Tuesday, September 8, 2009

Membumikan Fikih yang Kontekstual

Menurut Budhy Munawar-Rachman, Islam adalah perpaduan antara agama Yahudi dan Kristen, perpaduan antara ajaran yang menekankan pelaksanaan aturan hukum yang kaku dan tegas di satu sisi dengan penekanan pada moralitas dan etika di sisi lain. Kalaupun hal tersebut benar, itu adalah kesimpulan yang kedaluwarsa, setidaknya bagi Islam yang berkembang di negara kita. Fenomena mutakhir menunjukkan bahwa Islam di Indonesia semakin mendekat ke sisi yang pertama dengan rigitnya aturan hukum, dan menjauh dari nilai dan moralitas yang mendasari hukum itu sendiri. Lihatlah misalnya aturan-aturan syariah yang telah dan akan segera diterapkan di banyak tempat sebagai perda syariah, yang hanya menekankan pada formalitas saja tanpa menghiraukan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya.

Kecenderungan untuk melaksanaan hukum syariah dalam kehidupan ini sebenarnya bukanlah monopoli kalangan Islam radikal atau Islam politik saja, akan tetapi dalam umat yang tergolong sebagai moderat pun, seperti NU misalnya, keinginan tersebut tidak pernah hilang. Bedanya, kalau Islam radikal dan politik menginginkan syariah diimplementasikan dalam bentuk hukum positif negara, sedangkan bagi yang moderat ini syariah cukup dijalankan sebagai pilihan bebas masing-masing individu.

Meski bersifat pilihan, tetapi keterikatan kelompok yang terakhir ini terhadap syariah masih tetap kuat. Hal itu dapat dilihat dari semua aspek kehidupan mereka yang selalu ingin dikaitkan dan mendapatkan pendasaran dari hukum syariah. Dan keterikatan inilah, ditambah anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, yang membuat kitab-kitab fikih menjadi laku keras. Kitab-kitab fikih yang sebagian besar ditulis pada abad pertengahan ini telah menjelma menjadi “kitab suci” baru yang mengalahkan dua sumber rujukan utama syariah, al-Qur’an dan al-Hadits. Mereka lebih nyaman untuk mendasarkan perilakunya pada aturan-aturan syariah yang termuat dalam kitab-kitab kuning karena lebih terperinci, daripada harus melakukan usaha (ijtihad) sendiri melalui dua sumber primer, al-Qur’an dan al-Hadits, yang memang memuat aturan-aturan yang lebih umum.

Karena merupakan produk masa lalu, maka banyak kemajuan dan perubahan masa sekarang yang tidak terantisipasi oleh literatur-literatur klasik ini. Banyak problem yang seharusnya segera dicarikan solusinya menjadi tidak dapat dipecahkan karena tidak ada referensinya dalam sumber klasik. Sehingga yang terjadi adalah kebingungan umat itu sendiri untuk menentukan gerak dan langkahnya dalam menyikapi perubahan. Karena masalah-masalah yang muncul dimasukkan dalam kategori mauquf, dihentikan sementara pembahasannya sampai ditemukan referensi yang sesuai. Padahal referensi itu tidak akan ditemukan dalam literatur klasik karena persoalannya memang baru.

Fikih sosial, sebuah jalan keluar
Dari bermacam masalah tersebut di atas, maka muncullah fikih sosial untuk mencairkan kebekuan fikih klasik. Di satu pihak, fikih sosial mengakui bahwa zaman terus berubah, karena itu permasalahan hukum juga pasti akan terus berkembang dan membutuhkan pemecahan yang baru pula. Di pihak lain, kodifikasi hukum fikih dan metodenya yang termuat dalam berbagai literatur kitab kuning adalah sarana terbaik untuk mengetahui hukum syariah, karena literatur-literatur itulah sarana penghubung bagi kita untuk mengetahui maksud dan kandungan dua sumber utama syariah. Dengan demikian, dapat dihindari sebuah rumusan hukum yang tidak berdasar lantaran telah melakukan lompatan sejarah dengan meninggalkan sarana untuk langsung sampai ke al-Qur’an dan al-Hadits. Dan lompatan inilah yang sering dilakukan kalangan modernis dengan klaim pembaruannya.

Buku ini adalah elaborasi yang dilakukan oleh pengarangnya, Jamal Ma’mur Asmani, terhadap pemikiran-pemikiran KH. Sahal Mahfudh dalam menyikapi tuntutan zaman berdasarkan penguasaanya terhadap fikih. Ditunjukkan bagaimana fikih yang merupakan produk abad pertengahan yang terkesan kaku dan kadang menakutkan itu di tangan kiai ini menjadi fikih yang elastis, progresif, berorientasi praksis, konsekwen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan tetap berpegang pada tradisi yang kuat.

Salah satu gagasan utama fikih sosial adalah menghadirkan fikih, yang merupakan kodifikasi syariah, bukan sebagai hukum positif negara, akan tetapi sebagai etika sosial. Perbedaannya jelas, yang pertama menginginkan campur tangan kekuasaan negara untuk menerapkannya sebagai hukum positif. Sedangkan yang kedua, sebagai etika sosial, campur tangan negara itu tidak diperlukan lagi. Ia lebih menekankan pada proses kebudayaan untuk memasukkan nilai-nilai syariah ke dalam tata kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan ketegangan. Memaksakan hukum-hukum fikih (syariah) sebagai hukum positif jelas berlebihan, di samping akan menghadapi banyak kendala. Indonesia bukanlah negara bagi agama tertentu, akan tetapi negara bagi penduduk dengan beragam kebudayaan dan kepercayaan. Dengan mentransformasikan fikih menjadi nilai-nilai budaya yang hidup, maka ajaran Islam akan tetap hidup dan berkembang di masyarakat tanpa mengganggu kesepakatan politik bangsa, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping itu, bagi kiai ini, substansi jauh lebih penting daripada wadah (form). (hal. xxvi)

Karena itu, fikih sosial memiliki ciri-ciri yang di antaranya adalah; pertama, interpretasi teks-teks fikih secara kontekstual, kedua, perubahan pola bermazhab dari qauly (tekstual) ke manhajy (metodologis), ketiga, verifikasi mendasar antara ajaran yang pokok (ashl) dan cabang (far’), keempat, menghadirkan fikih sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara, dan kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah sosial dan budaya. (hal. xiii)

Karena ciri-cirinya tersebut, fikih sosial tidak lagi hanya berkutat dengan masalah ibadah mahdhah dan hukum halal-haram saja, akan tetapi ikut menceburkan diri dalam masalah-masalah yang selama ini luput dari perhatian fikih klasik. Masalah kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, kemiskinan, lingkungan, dan berbagai problem kemanusiaan lainnya juga menjadi tema pembahasan dalam fikih ini. Tidak lagi dibedakan antara masalah “duniawi” dan “ukhrawi”, tetapi melihat keduanya sebagai problem yang harus dipecahkan dan menjadi tanggung jawab bersama, baik kalangan ulama maupun yang bukan ulama. (hal. 126)

Fikih Sosial tidak menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bermacam syarat berat yang dituntut dalam berijtihad sebenarnya dapat disiasati dengan ijtihad jama’i. Yaitu ijtihad kolektif yang tidak hanya mengikutsertakan kalangan ulama saja, akan tetapi juga mengajak para ilmuan dari berbagai macam bidang ilmu untuk ikut serta dalam merumuskan jawaban dari sebuah persoalan. Dengan demikian, ijtihad bukanlah monopoli kalangan ulama saja, akan tetapi menjadi hak dan kewajiban segenap umat. Dan itulah ijtihad yang paling ideal masa sekarang untuk merumuskan suatu produk hukum yang komprehensif. (hal. 268)

Satu hal yang menarik dari buku ini adalah uraiannya yang mengesankan tentang kiat dan metode belajar dalam pesantren tradisional. Mungkin metode yang dipaparkan di sini terasa janggal untuk masa sekarang, akan tetapi sejarah telah mencatat keberhasilannya dalam menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas. Justru sistem pendidikan pesantren masa kini yang harus segera benahi, karena tidak lagi memiliki arah lantaran kebingungan antara mempertahankan tradisi dan ilmu-ilmu keislaman di satu pihak, dengan tuntutan kemajuan dan modernitas di pihak lain. Kebingungan ini ternyata malah membuat para alumni pesantren menjadi manusia yang gagal; penguasaan ilmu keagamaannya tidak mendalam, sedangkan terhadap ilmu umum, mereka kalah jauh dari para lulusan sekolah umum. (hal. 192)

Meski begitu, beberapa kritik perlu diajukan juga terhadap buku ini. Di samping masih banyaknya kesalahan ketik yang dijumpai di dalamnya, buku ini juga terlalu banyak memuat tema pembahasan. Seakan ingin membahas sebanyak mungkin tema, buku ini menjadi kurang fokus terhadap suatu pembahasan. Beberapa tema sebenarnya masih membutuhkan pendalaman lebih lanjut, akan tetapi hanya dibahas secara umum, karena ingin cepat beralih ke tema pembahasan yang lain. Dan lantaran itu juga, beberapa tema tetap dimasukkan meski sebenarnya tidak terkait dengan ide dasar yang mau diusung. Lepas dari itu semua, gagasan-gagasan yang ada dalam buku ini tetap dan makin relevan dengan situasi sekarang, dimana formalisasi hukum agama sedang hangat diperbincangkan. Kiranya sumbangan terbesar buku ini adalah pemahamannya yang baru terhadap fikih. Fikih adalah produk hukum yang dihasilkan pada suatu masa. Karena itu, menganggap fikih sebagai hukum yang berkekuatan tetap dan abadi jelas tidak dibenarkan.

Tentang Buku

Judul Buku : Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh;
Antara Konsep dan Implementasi
Pengarang : Jamal Ma’mur Asmani
Penerbit : Khalista Surabaya
Cetakan : Pertama, Desember 2007
Tebal : xxxiii + 373 halaman



No comments: