Wednesday, June 10, 2009

Teknologi dan Manusia Modern

Alienasi Manusia Modern dalam Film Modern Times

I. Pengantar

Siapa yang tidak mengenal Charlie Chaplin? Aktor film berbadan kecil ini telah menorehkan namanya sebagai legenda film bisu, film yang minus percakapan dan hanya mengandalkan gerak badan dan mimik muka. Aktor berbadan lentur kelahiran 16 April 1889 di Walworth, London, dan meninggal pada 25 Desember 1977 di Swiss ini adalah seorang idealis. Di tengah merebaknya film-film modern dengan beragam bentuk dan ekspresinya ia tetap betah dalam pergumulannya dengan film-film bisu. Tidak hanya itu, film-film Chaplin selalu kental dengan muatan kritik-kritik sosial. Tidak terkecuali film Modern Times di mana dia adalah aktor utama, penulis skenario, dan penata musiknya sekaligus.

Kritiknya terhadap proses dehumanisasi yang sedang berlangsung dan melanda manusia modern dapat kita saksikan sepanjang durasi film ini sampai akhir. Film ini muncul pada masa krisis ekonomi yang melanda dunia sehabis Perang Dunia I sekaligus di masa di mana teknologi semakin mengukuhkan cengkeramannya terhadap manusia. Maka tak ayal, film ini sangat bermanfaat sekaligus sebagai pengingat bagi kita dan genenerai mendatang, yang semakin berat tantangannya lantaran semakin kuatnya proses dehumanisasi itu.

II. Charlie Chaplin, orang baik yang tidak beruntung

Film ini bercerita tentang seorang buruh (Chaplin) yang bekerja di sebuah pabrik. Sebagai pekerja bawahan, ia mendapatkan tugas bagian pengepakan produk yang keluar dari mesin. Dia yang seorang manusia biasa ini harus melayani mesin yang terus-menerus tanpa lelah berproduksi sepanjang hari. Seluruh pikiran dan gerakannya terkonsentrasi penuh pada mesin. Tidak hanya itu, seluruh tindakan dan gerak-geriknya selalu diawasi oleh atasannya, bahkan di dalam kamar kecil sekalipun. Tindakan ini langsung mengingatkan pada tampilan yang muncul pertama kali dalam film ini: kerumunan babi yang digiring berarakan, lalu berganti dengan manusia yang juga berarakan digiring oleh peraturan korporasi.

Kejadian menarik terjadi ketika tindakan yang sangat sederhana, yaitu makan, yang seharusnya lebih mudah dan nikmat ketika dilakukan sendiri harus diganti dengan pelayanan dari mesin. Program yang tujuannya untuk efesiensi ini akhirnya gagal karena tidak mencapai tujuan. Kisah berlanjut sampai siang hari di mana pergerakan mesin semakin dipercepat. Tak kuat menahan laju mesin, Chaplin tertarik dan masuk ke dalam mesin. Hegemoni mesin atas dirinya yang berlangsung terus menerus ini membuatnya gila. Di luar pabrik, ia ikut-ikutan demo dan tertangkap polisi.

Sebagai orang yang baik, dia menjadi teladan di penjara. Karena jasa-jasanya selama di penjara, ia dibebaskan oleh kepala LP dan diberikan surat rekomendasi untuk kerja. Karena sial, ia pun gagal ketika berkerja di galangan kapal yang akhirnya bertemu dengan gadis pengangguran dan bekerja di suatu toko besar. Namun ia juga gagal karena tidak beruntung. Akhirnya ia kembali ke pabrik lamanya setelah dibuka kembali. Sekali lagi ia dituduh ikut demo dan harus berurusan dengan polisi. Ia bersama kekasihnya akhirnya dapat meloloskan diri dan dapat bekerja sebagai pelayan di restoran. Namun keduanya harus kembali dikenali oleh polisi dan akhirnya melarikan diri bersama-sama. Dari yang semula tidak punya apa-apa kembali lagi menjadi tidak punya apa-apa.

III. Apakah teknologi membebaskan manusia?

Berbeda dengan beberapa bidang yang lain, teknologi adalah bidang ilmu yang selalu maju ke depan. Ia tidak pernah mundur. Sekali sebuah penemuan telah ditemukan, maka ia akan menjadi semakin sempurna dan begitu seterusnya. Di samping itu, teknologi juga menjanjikan kemudahan bagi manusia. Maka tidak mengherankan jika manusia berlomba-lomba untuk menguasainya. Sejarah mencatat bahwa mereka yang memiliki teknologi tercanggihlah yang akan menguasai alam dan juga sesamanya. Teknologi dianggap sebagai dewa penolong dari kejumudan dan keterbelakangan manusia.

Namun sejarah juga mencatat, karena teknologi pula dunia semakin hancur. Alam yang dulunya aman dan damai mulai semakin tidak bersahabat dan mengancam manusia. Semua itu tidak lepas dari akibat yang ditimbulkan oleh teknologi. Demikian juga manusia yang dulu hidup tenteram dan saling mengasihi menjadi semakin brutal dan tega memangsa saudaranya sendiri. Lebih dari itu, teknologi yang dulu mereka ciptakan ini sekarang semakin dominan peranannya dan bahkan mengalahkan penemunya sendiri, manusia. Manusia semakin tercerabut dari jati dirinya.

Manusia yang sejatinya adalah tuan dari teknologi sekarang berubah menjadi hamba teknologi. Manusia dengan sesamanya menjadi harus saling mendahului dan kalau perlu memusnahkan untuk sekedar ’mendapatkan tempat’ dalam teknologi.

Kalau sudah demikian, apakah teknologi masih bermanfaat bagi manusia? Apakah teknologi masih mampu untuk membebaskan manusia dari keterbelakangan? Atau justru teknologi malah akan membuat manusia hancur dan kehilangan dirinya?

IV. Apa yang sebenarnya terjadi?

a. Teknologi itu membebaskan.

Menurut Auguste Comte, sejarah harus kita lihat secara keseluruhan. Kemajuan yang ada saat ini tidak lepas dari kemajuan-kemajuan yang terjadi sebelumnya. Lihatlah misalnya sejarah nenek moyang kita yang masih sangat primitif dan kesulitan dalam menangkap ikan. Hal itu berbeda jauh dengan keadaan sekarang di mana perburuan dapat dilakukan dengan mudah berkat kemajuan teknologi.

Karena itu Comte mengklasifikasikan sejarah umat manusia menuju kemajuan menjadi tiga tahap. Pertama adalah ahap teologis, di mana mereka masih mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini dipercaya memiliki kekuatan yang dapat mengatur seglanya, termasuk manusia. Termasuk di dalam tahap ini adalah fetisisme/animisme, politeisme, dan yang terakhir monoteisme. Tahap kedua lebih maju, yaitu tahap metafisis. Di sini manusia mengubah kekuatan adimanusiawi tersebut menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Di sini muncul konsep-konsep abstrak mengenai alam sebagai keseluruhan, sebagai ganti dari kepercayaan atas kekuatan adimanusiawi. Dan akhirnya manusia mencapai kedewasaan dalam tahap ketiga, tahap positif. Di sini manusia bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan. Teknologi menjadi tidak terelakkan. Dari tahap sejarah ini menjadi jelas bahwa teknologi semakin membebaskan manusia. Ia membantu dan memudahkan segala kebutuhan manusia.

b. Teknologi itu tidak membebaskan

Berbeda dengan Comte, Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa teknologi tidak membebaskan manusia, tetapi justru mengalienasi manusia. Teknologi memang membantu manusia dalam penguasaannya atas alam dan menjadikannya objek kepentingan. Namun pengobjekan yang dilakukan oleh teknologi ini ternyata tidak hanya terjadi atas alam, namun juga memengaruhi hubungan manusia yang satu dengan yang lain dan relasi individu dengan dirinya sendiri. Hubungan antar manusia menjadi seperti hubungan dalam pertukaran barang.

Cara berpikir positivistik dan dan teknologis yang menentukan proses indrustrialisasi telah membentuk cara pandang tertentu yang melihat manusia sebagai barang atau instrumen yang operable untuk menghasilkan produk. Hal ini persis seperti yang diperankan Chaplin dalam Modern Times. Adorno dan Horkheimer berkata, ”Dahulu kala animisme menjiwakan benda-benda, tetapi saat ini industrialisme membendakan jiwa-jiwa.” Karena itu, bagi kedua filsuf ini, sistem penguasaan teknologi ini buruk karena tidak membahagiakan manusia, represif karena tidak membuat manusia bebas, dan inhuman karena karena tidak mampu menciptakan hubungan-hubungan sosial yang benar dan wajar.

Karena itu jelas bahwa teknologi tidak bermanfaat bagi manusia, namun malah membuat mereka tidak bebas dan teralienasi dari diri mereka sendiri dan dari orang lain. Karena alasannya sudah jelas, bukan manusia yang menguasai alam, melainkan sebaliknya alam yang menguasai manusia. Selain itu, ilmu-ilmu yang merupakan hasil proses Aufklarung ini ternyata memiliki rasionalitasnya sendiri, yaitu rasio instrumental. Rasio ini tidak mempersoalkan sasaran, melainkan hanya berfungsi sebagai alat yang merasionalkan jalan ke sasaran itu dan mengkalkulasikan segala apa yang memperlancar tujuan itu.

c. Sistem sosial yang harus dirubah

Karl Marx tidak secara khusus berbicara tentang dampak kemajuan teknologi bagi kehidupan manusia. Ia tidak begitu mempermasalahkan kemajuan teknologi ini. Yang ia pikirkan adalah bagaimana manusia yang terpecah menjadi kelas-kelas sosial bisa memiliki hak yang sama dalam memperoleh akses ke sumber produksi. Bagaimana agar para kapitalis tidak lagi menguasai sumber produksi yang seharusnya menjadi milik bersama. Memang manusia mengalami alienasi. Namun alienasi bukan dari kemajuan teknologi, melainkan dari sistem kapitalis yang tidak adil.

Maka teknologi akan menjadi baik dan bermanfaat jika digunakan dengan baik, yaitu digunakan untuk kepentingan bersama-sama dengan akses yang sama pula bagi semua. Namun ia menjadi tidak baik jika hanya dikuasai kelompok tertentu saja dan digunakan untk mengontrol yang lain. Manusia memang mengalami alienasi, yaitu alienasi dari barang karena ia tidak memiliki produk yang dihasilkannya, alienasi dari sesama karena harus saling bersaing dengan sesamanya demi untuk memperebutkan tempat dalam sistem teknologi, dan alienasi dari dirinya sendiri karena ia telah berubah dan tidak menjadi dirinya sendiri lantaran semakin dikuasai oleh teknologi.

V. Teknologi dan Moral

Sejarah telah berjalan. Kita tidak mungkin kembali ke masa lampau atau hidup semacam itu di masa sekarang. Kemajuan teknologi adalah sebuah keniscayaan dan kenyataan yang harus kita terima. Dengan teknologi kehidupan kita memang lebih ”mudah”. Ada banyak manfaat yang kita peroleh dari kemajuan teknologi.

Namun jangan lupa bahwa teknologi bukanlah tujuan. Teknologi hanyalah salah satu sarana untuk mengejar kebahagiaan. Masih ada banyak jalan menuju kebahagiaan selain melalui teknologi. Maka teknologi harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya agar tidak menimbulkan kehancuran bagi diri kita sendiri. Maka di sini moral niscaya diperlukan. Tanpanya, teknologi yang tidak memiliki perasaan akan melumat kita. Kehidupan kita akan semakin baik dengan bantuan teknologi, dan teknologi akan lebih aman jika penggunaannya dibarengi dengan moralitas.

VI. Daftar Pustaka

Adorno dan Horkheimer, Dialectic of Enlightment
Hardiman, F. Budi, 2004, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia
Magnis-Suseno, Franz, 2003, Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia
Thahjadi, Simon Petrus L., 2007, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogjakarta: Kanisius

No comments: