Monday, June 8, 2009

Allah Sebagai Proyeksi

Pandangan Ludwig Feuerbach tentang Tuhan dan Agama


a. Pendahuluan

Atheis adalah kata yang menjijikkan bagi sebagian kalangan beragama. Bagi mereka, mendengar kata itu yang pertama kali terbayang dalam pikiran adalah orang-orang yang akan dan pasti menempati tempat khusus di dasar neraka. Tidak ada tempat terhormat bagi mereka, baik di dunia ini maupun kelak setelah kematian. Bahkan orang-orang seagama pun yang tidak sama keyakinannya dengan mereka juga akan mereka samakan nasibnya dengan orang-orang yang tidak mengakui adanya Tuhan.


Yang salah dari orang-orang ini, kalau boleh penulis sebut sebagai fundamentalis, salah satunya, adalah bahwa mereka menganggap kebenaran hanya ada satu dan tunggal, dan itu sudah ada pada mereka, tidak pada yang lain. Karena pandangan yang satu arah inilah mereka menutup diri dan tidak mau menerima ‘kebenaran’ dari pihak lain. Padahal, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, tidak selamanya apa yang mereka yakini itu tanpa cacat. Kalaupun keyakinan mereka memang benar, pandangan orang yang berseberangan sebenarnya justru dapat memperkaya dan menguatkan keyakinan mereka. Artinya, bagi kalangan orang yang berkeyakinan, pandangan para atheis justru sangat bermanfaat untuk semakin dapat mempertanggung-jawabkan iman dan kepercayaannya. Apakah iman dan kepercayaannya memang sudah benar atau justru persis sebagaimana yang dituduhkan oleh para atheis tersebut.

Tanpa berpretensi menolak atau membela atheisme, tulisan ini hanya menjelaskan pandangan tokoh besar filsafat ketuhanan zaman modern, Ludwig Feuerbach, tentang Tuhan dan agama, tepatnya tentang teori proyeksinya.

b. Biografi Singkat

Lahir pada tanggal 28 Juli 1804 di Landshut, Jerman, Ludwig Andreas von Feuerbach adalah anak laki-laki keempat dari ayah seorang hakim terkemuka, Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Lulus dari Universitas Heidelberg setelah menempuh pendidikan teologi Protestan, ia bermaksud melajutkan karirnya di Gereja. Namun karena pengaruh Prof. Karl Daub ia lalu mengembangkan minatnya dalam filsafat Hegel, yang pada masa itu memang sudah dominan. Maka ia langsung ke Berlin untuk berguru kepada Hegel. Di sana ia bergabung dengan teman-temannya sesama Hegelian Kiri. Tulisnya kepada seorang teman, "Aku tidak dapat lagi memaksakan diriku untuk mempelajari teologi. Aku rindu menyelami alam dalam jiwaku, alam yang di hadapan kedalamannya sang teolog yang kecil hati menjadi kecut hati; dan dengan manusia alamiah, manusia di dalam kualitas keseluruhannya."

Pada tahun 1825/1826 ia pndah ke Erlangen untuk belajar ilmu pengetahuan alam dan mendapat gelar doctor dari Universitas Friedrich-Alexander, Erlangen-Nurnberg. Tahun 1829-1832 ia menjadi dosen filsafat. Tetapi karena tulisan-tulisannya dianggap membahayakan agama, maka ia dipersulit untuk mendapatkan gelar profesor. Karena itu ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya sebagai pengajar dan berganti profesi sebagai pengarang bebas. Tahun 1837 ia menikah dengan kekasihnya, Bertha Löw, dan dikaruniai seorang putri, Mathilde. Tahun 1841 ia menulis bukunya yang sangat penting dan terkenal, Das Wesen des Christentum (The Essence of Christianity), yang memuat kritik tajam terhadap agama Kristen. Dan karena serangan jantung, pada 13 September 1872 ia wafat di desa Rechenberg, dekat Nürnberg, tempat di mana ia akhirnya dikebumikan.

c. Filsafat Baru

Feuerbach menamai filsafatnya dengan nama ‘filsafat baru’. Yaitu filsafat yang mendasarkan dirinya dan memusatkan penyelidikannya hanya pada pengalaman yang konkret indrawi atau empiri. Bagi Feuerbach, berfilsafat semacam ini sangat penting karena hanya dengan berdasar pada kenyataan yang konkret-indrawi-lah kepastian dapat diperoleh. “Manusia tidak memiliki gagasan dan pengetahuan tentang kenyataan lain, kecuali kenyataan indrawi.” Baginya, manusia hanya percaya pada eksistensi yang terwujud lewat tanda-tanda yang dapat dirasa dan diindra. Karena itu, kenyataan, kebenaran, dan keindrawian adalah identik.

Feuerbach sadar bahwa alam juga dapat diketahui lewat pikiran, dan objek dapat diketahui lewat subjek yang sadar. Namun dia mempertanyakan dari mana datangnya kesadaran itu kalau tidak ada sesuatu yang disadari terlebih dahulu. Menurutnya, sebagai subjek, manusia menyadari alam hanya lewat pembedaan dirinya dari alam. Karena itu, alam adalah dasar bagi kesadaran. Dan hanya ketika kita mensyaratkan ‘empiri untuk filsafat’ maka kita akan berfilsafat tanpa persyaratan apapun. Maka hanya ada satu titik tolak yang absah dalam filsafat, yaitu yang inderawi.

d. Kritik terhadap Hegel

Filsafat baru adalah istilah bagi Feuerbach untuk membedakan filsafatnya dari filsafat orang-orang sebelumnya, termasuk gurunya, Hegel, yang ia namakan dengan filsafat lama. Dinamakan filsafat lama karena mereka dengan tekun berkutat pada hal-hal yang abstrak dan tidak konkrit, seperti roh, kesadaran, akal budi, ide, dan semacamnya. Pemikiran yang semacam ini hanya spekulasi dan tidak memiliki dasar dalam realitas konkrit-indrawi. Filsafat macam ini gagal melihat bahwa sebenarnya hubungan antara filsafat dan teologi adalah hubungan antara rasio dan fantasi, atau antara otak yang sehat dengan otak yang sakit.

Sebagaimana diketahui, Hegel berpendapat bahwa Allah mengungkapkan diri dalam kesadaran manusia. Seturut pemikiran Hegel, kita, para manusia, adalah wayang dari Roh Absolut. Kemanapun dan dalam bentuk apapun kita bertindak dengan penuh kesadaran, ‘roh semesta’ ada di belakang kita menentukan arah dan tujuan kita. Artinya, tanpa kita sadari, segala aktivitas dan tindakan kita sebenarnya telah didesain sedemikian rupa dan hanya merupakan ‘akal-akalan’ saja dari tokoh di balik layar tersebut untuk menuju kepenuhannya. Dengan demikian, roh semesta adalah pelaku sejarah yang sebenarnya.

Dan di sinilah filsafat baru Feuerbach menentang filsafat lama Hegel. Feuerbach menuduh Hegel memutarbalikkan kenyataan. Hegel mengesankan bahwa yang nyata adalah Allah, dan manusia hanya wayang saja. Padahal jelas bahwa manusialah yang nyata dan Allah adalah objek pikiran manusia. Feuerbach menolak klaim Hegel yang telah mengangkat agama ke tingkatan filsafat. Bagi Feuerbach, filsafat roh Hegel justru merupakan kemenangan agama atas filsafat, karena tetap mengandaikan Allah sebagai yang pertama dan manusia sebagai yang kedua. Dengan kata lain, filsafat Hegel tidak lain adalah keyakinan agama yang terselubung.

Feuerbach menolak bahwa unsur sejati dalam manusia adalah akal budinya. Sebagai gantinya, ‘totalitas manusia yang sejati’ ia jadikan sebagai dasar filsafat barunya. Ia memasukkan akal budi, kehendak, dan hati sebagai bagian dari totalitas manusia yang sejati. Ketiganya memang terlihat agak abstrak, namun yang ia maksud adalah pengertian yang lebih konkrit, sebagaimana yang ia maksudkan dengan hati, yaitu cinta dan perasaan, yang baginya dapat dikategorikan ke dalam bidang pengalaman inderawi.

Selain membahas keinderawian manusia atau manusia sebagai individu, Feuerbach juga membahas tentang relasi antar individu, atau antara Aku dan Kamu. Menurutnya, manusia baru menjadi manusia berkat manusia lain. Namun hubungan antar individu ini tidak hanya sebatas orang per orang, akan tetapi Feuerbach menariknya dalam konteks yang lebih luas, yaitu hubungan antar manusia secara keseluruhan (gattung). Dalam hubungan ini, tiap individu hanyalah bentuk kecil dari keseluruah umat manusia atau gattung tersebut.

Manusia individu memang tidak sempurna, akan tetapi ia dapat melihat kesempurnaan pada bangsa manusia. Dan karena melihat kesempurnaan dan ketakterbatasan umat manusia inilah maka individu menyadari bahwa dirinya terbatas dan tidak sempurna. Lantaran dua hal ini, yaitu keterbatasan individu dan ketakterbatasan bangsa manusia, individu lantas memimpikan ketakterbatasan. Ketakterbatasan ini ada pada bangsa manusia yang berarti juga ada pada dirinya sebagai bagian dari gattung. Dan menurut Feuerbach, keinginan ideal inilah yang mengawali munculnya kepercayaan akan adanya Allah. Dengan kata lain, ide tentang Allah berasal dari keinginan ideal manusia akan ketakterbatasan dan keabadian.

e. Teori Proyeksi

Berawal dari pandangannya bahwa manusialah yang benar-benar nyata, bukan Allah; rahasia teologi adalah antropologi, Feuerbach merumuskan teori proyeksinya tentang terjadinya agama sebagai kepercayaan terhadap Tuhan. Bahwa bukan Allah yang menciptakan manusia, akan tetapi sebaliknya: Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama adalah proyeksi manusia. Semua yang diimani oleh orang beragama, seperti surga, neraka, dst., hanyalah angan-angan saja yang tidak memiliki kenyataan konkret. Agama adalah proyeksi hakekat manusia. Agama hanyalah impian tentang menjadi seperti apakah manusia seharusnya.

Namun masalahnya, manusia lupa bahwa angan-angan itu adalah ciptaannya sendiri. Apa yang sebenarnya angan-angan ia beri eksistensi sehingga seolah-olah angan-angan itu memang benar-benar ada. Angan-angan itu begitu besar, menakutkan, menarik, dan juga dirindukan. Sebagaimana gattung yang ia idealkan, angan-angan ini ia lekatkan padanya sifat ketakterbatasan dan keabadian. Manusia lantas menyembahnya. Sehingga agama tidak lain adalah penyembahan manusia atas sesuatu yang ia ciptakan sendiri tanpa ia sadari.

Agama adalah ekspresi orang yang lemah dan membutuhkan dalam usaha untuk menutupi kelemahan dan kebutuhannya. Kepercayaan tersebut hanyalah fantasi karena mereka tidak dapat merealisasikannya dalam kehidupan riel. Kalau mereka sudah dapat merealisasikannya, menurut Feuerbach, maka agama akan mati dan hilang dengan sendirinya. Agama adalah bukti konkrit dari ketergantungan manusia terhadap alam dan manusia lainnya. Sama-sama dalam ketergantungan, yang membedakan manusia dari hewan sehingga manusia memiliki agama sedangkan hewan tidak, adalah karena manusia sadar akan ketergantungannya itu. Dan manusia memiliki memori atas kejadian masa lalunya yang kurang baik dan memimpikan keadaan yang lebih baik di masa depan.

Karena itu agama adalah ungkapan keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Feuerbach menerangkan, ”Agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, adalah kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri, atau lebih tepat: terhadap hakekatnya sendiri, akan tetapi kelakuan terhadap hakekatnya seperti terhadap makhluk lain. Hakekat Ilahi tidak lain adalah hakekat manusia, atau lebih tepat: hakekat manusia yang dipisahkan dari batas-batas manusia individual, jadi nyata, jasmani, yang diobjektifkan, artinya dipandang dan dipuja sebagai makhluk lain yang berbeda daripadanya – maka dari itu semua ciri hakekat Ilahi adalah cirri hakekat manusia.”

Sebagai contoh, dengan mengatakan bahwa Allah adalah maha tahu, orang beragama sebenarnya mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui banyak hal. Ungkapan bahwa Allah maha kekal adalah ekspresi keinginan orang beriman untuk terus hidup abadi tanpa terhampiri kematian. Dan dengan mengatakan bahwa Allah ada di mana-mana adalah ambisi orang berkepercayaan atas keinginannya untuk dapat berada dan menguasai banyak tempat. Begitu seterusnya.

Dengan mengatakan bahwa agama adalah proyeksi manusia, Feuerbach mengakui bahwa agama memiliki nilai positif, di samping nilai negatif. Agama bersifat positif karena ia merupakan proyeksi dari hakekat manusia. Di dalam agama manusia dapat mengetahui siapa sebenarnya dirinya. Ia adalah orang yang baik, pemurah, sempurna, dan berbagai sifat lain yang baik. Namun masalahnya, dan ini sifat negatifnya, manusia lupa bahwa proyeksi tersebut sebenarnya adalah dirinya sendiri. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang ada di luar dirinya sehingga menyembahnya. Karena itu manusia dalam beragama sebenarnya memblokir potensi yang ada dalam dirinya sendiri untuk diaktualisasikan. Ia tidak berusaha untuk menjadikan diri sendiri seperti yang ia gambarkan, tetapi malah menaruhnya pada sesuatu yang lain di luar dirinya. “Hanya orang yang miskin yang mendambakan Tuhan yang kaya”, kata Feuerbach.

Bahkan, alih-alih merealisasikan potensi yang dimiliki, manusia malah meletakkan sifat dan potensi yang diimpikan kepada Allah yang ia takuti dan sembah. Semua sifat yang seharusnya dapat ia realisasikan sekarang ia tangguhkan dan menunggu kepenuhannya kelak. Daripada mengusahakan untuk menjadi sempurna di dunia ini, ia malah mengharapkan kesempurnaan itu dari Allah kelak di akhirat. Agama mencegah manusia untuk merealisasikan hakekatnya yang sosial. Karena itu agama hanya mengasingkan manusia dari dirinya sendiri. Bahkan Feuerbach berkeyakinan bahwa agama menghalangi kemajuan, ilmu pengetahuan, pencerahan, kedewasaan, dan kebebasan manusia.

Karena itu, untuk mangakhiri keterasingannya, manusia harus melepaskan diri dari agama. Ia harus menghancurkan agama agar dapat merealisasikan potensi yang ia miliki. Ia harus melepas atribut yang ia lekatkan pada agama dan menyandangnya sendiri. Ia harus menolak keyakinan Allah maha segalanya agar dirinya sendiri kuat, baik, adil, dst. Teologi harus menjadi antropologi. Rahasia teologi adalah antropologi, begitu kata Feuerbach. Dengan demikian, maka dari kepercayaan kepada Allah akan muncul kepercayaan manusia pada dirinya sendiri. “Manusia adalah awal dari agama, manusia adalah pusat dari agama, dan manusia adalah akhir dari agama.”

f. Tanggapan terhadap Kritik Agama Feuerbach

Setiap pemikiran selalu membawa serta pro dan kontranya sendiri. Justru dengan adanya pro dan kontra itulah eksistensi pemikiran, khususnya pemikirnya, diakui keberadaannya. Demikian juga dengan pemikiran Feuerbach. Dari sini, harus diakui sumbangan penting Feuerbach terhadap filsafat ketuhanan dan terlebih terhadap agama.

Feuerbach adalah pemikir pertama yang memberikan dasar ilmiah-modern terhadap ateisme dan antropologi modern terkait dengan paham intersubjektivitas manusia. Dalam hal ini, Feuerbach memiliki andil besar terhadap pemikiran Martin Buber. Cara berpikir Feuerbach juga menjadi titik pangkal pelbagai bentuk ateisme, sepeprti ateisme-psikologis Sigmund Freud yang menyatakan bahwa agama adalah neurosis kolektif umat manusia, ateisme sosial-politik Karl Marx, dan ateisme eksistensial Niettzsche dan Sartre.

Feuerbach juga tidak sekedar menyangkal adanya Allah. Namun ia juga menjawab pertanyaan yang pasti akan muncul: kalau ateisme memang benar, bahwa Allah memang tidak ada, bagaimana dapat dijelaskan bahwa hampir semua umat manusia dari dahulu sampai sekarang percaya akan adanya Allah atau ketuhanan? Jawaban Feuerbach sederhana tapi mendalam. Bahwa agama adalah hasil proyeksi diri manusia. Ia adalah usaha manusia untuk mengembangkan dirinya, tetapi salah jalan.

Dan pendapat bahwa agama hanyalah sebuah proyeksi memang ada benarnya. Sering kali kita menyaksikan para pemeluk agama, terlebih para pemimpinnya, memerintahkan dan mengklaim macam-macam serta mengatasnamakan klaim itu dari Tuhan. Padahal klaim itu tidak lebih dari keinginan mereka sendiri untuk berkuasa. Maka di sini Feuerbach datang bukan untuk menghancurkan agama, tetapi hanya menjelaskannya. Karena itu, dari Feuerbach orang beragama harus belajar untuk selalu mawas diri agar tidak mendaku sebagai Tuhan.

Namun demikian, teori proyeksi juga menyimpan permasalahan yang tak kalah akutnya. Teori proyeksi hanya bicara tentang fungsi agama, bukan hakikat agama, yakni Allah. Feuerbach hanya bicara tentang fungsi agama sebagai pelarian diri manusia karena tidak dapat mengembangkan potensi dan hakekat dirinya. Namun tentang keberadaan Allah, bahwa Allah itu memang ada atau tidak, teori proyeksi tidak bicara. Dengan kata lain, pertanyaan ‘apakah Allah itu ada?’ belum terjawab. Sehingga, andaikata Allah memang ada, bukankah hal yang layak jika kita harus menyembah dan meminta pertolongan kepadanya? Bahwa mungkin ada proyeksi dan angan-angan dari pemeluk agama tidak berarti bahwa semua bentuk keberagamaan adalah seperti itu.

Demikian juga dengan pandangan Feuerbach bahwa agama adalah proyeksi kita atas kesempurnaan manusia. Pengertian bahwa Allah maha baik muncul karena kita mengidealkan kebaikan. Namun permasalahannya, dari manakah kita dapat menemukan kata ‘maha’ yang kita terapkan pada Allah itu? Maha berarti melampaui segala-galanya. Dan itu tidak kita temukan dalam pengalaman konkrit-indrawi kita. Padahal Feuerbach sendiri dari awal telah mendasarkan filsafatnya dari hal-hal yang inderawi, pemikiran yang membedakannya dari Hegel. Maka kalau manusia dapat mengenal Allah yang maha segalanya itu, padahal pengalamannya tidak pernah mengalaminya, menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dengan teori proyeksi Feuerbach. Teori ini gagal menjelaskan yang paling hakiki dalam pengalaman agama, bahwa manusia berhadapan dengan realitas tak terhingga. Harus diakui bahwa manusia juga mamiliki kemampuan jiwa yang dapat melampaui kemampuan empiris-inderawinya. Manusia adalah makhluk yang memiliki dimensi transenden. Dan dengan dimensi transenden inilah ia mampu menyadari dan mengalami pengalaman yang melampaui pengalaman inderawi.

g. Penutup

Seturut Kitab Suci, manusia tercipta secara berbeda-beda, tidak tunggal. Tiap golongan sudah memiliki jalannya masing-masing. Ada yang percaya adanya Tuhan dan ada yang tidak. Yang percaya kepada Tuhan-pun ada yang beragama A, ada yang berkeyakinan B, dst. Yang satu keyakinan pun ada yang beraliran ini dan beraliran itu. Tetapi semuanya sama-sama manusia, bersaudara, sesama hamba Tuhan (bagi yang beragama). Semua tercipta untuk saling mengasihi dan melengkapi. Tidak untuk saling bermusuhan dan saling benci. Asal semua saling menghormati, menghargai, tidak menonjolkan egoismenya masing-masing, dan tidak mendaku sebagai pemilik kebenaran layaknya Tuhan, mungkin dunia akan damai dan bebas dari permusuhan. Mungkinkah?

h. Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
Kamenka, Eugene, The Philosophy of Ludwig Feuerbach, London: Routledge & Kegan Paul, 1970.
Magnis-Suseno, Fraz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sudarminta, J. (ed), Dunia, Manusia, dan Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan: dari Descartes sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Wibowo, I. (ed), Sesudah Filsafat: Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
www.wikipedia.com

No comments: