Monday, January 10, 2011

Semangat Integritas dari Orang-orang Biasa

Jejaring sosial sebagai sarana penggerak perubahan dalam dunia nyata bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Dua peristiwa yang menggegerkan masyarakat beberapa waktu lalu, kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra dan perseteruan Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional, membuktikan hal tersebut. Dukungan yang besar dari masyarakat melalui jejaring sosial ikut memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap proses hukum yang terjadi di dua peristiwa itu.

Demikian juga dukungan yang sampai sekarang masih mengalir kepada Sri Mulyani Indrawati (SMI).Dukungan ini berawal ketika kasus Bank Century (BC) mulai hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam kasus Bibit-Chandra dan Prita, mereka yang mendukung ini benar-benar orang-orang biasa, namun melek informasi, yang berbeda latar belakang pendidikan, usia, profesi, dan wilayah tempat tinggalnya. Mereka tergerak untuk memberi dukungan karena melihat proses hukum yang mereka anggap tidak adil yang menimpa orang-orang yang mereka anggap sudah bertindak dengan benar. Dalam kasus SMI, mereka berkumpul dalam grup Facebook bernama “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati” atau KPI-SMI.

Sebagai Media Penyeimbang

Buku “Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century” adalah hasil diskusi para facebookers KPI-SMI yang dengan apik dirangkum dan diolah menjadi buku oleh Steve Susanto. Buku ini dimaksudkan untuk membeberkan rangkaian fakta dan logika yang kurang mendapat porsi pemberitaan yang memadai di masyarakat sebagai akibat dari pemberitaan media yang tidak proporsional. Karenanya buku ini bertujuan untuk menyingkap tabir kebenaran yang menyelimuti perhelatan besar di pentas nasional yang bernama kasus BC (hlm 9).

Ingin menyingkap tabir lantaran kasus BC bukan lagi merupakan kasus hukum murni, tetapi sudah menjadi skandal politik yang melibatkan banyak pihak yang saling berkepentingan. SMI, yang oleh Presiden SBY disebut sebagai salah satu pembantu terbaiknya, bagi orang-orang biasa ini, tidak layak diperlakukan dengan tidak adil karena ia telah melaksanakan tugasnya secara benar dan profesional.

SMI, wanita paling berpengaruh di dunia nomor 23 tahun 2008 versi Forbes, telah banyak melakukan reformasi dan meletakkan dasar-dasar good governance di lembaga yang dipimpinnya, Kementerian Keuangan. Untuk mereformasi lembaga yang menangani sekitar 70 persen keuangan negara ini misalnya, ia telah memutasikan puluhan ribu anak buahnya. Ia juga dengan berani mencopot tokoh-tokoh lama dan menggantinya dengan figur-figur baru yang ia anggap kredibel di pos-pos penting kementeriannya (hlm 30).

Pemojokan terhadap SMI

Pemojokan SMI, yang mencapai klimaksnya dalam sidang-sidang di Pansus yang berujung pada ‘terusirnya’ dia ke Bank Dunia, dapat ditelusuri awal mulanya dari kecurigaan-kecurigaan seputar kemenangan besar Partai Demokrat di 2009. Kecurigaan ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang di antaranya “Apa yang membuat Demokrat bisa menang sedemikian meyakinkan?”, disusul pertanyaan “Dari mana sumber dananya?”, dan dilanjutkan “Siapa yang bertanggung jawab menggelontorkan uang itu?”.

Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh para politisi, dihubungankan dengan bailout BC yang membengkak dari Rp 632 M menjadi Rp 6,7 T. Padahal kalaupun tuduhan tersebut berdasar, maka yang berhak menyelidiki seharusnya adalah lembaga hukum seperti KPK, bukan pengadilan politik seperti Pansus. Lagi pula, mengapa yang dikriminalkan justru malah kebijakannya, bukan menelusuri kemana aliran dana itu (hlm 41).

Bagi para facebookers ini, penyelamatan BC adalah pilihan yang terbaik di antara pilihan yang ada pada saat itu. Dengan diselamatkannya BC maka kerugian negara dapat diminimalkan. Biaya total penyelamatan BC yang mencapai Rp 6,7 T, bagi mereka, dapat dijustifikasi bila dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk melikuidasi BC yang mencapai Rp 6,4 T (hlm 168).

Di samping itu, mereka juga melihat banyak ekonom dan politisi yang menentang proses bailout BC sebagai tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terjadi lantaran di tahun 2008 mereka menyatakan di berbagai media bahwa telah terjadi krisis ekonomi dan perekonomian Indonesia harus segera diselamatkan. Namun di tahun berikutnya tiba-tiba mereka berbalik arah dan menyangkal apa yang telah diucapkannya.

Pemojokan terhadap SMI semakin intens berkat bantuan media, terutama televisi, yang terus-menerus menyiarkan dan menggiring opini masyarakat agar sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dilihat dari proporsi yang selalu timpang antara nara sumber yang pro dan anti bailout yang dihadirkan untuk membahas kasus BC ini.

Akhirnya, bagi orang-orang biasa ini, bukan manfaat yang diperoleh dari proses panjang Pansus BC, tetapi hanya mudharat yang dihasilkan. Di antara mudharat itu adalah besarnya biaya yang digunakan untuk Pansus, perdebatan politik yang tidak jelas ujung pangkalnya sampai sekarang, dan tersendatnya laju perekonomian Indonesia yang sedang bangkit (hlm 101).

Sayangnya buku ini tidak membahas ‘terusirnya’ SMI ke Bank Dunia serta menguatnya kartel politik yang terjadi setelah Pansus berakhir. Buku ini juga terkesan membela kebijakan Presiden SBY. Padahal, sebagaimana kata Eep Saifullah Fatah dalam launching buku ini, andai saja pidato pembelaan dan pertanggungjawaban SBY atas skandal BC terjadi tiga bulan sebelumnya, maka diyakini SMI masih akan tetap berada di Indonesia, Pansus tidak perlu terbentuk, dan buku ini tidak perlu disusun.

Tapi toh semua itu malah menunjukkan kualitas dan ketokohan seorang SMI. Dan bukan SMI yang dirugikan dari carut-marut ini, tetapi kita semua yang dirugikan karena telah kehilangan seorang tokoh reformis, profesional, dan berintegritas. Setidaknya demikian menurut para pendukungnya.

Judul : Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century
Penulis : Steve Susanto
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : xv + 202 halaman

No comments: