Thursday, April 23, 2009

Bunga Rampai Sejarah Kristiani 1

a. REFORMASI KATOLIK DAN KONTRA REFORMASI

Kontra Reformasi adalah segala bentuk usaha Gereja Katolik untuk membendung dan melawan laju gerakan pembaruan keagamaan yang dirintis oleh Martin Luther. Pendekatannya bersifar institusional, doktriner, dari atas, otoritatif, dan dalam kerja sama dengan lembaga negara. Sedangkan Reformasi Katolik adalah usaha memperbaiki Gereja Katolik dari bawah yang didasarkan pada kesadaran diri. Gerakan ini lebih bersifat personal, kharismatis, kepedulian pada karya sosial karitatif, dan perutusan. Contoh dari Reformasi Katolik ini adalah munculnya ordo-ordo baru dan diperbarui dalam gereja, semisal SJ, OFM Capusin, OSA, OCD, dll.


Adalah keliru jika: Reformasi Katolik dianggap sebagai tandingan Reformasi Protestan, atau ciptaan cerdik pandai untuk membenarkan adagium ‘ecclesia semper reformanda et reformata’, atau suatu keharusan karena banyaknya penyimpangan dalam Gereja abad pertengahan.

Di antara alasan-alasan Kontra Reformasi adalah sebagai berikut:
1) Berbagai kegagalah pembaruan Gereja di lapangan.
2) Dampak reformasi M. Luther yang menimbulkan ketegangan, intoleransi, dan peperangan.
3) Terjadinya situasi kebingungan dan tanpa pegangan di tingkat akar rumput.
4) Teologi Protestan dianggap tidak seimbang, menyesatkan, dan perlu disehatkan.

Konsekuensi Kontra Reformasi:
• Merestui pembagian wilayah berdasarkan agama.
• Gereja Katolik banyak kehilangan warganya.
• Kebangkitan gerakan visioner.
• Kerjasama Gereja Katolik dengan negara-negara Katolik semakin erat.
• Menyusun ajaran dan katekismus sebagai pegangan umat dan Gereja.
• Spirit pembaruan keagamaan dilakukan secara kontinyu melalui sinode-sinode keuskupan secara periodik.
• Peningkatan mutu pendidikan dan kedisiplinan hidup para calon pemimpin Gereja.
• Superioritas Gereja Katolik seagai Societas Perfecta yang tidak perlu berdialog dengan pihak lain.
• Gereja Katolik menjadi sangat klerikal, konstitusional, yuridis-hierarkis.
• Perang dengan motif agama.


******

b. TOLERANSI DAN INTOLERANSI

Gagasan toleransi bersifat permisif, yang berarti membolehkan segala sesuatu yang berbeda menyangkut iman dan gaya hidup demi hidup bersama tanpa merugikan warga sipil atau keadaan ekonomi. Pada zaman kontemporer, pembicaraan tentang toleransi dapat dirincikan dalam dua hal: pertama, menyangkut kaitan antara toleransi dengan intoleransi, yang membahas tentang argumen pro dan kontra toleransi. Kedua, praktik toleransi dan intoleransi, yang berbeda dengan argumen pro dan kontranya.

Dalam kurun yang lama, pandangan para pemuka dan umat Katolik terhadap toleransi adalah negatif. Di antaranya, pertama, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap kebenaran. Hal ini karena orang yang toleran diartikan identik dengan orang yang bersikap indiferen atau relativisme. Kedua, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap cinta kasih. Itu karena toleransi ibarat membiarkan pintu terbuka bagi aneka ragam kesalahan. Ketiga, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap masyarakat dan negara. Karena jika kemajemukan agama diakui, maka persatuan dan kesatuan bangsa dapat diganggu gugat.

Beberapa gagasan yang mendukung toleransi adalah pertama, minimalisme dogma. Itu terjadi karena belum begitu jelasnya perbedaan mendalam mengenai dogma antara pihak-pihak yang berseberangan. Karena itu, bidah semata-mata adalah divergensi pandangan, dimana tidak mungkin dicapai suatu kesepakatan. Bidah hanya suatu alternatif kehidupan berkepercayaan. Kedua, prinsip minus malum (yang kurang buruk di antara yang terburuk), suatu usaha untuk mengakhiri perang agama yang berkesinambungan pada abad XVI. Ketiga, separasi agama dan politik. Sebagaimana dalam pandangan Locke, diyakini bahwa negara tidak kompeten dalam masalah-masalah keagamaan, integritas tubuh, dan keselamatan jiwa. Keempat, revolusi kemerdekaan Amerika. Revolusi ini telah melahirkan kemerdekaan warga negara di hadapan keyakinan agama. Keyakinan agama adalah urusan pribadi dan perorangan.

Beberapa contoh dari tindak intoleransi adalah pembunuhan massal pada pesta Santo Bartolomerus (1572) yang dilakukan oleh orang-orang sipil Katolik terhadap pengikut Calvin. Raja Henry VIII di Inggris yang melakukan terror dan penganiayaan terhadap orang-orang Katolik dan Lutheran.

Adapun sikap Gereja Katolik masih terpilah-pilah. Pada umumnya orang awam mendukung pelaksanaan toleransi, sementara hierarki setempat dan para teolog mengharapkan diterapkannya kebebasan beragama. Sedangkan Kuria Roma tampak belum akrab dengan gagasan toleransi.

Akhirnya, setelah Perang Tiga Puluh Tahun dan Perdamaian Westfalia (1648), Eropa semakin menyadari ketidakmungkinan menciptakan sebuah Eropa dengan satu agama yang sama. Eropa Utara dihuni oleh para Reformis, Eropa Tengah dihuni oleh Protestan, dan Eropa Selatan dihuni oleh Katolik.

****

c. EKSPANSI KEKRISTENAN

Sejarah kristenisasi menyimpan banyak kisah dan data menarik yang patut dijadikan inspirasi bagi perjalanan ke depan. Kelemahan dan kesalahan gerakan misioner masa silam membantu Gereja untuk memperbaiki orientasi baru. Dan hanya dengan kategori-kategori religius kita dapat mengerti sejarah misi dan menafsirkannya. Maksudnya, pertama, kita perlu mencari dan menemukan tindakan Allah dalam gerakan misi. Karena Allah adalah Dia yang mengucapkan kata pertama dan terakhir dalam sejarah. Kedua, Gereja bersifat misioner. Bagi Gereja, sifat ini adalah hakiki dan eksistensial. Dengan demikian, evangelisasi adalah Gereja dalam dinamika.

Gerakan kristenisasi ini juga berlatarbelakang kolonisasi Portugis, Spanyol, dan Ango-Saxon. Pada awalnya orang-orang Portugis kurang antusias mengembangkan sayapnya ke Asia, sehingga di India dan Melayu misalnya, peradaban Portugis tidak berkembang. Sedangkan Spanyol, khususnya di Amerika Latin, mengembangkan metode penyusupan dan terlibat dalam karya pendidikan. Demikian juga orang-orang Inggris.

Dalam ekspansi kekristenan ini terjadi sistem patronage, dimana Tahta Suci memberikan kekuasaan / previlese-previlese kepada penguasa sipil Spanyol dan Portugal dalam mengelola wilayahnya. Sebagai imbalan, para raja wajib menjamin pelaksanaan evangelisasi di negeri-negeri yang mereka temukan. Di antara hak-hak negara dalam sistem ini adalah: menunjuk dan mengangkat petugas yang dikehendaki; mengizinkan atau mengeluarkan misionaris; mengawasi semua urusan kegerejaan tanpa pengecualian dari otoritas lain. Sedangkan sejumlah kewajiban negara adalah: memilih dan mengirim misioner ke wilayah kekuasaan mereka; mencukupi semua kebutuhan kultus dan kehidupan para misionaris, dll.

Di antara masalah yang muncul dalam kristenisasi ini adalah asimilasi ajaran kekristenan dengan budaya dan ajaran setempat. Di antaranya adalah ritus China. Orang memperdebatkan apakah ritus dan sesaji agama kerakyatan China untuk kaisar merupakan pemujaan terhadap berhala (idolatri) ataukah bukan. Di sini, Klemens XI memutuskan berpihak pada para Dominikan yang menegaskan bahwa agama dan persembahan pada kaisar dalam agama China tidak sejalan dengan katolikisme. Keberpihakan ini mengurangi secara besar-besaran aktivitas misionaris Katolik di China. Namun bagi para Jesuit, ritus China adalah upacara sosial kemasyarakatan, dan bukan acara religius, sehingga mereka yang sudah Kristen diperbolehkan melanjutkan praksis tersebut.

Dalam Dekrit Klemens XI orang Katolik dilarang untuk mengunjungi kuil dan ‘menyembah’ nenek moyang di tempat ibadah keluarga. Hal ini menimbulkan perlawanan dari China, sehingga dalam Dekrit K’ang-Hsi, orang-orang Barat (Katolik) dianggap sebagai picik, tidak memahami apa yang diyakini oleh orang-orang China. Karena itu, gerakan misi Katolik dilarang di China.

*****

d. SEJUMLAH ALRAN DAN GERAKAN

› Quietisme
Aliran yang menyatakan bahwa kesempurnaan tertinggi akan dicapai dengan cara berdiam diri, baik pikiran maupun kehendak, serta berserah diri kepada Tuhan dengan iman yang otentik. Hal ini dicapai dengan latihan rohani sehingga jiwa dapat beristirahat dan Tuhan bekerja sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan mencapai kesempurnaan tertinggi ini, maka dosa menjadi tidak ada lagi dan perbuatan baik tidak lagi diperlukan. Demikian juga godaan untuk berbuat dosa tidak akan mempengaruhinya. Di antara tokoh dalam aliran ini adalah Miguel de Molinos dan Madam Guyon.

› Galikanisme
Yaitu gerakan yang menuntut pembebasan Gereja Katolik Roma di Perancis dari kekuasaan Sri Paus di Roma. Gerakan yang bersifat Gerejawi dan politis ini menganggap bahwa keputusan Sri Paus baru akan berkekuatan tetap jika telah disepakati oleh para uskup yang lain. Menurut aliran ini, kekuasaan raja diperoleh langsung dari Allah sehingga berada di luar yurisdiksi Sri Paus. Galikanisme menolak keputusan Konsili Trento untuk diberlakukan di Perancis. Gerakan ini mengesahkan ajaran Gereja sendiri di Perancis; pertama, penolakan kekuasaan paus atas masalah duniawi, dan kekuasaan raja di atas kekuasaan Gereja. Kedua, kuasa konsili berada di atas kuasa paus. Ketiga, kebebasan Gereja Galikan seperti masa lampau tidak dapat dibatalkan oleh paus. Keempat, keputusan paus dapat diperbaiki dan menunggu sampai konsili bersidang.

› Jansenisme
Yaitu aliran yang menekankan dosa asal, kerapuhan insani, perlunya rahmat Ilahi, dan predestinasi. Aliran ini berasal dari pandangan-pandangan Cornelius Otto Jansen. Benteng terpenting Jansenisme adalah konven paris di Post-Royal. Di antara pendukungnya adalah Antonie Arnauld, Pierre Nicole, Blaise Pascal, dan Jean Racine.

› Febronianisme
Yaitu gerakan dalam Gereja Katolik Roma di Jerman yang menolak kekuasaan Gerejawi Sri Paus. Aliran ini mengakui kepemimpinan paus dalam hal moral dan iman, tetapi tidak mengakui kekuasaan duniawinya Sri Paus sebagaimana yang terdapat dalam Donatio Constantini dan kumpulan keputusan paus yang dikumpulkan oleh Isidorus Sevilla. Akhirnya gerakan ini gagal karena Revolusi Perancis dan tidak adanya dukungan dari uskup lainnya.

› Ultramontanisme
Yaitu gerakan yang membela sentralisasi kekuasaan paus dan menentang konsiliarisme. Ultramontanisme Lama adalah yang dibela oleh Bellarminus dalam Konsili Konstanz. Sedangkan Ultramontanisme Baru adalah aliran yang berpandangan bahwa pembaruan Gereja sangat bergantung pada sentralisasi kekuasaan paus. Di antara hasil dari gerakan yang kedua ini adalah doktrin infallibilitas paus.

*****

e. REVOLUSI PERANCIS

Terjadi antara tahun 1789 dan 1799, Revolusi Perancis adalah pergolakan yang terjadi antara para demokrat dan republikan untuk menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma untuk menjalani restrukturisasi yang radikal. Di antara penyebab munculnya revolusi adalah kemarahan terhadap absolutisme kerajaan; kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan kaum borjuis; bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan; utang nasional yang tidak terkendali; ekonomi yang buruk; kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi; kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius; kebencian terhadap intoleransi agama; dan kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala tersebut secara efektif.

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada negara. Undang-undang tahun 1790 menghapuskan otoritas Gereja untuk menarik pajak hasil bumi (dime/sedekah), menghapuskan hak khusus pendeta, dan menyita kekayaan gereja. Legislasi berikutnya menempatkan pendeta di bawah negara dan menjadikannya pegawai negeri. Tahun-tahun berikutnya dapat disaksikan penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta di seluruh Perancis. Tahun 1801 dekristenisasi diakhiri dan dibuat aturan baru tentang hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang berlangsung hingga dicabut kembali pada tanggal 11 Desember 1905.

Gagasan utama Revolusi Perancis adalah liberte (kebebasan), fraternite (persaudaraan), dan egalite (persamaan). Karena Perancis adalah negara yang melakukan ekspansi ke negara-negara lain, maka gagasan-gagasan tersebut juga ikut tersebar yang pada akhirnya memudahkan penyebaran ajaran Kristiani.

Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Gereja yang muncul pada masa ini di antaranya adalah: The Civil Constitutions of the Clergy (1790), yang mengsubordinasikan Gereja Katolik Roma di Perancis pada pemerintahan Perancis; Deklarasi Klerus Perancis (1682) yang menempatkan Gereja di bawah raja, dan antara lain berisi hak raja Perancis untuk membuat peraturan bagi klerus, mengangkat petugas Gereja; Felicite de Lamennais, yang mengatakan bahwa Revolusi Perancis menjadi awal kelahiran kembali Gereja.

Di samping itu, Revolusi Perancis juga melahirkan resintensi, anti-revolusi. Ia juga menyebabkan runtuhnya monarkhi dan kekacauan yang mematangkan lahirnya ‘aliansi suci’; terselenggaranya Konggres Wina 1815; dan dimulainya jaman restorasi atau pemulihan kembali. Di samping itu, deklarasi hak asasi manusia telah mendorong munculnya gagasan dan praksis dihapuskannya agama sebagai agama negara. Dan Revolusi Perancis juga mendorong munculnya jarak/pemisahan antara agama dan negara: bermusuhan, murni, atau campuran.

*****

f. KULTURKAMPF

Secara harafiah, kulturkampf berarti perang budaya. Secara istilah, term ini merujuk pada kebijakan Jerman dalam relasinya dengan sekularitas dan pengaruh Gereja Katolik Roma, yang terjadi antara tahun 1871-1878 dibawah kepemimpinan konselir kerajaan Jerman Otto van Bismark.

Di antara faktor yang menyebabkan munculnya kulturkampf adalah pertentangan ideologis antara Gereja Katolik Ultramontan dengan kaum liberal. Sebagaimana diketahui, hingga pertengahan abad 19, Gereja Katolik masih memiliki pengaruh yang besar dalam banyak bidang, baik agama maupun politik. Di sini Bismark membela kaum liberal dan berusaha untuk menggalang persatuan Jerman dengan mereduksi pengaruh politik dan sosial dari Gereja Katolik Roma dengan cara mengontrol semua aktivitas Gereja. Dengan demikian, alasan utama Bismark bukanlah alasan religius, akan tetapi lebih berupa alasan politis.

Bismark ingin memisahkan gereja dari negara, dan memisahkan gereja dari sekolah. Oleh karena itu urusan gerejawi harus berada di bawah menteri keadilan. Perjuangan Bismark tidak diarahkan langsung untuk melawan infallibilitas Sri Paus, melainkan terhadap Partai Zentrum dan konspirasi Ultramontan.

Di antara dokumen yang muncul dalam masa ini adalah, (1) The Liberal Political Concept, yang berisi, antara lain, hak negara untuk mengawasi semua sekolah publik dan privat dan menunjuk pengawas bagi sekolah tersebut. (2) The Second Federal Law of Kulturkampf: The Jesuit Law, yang antara lain berisi tentang larangan bagi ordo SJ dan beberapa ordo yang lain untuk berada di wilayah kekaisaran; tuduhan bagi SJ sebagai penanggung jawab syllabus, dogma infallibilitas, serta penentang keberadaan negara modern dan kebebasan sipil. (3) Undang-undang Mei (1873) yang di antaranya berisi supervisi sekolah swasta pada negara; mahasiswa teologi harus lulus ujian negara dalam sastra, filsafat, sejarah; para uskup harus melaporkan para kandidat imamnya pada negara.

Untuk menegakkan Undang-Undang Mei (meigesetze) ini, semua pendeta yang bekerja kepada pemerintah dipecat, Gereja dilarang terlibat dalam semua hal yang berhubungan dengan pernikahan dan pendidikan, dan topik-topik khotbah dibatasi. Sejumlah uskup besar juga ditahan dan ribuan gereja akhirnya ditemukan tanpa pendeta.

Karena itu, dalam prakteknya kulturkampf adalah sebuah penganiayaan terhadap Gereja. Keseluruhan kampanye ini tidak menghasilkan apa pun selain penindasan atas kaum Katolik Jerman dan kehancuran rasa kesejahteraan sosial negara itu.


*****

g. KONSILI VATIKAN I

Sidang pertama Konsili Vatikan I dilaksanakan pada 8 Desember 1869. Konsili ini merupakan konsili ekumenis kedua puluh bagi Gereja Katolik Roma. Tujuan utama Paus Pius IX menghimpunkan Konsili ini adalah untuk memperoleh konfirmasi akan sikap yang telah ditetapkannya dalam Syllabus Errorum (1864), yang mengutuk serangkaian aliran rasionalisme, liberalisme, dan materialisme, panteisme, naturalisme, sosialisme, yurisdiksionalisme, dan lain sebagainya. Di balik encyclic tersebut, yang mau dikatakan adalah bahwa Gereja yang benar adalah Gereja Kristus yang melampaui kesalahan-kesalahan tersebut.

Selain melarang paham-paham tersebut, tujuan Konsili Vatikan I adalah untuk mendefinisikan doktrin mengenai Gereja. Dalam sidang disetujui dua konstitusi: Dei Filius (Konstitusi Dogmatis mengenai Iman Katolik, berisikan di antaranya iman Katolik bahwa Alkitab diinpirasikan oleh Allah, Allah adalah pencipta segala sesuatu) dan Pastor Aeternus (Konstitusi Dogmatik Pertama Gereja mengenai Kristus, menguraikan tentang keutamaan dan infallibilitas Uskup Roma ketika sedang memberikan dogma). Di sini, cirri utama infalibilitas St. Petrus adalah bahwa St. Petrus sebagai gembala dan guru yang doktrinnya berupa ajaran iman dan moral. Dalam keadaan yang demikian ini, maka ia tidak dapat salah.

Meskipun doktrin infallibilitas Paus bukan merupakan agenda utama Konsili, tetapi doktrin ini segera ditambahkan setelah konsili dimulai. Di samping banyak delegasi yang tidak percaya bahwa Paus tidak bisa salah, banyak juga yang merasa bahwa doktrin tersebut tidak seharusnya dijadikan sebagai dogma resmi karena dapat saja menyebabkan banyak orang akan meninggalkan imannya.

Di tengah-tengah masa Konsili, terjadi perang Perancis-Prussia yang menyebabkan ditundanya Konsili akibat jatuhnya Roma, sehingga Konsili tidak dilanjutkan. Konsili ini secara resmi baru ditutup pada waktu persiapan Konsili Vatikan Kedua. Reaksi lain yang muncul terhadap Konsili Vatikan I adalah munculnya kecenderungan liberalisme yang anti klerikal di berbagai negeri, demikian juga reaksi dari Otto van Bismark dengan Kulturkampf-nya.

Hasil dari Konsili Vatikan Pertama ini menunjukkan kemenangan gerakan Ultramontanisme yang mendukung pemerintahan sentral Vatikan bagi Gereja Katolik. Juga terjadi peningkatan kesadaran akan identitas diri sebagai kaum Katolik Roma yang bermunculan di seluruh dunia.

*****

h. MODERNISME

Sebelum lebih jauh, ada tiga hal terkait modernisme yang perlu diketahui.
a. Bahwa tidak ada batasan baku tentang modernisme. Batasan yang biasa digunakan adalah ensiklik. Karenanya teks Pascendi Dominici Sregis menjadi penting.
b. Ia biasanya dimasukkan dalam aliran teologi radikal yang tidak puas dengan ajaran Gereja dan refleksi teologis yang mengulang pokok lama tanpa kebaruan. Dalam pemahaman ini, modernisme berarti melawan doktrin gereja dan tafsir alkitabiyah.
c. Mempelajari pikiran tokoh-tokoh yang dianggap sebagai modernis.

Refleksi pertama dalam modernisme adalah praksis, sehingga pendasaran pada akal budi menjadi penting. Dan dalam Katolik, modernisme tidak dapat dipisahkan dari Leo XIII, yang pada tahun 1879 menetapkan bahwa teologi baku pada seminari adalah teologi St. Thomas Aquinas. Tak ayal, kebijakan ini berandil pada hilangnya aliran-aliran yang lain.

Tiga gagasan yang yang mencoba menyintesiskan modernisme adalah sebagai berikut:
a. Para modernis berpandangan sangat kritis terhadap Alkitab. Di antara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis-kritis, yang mengharuskan perhatian khusus terhadap konteks sebuah kata diucapkan (seitz im leben) dan juga konteksnya masa sekarang. Eksesnya adalah bahwa penulis Kitab Suci tidak akan lepas dari keterbatasan.
b. Para modernis cenderung menolak intelektualitas teologi skolastik yang dinilai terlalu spekulatif. Beberapa di antara mereka mengedepankan metode baru semacam a philosophy of action dan intuisionisme. Yang mereka cari adalah hakekat kekristenan pada praksis dan masalah konkrit, bukan pada syahadat dan semacamnya.
c. Sikap teleologis pada sejarah yang menekankan pada fakta / isu sehingga sampai pada asal-usul.

Dengan demikian, modernisme adalah aliran dalam Gereja yang karena sifat liberalnya justru malah menjadi konservatif lantaran tidak terdamaikan dengan prinsip-prinsip yang lain. Mereka menjadi hiperaktif dalam mengkritik magesterium Gereja. Dan di antara tokoh-tokoh modernis ini adalah sebagai berikut:

a. Alfred F. Loisy
Menurutnya, Gereja harus mengajarkan ajaran yang heterodoks, bukan yang ortodoks. Heterodoks berarti bahwa yang benar dapat dipahami atau ditafsirkan dari pelbagai perspektif. Ia ingin mendobrak kelembagaan Gereja. Tesisnya adalah, ”Yesus mengajarkan Injil, mengapa yang muncul Gereja?”.

b. George Tyrell
Ia adalah seorang SJ yang menyerang tarekatnya. Keprihatinan utamanya adalah bahwa pada zaman modern Gereja masih saja terkungkung dengan semangat abad pertengahan.

c. Frederich van Hügel
Ia menuntut agar orang Kristen taat pada ajaran agamanya, tetapi juga kritis dan mempertanyakan ajaran-ajaran tersebut.

Pelajaran yang dapat diambil dari kasus modernisme ini adalah bahwa Gereja harus terbuka terhadap perkembangan ilmu, menyintesiskan hal-hal baik di dunia, serta mengintegrasikan wahyu.

========

Wednesday, April 22, 2009

Sekolah Fankfurt

Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Max Horkheimer, Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Dalam teori mereka tentang ‘industri budaya’, mereka mengembangkan suatu kajian kritik budaya yang menganalisis proses produksi budaya dan ekonomi politik, politik teks budaya, penerimaan audiens dan penggunaan artefak budaya.


Sekolah Frankfurt dan industri budaya

Dalam wilayah yang luas, Sekolah Frankfurt telah mengadakan studi kritis tentang komunikasi massa dan budaya, dan menghasilkan teori kritis tentang industri budaya. Bergerak dari German ke Amerika Serikat, Sekolah Frankfurt mengalami untuk pertama kalinya membludaknya budaya media melalui film, musik populer, radio, televisi, dan bentuk-bentuk lain dari budaya massa. Di negeri yang baru ini mereka mendapati produksi media dikendalikan oleh korporasi besar. Selama tahun 1930-an, mereka mengembangkan pendekatan kritik dan lintas disiplin terhadap studi budaya dan komunikasi, yang mengkombinasikan analisis ekonomi, tekstual, serta efek sosial dan ideologi dari media. Mereka menciptakan term industri budaya untuk menandai sebuah proses industrialisasi budaya produksi massa dan imperatif komersial yang menggerakkan sistem. Para teoris ini menganalisis semua artefak budaya media massa dalam konteks produksi industri, yang mana artefak tersebut menunjukkan kesamaan bentuk sebagai produksi massa: komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi.

Dalam teorinya tentang industri budaya dan kritik budaya massa, orang-orang dalam mazhab ini adalah di antara yang terdepan dalam menunjukkan pentingnya teori-teori ini dalam mereproduksi kembali masyarakat kontemporer. Dalam pandangan mereka, budaya massa dan komunikasi berada dalam pusat aktivitas keseharian, yang menjadi agen penting sosialisasi, mediator realitas politik, institusi mayor pada masyarakat kontemporer dengan bermacam efek ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Para penggagas teori kritis meneliti industri budaya dalam konteks politik sebagai bentuk integrasi dari kelas pekerja dalam masyarakat kapital. Mereka juga menliti efek dari budaya massa dan tumbuhnya masyarakat konsumen dalam kelas pekerja, yang merupakan instrumen revolusi dalam skenario Marxian.

Sekolah Frankfurt fokus meneliti teknologi dan budaya, hal yang mengindikasikan bagaimana teknologi telah menjadi kekuatan utama produksi dan model formatif dari organisasi dan kontrol sosial. Dalam alam budaya, teknologi telah menghasilkan budaya massa yang menjadikan individu conform dengan pola perilaku dan ajaran dominan, dan menyediakan instrumen kuat untuk kontrol dan dominasi sosial. Para korban fasis Eropa adalah buktinya, dimana instrumen budaya massa digunakan pemerintahan Nazi untuk menciptakan ketundukan masyarakat. Demikian juga yang terjadi di tempat pengasingan mereka di Amerika. Budaya populer secara ideologis bekerja untuk mempromosikan kepentingan kapitalisme dan dikendalikan oleh korporasi raksasa yang dapat mempengaruhi nilai, gaya hidup, dan way of life orang-orang Amerika.

Sekolah Frnkfurt dan Budaya Media

Dalam Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno telah mengantisipasi datangnya televisi dalam bentuk munculnya satu model budaya massa yang mengkombinasikan penglihatan dan suara, image dan narasi, dalam suatu institusi yang dapat membentuk suatu tipe produksi, teks, dan penerimaan terhadap industri budaya. Mengikuti model kritik terhadap budaya massa yang terdapat dalam Dialectic of Enlightenment, Sekolah Frankfurt mengkombinasikan studi teks dan audiens dengan kritik ideologi dan kontekstualisasi yang menganalisa bagaimana teks dan audiens ditempatkan dalam relasi dan institusi sosial tertentu. Jadi pendekatannya mengkombinasikan kritik ekonomi-politik Marxian dengan kritik ideologi, analisa tekstual, dan pendekatan psykoanalisa terhadap audiens dan efeknya.

Menarik ketika kesan umum bahwa Sekolah Frankfurt membuat perbedaan yang tajam antara budaya tinggi dan budaya rendah, Adorno justru memulai studinya dengan dekonstruksi atas dikotomi antara seni elite dan seni populer. Baginya, hubungan antara keduanya sangat kompleks, dan perbedaan itu hanyalah produk dari sebuah kondisi sejarah dan tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Karena itu mereka melihat pentingnya pengembangan kritik teori sosial atau komentar-komentarnya tentang perkembangan fenomena sosial. Dalam Eros and Civilization misalnya, Marcuse mencatat kemunduran peran keluarga sebagai agen penting dalam sosialisasi, dan sebaliknya semakin tumbuhnya media sosialisasi lain seperti radio dan televisi.

Lebih jauh Marcuse menjelaskan, sejak usia pra sekolah anak telah dikelilingi oleh agen-agen sosialisasi yang kuat yang berada di luar sistem keluarga. Agen-agen ini menawarkan nilai, kesempurnaan, kepribadian, dan mimpi yang sering kali bertabrakan dengan ajaran keluarga. Di sini industri penyiaran telah menjadi bagian dari alat manipulasi dan dominasi sosial. Karena dengan terkontrolnya informasi dan terhisapnya individu dalam komunikasi massa, maka pengetahuan menjadi terkendali dan terbatasi.

Habermas dan Ruang Publik

Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas mengembangkan konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya Habermas ini sangat kaya dan memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu. Buku ini juga menerima berbagai kritik yang rinci, membuka wawasan, serta mendorong munculnya diskusi-diskusi yang sangat produktif, antara lain tentang demokrasi liberal, masyarakat sipil, kehidupan publik, dan perubahan-perubahan sosial pada abad ke-20.

Ranah publik borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam penafsiran Habermas, adalah berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan public.

Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti surat kabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, salon–salon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, dimana diskusi sosio-politik berlangsung.

Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik.

Namun kritik yang muncul adalah bahwa Habermas megidealisasi gagasan ruang publik di mana dalam faktanya masih banyak kelompok perempuan dan kelompok sosial lainnya yang tidak memiliki akses untuk masuk dalam ruang diskusi rasional tersebut. Tesis industri budaya menerangkan produksi budaya massa dan homogenisasi subjek. Budaya massa telah menciptakan keinginan, mimpi, harapan, ketakutan, dan keinginan yang tidak berkesudahan bagi para konsumen. Industri budaya telah menciptakan para konsumen budaya yang menggunakan produk-produk tersebut dan membenarkan perilaku yang sudah ada dalam masyarakat.



Sekolah Frankfurt dan Studi Budaya British

Sekolah Frankfurt mengartikulasikan budaya dalam sistem monopoli kapitalisme atau fordisme yang telah menciptakan rezim produksi massa dan konsumsi. Sementara itu, Studi Budaya British muncul pada tahun 1960-an di mana secara luas telah terjadi penolakan global terhadap budaya kapitalisme dan meningkatnya gerakan revolusioner, yang memunculkan gerakan baru bernama post-fordisme, post-modern, dan berbagai istilah lain yang mencoba menjelaskan pelbagai macam formasi budaya dan sosial waktu itu. Proyek studi budaya yang dilakukan adalah berusaha untuk melindungi budaya kelas-kerja dari serangan gencar budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya. EP. Thompson, salah satu penggagasnya, meyakini bahwa budaya kelas-kerja ini memiliki kekuatan perubahan sosial yang progresif yang dapat menggerakkan dan mengorganisasikan perjuangan melawan ketimpangan masyarakat kapitalis dan berusaha untuk menciptakan sebuah masyarakat yang egaliter.

Studi ini mengembangkan pelbagai macam pendekatan kritis untuk menganalisa, menginterpretasikan, dan mengkritisi artefak-artefak budaya. Melalui Sekolah Birmingham, kelompok studi ini meneliti pengaruh representasi dan ideologis dari kelas sosial, gender, ras, etnik, dan nasionalisme dalam teks budaya, termasuk budaya media. Para peneliti di sini adalah di antara yang pertama dalam meneliti efek dari surat kabar, televisi, radio, film, dan budaya-budaya populer lainnya terhadap audiens. Mereka juga meneliti bagaimana pelbagai audiens menafsirkan, menggunakan, dan merespon budaya media dalam bermacam cara dan konteks yang berbeda.

Seperti Sekolah Frankfurt, Studi Budaya British juga meneliti integrasi kelas kerja dan mundurnya kesadaran revolusioner. Studi ini menyimpulkan bahwa budaya massa telah memainkan peran penting dalam mengintegrasikan kelas-kerja dalam masyarakat kapitalis. Di samping itu, budaya media telah membentuk model baru hegemoni kapitalis. Keduanya tela menciptakan pertemuan budaya dan ideologi dan melihat kritik ideologi sebagai pusat terhadap studi budaya kritis. Keduanya menggambarkan budaya sebagai bentuk reproduksi ideologi dan hegemoni, di mana bentuk budaya membantu untuk menciptakan model ajaran dan perilaku yang menuntun para individu untuk menerima kondisi sosial masyarakat kapitalis.

Studi budaya datang untuk fokus pada bagaimana kelompok subkultur melakukan resistensi terhadap identitas dan budaya dominan, serta menciptakan gaya dan identitasnya sendiri. Di sini, individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan subkultur melihat dan bertindak secara berbeda dari budaya utama, dan menciptakan identitas yang berbeda dan mendefinisikan dirinya sebagai berbeda dari model standar. Karena itu, Studi budaya British, sebagaimana juga Sekolah Frankfurt, menyatakan bahwa budaya harus dipelajari dalam relasi dan sistem sosial di mana budaya diproduksi dan dikonsumsi, yang akhirnya harus mempelajari masyarakat, politik, dan ekonomi. Maka ia bertujuan untuk transformasi sosial dan perlawanan untuk membantu proses perjuangan politik dan pembebasan dari penindasan dan dominasi.

Akhirnya, studi budaya harus menggunakan pendekatan transdisipliner yang mencakup teori sosial, ekonomi, politik, sejarah, studi komunikasi, teori literal dan budaya, filsafat, dan pendekatan-pendekatan lain sebagaimana yang dilakukan oleh Sekolah Frankfurt, Studi Budaya British, dan teori post-modern Perancis. Karena itu seseorang tidak dapat berhenti pada teks, tetapi harus melampauinya semisal bagaimana teks tersebut pantas dalam sistem produksi tekstual, dan bagaimana bermacam teks menjadi bagian dari sistem aliran atau model produksi.

Kesimpulan

Dapat dikatakan bahwa kerja Sekolah Frankfurt adalah mengartikulasikan sebuah teori terhadap keadaan negara dan monopoli kapitalisme yang dominan selama 1930-an. Ini adalah masa ketika negara dan perusahaan besar mengontrol penuh ekonomi dan individu menjadi subordinat. Periode ini sering disebut sebagai fordisme, untuk menunjuk pada sistem produksi massa dan homogenisasi rezim kapital yang menghasilkan keinginan, rasa, dan perilaku massa. Di sini budaya dan komunikasi massa menjadi instrumen dalam membentuk ajaran dan perilaku yang tepat bagi perilaku sosial.

Model Sekolah Frankfurt tentang industri budaya mengartikulasikan peran penting sosial dari budaya media selama rezim kapital, dan memberikan model yang dapat memajukan budaya yang melayani kebutuhan korporasi dominan, memainkan peran penting dalam reproduksi ideologi, dan inkulturasi individual dalam sistem dominan atas kebutuhan, ajaran, dan perilaku.

Tradisi utama studi budaya mengombinasikan teori sosial, kritik budaya, sejarah, analisa filsafat, dan intervensi politik spesifik, sehingga mengatasi standar akademik yang ada. Karena itu studi budaya harus menggunakan konsepsi transdisipliner yang menggabungkan antara teori sosial, studi ekonomi, politik, sejarah, dan komunikasi, teori leteral dan budaya, filsafat, serta diskursus yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekolah Frankfurt, Studi Budaya Inggris, dan teori post-modern Perancis.

Karena itu seseorang tidak dapat berhenti pada teks ataupun inter-tekstualitas, tetapi harus bergerak dari teks ke konteks, ke dalam budaya dan masyarakat yang menyusun teks, dimana diperlukan pembacaan dan interpretasi. Tentang ini Raymond Williams melihat adanya interkoneksi antara budaya dan komunikasi, dan hubungan keduanya dengan masyarakat sebagai tempat memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi.

Memang ada kekurangan dalam program original dari teori kritis yang memerlukan rekonstruksi radikal atas model kelas dari industri budaya. Maka untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan analisis empiris dan konkret yang lebih dari biasa terhadap ekonomi politik dari media dan proses produksi budaya; penelitian empiris dan historis yang lebih terhadap konstruksi industri media dan interaksinya dalam institusi sosial yang lain; studi empiris yang lebih atas penerimaan audiens dan efek media; penekanan yang lebih atas penggunaan budaya media sebagai kekuatan yang menyediakan resistensi; penggabungan metode dan teori budaya baru dalam rekonstruksi teori kritis terhadap budaya dan masyarakat.

Sebagai catatan, dikotomi Sekolah Frankfurt antara ’budaya tinggi’ dan ’budaya rendah’ masih problematis dan harus digantikan dengan model tunggal yang menempatkan budaya sebagai pusat. Dan dalam tataran partikular, model Sekolah Frankfurt tentang budaya massa monolitik berlawanan dengan ideal dari ’budaya otentik’. Hal ini berbeda dengan studi budaya Inggris yang terlihat mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan menolak batas antara ’budaya tinggi’ dan ’budaya rendah’. Yang terakhir ini juga mengatasi yang pertama dalam hal audiens pasif dan menggantinya dengan audiens aktif, sebagaimana penonton sebuah pertandingan olahraga dapat mengkritik dan menganalisis pertandingan yang ditontonnya.

Meski pendekatan Sekolah Frankfurt pada dirinya sendiri masih parsial dan terlihat satu sisi, namun ia telah memberikan alat kritik terhadap bentuk ideologi dari budaya media. Kritik ideologi adalah bagian penting dari studi budaya, dan Sekolah Frankfurt memiliki jasa besar dalam melapangkan dan menyediakan kritik ideologi dalam industri budaya. Hal ini secara khusus berguna dalam menyediakan kontekstualisasi kritik budaya. Karena itu, studi komunikasi dan budaya menjadi bagian penting dari teori masyarakat kontemporer, dimana budaya dan komunikasi memainkan peran signifikan, dan Sekolah Frankfurt telah menyediakan perspektif yang mencerahkan terhadap studi ini.




===============
Sumber : Chapter Three: The Frankfurt School oleh Douglas Kellner dalam Cultural Theory, Classical & Contemporary Positions, Ed. Tim Edwards, SAGE Publications : London , 2007, hlm. 49-68.