Thursday, December 23, 2010

Guru Lokal Berkualitas Global

In Memoriam KH Faruq Barlian

“Gak ada yg tau, kapan kita kembali kepada-Nya. Selamat jalan Pak, sampai ketemu lagi di ‘sana’.” [Gus Wasi’ Hilmy]

Lima tahun belajar di Mathali’ul Falah, aku hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Bahkan sampai sekarang pun, enam tahun setelah lulus, masih juga demikian. Aku sangat iri dengan teman-teman dari ndalem dan pengurus PMH Putra yang dengan ‘tanpa sungkan’ bisa bercengkerama dengan beliau. Atau dengan kawan-kawan dari pengurus harian HSM yang terbiasa berbincang dengan beliau. Sebagai siswa dan santri biasa, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk berbuat seperti mereka. Bahkan beliau mungkin tidak mengenaliku. Dan karena dari kejauhan itulah coretanku ini mungkin banyak yang kurang tepat. Semoga teman-teman yang dekat dengan beliau berkenan membetulkannya.

Bertubuh kurus kering, dengan kaca mata kecil namun tebal, aku melihatnya sebagai sosok yang dingin dan pendiam. Kata pendiam mungkin kurang tepat, karena bagaimana aku yang jauh darinya bisa tahu kalau beliau adalah seorang pendiam. Penggambaranku itu mungkin lebih karena aku sendiri yang pendiam dan tidak pernah bertegur sapa dengan beliau.

Tapi di balik kedinginan dan kediamannya itu, ada sebuah kekaguman yang membuatku selalu memperhatikannya. Sekali lagi memperhatikannya dari kejauhan yang disertai dengan perasaan kagum dan bangga. Aku melihatnya sebagai sosok yang unik. Unik karena beliau memiliki kemampuan dan kapasitas lebih dari kebanyakan santri-santri di pesantren tradisional. Kemampuan lebih dengan latar belakang yang ‘hanya’ dari pesantren membuatnya tidak hanya unik, tapi sekaligus hebat. Hal ini mengingatkanku pada dua tokoh yang juga menjadi idola beliau: Gus Dur dan Kiai Sahal. Tentu njomplang membandingkan beliau dengan kedua tokoh tersebut. Namun menurutku, beliau adalah bentuk lain dengan ukuran yang lebih kecil dari seorang Gus Dur atau Kiai Sahal.

Namanya Faruq Barlian. Kami biasa memanggilnya Pak Faruq. Sebuah nama yang menurutku aneh dan lagi-lagi juga unik. Aneh karena nama Barlian terdengar asing di telinga santri. Unik karena nama itu mirip dengan kata berlian. Bahkan awalnya aku mengira nama beliau adalah Faruq Berlian. Usianya belum ada empat puluh tahun.

Semula aku hanya mendengar dari teman-teman bahwa beliau mengajar Administrasi di kelas Tsanawiyah. Aku heran, bagaimana bisa seorang lulusan pesantren yang tidak pernah kuliah bisa mengajar administrasi, sebuah pelajaran umum yang tidak intens dipelajari di pesantren. Apalagi, kata teman-temanku tadi, dalam mengajar beliau sangat mahir dan menguasai. Beberapa kali aku juga menghadiri seminar dimana beliau tampil sebagai pemateri atau pemberi sambutan. Dari situ aku tahu bahwa orang ini beda dari yang lain. Penyampaiannya runtut dan kalimatnya datar tapi mengena. Lebih dari itu, selalu ada yang baru dari yang disampaikannya. Aku menemukan seorang guru muda yang ‘berisi’, cemerlang, dan potensial. Aku hanya berharap suatu saat aku bisa diajar oleh beliau.

Kesempatan itu datang di kelas tiga Aliyah. Ada sebuah mata pelajaran baru, yang sebelumnya belum pernah diajarkan di sekolahku, yaitu pelajaran Sosiologi. Bagi orang luar mungkin terdengar aneh: sebuah sekolah tingkat aliyah tapi baru memasukkan pelajaran Sosiologi di dalam kurikulumnya di tahun 2004, dan itu pun hanya ada di kelas tiga. Harus dipahami bahwa sekolah kami adalah sekolah keagamaan berbasis pesantren, yang mata pelajaran umumnya hanya sebagai ‘pelengkap’. Katanya, 75% pelajaran di sekolah kami adalah agama, sisanya pelajaran umum. Tapi kata Kiai Nur Hadi – Allahu yarÄ¥amhu – semua ilmu adalah kepunyaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Karena itu tidak perlu lagi ada dikotomi antara pelajaran agama dan umum. Dan karena semuanya adalah ilmu Allah, maka semuanya adalah pelajaran agama.

Dan yang diberi tugas oleh sekolah untuk mengajarkan pelajaran baru itu kepada kami adalah Pak Faruq. Dengar-dengar, yang pertama kali diserahi tugas untuk mengajar mata pelajaran ini adalah Kiai Mu’adz Thohir, seorang kiai pesantren yang menguasai ilmu-ilmu umum, tapi menolak dan menyerahkannya kepada beliau. Aku berfikir, pasti kualitas orang ini tidak sembarangan, sehingga jatah yang seharusnya untuk Kiai Mu’adz diberikan kepadanya.

Pertama kali mengikuti pelajaran Sosiologi membuatku langsung kecanthol dengan beliau. Kekagumanku kepadanya selama ini seakan mendapatkan daya penguat baru. Seakan meniru kiai-kiai sepuh yang mucal kami, dalam mengajar beliau tidak membawa buku pegangan. Materi diterangkan dengan lancar seakan-akan beliau sudah hafal dan telah menguasainya di luar kepala. Memang materi yang beliau sampaikan tiap pertemuan tidak banyak, dan pasti sudah beliau pelajari pada malam harinya. Tapi penjelasan beliau yang runtut dan mudah dipahami oleh para murid, dengan diselingi contoh-contoh konkret di sekitar, membuat pelajaran semakin hidup dan tidak membosankan. Penjelasannya juga diperkaya dengan ilmu dan pengetahuan yang lain, yang menunjukkan kekayaan bacaan dan luasnya pengetahuan beliau.

Pelajaran Sosiologi yang hanya satu jam pelajaran (kurang lebih 45 menit) tiap minggunya adalah salah satu pelajaran yang aku tunggu-tunggu. Buku pegangannya – tentu pegangan buat kami, karena beliau tidak pernah membawa buku – adalah foto copy-an diktat Sosiologi untuk kelas dua SMA cetakan Airlangga. Seperti kebanyakan buku dan kitab pelajaran yang lain, sampai lulus kita tidak pernah mengkhatamkan buku pelajaran yang sebenarnya ‘hanya’ sebuah pengantar ini. Bagi sebagian kami, ketidak-khataman ini tidak terlalu penting. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu: berkah. Ya, kami menyebutnya berkah, sebuah daya dan kekuatan spiritual yang memudahkan kami untuk mampu mengamalkan ilmu yang telah kami peroleh untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kelanjutan pelajaran itu gampang karena dapat dibaca sendiri kapan saja kita mau, tetapi berkah tidak bisa diperoleh di sembarang tempat. Dan di sekolah kami inilah kami percaya berkah itu ada.

Bagiku, mengikuti pelajaran Sosiologinya Pak Faruq adalah sebuah ironi. Banyak orang mengatakan bahwa untuk sukses dalam sebuah pelajaran, kita harus menyukai guru beserta mata pelajarannya. Tapi itu tidak terjadi padaku. Guru Sosiologi yang aku kagumi, pelajaran Sosiologi yang aku sukai, dan penjelasannya yang aku sambut dengan antusias, ternyata tidak membuat nilaiku menjadi baik. Berturut-turut dari cawu satu sampai tiga, aku mendapat nilai Sosiologi di raportku adalah 6, 5, dan 7. Tapi setidaknya aku masih bisa berbesar hati, mengharap semoga berkah itu telah dan terus aku dapatkan.

Teror

Mengaguminya dari kejauahan ternyata membuat teror tersendiri bagiku. Kecermelangan otak dan luasnya pengetahuan beliau membuatku selalu merasa inferior. Tatapan matanya ketika bersimpangan, yang entah beliau mengenalku atau tidak, seolah meneror dan mengajakku agar memiliki kemampuan yang sama dengan beliau. Aku yang tidak pandai berorganisasi, seolah melihat sosok ideal pada dirinya yang pintar berorganisasi. Aku yang tidak pandai berbahasa Inggris melihat diriku kontras dengan sosoknya yang mahir berbahasa asing. Aku yang minim akan pengetahuan umum mendapatkannya sebagai guru yang fasih dengan pengetahuan kekinian. Aku yang tidak pandai berinteraksi sosial dengan malu hanya dapat mendengarkannya di dalam kelas menjelaskan aksi-rekasi-interaksi, sebuah bab di buku Sosiologi.

Sebagai orang pesantren, beliau memang seorang santri yang ideal. Tidak pernah belajar di universitas, tapi pengetahuan beliau tidak kalah dari mereka yang bergelar sarjana dan doktor. Pelajaran-pelajaran umum beliau ampu dengan baik dan memikat. Sebagai pembina HSM, bersama dengan Kiai Mu’adz, kemampuannya berorganisasi tidak ada yang meragukan. Jabatannya sebagai pembantu pengasuh di PMH Putra menunjukkan kualitasnya. Tidak sembarang orang bisa menjadi wakil Kiai Sahal dalam mengasuh dan mengelola pesantrennya. Meski saya belum pernah menemukan tulisan beliau di media massa, tapi beberapa tulisannya yang ada di majalah sekolah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang penulis yang handal. Kata beberapa teman yang pernah sowan ke rumahnya, beliau memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi bermacam buku, mulai dari agama, filsafat, politik, ekonomi, sastra, komik, dll.

Adapun untuk pengetahuan agama, jangan kau tanyakan lagi. Tidak sembarang orang bisa mengajar di sekolah kami Mathali’ul Falah. Beliau juga mengajar posonan di pesantrennya Kiai Sahal. Rasanya tidak mungkin beliau diserahi tugas mengajar di sebuah pesantren ternama yang pesertanya adalah para santri dari berbagai pesantren lain kalau beliau sendiri tidak alim. Beberapa waktu lalu aku mendengar kabar kalau beliau berangkat ke Jerman bersama beberapa intelektual Indonesia untuk menjelaskan model keislaman a la Indonesia. Belakangan kabar yang aku dengar beliau aktif di Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA).

Pribadinya memang sederhana. Aku melihat baju dan celana yang beliau pakai dari dulu itu-itu juga. Dengan selalu memakai sandal (katanya beliau tidak suka memakai sepatu), beliau selalu setia dengan sepeda onthelnya yang digunakan setiap harinya, meskipun banyak muridnya yang naik motor. Yang cukup menarik bagiku adalah beliau selalu turun dari sepedanya setiap kali sampai di depan makam Mbah Mutamakkin. Sebuah ke-tawadhu’-an dari seorang santri, yang meskipun sudah berada di era dan berpikir modern, tetapi tidak lupa akan asal-usul dan latar bekakangnya.

Sebagai Muslim, beliau adalah seorang Muslim yang progresif. Beliau tetap memegang teguh ajaran Islam, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam, seraya tetap terbuka dengan ilmu-ilmu kekinian. Keterangan dan penjelasannya di dalam kelas menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang berpikiran terbuka. Tentu banyak alumni pesantren yang berpengetahuan dan berpikiran seperti itu. Tapi yang membedakannya dari yang lain adalah beliau mendapatkan itu semua dari pesantren dan belajar sendiri secara otodidak, sebagaimana kiai beliau KH Sahal Mahfudz. Tentang ini, mungkin beliau mirip dengan alumni PIM yang terkenal itu, Ulil Abshar Abdalla. Bedanya kalau Ulil berkiprah di lingkup nasional, beliau mencukupkan diri untuk berkiprah di lingkup lokal.

Tapi ternyata Tuhan mengambil mutiara yang masih muda ini lebih awal. Tadi malam, dalam sebuah kecelakaan, tepat di hari ibu 22 Desember 2010, beliau berpulang kepada-Nya. Kini kita telah kehilangan seorang pribadi hebat dan potensial. Seorang dengan kapasitas intelektual yang mumpuni dan kecerdasan yang tinggi, tapi sederhana dan rendah hati. Seorang guru yang berkualitas global yang mengabdi di tingkat lokal. Seorang idola yang sampai saat terakhir menghembuskan nafasnya hanya dapat aku pandangi dari kejauhan. Benar-benar dari kejauhan.

Kini, secara fisik, teror itu sudah tidak ada lagi. Tapi semoga teror itu masih terus ada di dalam hati dan pikiran untuk mencambukku, dan juga kita semua, agar dapat mengikuti jejak dan langkah beliau. Selamat jalan guruku, KH Faruq Barlian, sampai ketemu nanti di ‘sana’. Semoga semua amal ibadah Bapak diterima oleh-Nya, dan kekhilafan-kekhilafan Bapak diampuni-Nya. Semoga Bapak mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya. Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga mendapatkan ketabahan, kesabaran, dan kemudahan dari-Nya. Dan semoga segera muncul Faruq Barlian-Faruq Barlian baru yang lain di pesantren kami. Amiiin.

Lahu al-Fatihah . . . . . . .

Thursday, November 11, 2010

Sri Mulyani dan Kerudung Nusantara

Pernahkah Anda melihat Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI yang sekarang menjabat sebagai managing director Bank Dunia, memakai kerudung atau jilbab? Orang luar yang mengetahuinya hanya dari berita media massa, sulit rasanya untuk mengatakan pernah. Ini karena dalam aktivitas keseharian Mbak Ani, begitu dia sering disapa, pakaian yang biasa ia kenakan adalah blazer tanpa kerudung. Mungkin hanya dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja Mbak Ani terekspos media dengan berkerudung, semisal dalam acara ta’ziyah ibundanya yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang atau memperingati hari-hari besar keagamaan di Istana. Selain acara semacam itu tidak sering terjadi, Mbak Ani juga tidak mendapat sorotan yang berlebihan dalam acara-acara tersebut.

Kerudung Mbak Ani

Tapi ada pemandangan unik ketika kita masuk ke sebuah grup di Facebook yang berjudul “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati!” atau KPI-SMI. Di sana kita akan menemukan Mbak Ani memakai kebaya panjang batik lengkap dengan kerudungnya yang panjang tergerai. KPI-SMI adalah grup yang dibuat oleh beberapa sahabat beliau yang didedikasikan untuknya sebagai dukungan ketika kasus skandal Bank Century ramai dibicarakan. Grup itu saat ini beranggotakan sekitar 130 ribuan member dan masih cukup ramai sampai sekarang.

Pertanyaannya, kenapa foto profil yang dipasang adalah foto Mbak Ani yang berkerudung, foto dengan latar yang jarang dia perankan, bukan foto dengan stelan jas dan rambut sebahu dan terbuka sebagaimana biasa kita saksikan? Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya pencitraan terhadap figur beliau. Kita tahu, munculnya grup dimana foto itu berada adalah ketika kasus Century sedang panas. Waktu itu Mbak Ani diserang dari mana-mana. Tidak hanya tokoh-tokoh partai politik yang menjadikannya sebagai sasaran tembak, tetapi hampir semua media massa dan tokoh-tokoh nasional juga menjadikannya target yang harus dibidik.

Nah dalam situasi semacam itulah penggagas KPI-SMI mungkin ingin membantunya melalui sebuah gerakan yang berada di luar institusi yang sudah ada untuk mendukung dan membela kebijakan-kebijakannya yang mereka anggap sudah benar dan tepat. Selain menampilkan teori dan analisa yang njelimet yang ada di wall dan forum diskusi grup, dukungan itu antara lain berupa pemasangan foto Mbak Ani yang berkerudung itu tadi. Foto itu ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Mbak Ani bukanlah seorang yang jauh dari agama, meskipun bidang yang ia geluti tidak berhubungan secara langsung dengan “masalah-masalah keagamaan”. Foto itu mau menegaskan bahwa Mbak Ani adalah orang yang sangat religius. Relevansinya dengan kasus Century adalah bahwa Mbak Ani juga seorang yang bermoral dan patuh hukum, karena itu mereka yang mengatakan bahwa Mbak Ani telah melakukan kebijakan yang tidak benar untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu sehingga merugikan negara adalah salah besar.

Namun pencitraan semacam ini bukanlah monopoli pendukungnya Mbak Ani untuk memoles pujaannya. Hampir semua orang juga melakukan hal yang sama. Lihatlah kartu suara pada pilpres 2004 dan 2009. Di situ terpampang foto Megawati yang mengenakan kerudung bersandingan dengan KH. Hasyim Muzadi dan Prabowo Subianto. Padahal kita semua tahu, dalam kesehariannya Bu Mega tidak memakai kerudung. Demikian juga dengan para caleg, cagub, cabup, dll dalam setiap pemilu dan pilkada. Mereka yang biasanya tidak memakai kerudung atau jilbab tiba-tiba merubah penampilannya dengan mengenakan “busana Muslimah” ini.

Apakah pencitraan semacam itu dibenarkan? Kalau titik tolaknya adalah dalil-dalil agama, mungkin hal itu tidak layak dilakukan. Karena dalam agama, segala sesuatu yang dilakukan harus diniyati ikhlas karena Allah, bukan karena selain-Nya. Jadi tidak dibenarkan kita melakukan sesuatu agar masyarakat mengira kita adalah orang baik. Tetapi toh nyatanya kita hidup di sebuah zaman dimana pencitraan memiliki peran yang sangat menentukan untuk sebuah kesuksesan. Hal ini juga diperparah oleh sikap sebagian masyarakat yang dengan mudah menerima polesan citra itu tanpa merenungkan apalagi menggugatnya.

Sejarah Kerudung

Namun demikian, apakah berkerudung atau berjilbab merupakan sebuah kewajiban keagamaan? Apakah tidak berkerudung bagi seorang Muslimah adalah sebuah perbuatan dosa?

Hukum agama (fiqh) atau syari’ah adalah hasil sebuah ijtihad para ulama. Ia bukan semacam KUHP yang sudah jadi dan diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sehingga kita tinggal menjalankannya. Faktanya adalah perintah dan larangan yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits biasanya masih dalam bentuk umum, atau kalau dalam bentuk khusus biasanya terjadi dalam konteks-konteks tertentu. Kita yang awam akan hukum agama tidak bisa serta merta menjalankannya tanpa mengetahui apa maksud dan kandunganya.

Dan proses untuk mengetahui maksud serta kandungan dari firman Allah dan sabda Nabi itu dinamakan ijtihad. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki kedalaman ilmu agama dan konsen terhadap masalah-masalah keagamaan saja. Karena itu, syari’ah yang kita lakukan mulai dari shalat, zakat, puasa, dll beserta dengan detail-detailnya adalah produk ijtihad dari para ulama. Biasanya kita hanya berperan sebagai konsumen hasil ijtihad mereka. Bahkan mereka yang mengklaim sebagai kelompok Islam modernis pun sebenarnya juga menjalankan apa yang difatwakan oleh tokoh dan ulama panutan mereka.

Karena perbedaan latar belakang pendidikan, sosial-politik, dan minat dari dari masing-masing ulama, maka hasil ijtihad yang mereka lakukan juga bisa berbeda satu sama lain. Demikian juga tentang masalah jilbab/kerudung. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa berjilbab adalah kewajiban syari’ah, sedangkan yang lainnya mengatakan itu hanya sebuah budaya saja.

Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab adalah wajib mendasarkannya pada ayat dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Ahzab ayat 59 dan QS. an-Nur ayat 31. Bagi mereka, kedua ayat tersebut memerintahkan para Muslimah untuk menutup kepalanya dengan jilbab/hijab. Sedangkan bagi mereka yang mengatakan tidak wajib, kedua ayat tersebut hanya menyuruh kaum Muslimah untuk mengenakan pakaian yang pantas dan bermoral saja.

Lepas dari perdebatan fiqih tersebut, jilbab atau penutup kepala sebenarnya bukanlah monopoli Islam saja. Jilbab sebagaimana yang kita kenal, atau chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman, keberadaannya sudah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijab seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Bahkan konsep hijab dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama samawi (Yahudi dan Nasrani). Bentuk pakaian seperti ini sudah ada dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Karena itu terserah bagi kita yang percaya bahwa jilbab/kerudung itu wajib untuk memakainya. Dan bagi yang percaya bahwa pakaian ini tidak wajib juga terserah untuk tidak mengenakannya. Semuanya adalah hasil ijtihad, yang bisa benar dan juga bisa salah. Dan semuanya sama-sama mengaku sebagai ajaran Islam yang benar. Yang terpenting adalah tidak mendakwa yang lain sebagai tidak Islami hanya karena masalah jilbab.

Kerudung Nusantara

Kembali pada Mbak Ani. Kalau kita amati, cara berkerudung yang ia lakukan tampak berbeda dengan praktek berjilbab yang banyak kita saksikan di masyarakat. Yang dikenakan Mbak Ani adalah kerudung yang berupa kain panjang yang digunakan untuk menutup kepalanya, dengan sebagian rambut depannya masih kelihatan, dan tanpa ikatan di bawah dagunya. Model berkerudung ini sama dengan yang dilakukan oleh Yeni Wahid, putri almarhum Gus Dur. Tentu berkerudung seperti ini berbeda dengan kebanyakan jilbab yang dipakai oleh wanita-wanita Muslimah yang lain, yang mengikatkan kerudung di bawah dagu serta tidak menampakkan rambut kepala di depannya.

Bisa jadi alasan Mbak Ani memakai kerudung model ini karena lebih fleksibel lantaran dia tidak terbiasa dengan memakai jilbab. Bila dirunut ke belakang, mungkin itu karena latar belakangnya yang bukan dari golongan “santri”. Selama ini ia lebih identik dengan kelompok nasionalis, meski menurut beberapa pendukungnya dia jg sangat religius.

Namun model berkerudung Mbak Ani inilah yang sebenarnya lazim dipraktekkan oleh para wanita Muslimah Indonesia masa lalu. Inilah model berkerudung yang masih “asli” dan produk Islam Nusantara. Kalau Anda tidak percaya, lihatlah gambar-gambar dalam sejarah perjuangan Republik ini. Dalam perkumpulan dan persyarikatan dimana wanita yang berkerudung turut hadir, maka model kerudungnya adalah seperti Mbak Ani ini, bukan berbentuk jilbab yang sekarang banyak kita kenal.

Berkerudung model ini tidak hanya dipraktekkan oleh orang-orang biasa, tetapi juga oleh wanita-wanita yang dianggap sebagai tokoh agama Islam. Istri KH Wahid Hasyim, menteri agama pertama dan putra KH Hasyim Asy’ari, memakai kerudung model ini. Istri Muhammad Natsir, tokoh yang getol menyerukan Negara Islam, juga sama cara berkerudungnya. Demikian juga cara berkerudung istri Muhammad Hatta, proklamator kita. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Muslimah lainnya yang mempraktekkan model berkerudung semacam ini. Di antara mereka yang saat ini masih mempraktekkannya adalah Nyai Nafisah Sahal, istri KH MA Sahal Mahfudz, ketua umum MUI, dan istri KH Maimoen Zubair, sesepuh dan ketua dewan syari’ah Partai Persatuan Pembangunan. Dan sampai sekarang masih banyak ibu-ibu Muslimah di daerah-daerah, termasuk ibu saya, yang masih berkerudung model Mbak Ani ini.

“Kerudung Nusantara” ini adalah perpaduan antara budaya setempat dengan budaya yang diimpor dari Timur Tengah. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan dari para ulama Nusantara terhadap buadaya lokal yang sudah ada. Mereka tidak memaksakan sebuah budaya yang sama sekali baru dengan sera merta mencabut budaya yang sudah ada. Inilah hasil ijtihad mereka yang memiliki pemahaman ilmu-ilmu agama yang mendalam.

Adapun model jilbab yang kita kenal saat ini baru meluas belakangan sekitar tahun 80-an. Model ini awalnya banyak dipraktekkan oleh kelompok-kelompok terbatas yang ada di perkotaan, yang banyak mendapat pengaruh budaya dan cara-cara berislam baru dari Timur Tengah. Dan akhirnya model jilbab inilah yang sekarang dominan. Belakangan model jilbab yang lain dari Timur Tengah juga sudah mulai masuk ke Negeri ini, yaitu jilbab panjang yang menutupi hampir setengah badan dengan muka tetap masih terbuka, yang banyak dipakai oleh para akhawat. Bahkan jilbab ekstrim pun mulai dilirik, yaitu kain yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali kedua mata, yang biasa kita kenal dengan sebutan cadar.

Mbak Ani Berkerudung Lagi?

Banyak pengamat mengatakan Mbak Ani adalah capres potensial di tahun 2014 mendatang. Sahabat dan para pendukungnya juga mengharapkan itu. Dan kita semua tentu tahu, modal untuk memenangi pilpres tidak hanya berupa kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, kekuatan finansial, dan dukungan politik, tetapi juga pengemasan/pencitraan yang baik. Dan kalau akhirnya Mbak Ani maju, apakah dalam rangka pencitraan itu dia harus berkerudung lagi guna menggaet lebih banyak simpati dari para pemilih Muslim? Perlukah Mbak Ani memoles dirinya sedemikian rupa sehingga dia terlihat sebagai seorang yang religius? Haruskah di surat suara nanti kita menjumpai foto Mbak Ani sama seperti Bu Mega yang tiba-tiba berkerudung?

Sabda Kanjeng Nabi, “at-taqwa hahuna”, ketakwaan itu berada di dalam hati. Tidak perlu berkerudung kalau hanya untuk pencitraan kepada masyarakat. Cukuplah menjalin dan memperbanyak komunikasi dengan para tokoh dan masyarakat Muslim agar lebih dekat dengan mereka. Cukuplah dengan membantu dan memberi perhatian yang cukup kepada mereka, sehingga ia diakui sebagai bagian dari mereka.

Tidak perlu berkerudung hanya untuk kepentingan kampanye. Kalau mau berkerudung, lakukanlah itu murni karena dorongan hati nurani dan dikenakan terus menerus, bukan karena tuntutan pencitraan dan hanya dilakukan sesaat saja. Berkerudung hanya saat kampanye menunjukkan bahwa pelakunya tidak konsisten dengan apa yang diyakininya. Jadilah diri sendiri. Dan kalau akhirnya berketatapan hati untuk berkerudung, silahkan memilih, memakai model “kerudung Nusantara” atau model jilbab. Semuanya baik. Yang penting tidak yang ekstrim dan malah menakutkan yang lain.

Friday, August 6, 2010

Permainan Sepak Bola dan Sepak Bola Mainan

Memperbincangkan sepak bola tidak akan ada habisnya. Ia dapat dikupas dari berbagai sisinya. Strategi, filosofi, keindahan, pelatih dan pemain, perkembangan, ekonomi, nasionalisme, pengaruh, dsb, adalah bagian dari sisi-sisi itu. Semua itu tidak lain menunjukkan bahwa olah raga yang satu ini memang menarik. Ia memiliki pesona yang tidak dimiliki oleh cabang-cabang olah raga lainnya. Hal ini menjadikan sepak bola sebagai olah raga terpopuler di planet ini. Berikut adalah sedikit ulasan tentang cabang olah raga yang konon dapat menghilangkan sekat-sekat etnis, memperkuat rasa nasionalisme, dan ikut menghilangkan rasisme di dunia.

Permainan sepak bola

Sepak bola adalah olah raga yang sekaligus permainan. Dinamakan olah raga karena tujuan awal dari sepak bola – yang konon ditemukan oleh masyarakat Jepang dan dijadikan sebagai cabang olah raga modern oleh orang-orang Inggris – adalah mengolah raga. Mengolah raga berarti mengupayakan raga atau badan agar sehat dan bugar. Namun ia sekaligus adalah permainan, karena di dalam olah raga ini terdapat berbagai aturan dan hukum yang harus dijalankan agar olah raga ini terlihat cantik, menarik, dan enak ditonton. Karena alasan yang terakhir inilah maka kita saksikan peraturan yang ada di sepak bola terus berkembang, dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Dari yang semula pelanggaran cukup dengan diperingatkan saja berubah dengan dimunculkannya kartu merah dan kuning yang terinspirasi dari lampu lalu lintas; dari yang semula pemain bebas berada di mana saja berubah dengan diberlakukannya aturan off side; sampai dengan isu-isu terkini tentang penggunaan teknologi modern dalam pertandingan.

Sebagai permainan, sepak bola berbeda dari olah raga lain yang bukan permainan. Sebutlah misalnya jogging. Meskipun tujuan awal dari keduanya adalah sama, yakni untuk menyehatkan badan, namun tidak ada peraturan yang ‘njelimet’ di dalam jogging. Anda dapat melakukan jogging dengan gaya dan model apa saja sesuka Anda, dan selama tidak mengganggu orang lain, maka tidak akan ada yang menegur dan badan pun sehat.

Namun sebagai olah raga, sepak bola telah jauh melenceng dari tujuan awalnya. Saat ini hampir mustahil untuk menemukan para pemain sepak bola profesional yang bermain bola murni bertujuan untuk menyehatkan badan. Tujuan dan motif ekonomi mungkin menjadi yang utama dalam cabang olah raga ini, di samping tujuan-tujuan lainnya. Sepak bola telah menjadi sebuah pekerjaan dan para pemainnya menjadi seorang profesional. Apakah ‘penyelewengan’ ini salah? Sama sekali tidak. Bahkan tindakan ini mungkin malah perlu ditiru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak pakar, untuk menjadi orang yang sukses, kita dianjurkan untuk menekuni sebuah bidang pekerjaan yang sekaligus merupakan hobi kita. Karena itu, para pemain sepakbola yang menjadikan hobi mereka bermain bola sebagai pekerjaan, adalah contoh orang-orang yang berada di jalur menuju kesuksesan itu. Selain mendapatkan gaji sebagai imbalan dari kerja profesional mereka, mereka juga akan mendapat kebugaran dan kesehatan badan. Lebih dari itu, mereka akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan, karena mereka melakukan pekerjaan yang mereka sukai. Dan penyelewengan ini bukanlah monopoli sepakbola saja, namun hampir semua cabang olah raga saat ini telah menjadi ladang pencarian nafkah bagi para pelaku di dalamnya.

Sebagai cabang olah raga, sepak bola – selama dijalankan sesuai dengan aturannya - adalah benar-benar olah raga. Saya katakan ‘benar-benar olah raga’ karena ada beberapa cabang olah raga yang sebenarnya bukan olah raga. Tinju, gulat, dll adalah contohnya. Olah raga warisan jaman purba ini tujuannya bukan untuk mengolah raga, tetapi malah sebaliknya untuk merusak raga. Jika dalam olah raga yang lain nilai dan kemenangan didapat dari sebuah objek yang berada di luar diri para pemain, seperti memasukkan bola ke gawang musuh dalam sepak bola, memasukkan bola ke dalam ranjang dalam basket, adu cepat untuk mencapai batas tertentu dalam lari, dsb, maka dalam olah raga purba ini nilai dan kemenangan didapat dengan melukai dan melumpuhkan lawan. Jika di olah raga lain baik pemenang dan yang kalah sama-sama sehat, maka di olah raga jenis terakhir ini baik pemenang, apalagi yang kalah, sama-sama kesakitan dan menderita. Olah raga semacam ini adalah warisan dari peradaban purba di mana yang berlaku adalah hukum rimba, akal budi belum dihargai, dan manusia dalam kedudukan yang sama dengan binatang. Namun anehnya banyak orang dan negara yang saat ini mengklain sebagai orang dan negara modern dan beradab, menjunjung tinggi HAM, harkat, dan martabat manusia, masih menyukai dan mempraktekkan olah raga ini.

Bahwa bermain sepak bola dapat menyehatkan dan mendatangkan materi, hampir semua orang sudah mengetahui. Tapi lebih dari itu, sepak bola juga bisa mengasah kecerdasan. Orang yang otaknya tidak jalan dipastikan tidak akan bisa memerankan dengan baik tugasnya di lapangan. Sepak bola, seperti olah raga yang lain, memerlukan kecepatan berpikir, kesigapan bertindak, kecerdasan yang tinggi, penguasaan emosi yang mumpuni, dan rasa kebersamaan yang baik. Sulit dibayangkan bahwa orang-orang semacam Cesc Fabregas, Didier Drogba, dll. adalah orang-orang yang bodoh. Bahkan, meski tidak sampai kuliah, mereka memiliki potensi, bakat, dan jiwa kepemimpinan yang hebat yang tidak dimiliki banyak orang-orang berpendidikan resmi yang lain.

Mainan sepak bola

Sebagai olah raga, sepak bola tidak hanya menyehatkan orang-orang yang bermain di atas rumput hijau, tetapi juga ‘menyehatkan’ mereka yang bermain di luar lapangan. Mulai dari penjual makanan dan souvenir, media, sponsor, rumah taruhan, dll. sampai pemilik klub itu sendiri. Di sini, permainan sepak bola di lapangan hanyalah bagian kecil dari gerak permainan besar yang ada di luar lapangan. Sepak bola adalah ‘alam kecil’ dari sebuah ‘alam besar’ yang melingkupinya.

Sepak bola yang awalnya adalah sebuah permainan dan olah raga untuk kesehatan telah direduksi menjadi sebatas mainan oleh kekuatan besar yang ada di luar itu. Permaian di luar ini ada kalanya ikut ‘menyehatkan’ permainan yang ada di dalam lapangan, tapi sering kali juga malah menyakitkan. Kekuatan besar itu bermacam-macam, tapi dapat diringkas menjadi satu entitas: modal. Kekuatan modal inilah yang memiliki kekuatan super dalam menentukan permainan sepak bola selanjutnya.

Di antara kekuatan besar itu adalah pemilik klub. Pemilik klub adalah penyandang dana utama dari sebuah klub. Besar kecilnya klub tergantung dari tebal tipisnya kantung sang pemilik. Klub juga sekaligus ladang uang baginya. Klub, dan juga orang-orang yang ada di dalamnya termasuk para pemain, adalah alat bagi pemilik. Pemilik bebas menentukan siapa pelatih, siapa pemain yang akan direkrut, dan tim seperti apa yang ia inginkan. Pemilik memiliki kekuatan untuk menentukan dan membentuk klub. Karena banyak para pemilik yang sebenarnya tidak suka sepak bola (setidaknya kurang begitu paham dengan sepak bola), maka yang terjadi adalah murni urusan bisnis. Maka di hadapan pemilik, pelatih dan pemain adalah objek, bukan subjek merdeka yang sama kedudukannya. Pemain yang seharusnya berolah raga agar sehat menjadi tidak dapat bermain dan kehilangan haknya karena pemilik klub menumpuk banyak pemain bintang sehingga mengurangi jatah bermainnya. Pemilik tidak lagi perduli dengan perasaan dan pribadi pemain. Yang penting baginya adalah bagaimana agar klub menang, sehingga pemasukan dan laba mengalir. Klub benar-benar menjadi alat produksi bagi pemiliknya.

Namun ada juga klub yang benar-benar menjadi mainan para pemiliknya, mainan dalam arti yang sesungguhnya. Dua dari klub besar Liga Inggris saat ini, Chelsea dan Manchester City adalah contohnya. Chelsea, yang pada awal 2000-an mengalami kesulitan keuangan, dibeli oleh milyarder Rusia keturunan Yahudi, Roman Abramovich, senilai sekitar 3 trilyun rupiah. Dan sejak itu, Roman menggelontorkan beberapa triliyun lagi untuk membesarkan Chelsea. Para pemain hebat didatangkan dengan harga transfer yang tinggi serta gaji selangit, pelatih hebat dihadirkan untuk mengangkat prestasi klub, dan pusat-pusat latihan baru dibangun. Dan tidak percuma, karena dalam sekejab Chelsea telah menjelma menjadi klub besar yang disegani tidak hanya di Inggris, tetapi juga di Eropa. Yang menarik adalah bagaimana mudahnya Roman mengeluarkan pundi-pundi uangnya untuk membiayai klub barunya itu. Banyak pemain yang mahal waktu membelinya, menjadi diobral lantaran kebanyakan stok di klub. Secara bisnis, Roman jelas merugi bahkan sampai trilyunan rupiah. Namun dibanding dengan jumlah keseluruhan kekayaan Roman yang hampir mencapai 200 trilyun rupiah, uang yang ia gelontorkan untuk Chelsea tentu tidak ada apa-apanya. Maka Chelsea benar-benar menjadi mainan dan pelampiasan hobinya Roman.

Hal yang sama terjadi pada Machester City pada tahun lalu dan masih berlanjut sampai tahun ini. City, panggilan klub ini, yang semula adalah klub kecil dan hampir terdegradasi, mendadak menjadi klub papan atas Liga Primer lantaran dibeli Syeikh Mansour bin Zaid an Nahyan, raja aminyak dari Uni Emirat Arab. Semua hutang dia lunasi, pemain-pemain bintang ia datangkan, dan pelatih hebat ia berikan. Dengan belanja pemain tiap tahunnya yang hampir menyentuh angka dua trilyun rupiah, City kini menjadi klub yang penuh sesak dengan para bintang. Bahkan pada bursa transfer musim ini, klub ini akan mengobral banyak bintang yang sudah tidak terpakai lagi di sana. Klub ini benar-benar telah menjadi mainan Syekh Mansour, sekali lagi mainan dalam arti yang sebenarnya, karena uang yang ia keluarkan untuk City tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaannya yang konon mencapai 5000 trilyun, puluhan kali kekayaan Roman.

Selain pemilik, kekuatan modal yang juga menentukan jalannya sepak bola adalah perusahaan-perusahaan besar yang berhubungan dengan sepak bola. Bursa taruhan adalah salah-satunya. Jangan bayangkan bursa taruhan di sini seperti taruhan antar kita dengan teman-teman atau judi di pinggir-pinggir jalan. Ia adalah taruhan judi tingkat internasional yang omsetnya mencapai trilyunan rupiah. Dari nilai taruhan yang besar dan ketidakinginan untuk kalah inilah yang membuat para pelakunya berusaha mengubah jalannya pertandingan di tengah lapangan. Dia berusaha mempengaruhi wasit, official, bahkan pelatih dan dan para pemain agar memberikan hasil sebagaimana yang ia harapkan. Dan di setiap penyelenggaraan Piala Dunia, panitia selalu disibukkan dengan permasalahan semacam ini. Kasus Calciopoli di Italia beberapa tahun lalu yang mengganjar Juventus terdegradasi ke Seri B dan menjadikan Inter Milan sebagai juara liga, juga bagian dari kekuatan perusahaan luar yang ikut mengubah jalannya pertandingan. Demikian juga merek-merek besar yang menjadi sponsor utama sebuah kesebelasan, baik timnas maupun klub, juga sering mempengaruhi jalannya pertandingan agar klub yang ia sponsori menjadi juara dan mereknya semakin terkenal.

Penonton juga ikut mempengaruhi jalannya sepak bola. Yang saya maksud bukan penonton di dalam stadion, karena mereka jelas ikut mempengaruhi pertandingan sebagai pemain ke-12. Penonton yang membuat pemain sepak bola tidak sehat adalah penonton yang ada di luar negeri. Banyak pertandingan yang harus dihelat tidak pada waktunya hanya karena untuk menyesuaikan dengan waktu nonton mereka. Demi penonton luar negeri yang telah membayar mahal lewat hak siar itu, para pemain harus berolah raga pada saat teriknya matahari. Lihatlah jadwal pertandingan Piala Dunia. Demi menyesuaikan dengan waktu nonton orang-orang Eropa, jadwal pertandingan Piala Dunia di Afrika Selatan dilaksanakan pada jam satu siang waktu setempat. Bermain sepak bola pada jam-jam seperti itu apakah masih bisa disebut sebagai olah raga? Di sini, para pemain adalah objek, dan orang-orang Eropa dengan segala kekuatan modalnya adalah subjek yang harus dilayani, bahkan oleh saudara-saudara mereka sendiri yang tengah bermain di Afsel. Dan jadwal liga-liga di Eropa juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Piala Dunia di atas.

Dipermainkan sepak bola

Sepak bola adalah olah raga yang paling merakyat. Ia disukai dan dimainkan baik oleh kalangan atas maupun yang bawah. Dari yang tua sampai anak-anak, dan dari laki-laki sampai perempuan, hamper semua menyukai ini. Ia juga olah raga yang murah karena hanya membutuhkan bola dan tanah lapang sebagai medianya, dan bola itupun dapat dibuat dari bahan apa saja yang ada di sekeliling kita.

Namun permainan sepak bola yang merakyat ini hanya terjadi pada orang-orang yang belum menjadi pemain sepak bola profesional. Pada taraf ini, sepak bola benar-benar dihayati sebagai aktivitas untuk mengolah raga. Tapi setelah ia dimainkan oleh para pemain profesional, predikat merakyat ini telah sirna. Ia berubah menjadi olah raga yang elitis. Ia sudah tidak tersentuh dan tidak terjangkau lagi oleh orang-orang bawah. Sepatu kualitas terbaik, bola hasil teknologi tercanggih, dan kaos dengan kenyamanan terapik yang digunakan dalam pertandingan profesional, jelas jauh dari jangkauan orang-orang biasa. Lebih dari itu, sepak bola profesional – sebagaimana keterangan di atas – telah menjelma menjadi kekuatan super yang menghegemoni. Dan kekuatan besar ini tidak hanya mencengkeram para pemain, tetapi juga terhadap mereka yang bisanya cuma menyaksikan sepak bola sebagai penonton.

Sepak bola sebagai industri dan permainan telah menancapkan pengaruhnya pada kehidupan kita. Ia telah menjadi bagian dari kita, bahkan mereka yang tidak suka dengan sepak bola sekalipun. Lihatlah banyaknya penduduk Afsel yang harus ‘mengungsi’ ke negara tetangga gara-gara tidak suka dengan banyaknya orang yang datang ke negerinya untuk menyaksikan bola. Banyak dari kita juga harus begadang dan bangun di tengah malam, bukan untuk berdoa dan sembahyang, tetapi hanya untuk menyaksikan sebuah partai Liga Champion Eropa. Banyak pekerjaan kantor tidak terurus dengan baik lantaran pemangkunya kelelahan sehabis nonton bola. Bahkan banyak kantor kementerian dan BUMN yang sepi karena para pegawainya mengikuti atasan dan presidennya yang begadang nonton Piala Dunia. Semua itu menunjukkan berkurangnya produktifitas gara-gara industri sepak bola.

Dari segi ekonomi, hegemoni sepak bola juga tidak kalah kuatnya. Sangat sering kita terbebani biaya besar untuk sesuatu yang sebenarnya bukan keperluan kita, tetapi tiba-tiba menjadi kebutuhan wajib hanya gara-gara kesukaan kita terhadap bola. Banyak dari kita rela untuk membayar mahal harga sebuah tiket demi untuk menyaksikan pertandingan yang kita sukai. Bahkan beberapa harus sampai terbang ke luar negeri untuk menyaksikannya secara langsung. Kalangan berduit juga tidak segan-segan untuk mengeluarkan pengeluaran tambahan untuk berlangganan saluran berbayar demi menyaksikan klub dan liga kesayangannya. Tidak hanya itu, kaos sepak bola, baik yang tiruan sampai yang asli dan edisi terbatas, juga telah memasuki rak-rak almari kita. Banyak dari mereka yang mamakai kaos bertuliskan pemain bintang juga berperilaku layaknya pemain pujaannya itu. Souvenir dan pernak-pernik klub juga laris menjadi komuditas kita. Bahkan mereka dengan senang hati dan tanpa dibayar rela untuk mengiklankan sebuah merek tertentu yang menjadi sponsor klub yang tertulis di kaos mereka.

Sama-sama sebagai objek dari kekuatan besar sebuah industri sepak bola, derajat para penonton berada di bawah para pemain. Meskipun sebagai objek, setidaknya para pemain telah ikut menikmati dan mendapatkan hasil dari industri ini. Tapi tidak dengan penonton. Di samping tidak mendapatkan apa-apa selain kepuasan, mereka juga harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyaksikan industri besar ini, sebagaimana di atas. Mereka hanya bisa menyaksikan para pemain menerima gaji milyaran rupiah tiap pekannya, berpacaran dengan para artis ternama, membeli apartemen mewah nan mahal, menjadi bintang iklan merek ternama, memiliki tubuh ideal yang selalu diidam-idamkan, dan selalu dipuja-puji di mana-mana. Mereka hanya bisa menyaksikan harga transfer para pemain yang rebutan untuk memecahkan rekor, keuntungan trilyunan rupiah masing-masing klub tiap tahunnya, dan pembangunan stadion-stadion baru yang megah. Sekali lagi mereka hanya bisa menyaksikan itu semua, tanpa menyadari bahwa uang yang digunakan untuk semua itu adalah uang mereka sendiri, para penonton itu.

Benar, sepak bola adalah olah raga yang menyehatkan. Sedikit menyehatkan untuk para pemain, selebihnya dan yang terbanyak adalah menyehatkan para pemilik modal yang bermain di industri ini. Untuk penonton, tidak ada apa-apa bagi mereka, kecuali sedikit kepuasan batin, dan itupun kalau klub jagoannya menang. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Jakarta, 6 Agustus 2010

Wednesday, August 4, 2010

Puisi

bukan puisi

ini bukan puisi
tapi ungkapan hati
ini bukan gombalan
tapi kenyataan
ini bukan gurauan
tapi tentang perasaan

apa kau tidak bisa membedakan
mana bualan dan sungguhan
mana kepura-puraan dan ketulusan
mana yang palsu dan yang tulus merindu

lihatlah goresan-goresanku
mudah dicerna tanpa metafora
tidak rumit dan apa adanya
berbeda dari kisah teman-teman dan diary-mu yang lama

ini tulisan biasa
tapi mengalir dari dalam jiwa
untuk kekasih yang bisa merasa


******



semoga sama


tanpa beban
tanpa pikiran
itu yang kelihatan

biarkan semua berjalan
biarkan takdir menentukan
itu yang kau ucapkan

semoga itu hanya gurauan
semoga luar dan dalam berkebalikan
semoga kau sungguh-sungguh mengusahakan
sebagaimana aku perjuangkan

[2 agustus 2010]


*****


ada kamu


berjajar mata
saling mengintip
saling mengerdip
kepadaku
aku berlalu
gak menoleh
gak peduli
karena ada kamu
di sana
tapi juga disini
di dada

[2 agustus 2010]


*****


tujuh hari yang lalu


pada malam ini
tepat tujuh hari yang lalu
aku tidur di gerbong kereta
dengan rasa rindu yang sangat
untuk segera dapat bertemu
dan memandangmu

pada malam ini
tepat tujuh hari yang lalu
mentari dan pagi terasa malas untuk segera membuka wktu

pada hari ini
tepat tujuh hari yang lalu
begitu cepat pertemuan itu
dan kau segera brlalu

tapi penuh drama dan liku

pada malam ini
tujuh hari setelah prtemuan itu
tatapan mata dan hembusan nafasmu
tidak juga hilang dari memoriku

aku tidak tau
apa kau juga seperti aku

[1 agustus 2010]



*****


mau kemana


tujuh bulan sudah kita ikrar untuk bersama
perjalanan yang tidak sebentar dari sebuah masa
cukup lama untuk hanya sekedar mainan lidah dan kata
siapa tau jodoh menghampiri kita
begitu kau berucap
karena dari awal aku sudah yakin dgn engkau
bgtu kataku mantap
ibarat kandungan, sdh wktnya ini diruwat
tapi dgn apa?
dan mau ke mana?
tinggal dirimu yang bisa menjawabnya
karena aku dari dulu masih sama
tetap yakin n prcaya
dan kau dapat memegangnya

[1 agustus 2010]

Thursday, July 1, 2010

Porno

Oleh: Acep Zamzam Noor

KETIKA mendengar berita diturunkannya Pink Swing Park karya instalasi Agus Suwage dan Davy Linggar dari arena CP Bienalle 2005 di Museum Bank Indonesia saya merasa kaget sekaligus tak habis pikir. Kaget, karena mengeliminasi sebuah karya pada saat pameran berlangsung adalah peristiwa yang langka dalam dunia senirupa kita, apalagi pameran ini bertarap internasional. Tak habis pikir, karena diturunkannya karya yang dianggap porno tersebut hanya berdasar atas desakan sekolompok orang yang mengatasnamakan agama. Sejumlah pertanyaan kemudian muncul di kepala saya:kenapa aparat keamanan mau melaksanakan desakan sekelompok orang yang sebetulnya belum tentu sebagai pihak yang benar? Kenapa penanggungjawab CP Bienalle 2005 setuju menurunkan karya tersebut dan bukannya menutup pameran secara keseluruhan, sebagai protes atas kesewenang-wenangan? Kenapa karya Agus Suwage dan Davy Linggar yang dijadikan test case atau pemanasan menjelang ditetapkannya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) padahal unsur pornografi pada karya instalasi tersebut masih bisa diperdebatkan, dan kenapa bukan tabloid-tabloid seperti Lipstik, Bibir Plus, Buah Bibir, Metropolis misalnya, yang jelas-jelas membuat kita – paling tidak saya sendiri – merasa terangsang? Saya khawatir peristiwa semacam ini akan terus berlanjut dan melebar ke mana-mana, ke arah dan wilayah yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Kalau mau jujur masyarakat kita adalah masyarakat yang sejak awal sudah porno, masyarakat yang dalam kesehariannya tidak terlepas dari sesuatu yang berbau porno, masyarakat yang mempunyai kebudayaan dan nenek-moyang yang menganggap pornografi sebagai bagian dari kehidupan. Tidak perlu jauh-jauh menengok ke Bali atau Irian yang memang mempunyai tradisi di mana memperlihatkan bagian tubuh tertentu adalah sesuatu yang lumrah, tak perlu mengunjungi candi-candi di Jawa yang relief-reliefnya banyak menggambarkan adegan persetubuhan, tak perlu pergi ke museum-museum untuk melihat patung-patung karya leluhur kita yang dengan terang-terangan menonjolkan alat kelamin. Kita juga tak perlu repot-repot membongkar khasanah sastra lama di berbagai daerah yang banyak mengungkapkan dunia spiritual dengan simbol-simbol yang erotis.

Kalau mau jujur sampai sekarang pun masyarakat di sekitar kita masih porno, masih sering mengucapkan kata-kata seperti "cecer" atau "itil" jika mengungkapkan kekesalan, padahal baik cecer maupun itil adalah nama alat kelamin dalam bahasa Sunda. Masyarakat kita juga masih terbiasa memanggil anak-anak kesayangan dengan"thole" atau "nduk", yang artinya dalam bahasa Jawa kurang lebih sama. Belum lagi bagi pengidap penyakit latah, kata-kata seperti "heunceut", "kontol", atau "kanjut" akan berhamburan dengan ringan. Begitu juga "jancuk", "pukimak" atau "tempek" yang sudah menjadi umpatan kita sehari-hari, padahal artinya porno juga.

Di tatar Sunda ada makanan tradisional yang namanya Ewe Jero, Ewe Deet, Kontol Tidagor dan Cara Bikang, ada rujak buah lobi-lobi yang dinamai Ngaloco, juga ada buah duren yang karena saking enaknya dinamai Kadu Itil Menak. Di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya ada kampung yang namanya Tepung Kanjut, Kontol Bangkong, Legok Hangseur, Ciewe, Parawan, Peureus dan Bobos, di Kuningan ada Baok dan Tembong Podol, di Garut ada Sarkanjut, di Kabupaten Bandung ada Bojong Kenyot, yang semuanya sangat berkaitan dengan nama alat kelamin dan persetubuhan. Nama-nama tersebut ada juga yang sudah diganti, misalnya desa Baok yang berarti jembut diganti menjadi Mekarsari.

Di dunia pesantren mengungkapkan hal-hal yang berbau porno bukanlah sesuatu yang luar biasa. Dalam kitab-kitab fikih elementer ada bab yang membahas masalah persetubuhan dalam kaitannya dengan mandi junub. Begitu juga di kitab-kitab yang memang secara khusus mengupas adab-adab suami-istri, pembahasan tentang persetubuhan bisa sangat detail. Biasanya para santri yang sudah mengantuk kembali antusias karena kiai menyampaikannya dengan diselingi humor-humor segar yang juga berbau porno. Selain itu, tak sedikit juga para mubalig kita yang suka menyelipkan humor yang berbau porno dalam dakwah-dakwahnya sebagai selingan. D. Zawawi Imron, penyair yang juga mubalig dari Sumenep bahkan mempunyai anekdot-anekdot berbau porno khas Madura yang jumlahnya ratusan. Begitu juga Ahmad Syubanuddin Alwy, penyair jebolan pesantren ini banyak mengoleksi humor-humor porno khas Cirebon yang sering dibawakan dengan jenaka di berbagai forum.

Beberapa tahun lalu saya diajak K.H. A. Mustofa Bisri untuk berpameran di Masjid Raya Surabaya. Perhelatan yang juga menampilkan para penyair dan pemusik terkenal ini menjadi heboh karena salah satu lukisan Gus Mus, panggilan akrab K.H. A. Mustofa Bisri, menggambarkan Inul Daratista sedang ngebor di tengah para kiai. Panitia mendapat surat ancaman akan diserbu jika tidak segera menutup pameran yang dianggap menghina agama itu. Panitia juga diteror terus-terusan lewat telepon. Baik panitia maupun Gus Mus nampaknya tenang-tenang saja, malah mengundang para pengancamnya untuk dialog. Namun para pengancam yang di antaranya mengatasnamakan organisasi itu, tidak merespon ajakan dialog tersebut dan pameran pun terus berlangsung.

Para kiai maupun santri-santri dari kalangan pesantren, khususnya pesantren yang “kultural”, nampaknya bisa lebih santai dan terbuka menghadapi sesuatu yang dianggap porno. Mungkin karena masalah pornografi sifatnya ikhtilaf hingga meributkannya pun hanya buang-buang waktu dan energi saja. Pada tahun 2000 yang lalu misalnya, Gus Mus menerbitkan kumpulan puisi cinta yang sebagian besar kandungannya mengungkapkan imaji-imaji yang erotis. Kumpulan puisi yang berjudul Gandrung ini mungkin bisa dikategorikan porno oleh Pansus RUU APP karena di dalamnya terdapat kata-kata yang menyebut bagian-bagian tubuh tertentu. Tapi anehnya dari kalangan pesantren sendiri tak ada reaksi apapun, bahkan dalam waktu singkat buku mungil ini terjual habis sehingga sulit dicari di toko-toko buku. Saya sendiri kebetulan mendapatkan langsung dari penyairnya. Di sini saya ingin mengutip salah satu puisi yang paling saya sukai dalam kumpulan ini, judulnya Al’isyq:

Bintang-bintang ceria. Kereta senja.
Tanganku yang manja.
Bangku tua. Betismu yang belia.
Warung siang. Majalah-majalah usang.
Lututmu yang merangsang.
Dingklik antik. Jemarimu yang menggelitik
Malam senyap. Kamar pengap.
Nafasku yang megap-megap.
Purnama di genting kaca. Pahamu yang menyala.
Mentari berseri. Gang-gang berkelok.
Pinggulmu yang elok.
Becak berlari. Kelelakianku yang menari.
Bus-bus nakal. Tiang-tiang terminal.
Nafasku yang banal.
Jalan panjang. Lehermu jenjang.
Gardu telepon. Hujan rintik.
Rambutmu yang cantik.
Pasar asing. Dadaku yang bising.
Rumah kuna. Dipan sederhana.
Mataku yang terpesona.
Bantal tanpa warna. Tidurmu yang lena.
Baju hitam. Kutang kusam. Celana dalam.
Matamu yang terpejam.
Ketiak apak. Mulut mendongak. Puting papak.
Bulu-bulu rampak.
Setanku yang merangkak.
Langit fajar. Mushalla terlantar. Tikar terhampar.
Sujudku yang hambar.
Semua saksi
Tak mencatat kencan-kencan kita
Juga tanda-tanda sayang
Yang kutebar di sekujur dirimu
Sirna entah kemana.
Sementara hingga kini
Bau lipatan-lipatan tubuhmu
Masih mengganggu perjalanan
Ibadahku.
Apakah cinta kita tak utuh
Mengapa kita tak juga bersetubuh?

Bagi mereka yang jiwa dan pikirannya belum “tercerahkan” mungkin akan pingsan membaca puisi di atas karena idiom-idiomnya banyak mengeksplorasi bagian-bagian tubuh perempuan. Di mata mereka puisi semacam ini pasti mengagetkan, lebih-lebih karena ditulis oleh seorang kiai khos, pengasuh pesantren terkenal dan pimpinan organisasi keagamaan terbesar. Sebenarnya puisi-puisi erotis semacam ini – tentu dengan bentuk yang berbeda – banyak sekali ditulis oleh penyair atau pengarang lain dari kalangan pesantren. Idiom-idiom seperti "payudara yang meledak", "hutan bakau di selangkanganmu", "hutan lindung di bawah pusarmu", "sejengkal dari pusarmu", "ubur-ubur di susumu", "terengah mendaki bukit-bukit di dadamu" dan seterusnya bukanlah sesuatu yang luar biasa. Belakangan saya juga banyak menerima kiriman puisi dari para santri yang idiom-idiomnya bisa saja dituduh sebagai pornografi.

Jika RUU APP jadi ditetapkan oleh DPR, maka puisi karya Mustofa Bisri di atas pasti kena berangus dan penyairnya akan diadili karena melanggar pasal 4 yang melarang mengeksploitasi bagian-bagian tubuh tertentu. Begitu juga dengan karya-karya Rendra, Subagio Sastrowardoyo, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, Linus Suryadi A.G. atau Ayu Utami yang di dalamnya terdapat kata-kata seperti pantat, kelentit, kontol, jembut, zakar, kelamin, susu, vagina, penis dan lain-lain. Padahal karya-karya mereka telah mendapat pengakuan dan penghargaan internasional.

Lantas bagaimana dengan kiai-kiai yang dalam pengajiannya suka menerangkan soal persetubuhan dengan sangat detail? Bagaimana dengan mubalig-mubalig yang dalam dakwahnya sering menyelipkan humor-humor porno sebagai selingan agar mustami tidak jenuh? Bagaimana dengan perempuan-perempuan di desa yang pergi ke sumur atau sungai hanya mengenakan handuk yang menutupi dada sehingga bagian terbesar dari tubuhnya masih tetap terbuka? Bagaimana dengan ibu-ibu muda yang mengeluarkan payudara untuk menyusui bayinya di tempat-tempat umum? Bagaimana dengan abang-abang becak yang membuka kaosnya karena kegerahan hingga dadanya yang berbulu kelihatan? Bagaimana dengan supir-supir truk yang biasa kencing di pinggir jalan sambil berdiri? Bagaimana dengan para binaragawan yang hanya memakai cawat di depan khalayak? Bagaimana pula dengan para pegulat, para petinju, para perenang dan seterusnya? Kalau berpedoman pada RUU APP yang absurd itu tentu semuanya masuk dalam katagori pornografi, padahal yang mereka lakukan sangat jauh dari niatan seperti itu.

Persoalan pornografi adalah persoalan kebudayaan. Dalam sejarah kebudayaan kita kisah-kisah atau adegan-adegan erotis bukanlah sesuatu yang dianggap porno. Bahkan karya-karya sastra lama atau candi-candi yang dianggap sakral penuh dengan muatan erotisme, yang tentu saja waktu itu bersifat spiritual. Berkembangnya kebudayaan seiring dengan masuknya agama atau kepercayaan baru memang telah mengubah pandangan bahwa yang tadinya bagian dari kehidupan, bahkan yang berkaitan langsung dengan dunia spiritual kemudian dianggap porno atau negatif. Perubahan ini tidak serta merta dan prosesnya masih terus berlangsung sampai sekarang. Jejak-jejak dari pornografi yang sakral tadi masih tetap hidup di tengah masyarakat dengan kadar yang berbeda-beda. Dalam berbagai ekspresi kesenian tradisional misalnya, jejak-jejak itu masih sangat terasa. Namun di luar semua itu, persoalan pornografi adalah juga persoalan kejujuran.

***

Kembali kepada kasus Pink Swing Park karya Agus Suwage dan Davy Linggar. Saya kebetulan tidak menyaksikan karya instalasi yang menghebohkan itu secara langsung, namun dari tayangan televisi, foto-foto di media serta rekaman video dari senimannya saya melihat gugatan yang dilancarkan sekelompok orang yang mengatasnamakan agama sepertinya salah alamat. Dalam penglihatan saya tidak ada sesuatu yang kontroversial dari karya Agus Suwage dan Davy Linggar ini. Sebuah becak yang digantung jelas tidak akan membangkitkan syahwat siapapun, sedang rangkaian foto Anjasmara dan Isabel Yahya yang tak sepenuhnya telanjang itu rasanya bukanlah sesuatu yang bisa mengguncangkan keimanan seseorang. Bahkan foto-foto kedua model tadi justru mengingatkan saya pada sebuah peristiwa keagamaan: turunnya Adam dan Hawa ke dunia. Selain itu pose-posenya juga mengingatkan saya pada lukisan-lukisan Kahlil Gibran yang menjadi ilustrasi kumpulan puisi sufistiknya yang terkenal, Sang Nabi. Pendeknya, saya malah melihat paling tidak masih ada nilai-nilai spiritual pada karya instalasi hasil kolaborasi tersebut.

Lalu kenapa Pink Swing Park yang menjadi korban? Saya pikir bukan sekedar salah tafsir dari mereka yang menggugat, namun juga banyak terkait dengan persoalan lain. Kini sebagian masyarakat kita sedang belajar menikmati kebebasan dalam banyak hal, namun proses belajar ini sering kali menimbulkan kerancuan, keruwetan dan malah kekacauan. Semangat yang menggebu dalam membela sesuatu yang diyakini membuat mereka harus melupakan banyak hal, termasuk soal melanggar kepentingan pihak lain. Bahkan untuk tetap berada di garis depan “perjuangan”, nampaknya mereka akan terus mencari sasaran, terus mencari lawan, terus mencari persoalan dan terus mencari “trik” bagaimana agar tetap diperhatikan. Dan kebetulan CP Bienalle 2005 berlangsung ketika RUU APP mulai diwacanakan, maka jadilah karya instalasi yang tidak “berdosa” ini sasaran empuk mereka.

Saya kurang sependapat kalau kasus Pink Swim Park ini disejajarkan dengan dibredelnya Majalah Tempo, diberangusnya novel-novel Paramudya Ananta Toer, dilarangnya Rendra tampil di Taman Ismail Marzuki atau dijebloskannya Koes Bersaudara ke penjara. Kasus ini lebih dekat dengan kejadian yang menimpa Dewa 19 atau Inul Daratista, sebab nampaknya bukan Agus Suwage atau Davy Linggar sebagai seniman yang menjadi sasaran utama (karena relatif kurang mereka kenal), tapi justru Anjasmara dan Isabel Yahya yang kebetulan menjadi model dalam karya instalasi ini. Hitungannya, dengan membidik kedua artis ternama ini otomatis akan menjadi berita besar. Dan terbukti, kasus ini banyak ditayangkan televisi dan diliput berbagai media.

Meskipun begitu, saya tetap memandang kasus yang menimpa Pink Swing Park adalah persoalan yang serius. Kenapa? Karena kejadian seperti ini menunjukkan betapa rancu, ruwet dan kacaunya kehidupan sosial kita. Kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat serta kebebasan menggugat pihak lain menjadi tidak jelas ukurannya. Ternyata bukan hanya kalangan seniman yang membutuhkan kebebasan berekspresi, kelompok masyarakat lain pun, termasuk yang suka mengatasnamakan agama, juga menuntut hal yang sama. Dalam kondisi demikian siapapun bisa menjadi pelaku atau korban dari situasi yang mungkin masih akan terus bergulir ini.

Di lain pihak, peristiwa ini juga seperti mengingatkan kita bahwa dunia kesenian, khususnya seni rupa, ternyata masih berada di sebuah wilayah yang elit, eksklusif dan sangat jauh dari jangkauan apalagi pemahaman masyarakat. Kurator maupun kritikus senirupa nampaknya belum bisa menjembatani kesenjangan ini. Maka wajar kalau masyarakat kebanyakan tidak tahu mahluk seperti apa kesenian dan seniman itu. Apalagi kesenian dan seniman kontemporer.

Dan kalau saja mereka tahu bahwa seniman adalah manusia yang terus bekerja meskipun tanpa digaji oleh negara, kalau saja mereka tahu bahwa untuk menciptakan sebuah karya seniman harus berjuang sampai berdarah-darah, kalau saja mereka tahu bahwa untuk mengatasi kehidupannya sehari-hari banyak seniman yang gali lobang tutup lobang. Kalau saja mereka tahu bahwa seniman juga sangat tidak suka pada pejabat yang korupsi, sangat membenci wakil-wakil rakyat yang kerjanya hanya kolusi dan sangat muak pada orang-orang partai yang semakin tidak tahu diri. Kalau saja mereka tahu bahwa seniman dengan caranya sendiri juga menolak keras kenaikan harga BBM dan TDL, mendukung penuh ditutupnya Freeport dan sangat tidak setuju dengan dilegonya Blok Cepu.

Kalau saja mereka tahu bahwa para pejabat kita banyak yang porno, para penegak hukum kita banyak yang porno, aparat keamanan kita banyak yang porno, anggota KPU kita banyak yang porno dan para politisi kita hampir semuanya porno. Kalau saja mereka tahu bahwa porno bukan hanya berurusan dengan tubuh namun juga dengan mental, pikiran dan perilaku seseorang. Kalau saja mereka tahu bahwa korupsi itu sangat porno, jual beli perkara itu sangat porno, membohongi dan mengkhianati rakyat juga sangat porno. Dan kalau saja mereka tahu bahwa menyerang pihak lain dengan mengatasnamakan agama, berbuat sewenang-wenang dan merasa paling benar sendiri termasuk bagian dari pornografi juga, mungkin ceritanya akan lain. Mungkin persoalannya akan lain. []




Catatan:

Tulisan ini pernah disampaikan pada diskusi "Seni Yang Terhukum Karena Tafsir" di Galeri Soemardja ITB, Bandung, 2006. Perluasannya disampaikan pada saresehan nasional "Pancasila Rumah Kita" di Hotel Nikko, Jakarta, 2006.

Friday, March 26, 2010

Sejumlah Refleksi Tentang Kehidupan Sosial-Keagamaan Kita Saat Ini

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

Berkebalikan dari diagnosis sejumlah sarjana modern salama ini, daya tahan agama dalam masyarakat modern ternyata jauh lebih kuat dan kenyal ketimbang yang disangkakan sejauh ini. Tesis sekularisasi yang selama ini kita kenal, yakni, bahwa makin modernisasi berkembang jauh dalam suatu masyarakat, agama akan makin tersingkir jauh dari lanskap kehidupan sosial, pelan-pelan dibuktikan salah oleh perkembangan sosial akhir-akhir ini. Alih-alih agama tersingkir dari gelanggang kehidupan umum, ia justru bangkit kembali dan menampakkan vitalitas yang jauh lebih kuat akhir-akhir ini. Di hampir seluruh sudut dunia saat ini, kita menyaksikan kembalinya agama, entah dalam bentuknya yang tradisional sebagai sebuah spiritualitas yang terlembaga, atau dalam bentuknya yang baru sama sekali, yakni spiritualitas yang tak terlembaga. Entah dalam bentuknya yang bersifat khusus, yaitu agama sebagai sebuah tindakan “belonging” (yakni, menjadi anggota dalam komunitas tertentu), atau yang bersifat umum, yaitu agama sebagai sebagai tindakan “believing” (yakni, iman yang tanpa disertai dengan keanggotaan dalam komunitas tertentu), agama telah mununjukkan daya hidupnya kembali dan hadir secara persisten dalam masyarakat yang sudah mengalami proses modernisasi begitu jauh.

Saat ini, kembalinya agama dalam gelanggang sosial-politik modern sudah merupakan fakta yang tak bisa ditolak lagi. Ketimbang mengumandangkan kembali “nostalgia pencerahan” lama dan berharap agama bisa dipaksa kembali masuk ke dalam ruang privat dan tidak mengganggu kehidupan umum, lebih baik kita menghadapi fenomena ini dengan sikap positif tetapi sekaligus juga kritis. Positif, dalam pengertian bahwa kita menerimanya sebagai fakta sosial yang tak mungkin lagi ditolak lagi, seraya mengusahakan agar kembalinya agama itu tetap sinkron, dan tidak antagonistik, dengan format kelembagaan sosial-politik yang sudah menjadi hasil konsensus sosial bersama. Kritis, dalam pengertian bahwa kita harus selalu awas akan dampak-dampak negatif dari fenomena kembalinya agama itu. Sebagaimana kita lihat selama ini, fenomena kebangkitan agama bukanlah peristiwa yang seluruhnya mengandung aspek positif. Di sana, ada ekses-ekses negatif yang menyertainya. Hal semacam ini disadari bukan saja oleh mereka yang skeptik pada agama, tetapi mereka yang justru bertanggung-jawab atas kebangkitan itu. Seorang ulama yang selama ini dianggap sebagai “ideolog” dan pemikir penting di kalangan generasi baru Muslim yang lahir dari fenomena kebangkitan agama ini, yakni Dr. Yusuf Qardlawi, bahkan sejak dini sudah mengingatkan adanya ekses-ekses negatif dari fenomena kebangkitan agama ini.

Dengan sikap positif dan sekaligus kritis ini, saya mengajak anda sekalian untuk melakukan refleksi atas sejumlah gejala kebangkitan agama di masyarakat kita saat ini, apa dampak positif yang bisa muncul dari sana, apa ekses negatif yang harus dihindari, dan apa sumbangan yang bisa kita harapakan dari fenomena itu untuk memperkuat proses konsolidasi demokrasi yang sekarang sudah berlangsung di tanah air ini. Saya juga ingin mengajak anda sekalian untuk menelaah dengan cermat sejumlah variasi-variasi dalam gejala kebangkitan agama ini. Apa yang saya sebut sebagai fenomena kebangkitan agama ini bukan semata-mata kebangkitan agama tradisional dalam bentuk menguatnya lembaga-lembaga keagamaan yang dulu ada, lalu sempat memudar sejenak karena proses-proses modernisasi di tengah-tengah masyarakat dan akhirnya kembali muncul ke permukaan. Apa yang saya sebut dengan kebangkitan agama ini mengambil bentuk yang bermacam-macam, dan sebagai fenomena sosial, ia jelas sangat rumit. Salah bentuk kebangkitan itu bukan saja munculnya kesadaran “primordial” untuk mengikatkan diri kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan yang sudah ada, tetapi juga usaha untuk menafsirkan kembali agama dalam semangat yang lebih sesuai dengan perkembangan yang ada. Dengan kata lain, kebangkitan agama bukan saja mengambil bentuk-bentuk yang selama ini sudah kita kenal, yaitu bentuk tradisionalisasi (yakni, kebangkitan dalam bentuk kembali kepada lembaga-lembaga keagamaan tradisional yang ada – misalnya, kembalinya praktek-praktek ritual lama ke tengah-tengah masyarakat kota, seperti tahlil, pembacaan barzanji, ratib, atau salawat), dan revivalisme (kembalinya agama dalam bentuk ideologisasi agama sebagai landasan untuk perjuangan politik). Sekali lagi, kebangkitan itu tidak saja mengambil dua bentuk di atas, tetapi juga bentuk-bentuk lain yang lebih rumit, yakni munculnya praktek-praktek spiritualitas baru yang berbasis pada spritual yang sudah ada, atau bentuk lain yang selama ini menjadi bahan kontroversi di tengah-tengah masyarakat Islam, yaitu gerakan “reformasi dari dalam” (reform from within). Munculnya pemikir dan teolog Muslim kritis yang mencoba melakukan pembacaan ulang atas tradisi Islam lama di dalam kontek perubahan yang ada, menurut saya, adalah bagian dari kompleksitas fenomena kebangkitan Islam itu. Dengan kata lain, munculnya corak-corak pemikiran baru seperti Islam liberal dan Islam progresif dengan selurh varian pendekatannya yang beragam adalah bagian dari fenomena kebangkitan tersebut. Upaya sebagian sarjana, pemikir dan aktivis Muslim untuk menghadapkan tradisi Islam dengan perkembangan modern di bidang teori-teori filsafat dan ilmu sosial mutakhir adalah bagian dari bentuk kebangkitan itu.

Saya ingin melihat kebangkitan di sini dalam dua arahnya sekaligus. Pertama, kebangkitan yang mengambil bentuk “kembali” kepada apa yang sering dianggap sebagai masa lampau yang “pristin”, suci dan asli, atau kepada suatu Tradisi dengan “T” besar yang dianggap mewakili suatu bentuk model keagamaan yang relatif ideal dan sempurna. Kedua, kebangkitan yang mengambil bentuk reinterpretasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Baik salafisme yang menoleh ke belakang, atau “khalafisme” atau kontekstualisme yang melihat saat ini dan ke depan adalah dua bentuk kebangkitan Islam yang sah. Kesalahan fatal, entah di antara pengamat Islam atau aktivis Muslim sendiri selama ini adalah meninjau kebangkitan Islam semata-mata dari aspek “kembali ke masa lampau”. Seolah-olah yang pantas disebut sebagai kebangkitan Islam adalah gerak kembali kepada Quran dan sunnah, kepada generasi salaf atau kuno yang diandaikan terbebas dari segala bentuk korupsi ajaran. Sementara itu gerak yang mengarah ke masa kini, meninjau kembali ajaran-ajaran agama dalam terang zaman ini, tidak dianggap sebagai bagian dari kebangkitan agama, bahkan dianggap sebagai bentuk “penyimpangan”. Anggapan semacam ini jelas sama sekali kurang tepat.

Saya melihat bahwa baik salafisme dan khalafisme, baik gerak menoleh ke masa lampau atau melihat masa sekarang, harus berjalan bersama-sama secara simultan. Di sinilah, saya ingin mengemukakan sejumlah kekurangan yang mendasar dalam salafisme. Sebelum saya bergerak lebih jauh, saya ingin mendefinisikan salafisme bukan semata-mata sebagai gerakan yang kembali kepada Quran dan sunnah yang cenderung menjauhi tradisi mazhab. Salafisme saya mengerti secara lebih luas sebagai gerakan untuk kembali ke “teks lampau”, baik dalam bentuk Quran, sunnah, tradisi para sahabat atau sesudahnya, atau pun teks-teks para pendiri mazhab yang sudah kita kenal selama ini – Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Baik gerakan yang semboyannya adalah kembali kepada Quran dan sunnah, seperti gerakan Wahabisme, atau salafisme moderat ala Muhammad Abduh, atau gerakan kembali kepada tradisi mazhab seperti tercermian dalam kelompok-kelompok Islam seperti Nahdlatul Ulama, secara umum ingin saya golongkan kedalam arus besar salafisme. Saya tahu, penggolongan semacam ini boleh jadi akan ditentang oleh kelompok tertentu yang melihat itu sebagai generalisasi yang bermasalah.
Tanpa mengingkari sejumlah sumbangan positif yang dibawa oleh gerakan salafisme selama ini, antara lain semangat untuk kembali secara konsisten kepada Quran dan sunnah (ide yang tidak seluruhnya salah, sebetulnya, bahkan merupakan imperatif yang tak bisa ditolak oleh semua umat Islam), ada sejumlah kelemahan mendasar dalam gerakan ini. Kelemahan pertama adalah adanya asumsi bahwa ajaran-ajaran dari masa lampau seluruhnya masih memadai untuk menjawab masalah yang dihadapi oleh masyarakat saat ini. Gerakan ini sama sekali tidak atau kurang menyadari adanya kaitan yang tak terelakkan antara teks dan konteks yang membentuknya; suatu teks selalu lahir karena menjawab konteks tertentu. Saat konteks itu berubah, maka dengan sendirinya teks itu juga harus dipahami ulang. Para juris atau ahli hukum Islam dengan baik merumuskan hal ini sebagai “taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminat wa al-amkan,” perubahan hukum karena perubahan konteks spatio-temporal. Prinsip hukum yang sangat baik ini, sayangnya, tidak diterapkan secara konsisten dan komprehensif oleh para sarjana Islam sendiri.

Memang yang menjadi pertanyaan banyak kalangan adalah: apakah teks “suci”, yaitu Quran dan sunnah, juga harus dipahami ulang jika keadaan berubah? Bukankah dua teks itu merupakan fondasi pokok keberagamaan seorang Muslim? Bukankah kita harus tunduk kepada keduanya tanpa sikap “reserve” apapun sebagaimana menjadi tuntutan dalam sebuah ayat yang terkenal dalam Surah al-Ahzab (QS 33:36)? Tentu saja, pemahaman atas teks suci itu harus terus berubah sesuai dengan perkembangan kedewasaan masyarakat yang juga terus berubah. Yang menjadi masalah adalah adanya kecenderungan yang makin kuat di tengah-tengah masyarakat kita di mana teks Quran dan sunnah diapandang sebagai “penyetop perbincangan”, conversation stopper. Ini adalah gejala yang jelas berhubungan dengan mind-set yang berkembang kuat di kalangan salafisme, yakni, bahwa Quran dan sunnah menjadi “palu” terakhir yang menentukan kata putus dalam segala masalah. Begitu Quran dan sunnah mengatakan A, maka dengan sendirinya seluruh perdebatan dan perbincangan akan selesai. Oleh karena itu, kita sering melihat suatu pemandangan yang sangat umum di kalangan umat Islam di mana semua pihak berlomba-lomba memeragakan kutipan dari Quran dan sunnah, seolah-olah kutipan itu akan menyelesaikan diskusi yang sedang berlangsung. Kecenderungan menjadikan Quran dan sunnah sebagai “penghenti perbincangan” ini sama sekali bukanlah perkembangan yang sehat.

Bahwa Quran dan sunnah menjadi fondasi keberagamaan seorang Muslim, jelas tidak bisa kita sanggah. Kita semua, sebagai anggota dari komunitas beriman yang disebut dengan “ummah”, tunduk pada Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif. Masalahnya bukan di sana, tentunya. Sumber otoritatif itu bisa dipahami dengan cara yang berbeda-beda. Orang-orang dengan mind-set salafisme kurang menyadari bahwa teks suci mengandung banyak kemungkinan penafsiran. Ataupun kalau mereka menyadari kemungkinan banyak tafsir, mereka berusaha untuk meredam multisiplitas teks suci dengan cara menyederhanakan keragaman tafsirnya agak sederhana dan seragam. Mentalitas penyeragaman inilah yang mendasari cara berpikir kaum salafis di mana-mana. Dari sanalah kita bisa memahami kenapa timbul usaha-usaha untuk menegakkan semacam tafsir tunggal yang dianggap paling absah yang dipertahankan kerapkali “at all cost”. Tafsir-tafsir yang menyimpang dari tafsir-tunggal-absah itu dianggap sebagai sesat dan harus disingkirkan sebisa mungkin.

Kelemahan kedua dalam salafisme adalah anggapan bahwa sebuah teks adalah terang-benderang. Inilah prinsip hermeneutis yang dikenal sebagai “perspicuitas”. Prinsip ini menganggap bahwa kurang lebih seluruh teks Kitab Suci bersifat terang-benderang, tidak mengandung ambiguitas apapun yang membutuhkan kegiatan penafsiran yang rumit. Teks suci bisa berbicara tentang dirinya sendiri tanpa bantuan seorang penafsir. Tentu saja, kalangan salafis tidak menolak kegiatan penafsiran, tetapi mereka agak curiga padanya. Kegiatan penafsiran, terutama aspek penafsiran yang dalam tradisi Islam klasik disebut dengan ta’wil (penafsiran yang tidak harafiah, penafsiran yang alegoris), cenderung dipandang oleh kalangan salafis dengan mata kecurigaan. Ini yang menjelaskan penolakan yang begitu gigih di kalangan sebagian kalangan Islam terhadap penerapan teori penafsiran yang datang dari tradisi filsafat hermeneutika. Salah satu argumentasi mereka adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran non-Quranik. Dengan kata lain, teor hermeneutika bukanlah teori “pribumi” yang berasal dari tradisi penafsiran Islam sendiri, dan karena itu harus ditolak. Argumentasi lain adalah bahwa teori itu berasal dari tradisi penafsiran Alkitab dalam lingkungan Yahudi dan Kristen. Argumen-argumen itu, walau tak seluruhnya salah, mengabaikan sama sekali fakta bahwa perkembangan teori penafsiran “pribumi” dalam tradisi Quran bukan sepenuhnya berasal dari tradisi Islam sendiri, sebaliknya ada pengaruh dari luar juga. Kekayaan khazanah Islam, termasuk di dalamnya adalah khazanah penafsiran Quran, diperkaya oleh pelbagai sumber-sumber dari luar.

Kelemahan ketiga dalam salafisme adalah adanya kecenderungan ke arah “absolutisme penafsiran”. Kalau boleh, perkenankan saya memakai istilah “otoritarianisme hermeneutik”, artinya kecenderungan untuk menganggap bahwa hanya ada satu jenis penafsiran yang dianggap absah, absolut dan paling otoritatif. Kecenderungan ini membawa akibat samping yang negatif dalam kehidupan sosial. Sekarang ini, muncul gejala di tengah-tengah masyarakat di mana gampang sekali suatu golongan, mazhab, atau sekte disesatkan hanya gara-gara berbeda dengan pandangan ortodoks yang dianggap paling benar. Ada sebuah buku yang terbit dan beredar di tengah-tengah masyarakat, berisi daftar aliran-aliran dan golongan sesat yang berkembang di Indonesia. Situasi ini menciptakan keadaan di mana masyarakat dibuat takut untuk berhadapan dengan gagasa-gagasan baru dalam bidang sosial-keagamaan. Ada kekhawatiran jangan-jangan gagasan baru itu menyimpang dari ajaran yang benar dan karena itu “sesat”. Meskipun tidak ada “inkwisisi agama” di negeri kita saat ini, tetapi situasi yang muncul saat ini jelas mengarah kepada situasi serupa yang tercipta karena adanya inkwisisi, yaitu ketakutan akan sebuah gagasan baru dalam bidang keagamaan.

Dengan tiga kelemahan di atas, salafisme, menurut saya bukanlah pilihan yang ideal, meskipun saya menghormati sepenuhnya mereka yang menganut cara pandang seperti itu. Dalam pandangan saya, kebangkitan agama tidak semata-semata bisa diterjemahkan melalui bentuk salafisme. Ada bentuk lain yang ingin saya sebut sebagai “khalafisme”, dari kata “khalaf” yang merupakan kebalikan dari “salaf”. Secara harafiah, khalaf berarti era kontemporer, atau periode belakangan yang datang setelah periode terdahulu, periode “salaf”. Khalafisme adalah cara pandang keagamaan yang menghendaki agar pemahaman keagamaan terus tumbuh seturut dengan perkembangan peradaban manusia. Kata kunci pokok dalam khalafisme bukanlah “kembali kepada Quran dan sunnah”, tetapi memahami kedua sumber itu berdasarkan tuntutan zaman yang terus berubah. Khalafisme tidak menolak Quran dan sunnah sebagai sumber otoritatif, tetapi memahaminya secara kontekstual. Munculnya para pemikir Muslim yang menyebut diri mereka sebagai liberal dan progresif, menurut saya, masuk dalam kecenderungan yang kedua ini. Mereka bukanlah kelompok yang hendak membatalkan sama sekali otoritas teks suci atau meninggalkan sama sekali tradisi. Mereka adalah orang-orang yang seraya loyal pada tradisi, tetapi terus berusaha untuk memahami tradisi itu dalam konteks masyarakat yang terus berubah. Sarana untuk melakukan hal itu sudah tersedia dalam khazanah tradisi kita sendiri, yaitu “ijtihad”, yakni penalaran rasional atas diktum-diktum dalam teks suci untuk menjawab persoalan kontemporer yang tak pernah muncul dalam generasi lampau.

Kaum “khalafis”, jika kita boleh mekakai istilah itu, menghadapi pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai berikut: bagaimanakah kita, sebagai seorang Muslim, bisa tetap taat pada tradisi kita, pada teks-teks suci yang ada, pada sumber-sumber otoritatif yang dianggap ilahiah, seraya tidak kehilangan relevansi dengan keadaan yang terus berubah? Apakah firman Tuhan harus dianggap seperti “es batu” yang dipaksa terus membeku, tidak boleh mencair karena “cuaca” yang sudah berubah? Bagaimana seorang Muslim bisa mengabaikan perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat modern dalam memahami ajaran-ajaran agamanya? Bagaimana kita bisa menerapkan hukum syariat, misalnya, dalam konteks politik, sosial, dan budaya yang sudah berubah tanpa melakukan penafsiran ulang atas hukum itu? Apakah kita bisa menerapkan apa yang selama ini dianggap sebagai hukum Tuhan seraya mengabaikan konvensi-konvensi internasional yang disepakati oleh bangsa-bangsa, misalnya konvensi tentang kebebasan sipil? Apakah kita masih tetap bertahan dengan diktum dalam Quran bahwa seorang suami boleh memukul isteri (QS 4:34), sementara kita sekarang memiliki hukum yang melarang kekerasan dalam rumah tangga? Apakah kita masih tetap bertahan pada hukum lama bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan menjadi seorang pemimpin (berdasarkan sebuah hadis la yuflihu qaumun wallau imra’atan – bangsa yang menyerahkan kepemimpinan kepada seorang perempuan, mereka tak akan sukses), sementara keadaan sudah berubah secara drastis, di mana kesempatan pendidikan terbuka luas bagi perempuan, di mana perempuan mencapai prestasi yang tak jauh berbeda dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang? Apakah kita masih harus mempertahankan diktum lama bahwa seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk menjabat tangan seorang perempuan non-muhrim hanya karena ada sebuah hadis yang melarang tindakan semacam itu? Kenapa hukum semacam itu masih harus dipertahankan? Apa “rationale-“nya? Apakah alasan yang mendasarinya? Apakah alasan itu masih relevan hingga sekarang? Intinya: apakah hukum-hukum agama yang memperlakukan perempuan secara disksriminatif masih tetap harus kita pertahankan, semata-mata karena hukum itu berasal dari Tuhan?

Apakah orang-orang yang berbeda dari kita dari segi agama, mazhab, pemikiran harus kita anggap kafir, syirik, sesat, dan sebagainya? Apakah sebutan-sebutan semacam itu masih relevan saat ini? Apakah sikap-sikap kecurigaan atas agama lain yang dijustifikasi berdasarkan ayat-ayat tertentu dalam Quran (misalnya QS 2:120) masih relevan kita pertahankan sekarang? Kenapa kita tidak meng-highlight contoh-contoh tindakan Nabi yang memperlihatkan dengan jelas etos toleransi dan pluralisme, seperti misalnya Piagam Madinah? Kenapa pernikahan beda agama dilarang? Apa alasan yang mendasari larangan itu? Apakah alasan tersebut masih relevan sekarang ini?

Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas tidaklah terhindarkan bagi seorang Muslim modern. Para pemikir Muslim liberal dan progresif yang bergerak dalam tradisi khalafisme sebetulnya ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan sungguh-sungguh berdasarkan sumber-sumber tekstual, tradisi, dan konteks yang terus berubah. Jika hukum-hukum agama dipandang sebagai ketentuan yang telah selesai dan tidak boleh diutak-utik, maka kita akan dihadapkan pada jalan buntu, pada dead-end. Opsi yang ditawarkan oleh kaum salafis memang tampak menarik: Tuhan adalah Maha Tahu, dan Ia lebih tahu hukum-hukum apa yang tepat untuk mengatur kehidupan manusia. Tugas manusia sebagai hamba bukanlah mengutak-atik hukum itu, tetapi melaksanakannya dengan “sendiko dhawuh”, tanpa mempersoalkannya sama sekali. Bukanlah fondasi agama, sebagaimana pernah dikemukakan oleh Kierkegaard adalah “loncatan iman”, leap of faith? Berhadapan dengan hukum-hukum Tuhan itu, manusia tak ada pilihan lain kecuali patuh saja. “Dan tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim laki-laki dan perempuan manakalah Allah dan RasulNya telah memutuskan sesuatu (kecuali menaatinya),” demikian penegasan sebuah ayat dalam Quran (QS 33:36).

Opsi kaum salafis itu, di permukaan, memang tampak masuk akal. Tetapi, jika kita telaah lebih jauh, maka cara-pandang semacam itu jelas mengandung banyak kelamahan mendasar. Pertanyaan yang harus diajukan kepada kaum salafis itu adalah: apakah Tuhan menegasikan sama sekali kedudukan manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang berpikir dan memiliki kehendak serta pikiran? Dalam Islam kita kenal konsep tentang “taklif” atau “moral responsibility”, tanggung-jawab moral. Subyek hukum dalam Islam adalah orang-orang yang memiliki suatu kemampuan tertentu untuk melaksanakan tugas-tugas moral. Hanya orang-orang yang disebut sebagai “mukallaf”-lah yang bisa menyangga beban hukum. Oleh karena itu, orang-orang yang secara mental tidak sehat atau waras, tidak dianggap sebagai subyek hukum. Orang yang sedang tidur, misalnya, bukanlah dianggap sebagai subyek hukum yang layak dibebani tugas moral tertentu. Fondasi utama konsep taklif adalah “common sense”, yakni akal-sehat. Orang-orang yang memiliki akal sehatlah yang bisa menanggung suatu tugas moral. Dengan kata lain, manusia bukanlah dipandang semata-mata sebagai hamba yang pasif, tetapi subyek yang memiliki akal sehat, kehendak, dan pikiran. Salah satu “teriakan moral” (moral cry) yang dikumandangkan oleh Nabi Muhammad adalah kritikan yang keras terhadap tindakan “ikut-ikutan”, taklidisme, membebek tradisi yang ada, tanpa dipikirkan dengan akal sehat secara masak-masak. Kita bisa membaca hal itu dalam banyak ayat di Quran (QS 2:170, 31:21). Kalau kita telaah semangat utama yang dikemukakan Nabi pada masa-masa awal karirnya sebagai seorang guru moral adalah undangan untuk memakai akal sehat, dan menghindarkan diri dari sikap konformisme, ikut kepada tradisi yang ada tanpa sikap kritis. Di sini, jelas, kedudukan manusia sebagai subyek yang berpikir dan berkehendak sangatlah penting sekali.

Sikap kaum salafis yang meminta kita semua untuk menjadi subyek pasif di hadapan hukum Tuhan, seraya mengatakan bahwa Tuhan lebih tahu segala hal yang terbaik bagi manusia, jelas permintaan yang, menurut saya, sangat kelewatan dan sama sekali “counter intuitive”, bertentangan dengan akal sehat kita. Gagasan yang hendak dibawa oleh kalangan Muslim khalafis, bukan salafis, adalah bahwa kita bisa tunduk pada hukum Tuhan seraya tetap mempertahankan diri kita sebagai subyek yang berpikir, berkehendak, dan mampu untuk mencari dasar-dasar “ratio legis” bagi hukum-hukum itu. Ketataan manusia pada hukum atau sunnah Tuhan sama sekali berbeda dengan ketaatan entitas-entitas lain yang nir-kehendak, seperti tetumbuhan atau mineral. Air jelas akan mengikuti hukum Tuhan (dhi. hukum alam) secara pasif, seperti dalam hukum Archimedes misalnya. Air bukanlah subyek yang berkehendak, dan karena itu ia mengikuti “nature” atau hukum alamiahnya secara sempurna tanpa penyelewengan sedikitpun. Tetapi manusia bukanlah benda alam yang nir-kehendak, bukan entitas yang pasif yang mengikuti “nature”-nya tanpa ba-bi-bu. “Nature” atau watak alamiah manusia justru pada kemampuannya untuk melakukan tawar-menawar dengan hukum-hukum alam yang tersedia di sekitar dirinya. Manusia, melalui kehendaknya, tidak sekedar tunduk pada “nature”, tetapi juga mampu melakukan negosiasi dengannya. Manusia mampu melakukan manipulasi atas “nature” dan memakainya untuk tujuan dirinya, entah tujuan yang baik atau jahat. Kaum salafis, tampaknya, dengan gagasan mereka tentang manusia sebagai hamba-pasif yang menerima saja hukum Tuhan tanpa melakukan “pertimbangan hermeneutis” atasnya, hendak menurunkan derajat manusia dari subyek-berkehendak menjadi entitas tak-berkehendak, menjadi seperti tetumbuhan atau mineral pada umumnya. Ini jelas suatu tindakan de-humanisasi, pemerosotan martabat manusia; jelas tindakan yang berlawanan dengan semangat dasar yang dikumandangkan oleh Quran sendiri tentang “kemuliaan martabat manusia” (QS 17:70).

Perkenankan saya menyinggung sedikit soal “kemuliaan martabat manusia”. Saya kira, benar apa yang dikemukakan oleh banyak ahli dan sarjana tentang sumber-sumber tradisional dari gagasan modern tentang “human dignity” atau kemuliaan manusia. Gagasan modern itu bukanlah gagasan yang sepenuhnya sekular dan tak ada kait-mengaitnya dengan sejarah pemikiran agama-agama. Selain sumber-sumber sekular dalam tradisi pencerahan sendiri, gagasan tentang kemuliaan manusia juga bersumber dari agama. Dalam Kristen dikenal konsep tentang “imago Dei”, manusia sebagai citraan Tuhan. Dalam Islam, kita kenal konsep tentang “takrim” atau pemuliaan manusia, bersumber dari penegasan dalam sebuah ayat dalam Quran: wa laqad karramna bani Adam (QS 17:70), dan Aku muliakan anak-anak Adam.

Mari kita telaah sejenak kata “karramna” itu. Kata itu berasal dari akar k-r-m yang berarti mulia. Dari kata itu, muncullah sejumlah istilah-istilah lain, seperti “karim” yang berarti “yang mulia”. Dalam Lisan al-‘Arab, leksikon Arab klasik, kata “karim” dimaknai sebagai “al-jami’ li anwa’ al-khair wa al-sharaf wa al-fadha’il,” yakni orang yang memiliki seluruh kualitas kebaikan, kemuliaan dan keluhuran. Quran sendiri tidak pernah disebut sebagai Kitab Suci (al-kitab al-muqaddas) dalam tradisi Islam, tetapi sebaliknya sebagai Kitab yang Mulia (kitab karim, QS 56:77). Nabi dan Jibril, malaikat pembawa wahyu, juga digambarkan oleh Quran sebagai “utusan yang mulia” (rasul karim, QS 69:40). Tuhan sendiri juga menggambarkan dirinya sebagai Tuhan Yang Mulia dan Maha Dermawan (rabbuk al-karim, QS 82:6). Manusia, dengan demikian, digambarkan sebagai subyek yang mulia; Tuhan menjadikannya sebagai subyek yang “karim”, yang mulia, sesuai dengan penegasan dalam ayat di atas: karramna. Kemuliaan manusia sebagai subyek tentu bukan semata-mata karena bentuk fisiknya yang sempurna (ahsan taqwim, QS 95:4), tetapi juga karena ia memiliki kehendak bebas, memiliki pikiran (QS 91:8).

Oleh karena itu, ketaatan manusia pada hukum Tuhan tidak bisa dipisahkan dari aspek yang sangat penting di atas, yakni kehendak bebas manusia. Kelemahan mendasar dalam teori hukum Islam klasik adalah tidak dimasukkannya unsur pengalaman manusia sebagai subyek yang otonom, subyek yang karim itu, dalam kontruksi diskursus hukum, dalam perumusan diktum-diktum legal. Pengalaman manusia sama sekali diabaikan sebagai “sub-text” yang kurang penting. Yang menarik, pengalaman manusia ini tidaklah bisa diusir sepenuhnya dari proses penafsiran teks-teks suci, meskipun secara “remsi” tidak pernah diakui. Pengalaman manusia tetap “menyelundup” diam-diam dalam perumusan hukum Islam, tanpa disadari oleh para “Muslim jurists” sendiri. Contoh terbaik adalah hukum-hukum Islam yang sejuah ini banyak mengandung elemen-elemen “misoginis”, sama sekali tak ramah pada kaum perempuan. Pengalaman perempuan sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan otonom jarang atah sama sekali tak diperhitungkan.

Saya akan mengambil suatu kasus kongkrit sebagai sebuah ilustrasi. Sekarang ini, kita sedang mengikuti perdebatan ramai sekali mengenai soal poligami dan nikah siri, yakni nikah-bawah-tangan yang tak tercatat. Sungguh menarik sekali bahwa sebagian besar kaum laki-laki dari kalangan elit agama (anda bisa menyebutnya ulama, kiai, atau ustaz) cenderung setuju pada praktek poligami dan nikah siri. Alasan “formal” yang kerap dikemukakan adalah bahwa keduanya secara eksplisit diperbolehkan oleh hukum agama. Pencatatan nikah bukanlah ketentuan yang diharuskan oleh agama. Karena itu, pencatatan nikah tidak menjadi syarat validnya sebuah pernikahan. Pertanyaan kita adalah: apakah hukum semacam itu harus kita terima sekarang ini? Apakah pengalaman perempuan tidak diperhitungkan dalam perumusan hukum ini? Kenapa hukum agama harus dimenangkan “at all cost”, seraya mengabaikan pengalaman manusia sebagai subyek yang “karim”, yang mulia dan berkehendak?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini jelas layak dikemukakan. Seorang Muslim yang beragama dengan sungguh-sungguh dan tidak bersiakp “burung onta”, jelas tidak bisa menolak “pertanyaan-pertanyaan kritis” yang meronta-ronta di atas. Salah satu keberatan kaum salafis terhadap cara pandang kaum khalafis adalah: jika pengalaman subyektif manusia diperhitungkan dalam konstruksi hukum, maka kita memperoleh hukum yang subyektif, hukum yang terus berubah, hukum yang tidak memberikan kepastian. Bukankah agama adalah “guidance” atau petunjuk yang mestinya harus memberikan kepastian? Hukum manusia memang boleh berubah, tetapi hukum Tuhan tidak sama sekali, demikian pandangan kaum salafis.

Apakah pandangan semacam itu dapat kita terima? Gagasan bahwa hukum Tuhan tidak berubah sama sekali jelas tidak benar. Dalam Quran sendiri ditegaskan bahwa masing-masing bangsa memiliki “hukum Tuhan” yang berbeda-beda (QS 5:48). Masing-masing epok sejarah dan generasi memiliki hukum yang pas untuk “zeit-geist”, semangat zamannya. Jika hukum Tuhan berlaku universal, tentu tak akan ada rangkaian wahyu-wahyu yang susul-menyusul dari waktu ke waktu dan membawa ajaran-ajaran yang sesuai dengan zamannya. Gagasan tentang “historisitas” sudah tertancap dalam konstruksi wahyu itu sendiri. Ketika berhadapan dengan manusia, Tuhan bekerja tidak lain dengan prinsip historisitas itu. Sebab, “Yang Tak Terbatas” tak bisa dikandung oleh “Yang Terbatas”, karena itu terjadilah proses “kemenyejarahan”, yakni Tuhan Yang Tak Terbatas menyejarah melalui wahyu, firman dan hukum-Nya seturut dengan batasan-batasan historis yang ada pada manusia yang serba terbatas. Bahwa masing-masing utusan Tuhan datang dengan instrumen kebahasaan yang dapat dipahami oleh lingkungan sosialnya (QS 14:4) menandakan bahwa kehendak, wahyu dan firman Tuhan memang tak bisa lain kecuali harus mengalami proses “penubuhan” dalam sejarah. Tak heran jika firman Tuhan yang sudah menubuh dalam sejarah manusia itu juga akan membawa sifat-sifat yang serba relatif, artinya terkait dengan konteks tertentu. Saat mengalami proses penubuhan itu, wahyu dan firman Tuhan juga harus mempertimbangkan pengalaman manusia yang terus berubah. Hukum Tuhan, bukan hanya hukum manusia, juga berubah. Tentu saja harus segera diberikan “caveat” di sini: bahwa tidak semua hukum Tuhan berubah; ada sejumlah hukum Tuhan yang bersifat universal, tetapi banyak diantaranya bersifat relatif dan kondisional.

Kaum salafis biasanya juga mengatakan bahwa hukum Islam mewakili Kehendak dan Firman Tuhan terakhir yang berlaku abadi, dan tidak bisa diubah-ubah lagi. Hukum Islam adalah The Last Law. Sementara Nabi Muhammad adalah The Last Prophet yang membawa kebenaran terbesar terakhir dalam sejarah manusia. Quran sendiri juga dianggap sebagai The Last Revelation, Wahyu dan Penyingkapan Terakhir yang menjadi kata-pamungkas untuk seluruh kebenaran. Kalau kita telaah gagasan ini, tampak sekali bahwa asumsi yang mendasarinya adalah semacam cara berpikir “yang nomor paling akhir adalah yang terbaik”. Apakah benar, yang paling akhir adalah yang terbaik? Bukankah dalam bidang yang lain, umat Islam justru percaya bahwa yang akhir justru menandai kemerosotan? Bukankah Nabi sendiri pernah mengatakan bahwa generasi terbaik adalah generasi awal yang dekat dengan periode kenabian? Bukankah ada anggapan pula pada umat Islam bahwa makin jauh dari generasi Nabi, kemungkinan terjadi korupsi makin besar? Dengan kata lain, dalam hal ini, logika yang bekerna justru “yang nomor pertama yang tarbaik”. Kenapa ada dua logika yang bekerja secara kontradiktoris di sana? Yang satu menganggap bahwa yang nomor bontot yang paling baik, sementara yang satunya justru menganggap nomor pertama paling baik. Bagaimana mendamaikan dua logika semacam ini?

Sebagai Muslim, saya tentu tak mengingkari dogma yang ada dalam Islam bahwa Quran dan Muhammad adalah wahyu dan nabi terakhir. Tetapi, dogma semacam ini sama sekali tidak menegasikan aspek historisitas dalam wahyu dan hukum Tuhan. Setelah Quran, dalam kepercayaan umat Islam, memang tidak ada wahyu lagi. Tetapi, ada hal lain yang sangat penting, yaitu manusia sebagai subyek yang karim, yang mampu mendialogkan wahyu dengan perubahan-perubahan yang terus terjadi. Wahyu memang berhenti, tetapi akal manusia terus bekerja untuk melanjutkan tugas yang dulu pernah diemban oleh wahyu dan kenabian Muhammad. Tugas intelektual Muslim mendatang adalah bagaimana mempertimbangkan aspek pengalaman manusia sebagai subyek yang karim itu dalam perumusan hukum agama, dalam memahami ketentuan-ketentuan yang dianggap berasal dari Tuhan. Manusia sebagai subyek sejarah dengan seluruh kerumitan pengalamannya tidak bisa diabaikan dalam pemahaman agama. Konteks sosial yang terus berubah juga merupakan aspek lain yang tak bisa diabaikan. Hingga sekarang ini, sebagian besar umat Islam masih beredar di sekitar orbit salafisme, yaitu memahami agama dengan memberikan tekanan yang tinggi pada firman Tuhan dan teks suci, sementara mengabaikan konteks sejarah dan pengalaman manusia. Menurut saya, harus ada “paradigm shift”, perubahan cara pandang yang memang tidak mudah, dari pemahaman yang text-minded kepada pemahaman yang mempertimbangkan pengalaman manusia sebagai subyek yang memiliki akal sehat.

Inti pemahaman keagamaan yang diajukan oleh kaum khalafis, oleh para pemikir Muslim liberal dan progresif di mana-mana, sebetulnya, adalah sederhana: yaitu pemahaman keagamaan yang masuk akal. Akal sehat adalah modal utama bagi semua orang –bagi kalangan spesialis atau awam—untuk menilai sesuatu. Sabda Nabi Muhammad yang terkenal adalah “istafti qalbaka”, mintalah “fatwa” pada hati nuranimu, pada akal sehatmu. Sebelum ditunjang oleh ayat, hadis, dan argumen yang bertakik-takik dan njlimet, kita bisa menilai apakah sebuah “fatwa” atau pandangan keagamaan tertentu masuk akal atau tidak.

Marilah kita ambil contoh yang sederhana. Di sebuah provinsi Indonesia saat ini, ada sebuah qanun atau UU yang membolehkan seorang perempuan dihentikan di tengah jalan karena berpakaian yang tidak sesuai dengan aturan dan hukum agama. Dalam hukum Islam yang standar, memang aturan pakaian perempuan adalah menutup seluruh tubuh selain muka dan dua telapak tangan. Tanpa mengurangi rasa hormat pada hukum semacam ini, kita patut bertanya dengan akal sehat kita: kenapa perempuan diharuskan berpakaian semacam itu? Alasan yang kerap dikemukakan adalah untuk menjaga agar tak terjadi “fitnah” atau “sexual arousal”, pembangkitan syahwat. Wanita dipandang sebagai subyek pasif yang menimbulkan keguncangan pada kaum laki-laki. Perempuan adalah subyek volkanik yang bisa menimbulkan ledakan fitnah yang mengganggu kaum laki-laki. Pandangan semacam ini, secara umum mungkin bisa diterima akal. Yang menjadi pertanyaan adalah: kenapa perempuan yang harus menanggung “harga” dari gangguan ini. Kenapa laki-laki dibiarkan sebagai subyek yang sama sekali tak disentuh. Hukum tentang pakaian bagi perempuan dalam Islam selama ini kurang memperhitungkan pengalaman perempuan sebagai subyek otonom. Memandang bahwa perempuan adalah “sumber syahwat” yang volkanik jelas pandangan khas laki-laki yang sama sekali mengabaikan aspek-aspek yang kompleks dalam konstruksi subyek perempuan. Orang-orang yang menganggap bahwa aturan pakaian perempuan dalam Islam yang kita warisi dari era klasik dulu masih berlaku sekarang dan harus ditegakkan melalui Perda atau Qanun jelas mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial yang terjadi, selain mengabaikan pengalaman perempuan sebagai subyek yang karim pula. Hukum semacam ini, tanpa melalui argumentasi yang rumit, dapat kita nilai tak masuk akal.

Dengan mengatakan hal ini, bukan berarti bahwa saya menganjurkan agar perempuan memakai pakaian apa saja sesukanya tanpa mengindahkan rasa kepantasan umum. Apa yang disebut sebagai “akal sehat” memiliki suatu “hukum imanen” tersendiri yang dapat menengarai batas-batas yang pantas dan tidak. Karena itu, hukum pakaian dalam Islam, menurut saya, bukanlah jenis pakaian tertentu yang menutup bagian-bagian badan tertentu. Kaidah pokok berpakaian dalam Islam, menurut saya, adalah kepantasan (public decency). Masing-masing masyarakat dan lingkungan budaya memiliki kaidah kepantasan masing-masing yang sesuai dengan budaya setempat.

Baru-baru ini, suatu golongan dalam Islam dimusuhi karena membawa ajaran yang berbeda mengenai kenabian, yaitu Ahmadiyah. Kelompok ini dipaksa keluar dari Islam dan mendirikan agama terpisah, selain juga dianggap sesat dan telah keluar dari agama Islam. Anggota kelompok ini diganggu, diserang, dan tempat ibadah mereka dibakar atau dirusak. Kejadian-kejadian ini jelas mencederai akal sehat kita, selain berlawanan dengan ajaran Islam yang paling mendasar. Prinsip dalam Islam yang jelas sangat masuk akal adalah tiadanya paksaan dalam agama (QS 2:256). Kepercayaan dan kepemelukan agama tidak bisa dipaksakan oleh siapapun, sebab fondasi agama adalah ketundukan yang sukarela yang diwakili oleh konsep “ikhlas” dalam Islam. Jiwa ajaran Islam pernah dikumandangkan dengan sangat baik oleh seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat asal Inggris, yaitu Roger William, yang pernah melontarkan kata-katanya yang terkenal, “the forced worship stinks in the God’s nostril” – ibadah yang dipaksakan akan menjadi sangat busuk baunya di hidung Tuhan.

Konsep tiadanya pemaksaan mestinya berlaku secara penuh, baik secara eksternal dan internal, sehingga prinsip itu menjadi konsisten dan masuk akal. Secara eksternal dalam pengertian, tak ada paksaan untuk masuk dari luar ke dalam Islam, tak boleh ada “konversi” yang dipaksakan. Secara internal, berarti tak ada paksaan untuk masuk ke dalam golongan, mazhab, atau sekte tertentu dalam Islam setelah yang berangkutan masuk Islam. Memaksa seseorang masuk ke dalam mazhab, sekte atau paham tertentu dalam Islam sama saja menyalahi prinsip dasar tiadanya paksaan tersebut. Memaksa golongan Ahmadiyah untuk kembali kepada ajaran yang dianggap “benar”, atau memaksa mereka keluar dari Islam dan mendirikan agama sendiri, jelas berlawanan dengan prinsip tiadanya paksaan dalam agama itu.

Salah satu argumen yang kerap dikemukakan oleh kaum salafis adalah bahwa kemunculan kelompok-kelompok yang membawa paham yang berbeda itu bisa menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan memprovokasi mereka untuk berbuat tindakan kekerasan. Argumen semacam ini jelas tak masuk akal sama sekali. Semua pandangan baru, dalam sejarah manusia, selalu membawa keresahan dalam masyarakat. Jika seseorang dilarang membawa atau menyebarkan ajaran baru karena alasan menimbulkan provokasi, maka jelas peradaban manusia tak akan berkembang. Gagagasan Galileo tentang heliosentrisme jelas menimbulkan kemarahan gereja dan memprovokasi kalangan Kristen untuk mempersekusi ilmuwan itu. Jika sebuah gagasan, mazhab, atau paham baru tidak diperbolehkan muncul ke permukaan dengan alasan akan menimbulkan kemarahan masyarakat, maka kita mungkin masih hidup dalam alam Ptolemaisme dan ilmu modern sama sekali tak berkembang. Saya ingat kalimat terkenal dari Syekh Amin al-Khuli dari Mesir, “tu’addu al-fikratu hinan ma kafiratan tuharramu wa tuharab, tsumma tushbihu ma’a al-zaman mazhaban ba ‘aqidatan wa ishlahan takhthu bihi al-hayatu khathwatan ila al-amam,” suatu pemikiran pada suatu masa dianggap kafir, dilarang, dan dimusuhi; pelan-pelan, dengan berlalunya waktu, pemikiran itu berubah menjadi mazhab, bahkan dogma dominan, menjadi gagasan perbaikan dan pembaharuan yang membuat kehidupan lebih maju lagi ke depan.

Kita bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan kaum kulit hitam di Amerika Serikat dulu jika mereka dilarang untuk membawa gagasan tentang kesetaraan manusia, melawan praktek diskriminasi, dengan alasan, gagasan itu akan meresahkan kaum kulit putih. Jika alasan keresahan kaum kulit putih itu dibenarkan, maka orang-orang Afro-Amerika sekarang ini tak akan pernah bisa menikmati kesetaraan. Gagasan baru, seperti dikatakan oleh Amin al-Khuli di atas, memang sering meresahkan dan dimusuhi, tetapi gagasan baru itulah yang membuat “frontier” peradaban manusia terus maju.

Yang menyedihkan adalah bahwa argumen tentang kemungkinan resahnya masyarakat karena gagasan baru itu, dijadikan argumen oleh kalangan yang pro-status quo ajaran untuk menakut-nakuti masyarakat. Mereka biasa berujar, jika sekte atau paham tertentu dibiarkan maka masyarakat akan resah, marah dan melakukan kekacauan. Argumen ini ingin saya sebut sebagai “the politics of blackmailing”, politik pemerasan. Lebih tidak pantas lagi jika argumen semacam ini dikemukakan oleh pihak pemerintah yang mestinya menjadi wasit yang adil di tengah-tengah keragaman dalam masyarakat. Jika kita ikuti ajaran dasar dalam Islam sendiri, prinsip tiadanya paksaan dalam agama dan kepercayaan adalah prinsip premium yang tak bisa dianulir oleh prinsip-prinsip yang lain, apalagi oleh alasan keresahan masyarakat atau ketertiban politik.

Keadaan yang saya anggap sebagai suatu kecenderungan yang menyedihkan adalah para elit agama kita tidak berusaha mendewasakan umat dengan mendorong agar mereka bisa menghormati perbedaan penafsiran dan paham yang berkembang dalam masyarakat, tetapi justru membuat mereka resah dengan cara menakut-nakuti bahwa paham-paham baru itu akan menimbulkan rasa was-was dan instabilitas dalam nasyarakat. Ini jelas seperti menyiramkan bahan bakar kepada rumput yang sudah kering. Tugas elit-elit agama seharusnya membawa masyarakat kepada tingkat kedewasaan yang cukup, sehingga mereka bisa menerima perbedaan secara lapang dada. Sementara itu tugas pemerintah bukanlah menekankan kembali “mindset” lama, yaitu menjada ketertiban umum dengan cara menekan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap membawa paham baru yang meresahkan. Tindakan pemerintah semacam ini selain berlawanan dengan kontitusi kita yang melindungi prinsip kebebasan beragama dan kepercayaan, juga tidak paralel dengan prinsip dasar dalam Islam sendiri yang menampik adanya paksaan dalam agama.

Dengan cara berpikir semacam inilah, kaum Muslim khalafis, para pemikir liberal dan progresif, mencoba mendamaikan antara imperatif keimanan dan imperatif perubahan karena perkembangan sosial dan sejarah. Jika ada kaum Muslim yang layak disebut moderat, mereka itulah yang pantas menyandang gelar itu, sebab mereka lah yang menjaga keseimbangan antara “tradisi” dan “perubahan”, antara “ashalah” dan “hadathah”, antara otentisitas dan modernitas.

Sekian, terima kasih.

Jakarta, 2 Maret 2010
Disampaikan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.