berkenaan dengan semua hal, hingga ke aspek-aspek yang paling detil. Inilah yang menjadi lahan subur untuk lahirnya ribuan fatwa. Setiap umat Islam hendak melakukan sesuatu, mereka selalu bertanya kepada seorang ulama bagaimana hukum Islam mengenai sesuatu itu.
Ilmu fikih tumbuh subur karena adanya mentalitas selalu ingin menanyakan hukum segala hal itu. Gejala ini dianggap normal oleh umat Islam, sebab hal itu menunjukkan bahwa umat Islam sadar hukum dan sadar tentang pentingnya menaati hukum (Tuhan) dalam setiap langkah yang mereka ambil.
Memang tidak seluruhnya gejala semacam ini jelek, tetapi jika berlangsung dengan eksesif, ia jelas akan beradampak buruk pada perkembangan corak keberagamaan dalam umat Islam.
Jika anda membaca rubrik fatwa yang sekarang menjamur di mana-mana, anda akan menemukan pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh, kadang menggelikan. Dalam suatu rubrik fatwa, saya pernah membaca seseorang menanyakan kepada seorang ulama yang mengasug rubrik tanya-jawab agama tentang bagaimana hukum mengkonsumsi minyak ular: apakah diperbolehkan menurut Islam atau tidak.
Waktu saya kecil dulu, pernik-pernik perkara ibadah memang didiskusikan hingga sudut-sudut yang paling pojok sekalipun. Misalnya, bagaimana hukumnya jika seseorang yang berpuasa mandi lalu air masuk secara tak sengaja ke lubang telinga: batalkah puasanya? Jika seseorang salat memakai sajadah, lalu ujung sajadah itu menyentuh suatu kotoran (najis, misalanya tahi ayam), apakah salat orang itu batal atau tidak?
Gejala inilah yang dulu diejek kaum reformis Islam sebagai "fiqh-oriented". Saya ingin menyebutnya sebagai "fikihisme". Gejala ini dulu umum berlaku hanya di kalangan Muslim tradisional di pedesaan. Anehnya, gejala ini sekarang muncul kembali di tengah-tengah masyarakat Muslim kota, dan justru di kalangan terdidik.
Gejala ini, menurut saya, menandakan adanya "ketidakdewasaan moral" dalam umat Islam. Menanyakan hukum Islam mengenai segala sesuatu menandakan bahwa umat Islam tidak berani berpikir sendiri. Mereka memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang tertera dalam teks Kitab Suci, sementara hasil penalaran manusia bukan dianggap sebagai suatu hukum yang mengikat.
Karena orang-orang yang dianggap sebagai ahli tentang teks agama adalah para ulama, maka mereka selalu berpaling kepada ulama untuk menanyakan segala hal. Menggantungkan segala keputusan kepada ulama, umat Islam tidak berani melakukan penalaran rasional sendiri atas segala hal yang mereka hadapi.
Saya tidak "anti ulama". Ulama, buat saya, adalah semacam eksemplar moral yang menjadi inspirasi bagi umat, bukan menjadi semacam "mesin kalkulator" untuk menjawab semua pertanyaan umat. Pada akhirnya umat harus didorong untuk berpikir sendiri secara dewasa.
Untuk itulah saya mengajukan suatu bentuk hukum lain, yakni hukum nurani. Inspirasi gagasan ini saya peroleh dari hadis Nabi yang terkenal, "Istafti qalbaka", mintalah fatwa pada nuranimu sendiri.
Artinya, sangat penting bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran moral yang tinggi, mendalam, dan penuh tanggungjawab. Hal itu tak bisa lain kecuali jika umat Islam terus mengasah agar nuraninya berkembang dengan sehat. Nurani yang sehatlah yang akan menjadi pemandu bagi seorang beriman.
Dalam menghadapi segala sesuatu, ia tak perlu bertanya kepada seorang ustad; ia hanya perlu bertanya kepada nuraninya sendiri. Ia boleh bertanya kepada seorang ustad, tetapi pada akhirnya keputusan final tetap ada di tangan nurani yang bersangkutan.
Dengan demikian, umat Islam akan pelan-pelan menjadi subyek yang secara moral dewasa. Dan itulah tujuan akhir agama yang sangat penting: kedewasaan moral. Dengan nurani yang matang dan sikap moral yang dewasa, seorang beriman akan menjalankan agama bukan karena aturan-aturan formal yang dipakasakan dari luar, tetapi karena dorongan yang kuat dari dalam "diri" sendiri.