Tuesday, September 8, 2009

Membumikan Fikih yang Kontekstual

Menurut Budhy Munawar-Rachman, Islam adalah perpaduan antara agama Yahudi dan Kristen, perpaduan antara ajaran yang menekankan pelaksanaan aturan hukum yang kaku dan tegas di satu sisi dengan penekanan pada moralitas dan etika di sisi lain. Kalaupun hal tersebut benar, itu adalah kesimpulan yang kedaluwarsa, setidaknya bagi Islam yang berkembang di negara kita. Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa Islam di Indonesia semakin mendekat ke sisi yang pertama dengan rigitnya aturan hukum, dan menjauh dari nilai dan moralitas yang mendasari hukum itu sendiri. Lihatlah misalnya aturan-aturan syariah yang telah dan akan segera diterapkan di banyak tempat sebagai perda syariah, yang hanya menekankan pada formalitas saja tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Kecenderungan untuk melaksanaan hukum syariah dalam kehidupan ini sebenarnya bukanlah monopoli kalangan Islam radikal atau Islam politik saja, akan tetapi dalam umat yang tergolong sebagai moderat pun, seperti NU misalnya, keinginan tersebut tidak pernah hilang. Bedanya, kalau Islam radikal dan politik menginginkan syariah diimplementasikan dalam bentuk hukum positif negara, sedangkan bagi yang moderat ini syariah cukup dijalankan sebagai pilihan bebas masing-masing individu.

Meski bersifat pilihan, tetapi keterikatan kelompok yang terakhir ini terhadap syariah masih tetap kuat. Hal itu dapat dilihat dari semua aspek kehidupan mereka yang selalu ingin dikaitkan dan mendapatkan pendasaran dari hukum syariah. Dan keterikatan inilah, ditambah anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yang membuat kitab-kitab fikih menjadi laku keras. Kitab-kitab fikih yang sebagian besar ditulis pada abad pertengahan ini telah menjelma menjadi “kitab suci” baru yang mengalahkan dua sumber rujukan utama syariah, al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka lebih nyaman untuk mendasarkan perilakunya pada aturan-aturan syariah yang termuat dalam kitab-kitab kuning karena lebih terperinci, daripada harus melakukan usaha (ijtihad) sendiri melalui dua sumber primer, al-Qur’an dan al-Hadits, yang memang memuat aturan-aturan yang lebih umum.

Karena merupakan produk masa lalu, maka banyak kemajuan dan perubahan masa sekarang yang tidak terantisipasi oleh literatur-literatur klasik ini. Banyak problem yang seharusnya segera dicarikan solusinya menjadi tidak dapat dipecahkan karena tidak ada referensinya dalam sumber klasik. Sehingga yang terjadi adalah kebingungan umat itu sendiri untuk menentukan gerak dan langkahnya dalam menyikapi perubahan. Karena masalah-masalah yang muncul dimasukkan dalam kategori mauquf, dihentikan sementara pembahasannya sampai ditemukan referensi yang sesuai. Padahal referensi itu tidak akan ditemukan dalam literatur klasik karena persoalannya memang baru.

Fikih sosial, sebuah jalan keluar
Dari bermacam masalah tersebut di atas, maka muncullah fikih sosial untuk mencairkan kebekuan fikih klasik. Di satu pihak, fikih sosial mengakui bahwa zaman terus berubah, karena itu permasalahan hukum juga pasti akan terus berkembang dan membutuhkan pemecahan yang baru pula. Di pihak lain, kodifikasi hukum fikih dan metodenya yang termuat dalam berbagai literatur kitab kuning adalah sarana terbaik untuk mengetahui hukum syariah, karena literatur-literatur itulah sarana penghubung bagi kita untuk mengetahui maksud dan kandungan dua sumber utama syariah. Dengan demikian, dapat dihindari sebuah rumusan hukum yang tidak berdasar lantaran telah melakukan lompatan sejarah dengan meninggalkan sarana untuk langsung sampai ke al-Qur’an dan al-Hadits. Dan lompatan inilah yang sering dilakukan kalangan modernis dengan klaim pembaruannya.

Buku ini adalah elaborasi yang dilakukan oleh pengarangnya, Jamal Ma’mur Asmani, terhadap pemikiran-pemikiran KH. Sahal Mahfudh dalam menyikapi tuntutan zaman berdasarkan penguasaanya terhadap fikih. Ditunjukkan bagaimana fikih yang merupakan produk abad pertengahan yang terkesan kaku dan kadang menakutkan itu di tangan kiai ini menjadi fikih yang elastis, progresif, berorientasi praksis, konsekwen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan tetap berpegang pada tradisi yang kuat.

Salah satu gagasan utama fikih sosial adalah menghadirkan fikih, yang merupakan kodifikasi syariah, bukan sebagai hukum positif negara, akan tetapi sebagai etika sosial. Perbedaannya jelas, yang pertama menginginkan campur tangan kekuasaan negara untuk menerapkannya sebagai hukum positif. Sedangkan yang kedua, sebagai etika sosial, campur tangan negara itu tidak diperlukan lagi. Ia lebih menekankan pada proses kebudayaan untuk memasukkan nilai-nilai syariah ke dalam tata kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan ketegangan. Memaksakan hukum-hukum fikih (syariah) sebagai hukum positif jelas berlebihan, di samping akan menghadapi banyak kendala. Indonesia bukanlah negara bagi agama tertentu, akan tetapi negara bagi penduduk dengan beragam kebudayaan dan kepercayaan. Dengan mentransformasikan fikih menjadi nilai-nilai budaya yang hidup, maka ajaran Islam akan tetap hidup dan berkembang di masyarakat tanpa mengganggu kesepakatan politik bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, bagi kiai ini, substansi jauh lebih penting daripada wadah (form). (hal. xxvi)

Karena itu, fikih sosial memiliki ciri-ciri yang di antaranya adalah; pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual, kedua, perubahan pola bermazhab dari qauly (tekstual) ke manhajy (metodologis), ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ashl) dan cabang (far’), keempat, menghadirkan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya. (hal. xiii)

Karena ciri-cirinya tersebut, fikih sosial tidak lagi hanya berkutat dengan masalah ibadah mahdhah dan hukum halal-haram saja, akan tetapi ikut menceburkan diri dalam masalah-masalah yang selama ini luput dari perhatian fikih klasik. Masalah kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, kemiskinan, lingkungan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya juga menjadi tema pembahasan dalam fikih ini. Tidak lagi dibedakan antara masalah “duniawi” dan “ukhrawi”, tetapi melihat keduanya sebagai problem yang harus dipecahkan dan menjadi tanggung jawab bersama, baik kalangan ulama maupun yang bukan ulama. (hal. 126)

Fikih Sosial tidak menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bermacam syarat berat yang dituntut dalam berijtihad sebenarnya dapat disiasati dengan ijtihad jama’i. Yaitu ijtihad kolektif yang tidak hanya mengikutsertakan kalangan ulama saja, akan tetapi juga mengajak para ilmuan dari berbagai macam bidang ilmu untuk ikut serta dalam merumuskan jawaban dari sebuah persoalan. Dengan demikian, ijtihad bukanlah monopoli kalangan ulama saja, akan tetapi menjadi hak dan kewajiban segenap umat. Dan itulah ijtihad yang paling ideal masa sekarang untuk merumuskan suatu produk hukum yang komprehensif. (hal. 268)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah uraiannya yang mengesankan tentang kiat dan metode belajar dalam pesantren tradisional. Mungkin metode yang dipaparkan di sini terasa janggal untuk masa sekarang, akan tetapi sejarah telah mencatat keberhasilannya dalam menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Justru sistem pendidikan pesantren masa kini yang harus segera benahi, karena tidak lagi memiliki arah lantaran kebingungan antara mempertahankan tradisi dan ilmu-ilmu keislaman di satu pihak, dengan tuntutan kemajuan dan modernitas di pihak lain. Kebingungan ini ternyata malah membuat para alumni pesantren menjadi manusia yang gagal; penguasaan ilmu keagamaannya tidak mendalam, sedangkan terhadap ilmu umum, mereka kalah jauh dari para lulusan sekolah umum. (hal. 192)

Meski begitu, beberapa kritik perlu diajukan juga terhadap buku ini. Di samping masih banyaknya kesalahan ketik yang dijumpai di dalamnya, buku ini juga terlalu banyak memuat tema pembahasan. Seakan ingin membahas sebanyak mungkin tema, buku ini menjadi kurang fokus terhadap suatu pembahasan. Beberapa tema sebenarnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut, akan tetapi hanya dibahas secara umum, karena ingin cepat beralih ke tema pembahasan yang lain. Dan lantaran itu juga, beberapa tema tetap dimasukkan meski sebenarnya tidak terkait dengan ide dasar yang mau diusung. Lepas dari itu semua, gagasan-gagasan yang ada dalam buku ini tetap dan makin relevan dengan situasi sekarang, dimana formalisasi hukum agama sedang hangat diperbincangkan. Kiranya sumbangan terbesar buku ini adalah pemahamannya yang baru terhadap fikih. Fikih adalah produk hukum yang dihasilkan pada suatu masa. Karena itu, menganggap fikih sebagai hukum yang berkekuatan tetap dan abadi jelas tidak dibenarkan.

Tentang Buku

Judul Buku : Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh;
Antara Konsep dan Implementasi
Pengarang : Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit : Khalista Surabaya
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : xxxiii + 373 halaman



Sunday, September 6, 2009

Etika dalam Islam

Seorang anak yang baru masuk pesantren dapat dipastikan tidak akan menjumpai perbedaan, apalagi pertentangan, antara ajaran moral di pesantren dengan apa yang pernah ia dapatkan dari orang tua, lingkungan, atau lembaga pendidikan sebelumnya. Sikap sopan kepada teman, berbuat baik kepada sesama, dan pelbagai perbuatan terpuji lainnya sama-sama diajarkan oleh ‘lembaga-lembaga moral’ ini. Bahkan masuk pesantren, di antaranya, adalah untuk memperkuat ajaran-ajaran moral dalam diri anak. Kitab akhlak dasar yang biasa diajarkan di pesantren, al-Akhlaq li al-Banin wa al-Banat, berisi tidak lebih dari apa yang sebenarnya juga menjadi harapan lembaga-lembaga pemantau moral tersebut. Di dalam kitab ini diajarkan bagaimana cara kita berbuat baik kepada guru, orang tua, teman, dan sesama. Di sana juga diajarkan bagaimana cara yang baik untuk makan, berjalan, ke kamar mandi, dan seterusnya dari hal-hal yang sebaiknya kita lakukan dan tidak kita lakukan.

Apa yang saya kemukakan di atas, yaitu contoh-contoh konkret perbuatan baik dan buruk dalam kegiatan sehari-hari, dalam bahasa filsafat disebut dengan moralitas. Yaitu ajaran tentang baik dan buruk yang diterapkan bagi kita. Ia mewakili apa yang dalam bahasa sehari-hari kita sebut dengan sopan santun, tata krama, unggah-ungguh, etiket, dan sejenisnya. Ia memuat ajaran praktis yang langsung dapat kita terapkan dalam kehidupan konkret. Tidak perlu – tepatnya tidak sempat – lagi dipertanyakan mengapa makan harus memakai tangan kanan, dan cebok dengan tangan kiri. Itu bukan wilayah moralitas. Moralitas memerintahkan kita untuk melakukan itu, dan pelaksanaannya membuat perbuatan kita menjadi bernilai, bermoral. Sebaliknya, tidak melakukannya atau melawannya adalah tindakan tercela dan tidak bermoral. Begitu misalnya anak yang membentak orang tuanya dinilai sebagai bermoral bejat.

Yang penting untuk diperhatikan adalah perbedaan antara moralitas dengan etika. Yang terakhir ini adalah pandangan filosofis tentang moralitas. Ia mengkaji hal-hal yang lebih mendasar daripada moralitas, seperti apa yang harus saya perbuat, mengapa kita harus berbuat baik kepada orang lain, bagaimanakah perbuatan yang baik itu, untuk apakah kita melakukan hal yang baik, dan seterusnya. Artinya, etika adalah ashl, sedangkan moralitas adalah far’-nya. Moralitas lahir dari, dan mesti memiliki dasar dalam, pemikiran etika, meski hal itu kadang tidak disadarinya.

Namun ketika menengok ke pesantren, lembaga pendidikan yang juga merupakan lembaga moral yang cukup disegani sampai sekarang, kita belum menemukan pelajaran yang khusus membahas masalah etika ini. Yaitu etika dalam arti pemikiran filosofis sebagai fan khusus dalam kurikulum pesantren. Bermacam dan berserakannya kitab-kitab akhlaq dalam pesantren semuanya membahas tentang moralitas. Dari tingkat dasar sampai yang tertinggi, yang dinamakan kitab akhlaq adalah kitab yang berisi ajaran tentang kelakuan yang baik dan buruk. Lalu, adakah etika dalam Islam, paling tidak dalam tradisi pesantren kita? Di manakah ia kalau memang ada?

Hampir tidak diragukan, pandangan seseorang tentang dunia dan kehidupan akan sangat mempengaruhinya dalam berolah pikir dan bertingkah laku. Dan etika, sebagaimana tersebut, lahir dari rahim tradisi Barat yang, paling tidak, berusaha memilah antara kehidupan dunia ini dengan kehidupan ‘yang lain’. Karenanya, orientasi etika pun, ketika kita perhatikan dalam perkembangannya, dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan minat dan selera manusia.

Artinya, apa yang dinamakan dan menjadi kriteria baik dan buruk, yang merupakan tema sentral etika, berubah-ubah dari masa ke masa, bahkan dari satu tempat ke tempat lain. Baik bisa berarti sesuai dengan kosmos/alam (kosmosentris), sesuai dengan kehendak Tuhan (teologis), sesuai dengan martabat manusia (antroposentris), dst. Atau dari sisi tempat; kecenderungan umum masyarakat Barat yang menganggap baik hal-hal yang bersifat individual berbeda dari kecenderungan masyarakat Timur, Jawa misalnya, yanglebih mengutamakan kebersamaan sebagai hal yangbaik dalam kehidupan.

Hal itu tidak sama dengan Islam yang seluruh ajarannya berlandaskan pada asas tauhid. Seluruh perilaku dan tindakan umat Islam dituntut untuk selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Sang Khaliq. Dan kehendak Sang Khaliq itu dalam Islam terejawantah dalam syari'at, yang kemudian dalam sejarah direduksi lagi menjadi produk hukum yang bernama fiqih.

Artinya, kriteria baik dan buruk dalam Islam tidak lain adalah kehendak Allah Swt., sesuai dengan hukumnya, yang kemudian direduksi lagi sesuai dengan hukum fiqih. As-Suyuthi dalam Lubb al-Ushul mengatakan, al-hasanu ma yumdahu ‘alaihi, wa al-qabihu ma yudzammu ‘alaihi, yang baik adalah apa yang terpuji, sedangkan yang buruk adalah apa yang dicela. Sedangkan apa yang dimaksud dengan yang terpuji itu, dalam keterangan selanjutnya, tidak lain adalah perkara-perkara wajib dan sunah, sedangkan yang tercela adalah perkara-perkara yang haram dan makruh. Adapun mubah berada di pertengahan antara baik dan buruk.

Dengan demikian dapat disingkap, kalau yang dimaksud dengan etika adalah pemikiran filosofis tentang baik da buruk, maka etika dalam Islam tentu adalah pemikiran yang dapat menghasilkan baik dan buruk dalam konteks Islam. dan kalau baik dan buruk itu wujud konkretnya adalah hukum (fiqih), maka etika adalah penghasil produk fiqih, yaitu ushul al-fiqh dan al-qawaid al-fiqhiyyah.

Menjalani hidup (moralitas) untuk selalu disesuaikan dengan hukum dalam fiqih dapat kita saksikan dalam kenyataan faktual sehari-hari kita. Tak ada masalah yang lepas dari problematika fiqih. Fiqih mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Hal itu malah didukung oleh fakta bahwa sampai sekarang sebagian besar masyarakat muslim masih selalu mencari pendasaran bagi perbuatan atau permasalahannya dalam fiqih. Namun saya hanya membatasi diri pada al-qawaid al-fiqhiyyah, di samping karena ia lebih relevan dengan teori-teori etika, juga lantaran pembahasan yang ada dalam ushul al fiqh lebih sering dan kerap kali disibukkan dengan masalah kebahasaan belaka.

Berbeda dengan ushul al-fiqh yang digunakan sebagai metode dalam merumuskan sebuah hukum fiqih, sehingga secara teoritis, bukan empiris, muncul lebih awal dari fiqih, al-qawaid al-fiqhiyyah muncul baru setelah produk hukum fiqih berlimpah ruah dalam masyarakat Islam. Bisa dikatakan, dari ushul fiqh lahir fiqih, dan baru dari fiqih lahir al-qawaid al-fiqhiyyah. Yang terakhir ini adalah sebuah refleksi tentang proses lahirnya berbagai macam produk fiqih. Meski demikian, dalam perjalanan selanjutnya, al-qawaid al-fiqhiyyah ini juga digunakan sebagai metode dalam perumusan sebuah hukum fiqih, sama dengan fungsi yang dimiliki ushul al-fiqh. Contoh dari dipergunakannya kaidah fiqih sebagai metode perumusan hukum ini dapat kita saksikan dalam bahtsul masail NU, suatu proses pencarian hukum bagi suatu kasus yang baru dalam lingkungan NU.

Kalau kita melihat kembali kaidah-kaidah yang ada dalam al-qawaid al-fiqhiyyah, maka akan kita saksikan kemiripan dengan apa yang ada dalam teori-teori etika pada umumnya. Kaidah pertama dari lima kaidah dasar dalam al-qawaid al-fiqhiyyah, yaitu al-umur bimaqashidiha, bahwa semua perbuatan tergantung pada maksud dan tujuannya, adalah mirip dengan teori kewajiban Immanuel Kant. Kant menyatakan, satu-satunya perbuatan yang baik pada dirinya sendiri adalah kehendak baik. Bahwa sebuah tindakan itu tidak dapat dipaksakan dari luar, akan tetapi harus dilakukan semata-mata karena pelaku menginginkannya, karena ia berniyat melakukannya, sehingga ia menjadi seorang yang otonom. Konsekuensinya, dia sendirilah yang mempertanggung-jawabkan perbuatannya kelak di hadapan Allah Swt., tidak oleh orang lain.

Memang dalam al-qawaid al-fiqhiyyah tidak terdapat maxim (universalisasi niyat/tindakan yang akan dilakukan) sebagaimana dalam teori Kant, akan tetapi kaidah ini juga tidak kalah menariknya dalam beretika. Semisal kaidah-kaidah turunan dari kaidah pertama ini, yang di antaranya adalah “niyat suatu tindakan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain”, dan “tempat niyat hanyalah di hati”, sehingga “jika terjadi perbedaan antara hati dan lisan, maka yang dihitung adalah apa yang ada dalam hati”. Memang di dalam kaidah ini, dan juga kaidah-kaidah yang lain, terdapat banyak pengecualian, yang merupakan ciri umum kaidah-kaidah fiqih. Akan tetapi, yang menarik adalah bahwa kaidah-kaidah ini menunjukkan kebebasan dan otonomi manusia sebagai pelaku tindakan, sama dengan konsep otonomi Kant dalam tradisi Barat. Hal yang hampir sama juga terdapat dalam kaidah yang kedua, al-yaqin la yuzalu bi al-syakk, sesuatu yang sudah pasti tak dapat dihilangkan oleh keraguan. Di antara kaidah turunannya berbunyi “asal mula segala sesuatu adalah ibahah, diperbolehkan, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

Kaidah dasar yang lain, al-‘adah muhakkamah, kebiasaan suatu masyarakat dapat dipergunakan sebagai sumber hukum, sangat mirip dengan etika situasi. Bahwa hukum yang berlaku pada suatu daerah, tidak harus berlaku juga pada daerah lain. Kebiasaan yang sudah berlangsung baik pada suatu komunitas tidak harus dibabat lantaran tidak sama dengan produk suatu hukum fiqih. Beberapa produk fikih yang lahir dari teori etika ini adalah lama dan cepatnya masa haidh, usia baligh, dsb. Kaidah lain yang juga hampir mirip adalah al-dharar yuzal, semua yang membahayakan harus dihilangkan, yang di antara kaidah turunannya adalah kaidah terkenal al-dharurah tubihu al-mahdhurat, dalam keadaan darurat kita dapat melakukan perbuatan yang sebelumnya dilarang.

Demikian juga etika utilitarianisme yang mau mengusahakan sebanyak mungkin kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang. Dalam kaidah fiqih, di luar lima kaidah dasar, kita akan menemukan kaidah al-muta’addy afdhalu min al-qashir, perbuatan baik yang berdampak pada lebih banyak orang itu lebih utama daripada yang hanya berdampak pada sedikit orang. Demikian juga, ketika suatu perbuatan mengakibatkan salah satu dari dua bahaya, maka harus diusahakan jangan sampai bahaya yang lebih besar terjadi. Dan masih banyak lagi kaidah-kaidah yang lain, seperti tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuth bi al-mashlahah, kebijakan pemerintah harus mengacu pada kemaslahatan publik. Al-rukhashu la tunathu bi al-ma’ashy, tujuan baik tidak dapat menggunakan cara yang buruk. Al-daf’u afdhalu min al-raf’i, mencegah lebih baik daripada mengobati / menghilangkan.

Kaidah-kaidah tersebut di atas, meski selanjutnya berusaha untuk dibatasi dan diberlakukan banyak pengecualian, tetap menunjukkan sisi keliberalannya. Apa yang lebih liberal dari kaidah ini al-ashlu fi al-asysyya al-ibahah, illa in dalla dalil ‘ala hurmatiha? Saya tidak yakin akan dapat muncul lagi kaidah-kaidah fiqih semacam itu pada masa sekarang. Berbeda dengan teori-teori etika dimana para penganutnya cenderung memegang erat salah teori dan melupakan teori-teori yang lain, dalam al-qawaid al-fiqhiyyah umat Islam tidak harus mempertentangkan, meski pertentangan kerap terjadi, antara satu kaidah dengan yang lain. Seolah tidak ada pertentangan, mereka bebas memilih kaidah mana yang akan dijadikan sebagai acuan dalam tindakannya.

Namun demikian, sebagaimana teori-teori etika, kaidah-kaidah tersebut juga tidak sepi dari kelemahan. Seperti kritik keadilan pada etika utilitarianisme. Apakah secara moral dapat dibenarkan mengusahakan kebaikan bagi banyak orang, tetapi dalam waktu yang bersamaan hak sebagian kecil orang menjadi terampas. Dan dalam etika situasi, apakah menjamin bahwa apa yang sudah menjadi kebiasaan itu adalah bermoral. Apakah merubahnya menjadi lebih baik tidak diperbolehkan?

Di samping kelemahan yang bersifat filosofis tersebut, kita harus ingat bahwa kaidah-kaidah fiqih ini dirumuskan beratus-ratus tahun sebelum masa kita sekarang. Sebagai produk pemikiran, ia tidak bisa lepas dari konteks yang melahirkannya, yang mungkin sekali berbeda dengan konteks masa kita sekarang. Artinya, kaidah-kaidah tersebut masih sangat mungkin, dan dalam hal tertentu mungkin malah wajib, untuk diperbarui demi terciptanya keadaan dan perilaku yang semakin bermoral. Pun tanpa memperbaruinya, dengan menerapkan kaidah-kaidah tersebut sebagai acuan perilaku kita dan metode pembentukan hukum baru, bagi kita yang terbiasa dengan lingkungan tradisional, sudah merupakan sebuah terobosan besar. Demikian itu karena kita sudah mulai berani untuk beralih dari pola bermadzhab qauly ke pola bermadzhab manhajy. Yaitu dari pola bermazhab yang hanya sekedar mengikuti apa yang dikatakan oleh para ulama abad pertengahan, beralih ke cara dan metode mereka dalam memproduksi hukum. Bukankah ini sebuah keberanian, meski pengakuan akan hal tersebut sudah dicanangkan kurang lebih tiga dasawarsa yang lalu dalam munas NU di Lampung, namun sampai sekarang belum banyak yang berani mencoba. Wallahu a'lamu bishshwab.