Thursday, November 11, 2010

Sri Mulyani dan Kerudung Nusantara

Pernahkah Anda melihat Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI yang sekarang menjabat sebagai managing director Bank Dunia, memakai kerudung atau jilbab? Orang luar yang mengetahuinya hanya dari berita media massa, sulit rasanya untuk mengatakan pernah. Ini karena dalam aktivitas keseharian Mbak Ani, begitu dia sering disapa, pakaian yang biasa ia kenakan adalah blazer tanpa kerudung. Mungkin hanya dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja Mbak Ani terekspos media dengan berkerudung, semisal dalam acara ta’ziyah ibundanya yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang atau memperingati hari-hari besar keagamaan di Istana. Selain acara semacam itu tidak sering terjadi, Mbak Ani juga tidak mendapat sorotan yang berlebihan dalam acara-acara tersebut.

Kerudung Mbak Ani

Tapi ada pemandangan unik ketika kita masuk ke sebuah grup di Facebook yang berjudul “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati!” atau KPI-SMI. Di sana kita akan menemukan Mbak Ani memakai kebaya panjang batik lengkap dengan kerudungnya yang panjang tergerai. KPI-SMI adalah grup yang dibuat oleh beberapa sahabat beliau yang didedikasikan untuknya sebagai dukungan ketika kasus skandal Bank Century ramai dibicarakan. Grup itu saat ini beranggotakan sekitar 130 ribuan member dan masih cukup ramai sampai sekarang.

Pertanyaannya, kenapa foto profil yang dipasang adalah foto Mbak Ani yang berkerudung, foto dengan latar yang jarang dia perankan, bukan foto dengan stelan jas dan rambut sebahu dan terbuka sebagaimana biasa kita saksikan? Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya pencitraan terhadap figur beliau. Kita tahu, munculnya grup dimana foto itu berada adalah ketika kasus Century sedang panas. Waktu itu Mbak Ani diserang dari mana-mana. Tidak hanya tokoh-tokoh partai politik yang menjadikannya sebagai sasaran tembak, tetapi hampir semua media massa dan tokoh-tokoh nasional juga menjadikannya target yang harus dibidik.

Nah dalam situasi semacam itulah penggagas KPI-SMI mungkin ingin membantunya melalui sebuah gerakan yang berada di luar institusi yang sudah ada untuk mendukung dan membela kebijakan-kebijakannya yang mereka anggap sudah benar dan tepat. Selain menampilkan teori dan analisa yang njelimet yang ada di wall dan forum diskusi grup, dukungan itu antara lain berupa pemasangan foto Mbak Ani yang berkerudung itu tadi. Foto itu ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Mbak Ani bukanlah seorang yang jauh dari agama, meskipun bidang yang ia geluti tidak berhubungan secara langsung dengan “masalah-masalah keagamaan”. Foto itu mau menegaskan bahwa Mbak Ani adalah orang yang sangat religius. Relevansinya dengan kasus Century adalah bahwa Mbak Ani juga seorang yang bermoral dan patuh hukum, karena itu mereka yang mengatakan bahwa Mbak Ani telah melakukan kebijakan yang tidak benar untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu sehingga merugikan negara adalah salah besar.

Namun pencitraan semacam ini bukanlah monopoli pendukungnya Mbak Ani untuk memoles pujaannya. Hampir semua orang juga melakukan hal yang sama. Lihatlah kartu suara pada pilpres 2004 dan 2009. Di situ terpampang foto Megawati yang mengenakan kerudung bersandingan dengan KH. Hasyim Muzadi dan Prabowo Subianto. Padahal kita semua tahu, dalam kesehariannya Bu Mega tidak memakai kerudung. Demikian juga dengan para caleg, cagub, cabup, dll dalam setiap pemilu dan pilkada. Mereka yang biasanya tidak memakai kerudung atau jilbab tiba-tiba merubah penampilannya dengan mengenakan “busana Muslimah” ini.

Apakah pencitraan semacam itu dibenarkan? Kalau titik tolaknya adalah dalil-dalil agama, mungkin hal itu tidak layak dilakukan. Karena dalam agama, segala sesuatu yang dilakukan harus diniyati ikhlas karena Allah, bukan karena selain-Nya. Jadi tidak dibenarkan kita melakukan sesuatu agar masyarakat mengira kita adalah orang baik. Tetapi toh nyatanya kita hidup di sebuah zaman dimana pencitraan memiliki peran yang sangat menentukan untuk sebuah kesuksesan. Hal ini juga diperparah oleh sikap sebagian masyarakat yang dengan mudah menerima polesan citra itu tanpa merenungkan apalagi menggugatnya.

Sejarah Kerudung

Namun demikian, apakah berkerudung atau berjilbab merupakan sebuah kewajiban keagamaan? Apakah tidak berkerudung bagi seorang Muslimah adalah sebuah perbuatan dosa?

Hukum agama (fiqh) atau syari’ah adalah hasil sebuah ijtihad para ulama. Ia bukan semacam KUHP yang sudah jadi dan diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sehingga kita tinggal menjalankannya. Faktanya adalah perintah dan larangan yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits biasanya masih dalam bentuk umum, atau kalau dalam bentuk khusus biasanya terjadi dalam konteks-konteks tertentu. Kita yang awam akan hukum agama tidak bisa serta merta menjalankannya tanpa mengetahui apa maksud dan kandunganya.

Dan proses untuk mengetahui maksud serta kandungan dari firman Allah dan sabda Nabi itu dinamakan ijtihad. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki kedalaman ilmu agama dan konsen terhadap masalah-masalah keagamaan saja. Karena itu, syari’ah yang kita lakukan mulai dari shalat, zakat, puasa, dll beserta dengan detail-detailnya adalah produk ijtihad dari para ulama. Biasanya kita hanya berperan sebagai konsumen hasil ijtihad mereka. Bahkan mereka yang mengklaim sebagai kelompok Islam modernis pun sebenarnya juga menjalankan apa yang difatwakan oleh tokoh dan ulama panutan mereka.

Karena perbedaan latar belakang pendidikan, sosial-politik, dan minat dari dari masing-masing ulama, maka hasil ijtihad yang mereka lakukan juga bisa berbeda satu sama lain. Demikian juga tentang masalah jilbab/kerudung. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa berjilbab adalah kewajiban syari’ah, sedangkan yang lainnya mengatakan itu hanya sebuah budaya saja.

Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab adalah wajib mendasarkannya pada ayat dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Ahzab ayat 59 dan QS. an-Nur ayat 31. Bagi mereka, kedua ayat tersebut memerintahkan para Muslimah untuk menutup kepalanya dengan jilbab/hijab. Sedangkan bagi mereka yang mengatakan tidak wajib, kedua ayat tersebut hanya menyuruh kaum Muslimah untuk mengenakan pakaian yang pantas dan bermoral saja.

Lepas dari perdebatan fiqih tersebut, jilbab atau penutup kepala sebenarnya bukanlah monopoli Islam saja. Jilbab sebagaimana yang kita kenal, atau chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman, keberadaannya sudah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijab seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Bahkan konsep hijab dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama samawi (Yahudi dan Nasrani). Bentuk pakaian seperti ini sudah ada dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Karena itu terserah bagi kita yang percaya bahwa jilbab/kerudung itu wajib untuk memakainya. Dan bagi yang percaya bahwa pakaian ini tidak wajib juga terserah untuk tidak mengenakannya. Semuanya adalah hasil ijtihad, yang bisa benar dan juga bisa salah. Dan semuanya sama-sama mengaku sebagai ajaran Islam yang benar. Yang terpenting adalah tidak mendakwa yang lain sebagai tidak Islami hanya karena masalah jilbab.

Kerudung Nusantara

Kembali pada Mbak Ani. Kalau kita amati, cara berkerudung yang ia lakukan tampak berbeda dengan praktek berjilbab yang banyak kita saksikan di masyarakat. Yang dikenakan Mbak Ani adalah kerudung yang berupa kain panjang yang digunakan untuk menutup kepalanya, dengan sebagian rambut depannya masih kelihatan, dan tanpa ikatan di bawah dagunya. Model berkerudung ini sama dengan yang dilakukan oleh Yeni Wahid, putri almarhum Gus Dur. Tentu berkerudung seperti ini berbeda dengan kebanyakan jilbab yang dipakai oleh wanita-wanita Muslimah yang lain, yang mengikatkan kerudung di bawah dagu serta tidak menampakkan rambut kepala di depannya.

Bisa jadi alasan Mbak Ani memakai kerudung model ini karena lebih fleksibel lantaran dia tidak terbiasa dengan memakai jilbab. Bila dirunut ke belakang, mungkin itu karena latar belakangnya yang bukan dari golongan “santri”. Selama ini ia lebih identik dengan kelompok nasionalis, meski menurut beberapa pendukungnya dia jg sangat religius.

Namun model berkerudung Mbak Ani inilah yang sebenarnya lazim dipraktekkan oleh para wanita Muslimah Indonesia masa lalu. Inilah model berkerudung yang masih “asli” dan produk Islam Nusantara. Kalau Anda tidak percaya, lihatlah gambar-gambar dalam sejarah perjuangan Republik ini. Dalam perkumpulan dan persyarikatan dimana wanita yang berkerudung turut hadir, maka model kerudungnya adalah seperti Mbak Ani ini, bukan berbentuk jilbab yang sekarang banyak kita kenal.

Berkerudung model ini tidak hanya dipraktekkan oleh orang-orang biasa, tetapi juga oleh wanita-wanita yang dianggap sebagai tokoh agama Islam. Istri KH Wahid Hasyim, menteri agama pertama dan putra KH Hasyim Asy’ari, memakai kerudung model ini. Istri Muhammad Natsir, tokoh yang getol menyerukan Negara Islam, juga sama cara berkerudungnya. Demikian juga cara berkerudung istri Muhammad Hatta, proklamator kita. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Muslimah lainnya yang mempraktekkan model berkerudung semacam ini. Di antara mereka yang saat ini masih mempraktekkannya adalah Nyai Nafisah Sahal, istri KH MA Sahal Mahfudz, ketua umum MUI, dan istri KH Maimoen Zubair, sesepuh dan ketua dewan syari’ah Partai Persatuan Pembangunan. Dan sampai sekarang masih banyak ibu-ibu Muslimah di daerah-daerah, termasuk ibu saya, yang masih berkerudung model Mbak Ani ini.

“Kerudung Nusantara” ini adalah perpaduan antara budaya setempat dengan budaya yang diimpor dari Timur Tengah. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan dari para ulama Nusantara terhadap buadaya lokal yang sudah ada. Mereka tidak memaksakan sebuah budaya yang sama sekali baru dengan sera merta mencabut budaya yang sudah ada. Inilah hasil ijtihad mereka yang memiliki pemahaman ilmu-ilmu agama yang mendalam.

Adapun model jilbab yang kita kenal saat ini baru meluas belakangan sekitar tahun 80-an. Model ini awalnya banyak dipraktekkan oleh kelompok-kelompok terbatas yang ada di perkotaan, yang banyak mendapat pengaruh budaya dan cara-cara berislam baru dari Timur Tengah. Dan akhirnya model jilbab inilah yang sekarang dominan. Belakangan model jilbab yang lain dari Timur Tengah juga sudah mulai masuk ke Negeri ini, yaitu jilbab panjang yang menutupi hampir setengah badan dengan muka tetap masih terbuka, yang banyak dipakai oleh para akhawat. Bahkan jilbab ekstrim pun mulai dilirik, yaitu kain yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali kedua mata, yang biasa kita kenal dengan sebutan cadar.

Mbak Ani Berkerudung Lagi?

Banyak pengamat mengatakan Mbak Ani adalah capres potensial di tahun 2014 mendatang. Sahabat dan para pendukungnya juga mengharapkan itu. Dan kita semua tentu tahu, modal untuk memenangi pilpres tidak hanya berupa kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, kekuatan finansial, dan dukungan politik, tetapi juga pengemasan/pencitraan yang baik. Dan kalau akhirnya Mbak Ani maju, apakah dalam rangka pencitraan itu dia harus berkerudung lagi guna menggaet lebih banyak simpati dari para pemilih Muslim? Perlukah Mbak Ani memoles dirinya sedemikian rupa sehingga dia terlihat sebagai seorang yang religius? Haruskah di surat suara nanti kita menjumpai foto Mbak Ani sama seperti Bu Mega yang tiba-tiba berkerudung?

Sabda Kanjeng Nabi, “at-taqwa hahuna”, ketakwaan itu berada di dalam hati. Tidak perlu berkerudung kalau hanya untuk pencitraan kepada masyarakat. Cukuplah menjalin dan memperbanyak komunikasi dengan para tokoh dan masyarakat Muslim agar lebih dekat dengan mereka. Cukuplah dengan membantu dan memberi perhatian yang cukup kepada mereka, sehingga ia diakui sebagai bagian dari mereka.

Tidak perlu berkerudung hanya untuk kepentingan kampanye. Kalau mau berkerudung, lakukanlah itu murni karena dorongan hati nurani dan dikenakan terus menerus, bukan karena tuntutan pencitraan dan hanya dilakukan sesaat saja. Berkerudung hanya saat kampanye menunjukkan bahwa pelakunya tidak konsisten dengan apa yang diyakininya. Jadilah diri sendiri. Dan kalau akhirnya berketatapan hati untuk berkerudung, silahkan memilih, memakai model “kerudung Nusantara” atau model jilbab. Semuanya baik. Yang penting tidak yang ekstrim dan malah menakutkan yang lain.

No comments: