Wednesday, June 10, 2009

Hubungan Agama dan Budaya

Agama adalah bagian dari budaya, bukan sebaliknya: budaya bagian dari agama. Budaya jauh lebih luas dan kompleks dari agama. Ruang lingkup dan wilayah agama adalah sebagian dari cakupan wilayah budaya. Dengan demikian maka terang bahwa agama yang masuk dan berkembang dalam suatu komunitas tanpa melalui budaya harus siap-siap menuai kegagalannya.



Sebagai bagian dari budaya, maka agama, pertama, harus mampu membuat teologi yang damai dalam kemajemukan yang ada. Teologi yang damai berarti ia harus hormat dan menghargai budaya dan bahkan agama lain yang ada. Kedua, agama harus mampu menjalin kerjasama humanisasi dalam permasalahan sosial konkrit. Ia tidak boleh hanya berkutat dengan apa yang ada di “atas” saja, tetapi juga harus mampu membumi dan bergelut dengan permasalahan riel yang dihadapi masyarakat.

Dengan demikian, agama dan budaya dapat berkembang bersama dan saling memperbaiki. Memaksakan ajaran agama tanpa rasa hormat terhadap budaya yang ada sama artinya dengan membunuh agama itu sendiri. Jika demikian maka ia hanya akan menjadi bahan olokan dan tertawaan komunitas. Jenis keberagamaan para fundamentalis menunjukkan fenomena itu. Ajaran agama yang mau mereka terapkan secara mentah-mentah dan penuh arogan bukannya mendapat simpati, tetapi malah membuat mereka terkucil dalam kehidupan. Sekali lagi, agama adalah bagian dari budaya, bukan sebaliknya!

Teknologi dan Manusia Modern

Alienasi Manusia Modern dalam Film Modern Times

I. Pengantar

Siapa yang tidak mengenal Charlie Chaplin? Aktor film berbadan kecil ini telah menorehkan namanya sebagai legenda film bisu, film yang minus percakapan dan hanya mengandalkan gerak badan dan mimik muka. Aktor berbadan lentur kelahiran 16 April 1889 di Walworth, London, dan meninggal pada 25 Desember 1977 di Swiss ini adalah seorang idealis. Di tengah merebaknya film-film modern dengan beragam bentuk dan ekspresinya ia tetap betah dalam pergumulannya dengan film-film bisu. Tidak hanya itu, film-film Chaplin selalu kental dengan muatan kritik-kritik sosial. Tidak terkecuali film Modern Times di mana dia adalah aktor utama, penulis skenario, dan penata musiknya sekaligus.

Kritiknya terhadap proses dehumanisasi yang sedang berlangsung dan melanda manusia modern dapat kita saksikan sepanjang durasi film ini sampai akhir. Film ini muncul pada masa krisis ekonomi yang melanda dunia sehabis Perang Dunia I sekaligus di masa di mana teknologi semakin mengukuhkan cengkeramannya terhadap manusia. Maka tak ayal, film ini sangat bermanfaat sekaligus sebagai pengingat bagi kita dan genenerai mendatang, yang semakin berat tantangannya lantaran semakin kuatnya proses dehumanisasi itu.

II. Charlie Chaplin, orang baik yang tidak beruntung

Film ini bercerita tentang seorang buruh (Chaplin) yang bekerja di sebuah pabrik. Sebagai pekerja bawahan, ia mendapatkan tugas bagian pengepakan produk yang keluar dari mesin. Dia yang seorang manusia biasa ini harus melayani mesin yang terus-menerus tanpa lelah berproduksi sepanjang hari. Seluruh pikiran dan gerakannya terkonsentrasi penuh pada mesin. Tidak hanya itu, seluruh tindakan dan gerak-geriknya selalu diawasi oleh atasannya, bahkan di dalam kamar kecil sekalipun. Tindakan ini langsung mengingatkan pada tampilan yang muncul pertama kali dalam film ini: kerumunan babi yang digiring berarakan, lalu berganti dengan manusia yang juga berarakan digiring oleh peraturan korporasi.

Kejadian menarik terjadi ketika tindakan yang sangat sederhana, yaitu makan, yang seharusnya lebih mudah dan nikmat ketika dilakukan sendiri harus diganti dengan pelayanan dari mesin. Program yang tujuannya untuk efesiensi ini akhirnya gagal karena tidak mencapai tujuan. Kisah berlanjut sampai siang hari di mana pergerakan mesin semakin dipercepat. Tak kuat menahan laju mesin, Chaplin tertarik dan masuk ke dalam mesin. Hegemoni mesin atas dirinya yang berlangsung terus menerus ini membuatnya gila. Di luar pabrik, ia ikut-ikutan demo dan tertangkap polisi.

Sebagai orang yang baik, dia menjadi teladan di penjara. Karena jasa-jasanya selama di penjara, ia dibebaskan oleh kepala LP dan diberikan surat rekomendasi untuk kerja. Karena sial, ia pun gagal ketika berkerja di galangan kapal yang akhirnya bertemu dengan gadis pengangguran dan bekerja di suatu toko besar. Namun ia juga gagal karena tidak beruntung. Akhirnya ia kembali ke pabrik lamanya setelah dibuka kembali. Sekali lagi ia dituduh ikut demo dan harus berurusan dengan polisi. Ia bersama kekasihnya akhirnya dapat meloloskan diri dan dapat bekerja sebagai pelayan di restoran. Namun keduanya harus kembali dikenali oleh polisi dan akhirnya melarikan diri bersama-sama. Dari yang semula tidak punya apa-apa kembali lagi menjadi tidak punya apa-apa.

III. Apakah teknologi membebaskan manusia?

Berbeda dengan beberapa bidang yang lain, teknologi adalah bidang ilmu yang selalu maju ke depan. Ia tidak pernah mundur. Sekali sebuah penemuan telah ditemukan, maka ia akan menjadi semakin sempurna dan begitu seterusnya. Di samping itu, teknologi juga menjanjikan kemudahan bagi manusia. Maka tidak mengherankan jika manusia berlomba-lomba untuk menguasainya. Sejarah mencatat bahwa mereka yang memiliki teknologi tercanggihlah yang akan menguasai alam dan juga sesamanya. Teknologi dianggap sebagai dewa penolong dari kejumudan dan keterbelakangan manusia.

Namun sejarah juga mencatat, karena teknologi pula dunia semakin hancur. Alam yang dulunya aman dan damai mulai semakin tidak bersahabat dan mengancam manusia. Semua itu tidak lepas dari akibat yang ditimbulkan oleh teknologi. Demikian juga manusia yang dulu hidup tenteram dan saling mengasihi menjadi semakin brutal dan tega memangsa saudaranya sendiri. Lebih dari itu, teknologi yang dulu mereka ciptakan ini sekarang semakin dominan peranannya dan bahkan mengalahkan penemunya sendiri, manusia. Manusia semakin tercerabut dari jati dirinya.

Manusia yang sejatinya adalah tuan dari teknologi sekarang berubah menjadi hamba teknologi. Manusia dengan sesamanya menjadi harus saling mendahului dan kalau perlu memusnahkan untuk sekedar ’mendapatkan tempat’ dalam teknologi.

Kalau sudah demikian, apakah teknologi masih bermanfaat bagi manusia? Apakah teknologi masih mampu untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan? Atau justru teknologi malah akan membuat manusia hancur dan kehilangan dirinya?

IV. Apa yang sebenarnya terjadi?

a. Teknologi itu membebaskan.

Menurut Auguste Comte, sejarah harus kita lihat secara keseluruhan. Kemajuan yang ada saat ini tidak lepas dari kemajuan-kemajuan yang terjadi sebelumnya. Lihatlah misalnya sejarah nenek moyang kita yang masih sangat primitif dan kesulitan dalam menangkap ikan. Hal itu berbeda jauh dengan keadaan sekarang di mana perburuan dapat dilakukan dengan mudah berkat kemajuan teknologi.

Karena itu Comte mengklasifikasikan sejarah umat manusia menuju kemajuan menjadi tiga tahap. Pertama adalah ahap teologis, di mana mereka masih mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini dipercaya memiliki kekuatan yang dapat mengatur seglanya, termasuk manusia. Termasuk di dalam tahap ini adalah fetisisme/animisme, politeisme, dan yang terakhir monoteisme. Tahap kedua lebih maju, yaitu tahap metafisis. Di sini manusia mengubah kekuatan adimanusiawi tersebut menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Di sini muncul konsep-konsep abstrak mengenai alam sebagai keseluruhan, sebagai ganti dari kepercayaan atas kekuatan adimanusiawi. Dan akhirnya manusia mencapai kedewasaan dalam tahap ketiga, tahap positif. Di sini manusia bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan. Teknologi menjadi tidak terelakkan. Dari tahap sejarah ini menjadi jelas bahwa teknologi semakin membebaskan manusia. Ia membantu dan memudahkan segala kebutuhan manusia.

b. Teknologi itu tidak membebaskan

Berbeda dengan Comte, Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa teknologi tidak membebaskan manusia, tetapi justru mengalienasi manusia. Teknologi memang membantu manusia dalam penguasaannya atas alam dan menjadikannya objek kepentingan. Namun pengobjekan yang dilakukan oleh teknologi ini ternyata tidak hanya terjadi atas alam, namun juga memengaruhi hubungan manusia yang satu dengan yang lain dan relasi individu dengan dirinya sendiri. Hubungan antar manusia menjadi seperti hubungan dalam pertukaran barang.

Cara berpikir positivistik dan dan teknologis yang menentukan proses indrustrialisasi telah membentuk cara pandang tertentu yang melihat manusia sebagai barang atau instrumen yang operable untuk menghasilkan produk. Hal ini persis seperti yang diperankan Chaplin dalam Modern Times. Adorno dan Horkheimer berkata, ”Dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, tetapi saat ini industrialisme membendakan jiwa-jiwa.” Karena itu, bagi kedua filsuf ini, sistem penguasaan teknologi ini buruk karena tidak membahagiakan manusia, represif karena tidak membuat manusia bebas, dan inhuman karena karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan sosial yang benar dan wajar.

Karena itu jelas bahwa teknologi tidak bermanfaat bagi manusia, namun malah membuat mereka tidak bebas dan teralienasi dari diri mereka sendiri dan dari orang lain. Karena alasannya sudah jelas, bukan manusia yang menguasai alam, melainkan sebaliknya alam yang menguasai manusia. Selain itu, ilmu-ilmu yang merupakan hasil proses Aufklarung ini ternyata memiliki rasionalitasnya sendiri, yaitu rasio instrumental. Rasio ini tidak mempersoalkan sasaran, melainkan hanya berfungsi sebagai alat yang merasionalkan jalan ke sasaran itu dan mengkalkulasikan segala apa yang memperlancar tujuan itu.

c. Sistem sosial yang harus dirubah

Karl Marx tidak secara khusus berbicara tentang dampak kemajuan teknologi bagi kehidupan manusia. Ia tidak begitu mempermasalahkan kemajuan teknologi ini. Yang ia pikirkan adalah bagaimana manusia yang terpecah menjadi kelas-kelas sosial bisa memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses ke sumber produksi. Bagaimana agar para kapitalis tidak lagi menguasai sumber produksi yang seharusnya menjadi milik bersama. Memang manusia mengalami alienasi. Namun alienasi bukan dari kemajuan teknologi, melainkan dari sistem kapitalis yang tidak adil.

Maka teknologi akan menjadi baik dan bermanfaat jika digunakan dengan baik, yaitu digunakan untuk kepentingan bersama-sama dengan akses yang sama pula bagi semua. Namun ia menjadi tidak baik jika hanya dikuasai kelompok tertentu saja dan digunakan untk mengontrol yang lain. Manusia memang mengalami alienasi, yaitu alienasi dari barang karena ia tidak memiliki produk yang dihasilkannya, alienasi dari sesama karena harus saling bersaing dengan sesamanya demi untuk memperebutkan tempat dalam sistem teknologi, dan alienasi dari dirinya sendiri karena ia telah berubah dan tidak menjadi dirinya sendiri lantaran semakin dikuasai oleh teknologi.

V. Teknologi dan Moral

Sejarah telah berjalan. Kita tidak mungkin kembali ke masa lampau atau hidup semacam itu di masa sekarang. Kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan dan kenyataan yang harus kita terima. Dengan teknologi kehidupan kita memang lebih ”mudah”. Ada banyak manfaat yang kita peroleh dari kemajuan teknologi.

Namun jangan lupa bahwa teknologi bukanlah tujuan. Teknologi hanyalah salah satu sarana untuk mengejar kebahagiaan. Masih ada banyak jalan menuju kebahagiaan selain melalui teknologi. Maka teknologi harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan kehancuran bagi diri kita sendiri. Maka di sini moral niscaya diperlukan. Tanpanya, teknologi yang tidak memiliki perasaan akan melumat kita. Kehidupan kita akan semakin baik dengan bantuan teknologi, dan teknologi akan lebih aman jika penggunaannya dibarengi dengan moralitas.

VI. Daftar Pustaka

Adorno dan Horkheimer, Dialectic of Enlightment
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia
Magnis-Suseno, Franz, 2003, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
Thahjadi, Simon Petrus L., 2007, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogjakarta: Kanisius

Monday, June 8, 2009

Allah Sebagai Proyeksi

Pandangan Ludwig Feuerbach tentang Tuhan dan Agama


a. Pendahuluan

Atheis adalah kata yang menjijikkan bagi sebagian kalangan beragama. Bagi mereka, mendengar kata itu yang pertama kali terbayang dalam pikiran adalah orang-orang yang akan dan pasti menempati tempat khusus di dasar neraka. Tidak ada tempat terhormat bagi mereka, baik di dunia ini maupun kelak setelah kematian. Bahkan orang-orang seagama pun yang tidak sama keyakinannya dengan mereka juga akan mereka samakan nasibnya dengan orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan.


Yang salah dari orang-orang ini, kalau boleh penulis sebut sebagai fundamentalis, salah satunya, adalah bahwa mereka menganggap kebenaran hanya ada satu dan tunggal, dan itu sudah ada pada mereka, tidak pada yang lain. Karena pandangan yang satu arah inilah mereka menutup diri dan tidak mau menerima ‘kebenaran’ dari pihak lain. Padahal, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, tidak selamanya apa yang mereka yakini itu tanpa cacat. Kalaupun keyakinan mereka memang benar, pandangan orang yang berseberangan sebenarnya justru dapat memperkaya dan menguatkan keyakinan mereka. Artinya, bagi kalangan orang yang berkeyakinan, pandangan para atheis justru sangat bermanfaat untuk semakin dapat mempertanggung-jawabkan iman dan kepercayaannya. Apakah iman dan kepercayaannya memang sudah benar atau justru persis sebagaimana yang dituduhkan oleh para atheis tersebut.

Tanpa berpretensi menolak atau membela atheisme, tulisan ini hanya menjelaskan pandangan tokoh besar filsafat ketuhanan zaman modern, Ludwig Feuerbach, tentang Tuhan dan agama, tepatnya tentang teori proyeksinya.

b. Biografi Singkat

Lahir pada tanggal 28 Juli 1804 di Landshut, Jerman, Ludwig Andreas von Feuerbach adalah anak laki-laki keempat dari ayah seorang hakim terkemuka, Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Lulus dari Universitas Heidelberg setelah menempuh pendidikan teologi Protestan, ia bermaksud melajutkan karirnya di Gereja. Namun karena pengaruh Prof. Karl Daub ia lalu mengembangkan minatnya dalam filsafat Hegel, yang pada masa itu memang sudah dominan. Maka ia langsung ke Berlin untuk berguru kepada Hegel. Di sana ia bergabung dengan teman-temannya sesama Hegelian Kiri. Tulisnya kepada seorang teman, "Aku tidak dapat lagi memaksakan diriku untuk mempelajari teologi. Aku rindu menyelami alam dalam jiwaku, alam yang di hadapan kedalamannya sang teolog yang kecil hati menjadi kecut hati; dan dengan manusia alamiah, manusia di dalam kualitas keseluruhannya."

Pada tahun 1825/1826 ia pndah ke Erlangen untuk belajar ilmu pengetahuan alam dan mendapat gelar doctor dari Universitas Friedrich-Alexander, Erlangen-Nurnberg. Tahun 1829-1832 ia menjadi dosen filsafat. Tetapi karena tulisan-tulisannya dianggap membahayakan agama, maka ia dipersulit untuk mendapatkan gelar profesor. Karena itu ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pengajar dan berganti profesi sebagai pengarang bebas. Tahun 1837 ia menikah dengan kekasihnya, Bertha Löw, dan dikaruniai seorang putri, Mathilde. Tahun 1841 ia menulis bukunya yang sangat penting dan terkenal, Das Wesen des Christentum (The Essence of Christianity), yang memuat kritik tajam terhadap agama Kristen. Dan karena serangan jantung, pada 13 September 1872 ia wafat di desa Rechenberg, dekat Nürnberg, tempat di mana ia akhirnya dikebumikan.

c. Filsafat Baru

Feuerbach menamai filsafatnya dengan nama ‘filsafat baru’. Yaitu filsafat yang mendasarkan dirinya dan memusatkan penyelidikannya hanya pada pengalaman yang konkret indrawi atau empiri. Bagi Feuerbach, berfilsafat semacam ini sangat penting karena hanya dengan berdasar pada kenyataan yang konkret-indrawi-lah kepastian dapat diperoleh. “Manusia tidak memiliki gagasan dan pengetahuan tentang kenyataan lain, kecuali kenyataan indrawi.” Baginya, manusia hanya percaya pada eksistensi yang terwujud lewat tanda-tanda yang dapat dirasa dan diindra. Karena itu, kenyataan, kebenaran, dan keindrawian adalah identik.

Feuerbach sadar bahwa alam juga dapat diketahui lewat pikiran, dan objek dapat diketahui lewat subjek yang sadar. Namun dia mempertanyakan dari mana datangnya kesadaran itu kalau tidak ada sesuatu yang disadari terlebih dahulu. Menurutnya, sebagai subjek, manusia menyadari alam hanya lewat pembedaan dirinya dari alam. Karena itu, alam adalah dasar bagi kesadaran. Dan hanya ketika kita mensyaratkan ‘empiri untuk filsafat’ maka kita akan berfilsafat tanpa persyaratan apapun. Maka hanya ada satu titik tolak yang absah dalam filsafat, yaitu yang inderawi.

d. Kritik terhadap Hegel

Filsafat baru adalah istilah bagi Feuerbach untuk membedakan filsafatnya dari filsafat orang-orang sebelumnya, termasuk gurunya, Hegel, yang ia namakan dengan filsafat lama. Dinamakan filsafat lama karena mereka dengan tekun berkutat pada hal-hal yang abstrak dan tidak konkrit, seperti roh, kesadaran, akal budi, ide, dan semacamnya. Pemikiran yang semacam ini hanya spekulasi dan tidak memiliki dasar dalam realitas konkrit-indrawi. Filsafat macam ini gagal melihat bahwa sebenarnya hubungan antara filsafat dan teologi adalah hubungan antara rasio dan fantasi, atau antara otak yang sehat dengan otak yang sakit.

Sebagaimana diketahui, Hegel berpendapat bahwa Allah mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia. Seturut pemikiran Hegel, kita, para manusia, adalah wayang dari Roh Absolut. Kemanapun dan dalam bentuk apapun kita bertindak dengan penuh kesadaran, ‘roh semesta’ ada di belakang kita menentukan arah dan tujuan kita. Artinya, tanpa kita sadari, segala aktivitas dan tindakan kita sebenarnya telah didesain sedemikian rupa dan hanya merupakan ‘akal-akalan’ saja dari tokoh di balik layar tersebut untuk menuju kepenuhannya. Dengan demikian, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya.

Dan di sinilah filsafat baru Feuerbach menentang filsafat lama Hegel. Feuerbach menuduh Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel mengesankan bahwa yang nyata adalah Allah, dan manusia hanya wayang saja. Padahal jelas bahwa manusialah yang nyata dan Allah adalah objek pikiran manusia. Feuerbach menolak klaim Hegel yang telah mengangkat agama ke tingkatan filsafat. Bagi Feuerbach, filsafat roh Hegel justru merupakan kemenangan agama atas filsafat, karena tetap mengandaikan Allah sebagai yang pertama dan manusia sebagai yang kedua. Dengan kata lain, filsafat Hegel tidak lain adalah keyakinan agama yang terselubung.

Feuerbach menolak bahwa unsur sejati dalam manusia adalah akal budinya. Sebagai gantinya, ‘totalitas manusia yang sejati’ ia jadikan sebagai dasar filsafat barunya. Ia memasukkan akal budi, kehendak, dan hati sebagai bagian dari totalitas manusia yang sejati. Ketiganya memang terlihat agak abstrak, namun yang ia maksud adalah pengertian yang lebih konkrit, sebagaimana yang ia maksudkan dengan hati, yaitu cinta dan perasaan, yang baginya dapat dikategorikan ke dalam bidang pengalaman inderawi.

Selain membahas keinderawian manusia atau manusia sebagai individu, Feuerbach juga membahas tentang relasi antar individu, atau antara Aku dan Kamu. Menurutnya, manusia baru menjadi manusia berkat manusia lain. Namun hubungan antar individu ini tidak hanya sebatas orang per orang, akan tetapi Feuerbach menariknya dalam konteks yang lebih luas, yaitu hubungan antar manusia secara keseluruhan (gattung). Dalam hubungan ini, tiap individu hanyalah bentuk kecil dari keseluruah umat manusia atau gattung tersebut.

Manusia individu memang tidak sempurna, akan tetapi ia dapat melihat kesempurnaan pada bangsa manusia. Dan karena melihat kesempurnaan dan ketakterbatasan umat manusia inilah maka individu menyadari bahwa dirinya terbatas dan tidak sempurna. Lantaran dua hal ini, yaitu keterbatasan individu dan ketakterbatasan bangsa manusia, individu lantas memimpikan ketakterbatasan. Ketakterbatasan ini ada pada bangsa manusia yang berarti juga ada pada dirinya sebagai bagian dari gattung. Dan menurut Feuerbach, keinginan ideal inilah yang mengawali munculnya kepercayaan akan adanya Allah. Dengan kata lain, ide tentang Allah berasal dari keinginan ideal manusia akan ketakterbatasan dan keabadian.

e. Teori Proyeksi

Berawal dari pandangannya bahwa manusialah yang benar-benar nyata, bukan Allah; rahasia teologi adalah antropologi, Feuerbach merumuskan teori proyeksinya tentang terjadinya agama sebagai kepercayaan terhadap Tuhan. Bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia, akan tetapi sebaliknya: Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama adalah proyeksi manusia. Semua yang diimani oleh orang beragama, seperti surga, neraka, dst., hanyalah angan-angan saja yang tidak memiliki kenyataan konkret. Agama adalah proyeksi hakekat manusia. Agama hanyalah impian tentang menjadi seperti apakah manusia seharusnya.

Namun masalahnya, manusia lupa bahwa angan-angan itu adalah ciptaannya sendiri. Apa yang sebenarnya angan-angan ia beri eksistensi sehingga seolah-olah angan-angan itu memang benar-benar ada. Angan-angan itu begitu besar, menakutkan, menarik, dan juga dirindukan. Sebagaimana gattung yang ia idealkan, angan-angan ini ia lekatkan padanya sifat ketakterbatasan dan keabadian. Manusia lantas menyembahnya. Sehingga agama tidak lain adalah penyembahan manusia atas sesuatu yang ia ciptakan sendiri tanpa ia sadari.

Agama adalah ekspresi orang yang lemah dan membutuhkan dalam usaha untuk menutupi kelemahan dan kebutuhannya. Kepercayaan tersebut hanyalah fantasi karena mereka tidak dapat merealisasikannya dalam kehidupan riel. Kalau mereka sudah dapat merealisasikannya, menurut Feuerbach, maka agama akan mati dan hilang dengan sendirinya. Agama adalah bukti konkrit dari ketergantungan manusia terhadap alam dan manusia lainnya. Sama-sama dalam ketergantungan, yang membedakan manusia dari hewan sehingga manusia memiliki agama sedangkan hewan tidak, adalah karena manusia sadar akan ketergantungannya itu. Dan manusia memiliki memori atas kejadian masa lalunya yang kurang baik dan memimpikan keadaan yang lebih baik di masa depan.

Karena itu agama adalah ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Feuerbach menerangkan, ”Agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakekatnya sendiri, akan tetapi kelakuan terhadap hakekatnya seperti terhadap makhluk lain. Hakekat Ilahi tidak lain adalah hakekat manusia, atau lebih tepat: hakekat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya – maka dari itu semua ciri hakekat Ilahi adalah cirri hakekat manusia.”

Sebagai contoh, dengan mengatakan bahwa Allah adalah maha tahu, orang beragama sebenarnya mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui banyak hal. Ungkapan bahwa Allah maha kekal adalah ekspresi keinginan orang beriman untuk terus hidup abadi tanpa terhampiri kematian. Dan dengan mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana adalah ambisi orang berkepercayaan atas keinginannya untuk dapat berada dan menguasai banyak tempat. Begitu seterusnya.

Dengan mengatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia, Feuerbach mengakui bahwa agama memiliki nilai positif, di samping nilai negatif. Agama bersifat positif karena ia merupakan proyeksi dari hakekat manusia. Di dalam agama manusia dapat mengetahui siapa sebenarnya dirinya. Ia adalah orang yang baik, pemurah, sempurna, dan berbagai sifat lain yang baik. Namun masalahnya, dan ini sifat negatifnya, manusia lupa bahwa proyeksi tersebut sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya sehingga menyembahnya. Karena itu manusia dalam beragama sebenarnya memblokir potensi yang ada dalam dirinya sendiri untuk diaktualisasikan. Ia tidak berusaha untuk menjadikan diri sendiri seperti yang ia gambarkan, tetapi malah menaruhnya pada sesuatu yang lain di luar dirinya. “Hanya orang yang miskin yang mendambakan Tuhan yang kaya”, kata Feuerbach.

Bahkan, alih-alih merealisasikan potensi yang dimiliki, manusia malah meletakkan sifat dan potensi yang diimpikan kepada Allah yang ia takuti dan sembah. Semua sifat yang seharusnya dapat ia realisasikan sekarang ia tangguhkan dan menunggu kepenuhannya kelak. Daripada mengusahakan untuk menjadi sempurna di dunia ini, ia malah mengharapkan kesempurnaan itu dari Allah kelak di akhirat. Agama mencegah manusia untuk merealisasikan hakekatnya yang sosial. Karena itu agama hanya mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Bahkan Feuerbach berkeyakinan bahwa agama menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

Karena itu, untuk mangakhiri keterasingannya, manusia harus melepaskan diri dari agama. Ia harus menghancurkan agama agar dapat merealisasikan potensi yang ia miliki. Ia harus melepas atribut yang ia lekatkan pada agama dan menyandangnya sendiri. Ia harus menolak keyakinan Allah maha segalanya agar dirinya sendiri kuat, baik, adil, dst. Teologi harus menjadi antropologi. Rahasia teologi adalah antropologi, begitu kata Feuerbach. Dengan demikian, maka dari kepercayaan kepada Allah akan muncul kepercayaan manusia pada dirinya sendiri. “Manusia adalah awal dari agama, manusia adalah pusat dari agama, dan manusia adalah akhir dari agama.”

f. Tanggapan terhadap Kritik Agama Feuerbach

Setiap pemikiran selalu membawa serta pro dan kontranya sendiri. Justru dengan adanya pro dan kontra itulah eksistensi pemikiran, khususnya pemikirnya, diakui keberadaannya. Demikian juga dengan pemikiran Feuerbach. Dari sini, harus diakui sumbangan penting Feuerbach terhadap filsafat ketuhanan dan terlebih terhadap agama.

Feuerbach adalah pemikir pertama yang memberikan dasar ilmiah-modern terhadap ateisme dan antropologi modern terkait dengan paham intersubjektivitas manusia. Dalam hal ini, Feuerbach memiliki andil besar terhadap pemikiran Martin Buber. Cara berpikir Feuerbach juga menjadi titik pangkal pelbagai bentuk ateisme, sepeprti ateisme-psikologis Sigmund Freud yang menyatakan bahwa agama adalah neurosis kolektif umat manusia, ateisme sosial-politik Karl Marx, dan ateisme eksistensial Niettzsche dan Sartre.

Feuerbach juga tidak sekedar menyangkal adanya Allah. Namun ia juga menjawab pertanyaan yang pasti akan muncul: kalau ateisme memang benar, bahwa Allah memang tidak ada, bagaimana dapat dijelaskan bahwa hampir semua umat manusia dari dahulu sampai sekarang percaya akan adanya Allah atau ketuhanan? Jawaban Feuerbach sederhana tapi mendalam. Bahwa agama adalah hasil proyeksi diri manusia. Ia adalah usaha manusia untuk mengembangkan dirinya, tetapi salah jalan.

Dan pendapat bahwa agama hanyalah sebuah proyeksi memang ada benarnya. Sering kali kita menyaksikan para pemeluk agama, terlebih para pemimpinnya, memerintahkan dan mengklaim macam-macam serta mengatasnamakan klaim itu dari Tuhan. Padahal klaim itu tidak lebih dari keinginan mereka sendiri untuk berkuasa. Maka di sini Feuerbach datang bukan untuk menghancurkan agama, tetapi hanya menjelaskannya. Karena itu, dari Feuerbach orang beragama harus belajar untuk selalu mawas diri agar tidak mendaku sebagai Tuhan.

Namun demikian, teori proyeksi juga menyimpan permasalahan yang tak kalah akutnya. Teori proyeksi hanya bicara tentang fungsi agama, bukan hakikat agama, yakni Allah. Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama sebagai pelarian diri manusia karena tidak dapat mengembangkan potensi dan hakekat dirinya. Namun tentang keberadaan Allah, bahwa Allah itu memang ada atau tidak, teori proyeksi tidak bicara. Dengan kata lain, pertanyaan ‘apakah Allah itu ada?’ belum terjawab. Sehingga, andaikata Allah memang ada, bukankah hal yang layak jika kita harus menyembah dan meminta pertolongan kepadanya? Bahwa mungkin ada proyeksi dan angan-angan dari pemeluk agama tidak berarti bahwa semua bentuk keberagamaan adalah seperti itu.

Demikian juga dengan pandangan Feuerbach bahwa agama adalah proyeksi kita atas kesempurnaan manusia. Pengertian bahwa Allah maha baik muncul karena kita mengidealkan kebaikan. Namun permasalahannya, dari manakah kita dapat menemukan kata ‘maha’ yang kita terapkan pada Allah itu? Maha berarti melampaui segala-galanya. Dan itu tidak kita temukan dalam pengalaman konkrit-indrawi kita. Padahal Feuerbach sendiri dari awal telah mendasarkan filsafatnya dari hal-hal yang inderawi, pemikiran yang membedakannya dari Hegel. Maka kalau manusia dapat mengenal Allah yang maha segalanya itu, padahal pengalamannya tidak pernah mengalaminya, menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan teori proyeksi Feuerbach. Teori ini gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama, bahwa manusia berhadapan dengan realitas tak terhingga. Harus diakui bahwa manusia juga mamiliki kemampuan jiwa yang dapat melampaui kemampuan empiris-inderawinya. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi transenden. Dan dengan dimensi transenden inilah ia mampu menyadari dan mengalami pengalaman yang melampaui pengalaman inderawi.

g. Penutup

Seturut Kitab Suci, manusia tercipta secara berbeda-beda, tidak tunggal. Tiap golongan sudah memiliki jalannya masing-masing. Ada yang percaya adanya Tuhan dan ada yang tidak. Yang percaya kepada Tuhan-pun ada yang beragama A, ada yang berkeyakinan B, dst. Yang satu keyakinan pun ada yang beraliran ini dan beraliran itu. Tetapi semuanya sama-sama manusia, bersaudara, sesama hamba Tuhan (bagi yang beragama). Semua tercipta untuk saling mengasihi dan melengkapi. Tidak untuk saling bermusuhan dan saling benci. Asal semua saling menghormati, menghargai, tidak menonjolkan egoismenya masing-masing, dan tidak mendaku sebagai pemilik kebenaran layaknya Tuhan, mungkin dunia akan damai dan bebas dari permusuhan. Mungkinkah?

h. Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
Kamenka, Eugene, The Philosophy of Ludwig Feuerbach, London: Routledge & Kegan Paul, 1970.
Magnis-Suseno, Fraz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sudarminta, J. (ed), Dunia, Manusia, dan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: dari Descartes sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Wibowo, I. (ed), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
www.wikipedia.com

Kewarganegaraan Yuridis dan Kewarganegaraan Kultural

Kebutuhan akan kebersamaan

Sejak dilahirkan, kita telah menjadi bagian dari kelompok tertentu, yang menjadi bagian dari komunitas tertentu, dan menjadi bagian dari suatu bangsa tertentu pula. Menjadi bagian dari kelompok tertentu tersebut adalah kebutuhan kita demi kelangsungan hidup, yang bukan hanya demi keamanan fisik, tetapi juga keamanan psikologis. Hal ini mengharuskan kita untuk mematuhi apa yang menjadi norma dan tuntutan kelompok. Sehingga perilaku dan respon kita terhadap berbagai situasi sering kali lebih ditentukan oleh norma dan penyesuaian terhadap kelompok dari pada murni alasan individual.



Demikian pula para pendiri bangsa sadar bahwa negara Indonesia yang akan mereka dirikan harus mampu berdiri di atas semua kelompok yang beragam. Indonesia adalah kesatuan dari berbagai macam suku, ras, agama, bahasa, dan pelbagai identitas lain yang tidak sama satu dengan lainnya. Maka diharapkan adanya keinginan hidup bersama sebagai satu bangsa karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan wilayah kesatuan yang sama. Karenanya, kewarganegaraan tidak hanya dalam arti yuridis, tetapi juga dalam arti kultural.

Kewarganegaraan yuridis terwujud dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dan negara. Ikatan hukum ini menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum misalnya adalah akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dll.

Adapun kewarganegaraan kultural tidak ditandai dengan ikatan hukum, melainkan ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan budaya, ikatan keturunan, ikatan nasib, sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan. Tatkala bangsa-bangsa di negeri ini membangun negara baru di atas puing-puing kolonialisme, proses nasionalisasi itu berlangsung secara transformatif. Komunitas nasional yang berskala besar itu harus bertumpu pada sebuah infrastruktur masyarakat warga yang berbudaya majemuk dan heterogen.
Kesadaran sebagai warga bangsa dan warga negara tak serta merta juga merupakan kesadaran sebagai warga dalam satu komunitas kultural. Demikian pula sebaliknya, kesadaran sebuah komunitas kultural tidak serta merta menjadikan kesadaran berbangsa.

Dari sinilah harus dicari dan dikembangkan suatu kebutuhan bersama sebagai pengikat dalam meningkatkan solidaritas, kebersamaan, dan perasaan senasib-sepenanggungan. Dan di antara wadah tempat pencarian itu adalah civil society. Sebab dalam civil society atau ruang publik itulah solidaritas sosial akan muncul yang diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah. Yang dimaksud di sini bukanlah solidaritas kelompok, suku, ataupun golongan, tetapi lebih kepada solidaritas sebagai warga Indonesia. Civil society bergerak untuk kepentingan publik. Masyarakat harus menyadari untuk tidak melakukan diskriminasi antar warga hanya karena alasan adanya perbedaan dalam masalah-masalah budaya, termasuk kepercayaan. Kesadaran akan kesatuan dalam kehidupan berberbangsa dan bernegara merupakan prasyarat mutlak yang harus disokong oleh partisipasi, bukan mobilisasi.
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah?

Terhadap proyek penumbuhan kesadaran warga sebagai bagian kehidupan berbangsa dan bernegara ini, pemerintah dapat mendorong terwujudnya pertemuan dan diskusi antar warga, memfasilitasi dialog antar warga dan masyarakat budaya, menyediakan fasilitas ruang dan komunikasi publik yang mudah diakses warga. Dengan demikian, ruang publik yang sebenarnya sudah ada dan diwariskan pendahulu kita ini dapat kita pertahankan dan dipupuk terus demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga pengambilan kebijakan tidak selalu dari atas ke bawah tanpa melibatkan partisipasi publik, yang seringkali hanya menimbulkan rasa tersisih dan keinginan untuk keluar dari ikatan kewarganegaraan. Akan tetapi kebijakan tersebut memang harus benar-benar merupakan kebutuhan dan aspirasi warga negara. Kalau semua ini terwujud, keanggotaan seorang warga dalam suatu negara dan bangsa tidak hanya karena alasan formal dan terpaksa, tetapi benar-benar karena kesadaran diri penuh akan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. Bukankah yang demikian itu akan membuat kita lebih optimis menatap masa depan?

Pustaka:

Ibrahim, R., Strategi Mewujudkan Civil Society, 1999, LP3ES
Leahy, Louis, Siapakah Manusia, 2007, PT Gramedia
Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, 2006, Bumi Aksara