Thursday, December 23, 2010

Guru Lokal Berkualitas Global

In Memoriam KH Faruq Barlian

“Gak ada yg tau, kapan kita kembali kepada-Nya. Selamat jalan Pak, sampai ketemu lagi di ‘sana’.” [Gus Wasi’ Hilmy]

Lima tahun belajar di Mathali’ul Falah, aku hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Bahkan sampai sekarang pun, enam tahun setelah lulus, masih juga demikian. Aku sangat iri dengan teman-teman dari ndalem dan pengurus PMH Putra yang dengan ‘tanpa sungkan’ bisa bercengkerama dengan beliau. Atau dengan kawan-kawan dari pengurus harian HSM yang terbiasa berbincang dengan beliau. Sebagai siswa dan santri biasa, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk berbuat seperti mereka. Bahkan beliau mungkin tidak mengenaliku. Dan karena dari kejauhan itulah coretanku ini mungkin banyak yang kurang tepat. Semoga teman-teman yang dekat dengan beliau berkenan membetulkannya.

Bertubuh kurus kering, dengan kaca mata kecil namun tebal, aku melihatnya sebagai sosok yang dingin dan pendiam. Kata pendiam mungkin kurang tepat, karena bagaimana aku yang jauh darinya bisa tahu kalau beliau adalah seorang pendiam. Penggambaranku itu mungkin lebih karena aku sendiri yang pendiam dan tidak pernah bertegur sapa dengan beliau.

Tapi di balik kedinginan dan kediamannya itu, ada sebuah kekaguman yang membuatku selalu memperhatikannya. Sekali lagi memperhatikannya dari kejauhan yang disertai dengan perasaan kagum dan bangga. Aku melihatnya sebagai sosok yang unik. Unik karena beliau memiliki kemampuan dan kapasitas lebih dari kebanyakan santri-santri di pesantren tradisional. Kemampuan lebih dengan latar belakang yang ‘hanya’ dari pesantren membuatnya tidak hanya unik, tapi sekaligus hebat. Hal ini mengingatkanku pada dua tokoh yang juga menjadi idola beliau: Gus Dur dan Kiai Sahal. Tentu njomplang membandingkan beliau dengan kedua tokoh tersebut. Namun menurutku, beliau adalah bentuk lain dengan ukuran yang lebih kecil dari seorang Gus Dur atau Kiai Sahal.

Namanya Faruq Barlian. Kami biasa memanggilnya Pak Faruq. Sebuah nama yang menurutku aneh dan lagi-lagi juga unik. Aneh karena nama Barlian terdengar asing di telinga santri. Unik karena nama itu mirip dengan kata berlian. Bahkan awalnya aku mengira nama beliau adalah Faruq Berlian. Usianya belum ada empat puluh tahun.

Semula aku hanya mendengar dari teman-teman bahwa beliau mengajar Administrasi di kelas Tsanawiyah. Aku heran, bagaimana bisa seorang lulusan pesantren yang tidak pernah kuliah bisa mengajar administrasi, sebuah pelajaran umum yang tidak intens dipelajari di pesantren. Apalagi, kata teman-temanku tadi, dalam mengajar beliau sangat mahir dan menguasai. Beberapa kali aku juga menghadiri seminar dimana beliau tampil sebagai pemateri atau pemberi sambutan. Dari situ aku tahu bahwa orang ini beda dari yang lain. Penyampaiannya runtut dan kalimatnya datar tapi mengena. Lebih dari itu, selalu ada yang baru dari yang disampaikannya. Aku menemukan seorang guru muda yang ‘berisi’, cemerlang, dan potensial. Aku hanya berharap suatu saat aku bisa diajar oleh beliau.

Kesempatan itu datang di kelas tiga Aliyah. Ada sebuah mata pelajaran baru, yang sebelumnya belum pernah diajarkan di sekolahku, yaitu pelajaran Sosiologi. Bagi orang luar mungkin terdengar aneh: sebuah sekolah tingkat aliyah tapi baru memasukkan pelajaran Sosiologi di dalam kurikulumnya di tahun 2004, dan itu pun hanya ada di kelas tiga. Harus dipahami bahwa sekolah kami adalah sekolah keagamaan berbasis pesantren, yang mata pelajaran umumnya hanya sebagai ‘pelengkap’. Katanya, 75% pelajaran di sekolah kami adalah agama, sisanya pelajaran umum. Tapi kata Kiai Nur Hadi – Allahu yarĥamhu – semua ilmu adalah kepunyaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Karena itu tidak perlu lagi ada dikotomi antara pelajaran agama dan umum. Dan karena semuanya adalah ilmu Allah, maka semuanya adalah pelajaran agama.

Dan yang diberi tugas oleh sekolah untuk mengajarkan pelajaran baru itu kepada kami adalah Pak Faruq. Dengar-dengar, yang pertama kali diserahi tugas untuk mengajar mata pelajaran ini adalah Kiai Mu’adz Thohir, seorang kiai pesantren yang menguasai ilmu-ilmu umum, tapi menolak dan menyerahkannya kepada beliau. Aku berfikir, pasti kualitas orang ini tidak sembarangan, sehingga jatah yang seharusnya untuk Kiai Mu’adz diberikan kepadanya.

Pertama kali mengikuti pelajaran Sosiologi membuatku langsung kecanthol dengan beliau. Kekagumanku kepadanya selama ini seakan mendapatkan daya penguat baru. Seakan meniru kiai-kiai sepuh yang mucal kami, dalam mengajar beliau tidak membawa buku pegangan. Materi diterangkan dengan lancar seakan-akan beliau sudah hafal dan telah menguasainya di luar kepala. Memang materi yang beliau sampaikan tiap pertemuan tidak banyak, dan pasti sudah beliau pelajari pada malam harinya. Tapi penjelasan beliau yang runtut dan mudah dipahami oleh para murid, dengan diselingi contoh-contoh konkret di sekitar, membuat pelajaran semakin hidup dan tidak membosankan. Penjelasannya juga diperkaya dengan ilmu dan pengetahuan yang lain, yang menunjukkan kekayaan bacaan dan luasnya pengetahuan beliau.

Pelajaran Sosiologi yang hanya satu jam pelajaran (kurang lebih 45 menit) tiap minggunya adalah salah satu pelajaran yang aku tunggu-tunggu. Buku pegangannya – tentu pegangan buat kami, karena beliau tidak pernah membawa buku – adalah foto copy-an diktat Sosiologi untuk kelas dua SMA cetakan Airlangga. Seperti kebanyakan buku dan kitab pelajaran yang lain, sampai lulus kita tidak pernah mengkhatamkan buku pelajaran yang sebenarnya ‘hanya’ sebuah pengantar ini. Bagi sebagian kami, ketidak-khataman ini tidak terlalu penting. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu: berkah. Ya, kami menyebutnya berkah, sebuah daya dan kekuatan spiritual yang memudahkan kami untuk mampu mengamalkan ilmu yang telah kami peroleh untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kelanjutan pelajaran itu gampang karena dapat dibaca sendiri kapan saja kita mau, tetapi berkah tidak bisa diperoleh di sembarang tempat. Dan di sekolah kami inilah kami percaya berkah itu ada.

Bagiku, mengikuti pelajaran Sosiologinya Pak Faruq adalah sebuah ironi. Banyak orang mengatakan bahwa untuk sukses dalam sebuah pelajaran, kita harus menyukai guru beserta mata pelajarannya. Tapi itu tidak terjadi padaku. Guru Sosiologi yang aku kagumi, pelajaran Sosiologi yang aku sukai, dan penjelasannya yang aku sambut dengan antusias, ternyata tidak membuat nilaiku menjadi baik. Berturut-turut dari cawu satu sampai tiga, aku mendapat nilai Sosiologi di raportku adalah 6, 5, dan 7. Tapi setidaknya aku masih bisa berbesar hati, mengharap semoga berkah itu telah dan terus aku dapatkan.

Teror

Mengaguminya dari kejauahan ternyata membuat teror tersendiri bagiku. Kecermelangan otak dan luasnya pengetahuan beliau membuatku selalu merasa inferior. Tatapan matanya ketika bersimpangan, yang entah beliau mengenalku atau tidak, seolah meneror dan mengajakku agar memiliki kemampuan yang sama dengan beliau. Aku yang tidak pandai berorganisasi, seolah melihat sosok ideal pada dirinya yang pintar berorganisasi. Aku yang tidak pandai berbahasa Inggris melihat diriku kontras dengan sosoknya yang mahir berbahasa asing. Aku yang minim akan pengetahuan umum mendapatkannya sebagai guru yang fasih dengan pengetahuan kekinian. Aku yang tidak pandai berinteraksi sosial dengan malu hanya dapat mendengarkannya di dalam kelas menjelaskan aksi-rekasi-interaksi, sebuah bab di buku Sosiologi.

Sebagai orang pesantren, beliau memang seorang santri yang ideal. Tidak pernah belajar di universitas, tapi pengetahuan beliau tidak kalah dari mereka yang bergelar sarjana dan doktor. Pelajaran-pelajaran umum beliau ampu dengan baik dan memikat. Sebagai pembina HSM, bersama dengan Kiai Mu’adz, kemampuannya berorganisasi tidak ada yang meragukan. Jabatannya sebagai pembantu pengasuh di PMH Putra menunjukkan kualitasnya. Tidak sembarang orang bisa menjadi wakil Kiai Sahal dalam mengasuh dan mengelola pesantrennya. Meski saya belum pernah menemukan tulisan beliau di media massa, tapi beberapa tulisannya yang ada di majalah sekolah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang penulis yang handal. Kata beberapa teman yang pernah sowan ke rumahnya, beliau memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi bermacam buku, mulai dari agama, filsafat, politik, ekonomi, sastra, komik, dll.

Adapun untuk pengetahuan agama, jangan kau tanyakan lagi. Tidak sembarang orang bisa mengajar di sekolah kami Mathali’ul Falah. Beliau juga mengajar posonan di pesantrennya Kiai Sahal. Rasanya tidak mungkin beliau diserahi tugas mengajar di sebuah pesantren ternama yang pesertanya adalah para santri dari berbagai pesantren lain kalau beliau sendiri tidak alim. Beberapa waktu lalu aku mendengar kabar kalau beliau berangkat ke Jerman bersama beberapa intelektual Indonesia untuk menjelaskan model keislaman a la Indonesia. Belakangan kabar yang aku dengar beliau aktif di Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA).

Pribadinya memang sederhana. Aku melihat baju dan celana yang beliau pakai dari dulu itu-itu juga. Dengan selalu memakai sandal (katanya beliau tidak suka memakai sepatu), beliau selalu setia dengan sepeda onthelnya yang digunakan setiap harinya, meskipun banyak muridnya yang naik motor. Yang cukup menarik bagiku adalah beliau selalu turun dari sepedanya setiap kali sampai di depan makam Mbah Mutamakkin. Sebuah ke-tawadhu’-an dari seorang santri, yang meskipun sudah berada di era dan berpikir modern, tetapi tidak lupa akan asal-usul dan latar bekakangnya.

Sebagai Muslim, beliau adalah seorang Muslim yang progresif. Beliau tetap memegang teguh ajaran Islam, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam, seraya tetap terbuka dengan ilmu-ilmu kekinian. Keterangan dan penjelasannya di dalam kelas menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang berpikiran terbuka. Tentu banyak alumni pesantren yang berpengetahuan dan berpikiran seperti itu. Tapi yang membedakannya dari yang lain adalah beliau mendapatkan itu semua dari pesantren dan belajar sendiri secara otodidak, sebagaimana kiai beliau KH Sahal Mahfudz. Tentang ini, mungkin beliau mirip dengan alumni PIM yang terkenal itu, Ulil Abshar Abdalla. Bedanya kalau Ulil berkiprah di lingkup nasional, beliau mencukupkan diri untuk berkiprah di lingkup lokal.

Tapi ternyata Tuhan mengambil mutiara yang masih muda ini lebih awal. Tadi malam, dalam sebuah kecelakaan, tepat di hari ibu 22 Desember 2010, beliau berpulang kepada-Nya. Kini kita telah kehilangan seorang pribadi hebat dan potensial. Seorang dengan kapasitas intelektual yang mumpuni dan kecerdasan yang tinggi, tapi sederhana dan rendah hati. Seorang guru yang berkualitas global yang mengabdi di tingkat lokal. Seorang idola yang sampai saat terakhir menghembuskan nafasnya hanya dapat aku pandangi dari kejauhan. Benar-benar dari kejauhan.

Kini, secara fisik, teror itu sudah tidak ada lagi. Tapi semoga teror itu masih terus ada di dalam hati dan pikiran untuk mencambukku, dan juga kita semua, agar dapat mengikuti jejak dan langkah beliau. Selamat jalan guruku, KH Faruq Barlian, sampai ketemu nanti di ‘sana’. Semoga semua amal ibadah Bapak diterima oleh-Nya, dan kekhilafan-kekhilafan Bapak diampuni-Nya. Semoga Bapak mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya. Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga mendapatkan ketabahan, kesabaran, dan kemudahan dari-Nya. Dan semoga segera muncul Faruq Barlian-Faruq Barlian baru yang lain di pesantren kami. Amiiin.

Lahu al-Fatihah . . . . . . .

No comments: