Monday, March 16, 2009

Paradigma Fikih Sosial

Syariat Islam merupakan pengejawantahan dari Aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia.
Jaminan itu pada umumnya mengatur secara rinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari'at Islam yang dijabarkan secara rinci oleh para ulama dalam ajaran fiqh ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.


Syari'at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah yang dalam fiqh menjadi komponen ibadah, baik sosial maupun individual, muqayyadah (terikat oleh syarat dan rukun) maupun muthloqah (teknik operasionalnya tidak terikat oleh syarat dan rukun tertentu). la juga mengatur hubungan antara sesama manusia dalam bentuk mu'asyarah (pergaulan) maupun mu'amalah (hubungan transaksi untuk memenuhi kebutuhan hidup). Disamping itu ia juga mengatur hubungan dan tata cara keluarga, yang dirumuskan dalam komponen munakahat. Untuk menata pergaulan yang menjamin ketenteraman dan keadilan, ia juga punya aturan yang dijabarkan dalam komponen jinayah, jihad dan qadla.

Beberapa komponen fiqh di atas merupakan teknis operasional dari lima tujuan syari' at (maqasid al-syari' ah), yaitu memelihara -dalam arti luas-agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Komponen komponen itu secara bulat dan terpadu menata bidang-bidang pokok dari kehidupan manusia dalam rangka berikhtiar melaksanakan taklif untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (sa' adatud darain) sebagai tujuan hidupnya.

Unsur-unsur kesejahteraan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, bersifat saling mempengaruhi. Apabila hal itu dikaitkan dengan syari' at Islam yang dijabarkan dalam fiqh dengan bertitik tolak dari lima prinsip dalam maqasid al-syari' ah, maka akan jelas, syari' at Islam mempunyai sasaran yang mendasar yakni kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia, Berarti bahwa manusia merupakan sasaran sekaligus menempati posisi kunci dalam keberhasilan mencapai kesejahteraan yang dimaksud.

Apa yang dijelaskan di atas merupakan kerangka paradigmatik di atas mana fiqh sosial seharusnya dikembangkan. Dengan kata lain, fiqh sosial bertolak dari pandangan bahwa mengatasi masalah sosial yang kompleks dipandang sebagai perhatian utama syari' at Islam. Pemecahan problem sosial berarti merupakan upaya untuk memenuhi tanggung jawab kaum muslimin yang konsekuen atas kewajiban mewujudkan kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-masluzlih ai-' ammah). Dalam hal ini, kemaslahatan umum -kurang lebih adalah kebutuhan nyata masyarakat dalam suatu kawasan tertentu untuk menunjang kesejahteraan lahiriahnya. Baik kebutuhan itu berdimensi dlaruriyah atau kebutuhan dasar (basic need) yang menjadi sarana pokok untuk mencapai keselamatan agama, akal pikiran, jiwa, raga, nasab (keturunan) dan harta benda, maupun kebutuhan hajiah (sekunder) dan kebutuhan yang berdimensi takmiliyah atau pelengkap (suplementer).

Klasifikasi kebutuhan dasar manusia di atas memang berbeda dengan apa yang dirumuskan dalam ilmu ekonomi "sekular" yang memandang kebutuhan primer manusia semata-mata dilihat dari sudut kebutuhan biologis, sehinga kebutuhan terhadap agama tidak termasuk kebutuhan primer. Masuknya unsur agama menjadi salah satu kebutuhan dasar manusia mencerminkan bahwa dari mulai perumusan paradigmatik, fiqh harus menerima paket ilahiyah. Agama sebagai suatu kebutuhan harus diterima secara apa adanya. Dalam konteks ini fiqh memang bersifat paternaIistik, seolah-olah memandang manusia belum dewasa sepenuhnya sehingga harus dipaksakan untuk menerima agama sebagai kebutuhan, terlepas dari apakah manusia itu benar-benar merasa butuh atau tidak.

Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqh sosial di dasarkan atas keyakinan bahwa fiqh harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (tersier). Fiqh sosial bukan sekedar sebagai alat untuk melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam putih sebagaimana cara pandang fiqh yang lazim kita temukan, tetapi fiqh sosial juga menjadikan fiqn sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Seperti hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan RMI dan P3M, fiqh sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjoI: Pertama, Interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual; Kedua, Perubahan pola bermadzhab dari bermadzhab secara tekstual (madzhab qauli) ke bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji); Ketiga, Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan mana yang cabang ifuru'); Keempat, fiqh dihadir kan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara dan Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah budaya dan sosial.

Jika dicermati lebih jauh, kelima ciri di atas memang didasarkan alas keyakinan bahwa rumusan produk hukum yang tertuang dalam berbagai kitab fiqh banyak yang dapat diterapkan (applicable) untuk memecahkan masalah-masalah sosial kontemporer. Pengembangan fiqh sosial tidak serta merta menghilangkan peran khazanah klasik. Dengan dasar keyakinan ini, kreatifitas dalam pengembangan fiqh sosial diharapkan tidak tercerabut dari akar tradisi orthodoxy. Persoalannya sekarang bagaimanakah khazanah klasik itu disikapi. Untuk tujuan ini maka prinsip "almuhafadhatu 'alal qodim al salih wool akhdzu bil jadid alaslah" akan selalu menjadi panduan.

Kontekstualisasi Fiqh dalam Kitab Kuning

Ketertarikan untuk mengkaji kitab kuning tentu saja bukan karena warnanya yang kuning, akan tetapi karena kitab itu memiliki ciri-ciri yang melekat yang untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak ditemukan orang yang pandai berbahasa Arab namun masih kesulitan menjelaskan kandungan kitab kuning secara persis. Sebaliknya tidak sedikit ulama yang menguasai kitab kuning tetapi tidak bisa berbahasa Arab.

Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya ditulis dengan bahasa Arab bisa saja dijembatani dengan penterjemahan. Akan tetapi masih banyak kalangan umat Islam di Indonesia merasa keberatan dengan solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penterjemahan, bahasa Arab adalah bahasa kebudayaan dan keilmuan Islam. Dimana pun, kebudayaan dan keilmuan tidak pernah dapat dialih-bahasakan secara utuh. Maka muncullah metode utawi iki iku yang ternyata sangat efisien dan efektif untuk penguasaan semantik maupun gramatika bahasa Arab.

Penulis mengakui bahwa metode ini pada satu sisi memang telah berhasil dalam mengantarai dan menyelesaikan kesenjangan (gap) bahasa. Sebagaimana kita maklumi, bahasa Arab yang digunakan dalam kitab kuning, kebanyakan tidak menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya dan tanda baca lainnya. Subyek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu' taridlah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan kecermatan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya.

Akan tetapi pada sisi lain metoda utawi iki iku cenderung memancing para santri (pelajar) untuk memfokuskan diri pada aspek redaksional yang berujung pada terbentuknya pola pikir tekstual dalam memahami kitab kuning. Para santri yang belajar dengan metoda ini cenderung menarik problem nyata disekitarnya untuk disikapi sesuai dengan teks kitab kuning. Padahal, kesenjangan waktu antara penulisan kitab kuning dengan saat ini, sulit untuk bisa diharapkan bahwa setiap kasus dapat ditemukan rumusan persisnya dalam kitab kuning. Seringnya kegagalan merujukkan masalah dengan kitab kuning membuat pesntren memiliki tradisi aneh dalam menjawab permasalahan, yaitu dengan memberikan hukum mauquf. Secara jujur harus diakui bahwa tradisi ini mencerminkan ketidakmampuan mengambil keputusan final.

Seiring dengan perkembangan zaman, bukan mustahil kalau nanti akan terdapat banyak kasus hukum yang tidak bisa diselesaikan jika pemahaman terhadap kitab kuning masih tetap dalam pola-pola tekstual. Jika pola ini tidak segera diimbangi dengan rota-rota pemahaman kontekstual, maka bukan mustahil jika kitab kuning akan menjadi harta pusaka yang hanya bisa dimiliki tetapi tidak banyak memberikan manfaat bagi solusi permasalahan aktual. Akibat yang lebih tragis lagi adalah pemahaman tekstual ini bisa menyeret kaum muslimin memperlakukan fiqh sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak jarang, fiqh - dalam hal ini kitab kuning - dianggap sebagai kitab suci kedua setelah al-Qur' an. Karena itu, penulis menyambut baik gagasan teman-teman yang tergabung dalam Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rabi thah Ma' ahid I slamiyah (RMI) untuk memberi input kepada masyarakat Muslim, khususnya masyarakat pesantren, agar memahami kitab kuning secara kontekstual dan mengurangi interpretasi tekstual yang selama ini cenderung berlebihan.

Gagasan tersebut tidak terlalu berlebihan, mengingat bahwa pemahaman kontekstual bukan berarti meninggaIkan dan menanggaIkan fiqh secara mutlak. Justru dengan pemahaman tersebut, segala aspek perilaku kehidupan akan dapat terjiwai oleh fiqh secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqh itu sendiri. Atau minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri yang belakangan ini mulai enggan menguaknya, akan tetapi oleh siapa saja yang berniat mengkaji referensi pemikiran Islam.

Dalam beberapa kesempatan, penulis sering melontarkan kritik kepada para santri agar mereka terbangun dari sikap apologis yang sangat berdampak pada stagnasi ilmiyah. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, dibalik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun dengan statemen ini bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan kesalahan ilmiyah yang mendasar. Meninggalkan kitab kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiyah yang telah dibangun berabad-abad. Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini -jika tuduhan ini benar- ia tetap merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning bererti menutup jalur yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lain. Penciptaan tradisi keilmuan baru bagaimanapun membutuhkan jalan yang sangat panjang, dan tidak seorang pakar pun mampu memberikan jaminan bahwa tradisi barn itu akan sama efisiennya dengan tradisi keilmuan yang dibangun melalui kitab kuning.

Dengan pernyataan di atas, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada pensikapan kita daIam memposisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam fungsi ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat "menghakimi" segala permasalahan secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah "disejajarkan" dengan al-Qur' an dan al-Hadits.

Sebagaimana dikatakan di atas, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiyah. Namun demikian ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat, karena sesunggguhnya setiap masalah tidak pernah muncul secara mandiri. Setiap masalah selalu memiliki konteksnya sendiri, yang biasanya justeru jauh lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.

Ini bukan berarti metode pendidikan kitab kuning harus ditinggalkan. Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu (eksak maupun sosial) di luar apa yang selama ini dianggap sebagai "ilmu agama". Hal ini perlu dilakukan agar pemahaman terhadap kitab kuning benar-benar sesuai dengan konteksnya, baik konteks masa lalu saat kitab kuning itu di tulis maupun konteks permasalahan sekarang. Pengintegrasian kitab kuning dengan berbagai referensi dan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justeru akan menciptakan suatu sinergi ilmiyah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer tetapi tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu.

Ilustrasi berikut ini mungkin dapat dijadikan contoh bahwa pemahaman kitab kuning dengan panduan ilmu gizi akan sangat bermakna dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam berbagai kitab fiqh klasik banyak dijumpai pemyataan yang menjelaskan bahwa manusia dalam hidupnya memerlukan makanan pokok yang disebut dengan istilah al-qut almughdzi. Al-mughdzi adalah makanan yang mengandung gizi. Bahkan mungkin sekali kata "gizi" itu sendiri berasal dari kata "ghidza". Dengan bantuan ilmu tentang kesehatan atau lebih khusus lagi ilmu gizi, istilah di atas akan lebih dapat dipahami secara tepat dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan.

Selain melalui kontekstualisasi kitab kuning pengembangan secara qauli bisa dilakukan dengan cara memperluas penggunaan kaidah-kaidah fiqhiyah maupun kaidah UshuIiyah untuk digunakan bukan hanya pada persoalan fiqh individual yang menyangkut halal haram, tetapi juga untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kebijakan publik, baik menyangkut kebijakan politik, ekonomi kesehatan dan lain-lain. Misalnya, Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Asybah wan Nadha'ir menyebutkan qaidah fiqhiyah al-daf'u aula min al-rof'i. Dalam Kitab AIashbah wa al-Nadha'ir, al-Suyuthi memberikan contoh aplikasi kaidah ini berkaitan dengan penggunaan air musta'mal. Kaidah ini sebenarnya bisa juga diterapkan pada aspek kesehatan. Melalui kaidah ini dapat difahami bahwa menolak penyakit dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat itu lebih utama, lebih ampuh dan lebih mudah daripada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel pada badan manusia. Dalam konteks kesehatan ibu dan anak misalnya, imunisasi dan pemberian asi serta makanan bergizi harus mendapatkan perhatian utama dalam upaya menciptakan generasi yang sehat. Dengan demikian, melalui pemahaman kaidah di atas, perintah untuk membangun generasi yang sehat merupakan perintah agama.

Contoh lain, misalnya kaidah idza ta'aradla mafsadatani ru'iya a'dzhomuhuma dlararan bi irtikabi akhaffihima. Dalam konteks Fiqh Sosial, kaidah ini bisa diaplikasikan untuk, misalnya, melihat fenomena lokalisasi Wanita Pekerja Seks. Prostitusi jelas merupakan sesuatu yang dilarang agama. Akan tetapi, sebagai persoalan sosial yang sangat kompleks, prostitusi bukanlah persoalan yang mudah untuk dihilangkan. Dalam kondisi semacam itu kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mafsadat, yaitu membiarkan prostitusi tidak terkontrol di tengah masyarakat atau melokalisir sehingga prostitusi bisa terkontrol. Pilihan terhadap kebijakan lokalisasi prostitusi merupakan pilihan yang didasarkan atas prinsip memilih perbuatan yang dampak buruknya lebih ringan. Dengan demikian, tinjauan Fiqh Sosial membenarkan tindakan lokalisasi terhadap para Wanita Pekerja Seks Komersial.

Sunday, March 15, 2009

Kisah Para Rasul 14 : 8-18

Belajar Menafsirkan Perjanjian Baru


Berikut adalah contoh menafsirkan kitab PB (Kisah Para Rasul 14 : 8-18) secara standar yang coba saya lakukan. Saya katakan standar karena penafsirannya yang tidak "macam-macam" dan masih sesuai dengan salah satu prosedur penafsiran umum yag berlaku di lingkungan saudara-saudara Kristiani, khususnya Katolik. Karena standar, mungkin penafsiran berikut masih terkesan kaku. Tapi jangan salah, meski terkesan kaku, penafsiran ini tetap menggunakan metode-metode penafsiran yang terdapat dalam hermeneutika mutakhir. Penafsiran seperti ini lazim disebut dengan Penelitian Literal Dasar.

Kata, gambaran, dan lambang yang memerlukan penjelasan.

Listra adalah daerah di antara Ikonium dan Derbe, yang waktu itu menjadi wilayah koloni Roma. Melihatnya beriman dan dapat disembuhkan berarti orang yang lumpuh tersebut beriman berkat ceramah Paulus, dan dapat disembuhkan dengan kuasa Allah melalui Paulus. Dengan suara nyaring berarti suara yang dikeluarkan Paulus untuk melakukan mujizat adalah dengan tuntunan Ruh Kudus. Berjalan ke sana ke mari menunjukkan orang itu tidak pergi ke kuil setempat sebagai ungkapan syukur atas kesembuhannya, karena kuil-kuil di sana diperuntukkan bagi Zeus, sedangkan para rasul bukan bagian dari hal tersebut. Bahasa Likaonia kemungkinan adalah bahasa daerah setempat. Zeus adalah nama kepala dewa Yunani (Yupiter). Sedangkan Hermes juga nama dewa Yunani (Mercury). Keduanya digunakan untuk menamai dewa-dewa setempat yang telah mengalami helenisasi. Barnabas dan Paulus mengoyak pakaian mereka menandakan mereka mengalami suatu bahaya atau kengerian. Manusia biasa berarti kedua rasul juga sama seperti manusia-manusia yang lain, yang bisa mati, hanya sebagai pemberita Injil, supaya mereka berbalik kepada Allah yang hidup.

Tokoh-tokoh dan hubungan antar mereka.

Tokoh-tokoh yang terdapat dalam kisah adalah orang Listra yang lumpuh, Paulus, Barnabas, penduduk setempat, dan imam dewa Zeus. Hubungan itu adalah adanya orang Listra yang sakit, dan dia disembuhkan Paulus, orang-orang melihat kedua rasul sebagai dewa-dewa mereka karena tindakan penyembuhant tersebut, para rasul melarang pemujaan bagi dirinya, tetapi omongan para rasul ini tidak digubris oleh orang-orang tersebut. Jadi, tokoh sentral dalam kisah ini adalah dua rasul, Paulus dan Barnabas. Keduanya menghubungkan isi seluruh cerita dari awal sampai akhir.

Perkembangan gagasan.

Sebagaiman dijelaskan di atas, rasul Paulus berceramah kepada orang-orang di Listra. Ia melihat ada seorang yang lumpuh sejak lahir, dilihatnya beriman, dan dapat disembuhkan. Paulus melakukan mujizat penyembuhan terhadap orang tersebut. Setelah orang tersebut sembuh, masyarakat setempat yang mengetahuinya menyebut kedua rasul sebagai dewa-dewa yang turun ke bumi. Dan seorang imam dari kuil setempat juga ikut-ikutan mempersembahkan korban untuk kedua rasul. Keduanya melarang tindakan korban itu, dan mengajari mereka tentang Tuhan dan maksud keduanya datang ke sana. Keduanya meminta orang-orang tersebut untuk berbalik kepada Allah yang hidup dan telah menjadikan langit dan bumi serta isinya. Allah yang telah meninggalkan banyak tanda-tanda kepada setiap bangsa. Tetapi ternyata ceramah dan ajakan kedua rasul tidak diindahkan oleh penduduk Listra.

Bentuk sastra yang digunakan teks.

Bentuk sastra yang digunakan di sini bukanlah puisi atau pepatah. Tetapi jenis sastra itu adalah narasi yang berbentuk kisah penyembuhan. Yaitu cerita tentang seseorang atau lebih yang memiliki kuasa untuk memulihkan kesehatan orang yang sakit. Dalam penyembuhan ini digunakan cara yang melampaui cara yang biasa digunakan pada umumnya. Bentuk kisah semacam ini banyak terdapat dalam Kitab Suci, baik yang menceritakan tindakan Yesus sendiri ataupun para rasul. Dikisahkan bahwa Paulus hanya berkata kepada orang yang lumpuh tersebut dengan suara nyaring, “Berdirilah tegak di atas kakimu!”. Ajaibnya, orang tersebut langsung sembuh seketika.

Namun jika dilihat pada tengah sampai akhir cerita, terdapat juga jenis sastra lain yang berbentuk sabda. Sabda ini adalah ajakan para rasul kepada masyarakat di sana untuk tidak memperlakukan mereka sebagai para dewa. Melainkan mereka berdua hanya manusia biasa yang memberitakan Injil dan mengajak mereka untuk berbalik kepada Allah yang telah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya. Sabda ini ditempatkan di antara kisah penyembuhan dan perlakuan masyarakat yang tidak benar yang terletak di depan, serta keengganan mereka untuk mengikuti rasul yang terdapat di akhir cerita.

Sumbangan bentuk sastra pada pengungkapan isi.

Sudah jelas bahwa cerita lebih memikat manusia daripada bentuk apapun. Dengan cerita ini terungkap detail-detail menarik, yang dikisahkan dengan bergairah dan menegangkan sampai selesai, yang tidak terdapat pada cara yang lain. Dengan model cerita, pendengar menjadi ikut terlibat. Cara ini lazim digunakan dalam Kitab Suci. Dengan cerita ini ingin disampaikan bagaimana rasul Paulus, dengan kuasa Allah, mampu menyembuhkan orang yang lumpuh sejak kecil. Karena itu, pendengar akan merasa tergugah dan takjub dengan mendengarnya, sehingga keimanan akan kebesaran dan kuasa Allah menjadi semakin besar.

Adapun sabda berfungsi untuk mengajarkan secara langsung isi dan pesan yang mau disampaikan. Sabda ini adalah bentuk reaksi atas kesalahan yang telah dilakukan masyarakat tersebut dalam mempersepsi para rasul. Dengan sabda ini mau diluruskan apa yang tidak benar, serta menunjukkan bagaimana yang seharusnya dilakukan. Dengan sabda ini para rasul ingin memperbaiki keadaan secara langsung, meski dalam kisah ini ajakan tersebut tidak berhasil.

Pustaka

Fitzmyer, Joseph A., The Acts of the Apostles, A New Translation with Introduction and Commentary, New York: The Anchor Bible.
Haenchen, Ernst, The Acts of the Apostles, A Commentary, Oxford Basil Blackwell.
Harun, Martin, Pengantar Kepada Perjanjian Baru, 2007, Jakarta: STF Driyarkara.
Wall, Robert W. (ed), The New Interpretor’s Bible, A Commentary in Twelve Volumes, Nashville: Abingdon Press.