Thursday, April 23, 2009

Bunga Rampai Sejarah Kristiani 1

a. REFORMASI KATOLIK DAN KONTRA REFORMASI

Kontra Reformasi adalah segala bentuk usaha Gereja Katolik untuk membendung dan melawan laju gerakan pembaruan keagamaan yang dirintis oleh Martin Luther. Pendekatannya bersifar institusional, doktriner, dari atas, otoritatif, dan dalam kerja sama dengan lembaga negara. Sedangkan Reformasi Katolik adalah usaha memperbaiki Gereja Katolik dari bawah yang didasarkan pada kesadaran diri. Gerakan ini lebih bersifat personal, kharismatis, kepedulian pada karya sosial karitatif, dan perutusan. Contoh dari Reformasi Katolik ini adalah munculnya ordo-ordo baru dan diperbarui dalam gereja, semisal SJ, OFM Capusin, OSA, OCD, dll.


Adalah keliru jika: Reformasi Katolik dianggap sebagai tandingan Reformasi Protestan, atau ciptaan cerdik pandai untuk membenarkan adagium ‘ecclesia semper reformanda et reformata’, atau suatu keharusan karena banyaknya penyimpangan dalam Gereja abad pertengahan.

Di antara alasan-alasan Kontra Reformasi adalah sebagai berikut:
1) Berbagai kegagalah pembaruan Gereja di lapangan.
2) Dampak reformasi M. Luther yang menimbulkan ketegangan, intoleransi, dan peperangan.
3) Terjadinya situasi kebingungan dan tanpa pegangan di tingkat akar rumput.
4) Teologi Protestan dianggap tidak seimbang, menyesatkan, dan perlu disehatkan.

Konsekuensi Kontra Reformasi:
• Merestui pembagian wilayah berdasarkan agama.
• Gereja Katolik banyak kehilangan warganya.
• Kebangkitan gerakan visioner.
• Kerjasama Gereja Katolik dengan negara-negara Katolik semakin erat.
• Menyusun ajaran dan katekismus sebagai pegangan umat dan Gereja.
• Spirit pembaruan keagamaan dilakukan secara kontinyu melalui sinode-sinode keuskupan secara periodik.
• Peningkatan mutu pendidikan dan kedisiplinan hidup para calon pemimpin Gereja.
• Superioritas Gereja Katolik seagai Societas Perfecta yang tidak perlu berdialog dengan pihak lain.
• Gereja Katolik menjadi sangat klerikal, konstitusional, yuridis-hierarkis.
• Perang dengan motif agama.


******

b. TOLERANSI DAN INTOLERANSI

Gagasan toleransi bersifat permisif, yang berarti membolehkan segala sesuatu yang berbeda menyangkut iman dan gaya hidup demi hidup bersama tanpa merugikan warga sipil atau keadaan ekonomi. Pada zaman kontemporer, pembicaraan tentang toleransi dapat dirincikan dalam dua hal: pertama, menyangkut kaitan antara toleransi dengan intoleransi, yang membahas tentang argumen pro dan kontra toleransi. Kedua, praktik toleransi dan intoleransi, yang berbeda dengan argumen pro dan kontranya.

Dalam kurun yang lama, pandangan para pemuka dan umat Katolik terhadap toleransi adalah negatif. Di antaranya, pertama, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap kebenaran. Hal ini karena orang yang toleran diartikan identik dengan orang yang bersikap indiferen atau relativisme. Kedua, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap cinta kasih. Itu karena toleransi ibarat membiarkan pintu terbuka bagi aneka ragam kesalahan. Ketiga, toleransi dianggap sebagai tindak kriminal terhadap masyarakat dan negara. Karena jika kemajemukan agama diakui, maka persatuan dan kesatuan bangsa dapat diganggu gugat.

Beberapa gagasan yang mendukung toleransi adalah pertama, minimalisme dogma. Itu terjadi karena belum begitu jelasnya perbedaan mendalam mengenai dogma antara pihak-pihak yang berseberangan. Karena itu, bidah semata-mata adalah divergensi pandangan, dimana tidak mungkin dicapai suatu kesepakatan. Bidah hanya suatu alternatif kehidupan berkepercayaan. Kedua, prinsip minus malum (yang kurang buruk di antara yang terburuk), suatu usaha untuk mengakhiri perang agama yang berkesinambungan pada abad XVI. Ketiga, separasi agama dan politik. Sebagaimana dalam pandangan Locke, diyakini bahwa negara tidak kompeten dalam masalah-masalah keagamaan, integritas tubuh, dan keselamatan jiwa. Keempat, revolusi kemerdekaan Amerika. Revolusi ini telah melahirkan kemerdekaan warga negara di hadapan keyakinan agama. Keyakinan agama adalah urusan pribadi dan perorangan.

Beberapa contoh dari tindak intoleransi adalah pembunuhan massal pada pesta Santo Bartolomerus (1572) yang dilakukan oleh orang-orang sipil Katolik terhadap pengikut Calvin. Raja Henry VIII di Inggris yang melakukan terror dan penganiayaan terhadap orang-orang Katolik dan Lutheran.

Adapun sikap Gereja Katolik masih terpilah-pilah. Pada umumnya orang awam mendukung pelaksanaan toleransi, sementara hierarki setempat dan para teolog mengharapkan diterapkannya kebebasan beragama. Sedangkan Kuria Roma tampak belum akrab dengan gagasan toleransi.

Akhirnya, setelah Perang Tiga Puluh Tahun dan Perdamaian Westfalia (1648), Eropa semakin menyadari ketidakmungkinan menciptakan sebuah Eropa dengan satu agama yang sama. Eropa Utara dihuni oleh para Reformis, Eropa Tengah dihuni oleh Protestan, dan Eropa Selatan dihuni oleh Katolik.

****

c. EKSPANSI KEKRISTENAN

Sejarah kristenisasi menyimpan banyak kisah dan data menarik yang patut dijadikan inspirasi bagi perjalanan ke depan. Kelemahan dan kesalahan gerakan misioner masa silam membantu Gereja untuk memperbaiki orientasi baru. Dan hanya dengan kategori-kategori religius kita dapat mengerti sejarah misi dan menafsirkannya. Maksudnya, pertama, kita perlu mencari dan menemukan tindakan Allah dalam gerakan misi. Karena Allah adalah Dia yang mengucapkan kata pertama dan terakhir dalam sejarah. Kedua, Gereja bersifat misioner. Bagi Gereja, sifat ini adalah hakiki dan eksistensial. Dengan demikian, evangelisasi adalah Gereja dalam dinamika.

Gerakan kristenisasi ini juga berlatarbelakang kolonisasi Portugis, Spanyol, dan Ango-Saxon. Pada awalnya orang-orang Portugis kurang antusias mengembangkan sayapnya ke Asia, sehingga di India dan Melayu misalnya, peradaban Portugis tidak berkembang. Sedangkan Spanyol, khususnya di Amerika Latin, mengembangkan metode penyusupan dan terlibat dalam karya pendidikan. Demikian juga orang-orang Inggris.

Dalam ekspansi kekristenan ini terjadi sistem patronage, dimana Tahta Suci memberikan kekuasaan / previlese-previlese kepada penguasa sipil Spanyol dan Portugal dalam mengelola wilayahnya. Sebagai imbalan, para raja wajib menjamin pelaksanaan evangelisasi di negeri-negeri yang mereka temukan. Di antara hak-hak negara dalam sistem ini adalah: menunjuk dan mengangkat petugas yang dikehendaki; mengizinkan atau mengeluarkan misionaris; mengawasi semua urusan kegerejaan tanpa pengecualian dari otoritas lain. Sedangkan sejumlah kewajiban negara adalah: memilih dan mengirim misioner ke wilayah kekuasaan mereka; mencukupi semua kebutuhan kultus dan kehidupan para misionaris, dll.

Di antara masalah yang muncul dalam kristenisasi ini adalah asimilasi ajaran kekristenan dengan budaya dan ajaran setempat. Di antaranya adalah ritus China. Orang memperdebatkan apakah ritus dan sesaji agama kerakyatan China untuk kaisar merupakan pemujaan terhadap berhala (idolatri) ataukah bukan. Di sini, Klemens XI memutuskan berpihak pada para Dominikan yang menegaskan bahwa agama dan persembahan pada kaisar dalam agama China tidak sejalan dengan katolikisme. Keberpihakan ini mengurangi secara besar-besaran aktivitas misionaris Katolik di China. Namun bagi para Jesuit, ritus China adalah upacara sosial kemasyarakatan, dan bukan acara religius, sehingga mereka yang sudah Kristen diperbolehkan melanjutkan praksis tersebut.

Dalam Dekrit Klemens XI orang Katolik dilarang untuk mengunjungi kuil dan ‘menyembah’ nenek moyang di tempat ibadah keluarga. Hal ini menimbulkan perlawanan dari China, sehingga dalam Dekrit K’ang-Hsi, orang-orang Barat (Katolik) dianggap sebagai picik, tidak memahami apa yang diyakini oleh orang-orang China. Karena itu, gerakan misi Katolik dilarang di China.

*****

d. SEJUMLAH ALRAN DAN GERAKAN

› Quietisme
Aliran yang menyatakan bahwa kesempurnaan tertinggi akan dicapai dengan cara berdiam diri, baik pikiran maupun kehendak, serta berserah diri kepada Tuhan dengan iman yang otentik. Hal ini dicapai dengan latihan rohani sehingga jiwa dapat beristirahat dan Tuhan bekerja sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan mencapai kesempurnaan tertinggi ini, maka dosa menjadi tidak ada lagi dan perbuatan baik tidak lagi diperlukan. Demikian juga godaan untuk berbuat dosa tidak akan mempengaruhinya. Di antara tokoh dalam aliran ini adalah Miguel de Molinos dan Madam Guyon.

› Galikanisme
Yaitu gerakan yang menuntut pembebasan Gereja Katolik Roma di Perancis dari kekuasaan Sri Paus di Roma. Gerakan yang bersifat Gerejawi dan politis ini menganggap bahwa keputusan Sri Paus baru akan berkekuatan tetap jika telah disepakati oleh para uskup yang lain. Menurut aliran ini, kekuasaan raja diperoleh langsung dari Allah sehingga berada di luar yurisdiksi Sri Paus. Galikanisme menolak keputusan Konsili Trento untuk diberlakukan di Perancis. Gerakan ini mengesahkan ajaran Gereja sendiri di Perancis; pertama, penolakan kekuasaan paus atas masalah duniawi, dan kekuasaan raja di atas kekuasaan Gereja. Kedua, kuasa konsili berada di atas kuasa paus. Ketiga, kebebasan Gereja Galikan seperti masa lampau tidak dapat dibatalkan oleh paus. Keempat, keputusan paus dapat diperbaiki dan menunggu sampai konsili bersidang.

› Jansenisme
Yaitu aliran yang menekankan dosa asal, kerapuhan insani, perlunya rahmat Ilahi, dan predestinasi. Aliran ini berasal dari pandangan-pandangan Cornelius Otto Jansen. Benteng terpenting Jansenisme adalah konven paris di Post-Royal. Di antara pendukungnya adalah Antonie Arnauld, Pierre Nicole, Blaise Pascal, dan Jean Racine.

› Febronianisme
Yaitu gerakan dalam Gereja Katolik Roma di Jerman yang menolak kekuasaan Gerejawi Sri Paus. Aliran ini mengakui kepemimpinan paus dalam hal moral dan iman, tetapi tidak mengakui kekuasaan duniawinya Sri Paus sebagaimana yang terdapat dalam Donatio Constantini dan kumpulan keputusan paus yang dikumpulkan oleh Isidorus Sevilla. Akhirnya gerakan ini gagal karena Revolusi Perancis dan tidak adanya dukungan dari uskup lainnya.

› Ultramontanisme
Yaitu gerakan yang membela sentralisasi kekuasaan paus dan menentang konsiliarisme. Ultramontanisme Lama adalah yang dibela oleh Bellarminus dalam Konsili Konstanz. Sedangkan Ultramontanisme Baru adalah aliran yang berpandangan bahwa pembaruan Gereja sangat bergantung pada sentralisasi kekuasaan paus. Di antara hasil dari gerakan yang kedua ini adalah doktrin infallibilitas paus.

*****

e. REVOLUSI PERANCIS

Terjadi antara tahun 1789 dan 1799, Revolusi Perancis adalah pergolakan yang terjadi antara para demokrat dan republikan untuk menjatuhkan monarki absolut di Perancis dan memaksa Gereja Katolik Roma untuk menjalani restrukturisasi yang radikal. Di antara penyebab munculnya revolusi adalah kemarahan terhadap absolutisme kerajaan; kemarahan terhadap sistem seigneurialisme di kalangan kaum petani, para buruh, dan kaum borjuis; bangkitnya gagasan-gagasan Pencerahan; utang nasional yang tidak terkendali; ekonomi yang buruk; kelangkaan makanan di bulan-bulan menjelang revolusi; kemarahan terhadap hak-hak istimewa kaum bangsawan dan dominasi dalam kehidupan publik oleh kelas profesional yang ambisius; kebencian terhadap intoleransi agama; dan kegagalan Louis XVI untuk menangani gejala-gejala tersebut secara efektif.

Revolusi membawa perubahan besar-besaran pada kekuasaan dari Gereja Katolik Roma kepada negara. Undang-undang tahun 1790 menghapuskan otoritas Gereja untuk menarik pajak hasil bumi (dime/sedekah), menghapuskan hak khusus pendeta, dan menyita kekayaan gereja. Legislasi berikutnya menempatkan pendeta di bawah negara dan menjadikannya pegawai negeri. Tahun-tahun berikutnya dapat disaksikan penindasan penuh kekerasan terhadap para pendeta di seluruh Perancis. Tahun 1801 dekristenisasi diakhiri dan dibuat aturan baru tentang hubungan antara Gereja Katolik dan Negara Perancis yang berlangsung hingga dicabut kembali pada tanggal 11 Desember 1905.

Gagasan utama Revolusi Perancis adalah liberte (kebebasan), fraternite (persaudaraan), dan egalite (persamaan). Karena Perancis adalah negara yang melakukan ekspansi ke negara-negara lain, maka gagasan-gagasan tersebut juga ikut tersebar yang pada akhirnya memudahkan penyebaran ajaran Kristiani.

Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan Gereja yang muncul pada masa ini di antaranya adalah: The Civil Constitutions of the Clergy (1790), yang mengsubordinasikan Gereja Katolik Roma di Perancis pada pemerintahan Perancis; Deklarasi Klerus Perancis (1682) yang menempatkan Gereja di bawah raja, dan antara lain berisi hak raja Perancis untuk membuat peraturan bagi klerus, mengangkat petugas Gereja; Felicite de Lamennais, yang mengatakan bahwa Revolusi Perancis menjadi awal kelahiran kembali Gereja.

Di samping itu, Revolusi Perancis juga melahirkan resintensi, anti-revolusi. Ia juga menyebabkan runtuhnya monarkhi dan kekacauan yang mematangkan lahirnya ‘aliansi suci’; terselenggaranya Konggres Wina 1815; dan dimulainya jaman restorasi atau pemulihan kembali. Di samping itu, deklarasi hak asasi manusia telah mendorong munculnya gagasan dan praksis dihapuskannya agama sebagai agama negara. Dan Revolusi Perancis juga mendorong munculnya jarak/pemisahan antara agama dan negara: bermusuhan, murni, atau campuran.

*****

f. KULTURKAMPF

Secara harafiah, kulturkampf berarti perang budaya. Secara istilah, term ini merujuk pada kebijakan Jerman dalam relasinya dengan sekularitas dan pengaruh Gereja Katolik Roma, yang terjadi antara tahun 1871-1878 dibawah kepemimpinan konselir kerajaan Jerman Otto van Bismark.

Di antara faktor yang menyebabkan munculnya kulturkampf adalah pertentangan ideologis antara Gereja Katolik Ultramontan dengan kaum liberal. Sebagaimana diketahui, hingga pertengahan abad 19, Gereja Katolik masih memiliki pengaruh yang besar dalam banyak bidang, baik agama maupun politik. Di sini Bismark membela kaum liberal dan berusaha untuk menggalang persatuan Jerman dengan mereduksi pengaruh politik dan sosial dari Gereja Katolik Roma dengan cara mengontrol semua aktivitas Gereja. Dengan demikian, alasan utama Bismark bukanlah alasan religius, akan tetapi lebih berupa alasan politis.

Bismark ingin memisahkan gereja dari negara, dan memisahkan gereja dari sekolah. Oleh karena itu urusan gerejawi harus berada di bawah menteri keadilan. Perjuangan Bismark tidak diarahkan langsung untuk melawan infallibilitas Sri Paus, melainkan terhadap Partai Zentrum dan konspirasi Ultramontan.

Di antara dokumen yang muncul dalam masa ini adalah, (1) The Liberal Political Concept, yang berisi, antara lain, hak negara untuk mengawasi semua sekolah publik dan privat dan menunjuk pengawas bagi sekolah tersebut. (2) The Second Federal Law of Kulturkampf: The Jesuit Law, yang antara lain berisi tentang larangan bagi ordo SJ dan beberapa ordo yang lain untuk berada di wilayah kekaisaran; tuduhan bagi SJ sebagai penanggung jawab syllabus, dogma infallibilitas, serta penentang keberadaan negara modern dan kebebasan sipil. (3) Undang-undang Mei (1873) yang di antaranya berisi supervisi sekolah swasta pada negara; mahasiswa teologi harus lulus ujian negara dalam sastra, filsafat, sejarah; para uskup harus melaporkan para kandidat imamnya pada negara.

Untuk menegakkan Undang-Undang Mei (meigesetze) ini, semua pendeta yang bekerja kepada pemerintah dipecat, Gereja dilarang terlibat dalam semua hal yang berhubungan dengan pernikahan dan pendidikan, dan topik-topik khotbah dibatasi. Sejumlah uskup besar juga ditahan dan ribuan gereja akhirnya ditemukan tanpa pendeta.

Karena itu, dalam prakteknya kulturkampf adalah sebuah penganiayaan terhadap Gereja. Keseluruhan kampanye ini tidak menghasilkan apa pun selain penindasan atas kaum Katolik Jerman dan kehancuran rasa kesejahteraan sosial negara itu.


*****

g. KONSILI VATIKAN I

Sidang pertama Konsili Vatikan I dilaksanakan pada 8 Desember 1869. Konsili ini merupakan konsili ekumenis kedua puluh bagi Gereja Katolik Roma. Tujuan utama Paus Pius IX menghimpunkan Konsili ini adalah untuk memperoleh konfirmasi akan sikap yang telah ditetapkannya dalam Syllabus Errorum (1864), yang mengutuk serangkaian aliran rasionalisme, liberalisme, dan materialisme, panteisme, naturalisme, sosialisme, yurisdiksionalisme, dan lain sebagainya. Di balik encyclic tersebut, yang mau dikatakan adalah bahwa Gereja yang benar adalah Gereja Kristus yang melampaui kesalahan-kesalahan tersebut.

Selain melarang paham-paham tersebut, tujuan Konsili Vatikan I adalah untuk mendefinisikan doktrin mengenai Gereja. Dalam sidang disetujui dua konstitusi: Dei Filius (Konstitusi Dogmatis mengenai Iman Katolik, berisikan di antaranya iman Katolik bahwa Alkitab diinpirasikan oleh Allah, Allah adalah pencipta segala sesuatu) dan Pastor Aeternus (Konstitusi Dogmatik Pertama Gereja mengenai Kristus, menguraikan tentang keutamaan dan infallibilitas Uskup Roma ketika sedang memberikan dogma). Di sini, cirri utama infalibilitas St. Petrus adalah bahwa St. Petrus sebagai gembala dan guru yang doktrinnya berupa ajaran iman dan moral. Dalam keadaan yang demikian ini, maka ia tidak dapat salah.

Meskipun doktrin infallibilitas Paus bukan merupakan agenda utama Konsili, tetapi doktrin ini segera ditambahkan setelah konsili dimulai. Di samping banyak delegasi yang tidak percaya bahwa Paus tidak bisa salah, banyak juga yang merasa bahwa doktrin tersebut tidak seharusnya dijadikan sebagai dogma resmi karena dapat saja menyebabkan banyak orang akan meninggalkan imannya.

Di tengah-tengah masa Konsili, terjadi perang Perancis-Prussia yang menyebabkan ditundanya Konsili akibat jatuhnya Roma, sehingga Konsili tidak dilanjutkan. Konsili ini secara resmi baru ditutup pada waktu persiapan Konsili Vatikan Kedua. Reaksi lain yang muncul terhadap Konsili Vatikan I adalah munculnya kecenderungan liberalisme yang anti klerikal di berbagai negeri, demikian juga reaksi dari Otto van Bismark dengan Kulturkampf-nya.

Hasil dari Konsili Vatikan Pertama ini menunjukkan kemenangan gerakan Ultramontanisme yang mendukung pemerintahan sentral Vatikan bagi Gereja Katolik. Juga terjadi peningkatan kesadaran akan identitas diri sebagai kaum Katolik Roma yang bermunculan di seluruh dunia.

*****

h. MODERNISME

Sebelum lebih jauh, ada tiga hal terkait modernisme yang perlu diketahui.
a. Bahwa tidak ada batasan baku tentang modernisme. Batasan yang biasa digunakan adalah ensiklik. Karenanya teks Pascendi Dominici Sregis menjadi penting.
b. Ia biasanya dimasukkan dalam aliran teologi radikal yang tidak puas dengan ajaran Gereja dan refleksi teologis yang mengulang pokok lama tanpa kebaruan. Dalam pemahaman ini, modernisme berarti melawan doktrin gereja dan tafsir alkitabiyah.
c. Mempelajari pikiran tokoh-tokoh yang dianggap sebagai modernis.

Refleksi pertama dalam modernisme adalah praksis, sehingga pendasaran pada akal budi menjadi penting. Dan dalam Katolik, modernisme tidak dapat dipisahkan dari Leo XIII, yang pada tahun 1879 menetapkan bahwa teologi baku pada seminari adalah teologi St. Thomas Aquinas. Tak ayal, kebijakan ini berandil pada hilangnya aliran-aliran yang lain.

Tiga gagasan yang yang mencoba menyintesiskan modernisme adalah sebagai berikut:
a. Para modernis berpandangan sangat kritis terhadap Alkitab. Di antara pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis-kritis, yang mengharuskan perhatian khusus terhadap konteks sebuah kata diucapkan (seitz im leben) dan juga konteksnya masa sekarang. Eksesnya adalah bahwa penulis Kitab Suci tidak akan lepas dari keterbatasan.
b. Para modernis cenderung menolak intelektualitas teologi skolastik yang dinilai terlalu spekulatif. Beberapa di antara mereka mengedepankan metode baru semacam a philosophy of action dan intuisionisme. Yang mereka cari adalah hakekat kekristenan pada praksis dan masalah konkrit, bukan pada syahadat dan semacamnya.
c. Sikap teleologis pada sejarah yang menekankan pada fakta / isu sehingga sampai pada asal-usul.

Dengan demikian, modernisme adalah aliran dalam Gereja yang karena sifat liberalnya justru malah menjadi konservatif lantaran tidak terdamaikan dengan prinsip-prinsip yang lain. Mereka menjadi hiperaktif dalam mengkritik magesterium Gereja. Dan di antara tokoh-tokoh modernis ini adalah sebagai berikut:

a. Alfred F. Loisy
Menurutnya, Gereja harus mengajarkan ajaran yang heterodoks, bukan yang ortodoks. Heterodoks berarti bahwa yang benar dapat dipahami atau ditafsirkan dari pelbagai perspektif. Ia ingin mendobrak kelembagaan Gereja. Tesisnya adalah, ”Yesus mengajarkan Injil, mengapa yang muncul Gereja?”.

b. George Tyrell
Ia adalah seorang SJ yang menyerang tarekatnya. Keprihatinan utamanya adalah bahwa pada zaman modern Gereja masih saja terkungkung dengan semangat abad pertengahan.

c. Frederich van Hügel
Ia menuntut agar orang Kristen taat pada ajaran agamanya, tetapi juga kritis dan mempertanyakan ajaran-ajaran tersebut.

Pelajaran yang dapat diambil dari kasus modernisme ini adalah bahwa Gereja harus terbuka terhadap perkembangan ilmu, menyintesiskan hal-hal baik di dunia, serta mengintegrasikan wahyu.

========

No comments: