Wednesday, April 22, 2009

Sekolah Fankfurt

Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Di antara tokoh-tokoh mereka adalah Max Horkheimer, Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya. Dalam teori mereka tentang ‘industri budaya’, mereka mengembangkan suatu kajian kritik budaya yang menganalisis proses produksi budaya dan ekonomi politik, politik teks budaya, penerimaan audiens dan penggunaan artefak budaya.


Sekolah Frankfurt dan industri budaya

Dalam wilayah yang luas, Sekolah Frankfurt telah mengadakan studi kritis tentang komunikasi massa dan budaya, dan menghasilkan teori kritis tentang industri budaya. Bergerak dari German ke Amerika Serikat, Sekolah Frankfurt mengalami untuk pertama kalinya membludaknya budaya media melalui film, musik populer, radio, televisi, dan bentuk-bentuk lain dari budaya massa. Di negeri yang baru ini mereka mendapati produksi media dikendalikan oleh korporasi besar. Selama tahun 1930-an, mereka mengembangkan pendekatan kritik dan lintas disiplin terhadap studi budaya dan komunikasi, yang mengkombinasikan analisis ekonomi, tekstual, serta efek sosial dan ideologi dari media. Mereka menciptakan term industri budaya untuk menandai sebuah proses industrialisasi budaya produksi massa dan imperatif komersial yang menggerakkan sistem. Para teoris ini menganalisis semua artefak budaya media massa dalam konteks produksi industri, yang mana artefak tersebut menunjukkan kesamaan bentuk sebagai produksi massa: komodifikasi, standarisasi, dan massifikasi.

Dalam teorinya tentang industri budaya dan kritik budaya massa, orang-orang dalam mazhab ini adalah di antara yang terdepan dalam menunjukkan pentingnya teori-teori ini dalam mereproduksi kembali masyarakat kontemporer. Dalam pandangan mereka, budaya massa dan komunikasi berada dalam pusat aktivitas keseharian, yang menjadi agen penting sosialisasi, mediator realitas politik, institusi mayor pada masyarakat kontemporer dengan bermacam efek ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Para penggagas teori kritis meneliti industri budaya dalam konteks politik sebagai bentuk integrasi dari kelas pekerja dalam masyarakat kapital. Mereka juga menliti efek dari budaya massa dan tumbuhnya masyarakat konsumen dalam kelas pekerja, yang merupakan instrumen revolusi dalam skenario Marxian.

Sekolah Frankfurt fokus meneliti teknologi dan budaya, hal yang mengindikasikan bagaimana teknologi telah menjadi kekuatan utama produksi dan model formatif dari organisasi dan kontrol sosial. Dalam alam budaya, teknologi telah menghasilkan budaya massa yang menjadikan individu conform dengan pola perilaku dan ajaran dominan, dan menyediakan instrumen kuat untuk kontrol dan dominasi sosial. Para korban fasis Eropa adalah buktinya, dimana instrumen budaya massa digunakan pemerintahan Nazi untuk menciptakan ketundukan masyarakat. Demikian juga yang terjadi di tempat pengasingan mereka di Amerika. Budaya populer secara ideologis bekerja untuk mempromosikan kepentingan kapitalisme dan dikendalikan oleh korporasi raksasa yang dapat mempengaruhi nilai, gaya hidup, dan way of life orang-orang Amerika.

Sekolah Frnkfurt dan Budaya Media

Dalam Dialectic of Enlightenment, Horkheimer dan Adorno telah mengantisipasi datangnya televisi dalam bentuk munculnya satu model budaya massa yang mengkombinasikan penglihatan dan suara, image dan narasi, dalam suatu institusi yang dapat membentuk suatu tipe produksi, teks, dan penerimaan terhadap industri budaya. Mengikuti model kritik terhadap budaya massa yang terdapat dalam Dialectic of Enlightenment, Sekolah Frankfurt mengkombinasikan studi teks dan audiens dengan kritik ideologi dan kontekstualisasi yang menganalisa bagaimana teks dan audiens ditempatkan dalam relasi dan institusi sosial tertentu. Jadi pendekatannya mengkombinasikan kritik ekonomi-politik Marxian dengan kritik ideologi, analisa tekstual, dan pendekatan psykoanalisa terhadap audiens dan efeknya.

Menarik ketika kesan umum bahwa Sekolah Frankfurt membuat perbedaan yang tajam antara budaya tinggi dan budaya rendah, Adorno justru memulai studinya dengan dekonstruksi atas dikotomi antara seni elite dan seni populer. Baginya, hubungan antara keduanya sangat kompleks, dan perbedaan itu hanyalah produk dari sebuah kondisi sejarah dan tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Karena itu mereka melihat pentingnya pengembangan kritik teori sosial atau komentar-komentarnya tentang perkembangan fenomena sosial. Dalam Eros and Civilization misalnya, Marcuse mencatat kemunduran peran keluarga sebagai agen penting dalam sosialisasi, dan sebaliknya semakin tumbuhnya media sosialisasi lain seperti radio dan televisi.

Lebih jauh Marcuse menjelaskan, sejak usia pra sekolah anak telah dikelilingi oleh agen-agen sosialisasi yang kuat yang berada di luar sistem keluarga. Agen-agen ini menawarkan nilai, kesempurnaan, kepribadian, dan mimpi yang sering kali bertabrakan dengan ajaran keluarga. Di sini industri penyiaran telah menjadi bagian dari alat manipulasi dan dominasi sosial. Karena dengan terkontrolnya informasi dan terhisapnya individu dalam komunikasi massa, maka pengetahuan menjadi terkendali dan terbatasi.

Habermas dan Ruang Publik

Dalam bukunya, Transformasi Struktural Ranah Publik, Habermas mengembangkan konsepnya yang berpengaruh, tentang ranah publik. Karya Habermas ini sangat kaya dan memberi dampak besar pada berbagai disiplin ilmu. Buku ini juga menerima berbagai kritik yang rinci, membuka wawasan, serta mendorong munculnya diskusi-diskusi yang sangat produktif, antara lain tentang demokrasi liberal, masyarakat sipil, kehidupan publik, dan perubahan-perubahan sosial pada abad ke-20.

Ranah publik borjuis, yang mulai muncul pada sekitar tahun 1700 dalam penafsiran Habermas, adalah berfungsi untuk memperantarai keprihatinan privat individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan public.

Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti surat kabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, salon–salon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, dimana diskusi sosio-politik berlangsung.

Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif (bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Dalam konsep Habermas, media dan ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi organisasi, perjuangan, dan transformasi politik.

Namun kritik yang muncul adalah bahwa Habermas megidealisasi gagasan ruang publik di mana dalam faktanya masih banyak kelompok perempuan dan kelompok sosial lainnya yang tidak memiliki akses untuk masuk dalam ruang diskusi rasional tersebut. Tesis industri budaya menerangkan produksi budaya massa dan homogenisasi subjek. Budaya massa telah menciptakan keinginan, mimpi, harapan, ketakutan, dan keinginan yang tidak berkesudahan bagi para konsumen. Industri budaya telah menciptakan para konsumen budaya yang menggunakan produk-produk tersebut dan membenarkan perilaku yang sudah ada dalam masyarakat.



Sekolah Frankfurt dan Studi Budaya British

Sekolah Frankfurt mengartikulasikan budaya dalam sistem monopoli kapitalisme atau fordisme yang telah menciptakan rezim produksi massa dan konsumsi. Sementara itu, Studi Budaya British muncul pada tahun 1960-an di mana secara luas telah terjadi penolakan global terhadap budaya kapitalisme dan meningkatnya gerakan revolusioner, yang memunculkan gerakan baru bernama post-fordisme, post-modern, dan berbagai istilah lain yang mencoba menjelaskan pelbagai macam formasi budaya dan sosial waktu itu. Proyek studi budaya yang dilakukan adalah berusaha untuk melindungi budaya kelas-kerja dari serangan gencar budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya. EP. Thompson, salah satu penggagasnya, meyakini bahwa budaya kelas-kerja ini memiliki kekuatan perubahan sosial yang progresif yang dapat menggerakkan dan mengorganisasikan perjuangan melawan ketimpangan masyarakat kapitalis dan berusaha untuk menciptakan sebuah masyarakat yang egaliter.

Studi ini mengembangkan pelbagai macam pendekatan kritis untuk menganalisa, menginterpretasikan, dan mengkritisi artefak-artefak budaya. Melalui Sekolah Birmingham, kelompok studi ini meneliti pengaruh representasi dan ideologis dari kelas sosial, gender, ras, etnik, dan nasionalisme dalam teks budaya, termasuk budaya media. Para peneliti di sini adalah di antara yang pertama dalam meneliti efek dari surat kabar, televisi, radio, film, dan budaya-budaya populer lainnya terhadap audiens. Mereka juga meneliti bagaimana pelbagai audiens menafsirkan, menggunakan, dan merespon budaya media dalam bermacam cara dan konteks yang berbeda.

Seperti Sekolah Frankfurt, Studi Budaya British juga meneliti integrasi kelas kerja dan mundurnya kesadaran revolusioner. Studi ini menyimpulkan bahwa budaya massa telah memainkan peran penting dalam mengintegrasikan kelas-kerja dalam masyarakat kapitalis. Di samping itu, budaya media telah membentuk model baru hegemoni kapitalis. Keduanya tela menciptakan pertemuan budaya dan ideologi dan melihat kritik ideologi sebagai pusat terhadap studi budaya kritis. Keduanya menggambarkan budaya sebagai bentuk reproduksi ideologi dan hegemoni, di mana bentuk budaya membantu untuk menciptakan model ajaran dan perilaku yang menuntun para individu untuk menerima kondisi sosial masyarakat kapitalis.

Studi budaya datang untuk fokus pada bagaimana kelompok subkultur melakukan resistensi terhadap identitas dan budaya dominan, serta menciptakan gaya dan identitasnya sendiri. Di sini, individu yang mengidentifikasikan dirinya dengan subkultur melihat dan bertindak secara berbeda dari budaya utama, dan menciptakan identitas yang berbeda dan mendefinisikan dirinya sebagai berbeda dari model standar. Karena itu, Studi budaya British, sebagaimana juga Sekolah Frankfurt, menyatakan bahwa budaya harus dipelajari dalam relasi dan sistem sosial di mana budaya diproduksi dan dikonsumsi, yang akhirnya harus mempelajari masyarakat, politik, dan ekonomi. Maka ia bertujuan untuk transformasi sosial dan perlawanan untuk membantu proses perjuangan politik dan pembebasan dari penindasan dan dominasi.

Akhirnya, studi budaya harus menggunakan pendekatan transdisipliner yang mencakup teori sosial, ekonomi, politik, sejarah, studi komunikasi, teori literal dan budaya, filsafat, dan pendekatan-pendekatan lain sebagaimana yang dilakukan oleh Sekolah Frankfurt, Studi Budaya British, dan teori post-modern Perancis. Karena itu seseorang tidak dapat berhenti pada teks, tetapi harus melampauinya semisal bagaimana teks tersebut pantas dalam sistem produksi tekstual, dan bagaimana bermacam teks menjadi bagian dari sistem aliran atau model produksi.

Kesimpulan

Dapat dikatakan bahwa kerja Sekolah Frankfurt adalah mengartikulasikan sebuah teori terhadap keadaan negara dan monopoli kapitalisme yang dominan selama 1930-an. Ini adalah masa ketika negara dan perusahaan besar mengontrol penuh ekonomi dan individu menjadi subordinat. Periode ini sering disebut sebagai fordisme, untuk menunjuk pada sistem produksi massa dan homogenisasi rezim kapital yang menghasilkan keinginan, rasa, dan perilaku massa. Di sini budaya dan komunikasi massa menjadi instrumen dalam membentuk ajaran dan perilaku yang tepat bagi perilaku sosial.

Model Sekolah Frankfurt tentang industri budaya mengartikulasikan peran penting sosial dari budaya media selama rezim kapital, dan memberikan model yang dapat memajukan budaya yang melayani kebutuhan korporasi dominan, memainkan peran penting dalam reproduksi ideologi, dan inkulturasi individual dalam sistem dominan atas kebutuhan, ajaran, dan perilaku.

Tradisi utama studi budaya mengombinasikan teori sosial, kritik budaya, sejarah, analisa filsafat, dan intervensi politik spesifik, sehingga mengatasi standar akademik yang ada. Karena itu studi budaya harus menggunakan konsepsi transdisipliner yang menggabungkan antara teori sosial, studi ekonomi, politik, sejarah, dan komunikasi, teori leteral dan budaya, filsafat, serta diskursus yang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh Sekolah Frankfurt, Studi Budaya Inggris, dan teori post-modern Perancis.

Karena itu seseorang tidak dapat berhenti pada teks ataupun inter-tekstualitas, tetapi harus bergerak dari teks ke konteks, ke dalam budaya dan masyarakat yang menyusun teks, dimana diperlukan pembacaan dan interpretasi. Tentang ini Raymond Williams melihat adanya interkoneksi antara budaya dan komunikasi, dan hubungan keduanya dengan masyarakat sebagai tempat memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi.

Memang ada kekurangan dalam program original dari teori kritis yang memerlukan rekonstruksi radikal atas model kelas dari industri budaya. Maka untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan analisis empiris dan konkret yang lebih dari biasa terhadap ekonomi politik dari media dan proses produksi budaya; penelitian empiris dan historis yang lebih terhadap konstruksi industri media dan interaksinya dalam institusi sosial yang lain; studi empiris yang lebih atas penerimaan audiens dan efek media; penekanan yang lebih atas penggunaan budaya media sebagai kekuatan yang menyediakan resistensi; penggabungan metode dan teori budaya baru dalam rekonstruksi teori kritis terhadap budaya dan masyarakat.

Sebagai catatan, dikotomi Sekolah Frankfurt antara ’budaya tinggi’ dan ’budaya rendah’ masih problematis dan harus digantikan dengan model tunggal yang menempatkan budaya sebagai pusat. Dan dalam tataran partikular, model Sekolah Frankfurt tentang budaya massa monolitik berlawanan dengan ideal dari ’budaya otentik’. Hal ini berbeda dengan studi budaya Inggris yang terlihat mampu mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut dengan menolak batas antara ’budaya tinggi’ dan ’budaya rendah’. Yang terakhir ini juga mengatasi yang pertama dalam hal audiens pasif dan menggantinya dengan audiens aktif, sebagaimana penonton sebuah pertandingan olahraga dapat mengkritik dan menganalisis pertandingan yang ditontonnya.

Meski pendekatan Sekolah Frankfurt pada dirinya sendiri masih parsial dan terlihat satu sisi, namun ia telah memberikan alat kritik terhadap bentuk ideologi dari budaya media. Kritik ideologi adalah bagian penting dari studi budaya, dan Sekolah Frankfurt memiliki jasa besar dalam melapangkan dan menyediakan kritik ideologi dalam industri budaya. Hal ini secara khusus berguna dalam menyediakan kontekstualisasi kritik budaya. Karena itu, studi komunikasi dan budaya menjadi bagian penting dari teori masyarakat kontemporer, dimana budaya dan komunikasi memainkan peran signifikan, dan Sekolah Frankfurt telah menyediakan perspektif yang mencerahkan terhadap studi ini.




===============
Sumber : Chapter Three: The Frankfurt School oleh Douglas Kellner dalam Cultural Theory, Classical & Contemporary Positions, Ed. Tim Edwards, SAGE Publications : London , 2007, hlm. 49-68.

No comments: