Monday, June 8, 2009

Kewarganegaraan Yuridis dan Kewarganegaraan Kultural

Kebutuhan akan kebersamaan

Sejak dilahirkan, kita telah menjadi bagian dari kelompok tertentu, yang menjadi bagian dari komunitas tertentu, dan menjadi bagian dari suatu bangsa tertentu pula. Menjadi bagian dari kelompok tertentu tersebut adalah kebutuhan kita demi kelangsungan hidup, yang bukan hanya demi keamanan fisik, tetapi juga keamanan psikologis. Hal ini mengharuskan kita untuk mematuhi apa yang menjadi norma dan tuntutan kelompok. Sehingga perilaku dan respon kita terhadap berbagai situasi sering kali lebih ditentukan oleh norma dan penyesuaian terhadap kelompok dari pada murni alasan individual.



Demikian pula para pendiri bangsa sadar bahwa negara Indonesia yang akan mereka dirikan harus mampu berdiri di atas semua kelompok yang beragam. Indonesia adalah kesatuan dari berbagai macam suku, ras, agama, bahasa, dan pelbagai identitas lain yang tidak sama satu dengan lainnya. Maka diharapkan adanya keinginan hidup bersama sebagai satu bangsa karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan wilayah kesatuan yang sama. Karenanya, kewarganegaraan tidak hanya dalam arti yuridis, tetapi juga dalam arti kultural.

Kewarganegaraan yuridis terwujud dengan adanya ikatan hukum antara orang-orang dan negara. Ikatan hukum ini menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu, yaitu orang tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan. Tanda dari adanya ikatan hukum misalnya adalah akta kelahiran, surat pernyataan, bukti kewarganegaraan, dll.

Adapun kewarganegaraan kultural tidak ditandai dengan ikatan hukum, melainkan ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan budaya, ikatan keturunan, ikatan nasib, sejarah, dan ikatan tanah air. Dengan kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara yang bersangkutan. Tatkala bangsa-bangsa di negeri ini membangun negara baru di atas puing-puing kolonialisme, proses nasionalisasi itu berlangsung secara transformatif. Komunitas nasional yang berskala besar itu harus bertumpu pada sebuah infrastruktur masyarakat warga yang berbudaya majemuk dan heterogen.
Kesadaran sebagai warga bangsa dan warga negara tak serta merta juga merupakan kesadaran sebagai warga dalam satu komunitas kultural. Demikian pula sebaliknya, kesadaran sebuah komunitas kultural tidak serta merta menjadikan kesadaran berbangsa.

Dari sinilah harus dicari dan dikembangkan suatu kebutuhan bersama sebagai pengikat dalam meningkatkan solidaritas, kebersamaan, dan perasaan senasib-sepenanggungan. Dan di antara wadah tempat pencarian itu adalah civil society. Sebab dalam civil society atau ruang publik itulah solidaritas sosial akan muncul yang diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi antar warga secara alamiah. Yang dimaksud di sini bukanlah solidaritas kelompok, suku, ataupun golongan, tetapi lebih kepada solidaritas sebagai warga Indonesia. Civil society bergerak untuk kepentingan publik. Masyarakat harus menyadari untuk tidak melakukan diskriminasi antar warga hanya karena alasan adanya perbedaan dalam masalah-masalah budaya, termasuk kepercayaan. Kesadaran akan kesatuan dalam kehidupan berberbangsa dan bernegara merupakan prasyarat mutlak yang harus disokong oleh partisipasi, bukan mobilisasi.
Apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah?

Terhadap proyek penumbuhan kesadaran warga sebagai bagian kehidupan berbangsa dan bernegara ini, pemerintah dapat mendorong terwujudnya pertemuan dan diskusi antar warga, memfasilitasi dialog antar warga dan masyarakat budaya, menyediakan fasilitas ruang dan komunikasi publik yang mudah diakses warga. Dengan demikian, ruang publik yang sebenarnya sudah ada dan diwariskan pendahulu kita ini dapat kita pertahankan dan dipupuk terus demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga pengambilan kebijakan tidak selalu dari atas ke bawah tanpa melibatkan partisipasi publik, yang seringkali hanya menimbulkan rasa tersisih dan keinginan untuk keluar dari ikatan kewarganegaraan. Akan tetapi kebijakan tersebut memang harus benar-benar merupakan kebutuhan dan aspirasi warga negara. Kalau semua ini terwujud, keanggotaan seorang warga dalam suatu negara dan bangsa tidak hanya karena alasan formal dan terpaksa, tetapi benar-benar karena kesadaran diri penuh akan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya. Bukankah yang demikian itu akan membuat kita lebih optimis menatap masa depan?

Pustaka:

Ibrahim, R., Strategi Mewujudkan Civil Society, 1999, LP3ES
Leahy, Louis, Siapakah Manusia, 2007, PT Gramedia
Winarno, Pendidikan Kewarganegaraan, 2006, Bumi Aksara

No comments: