Friday, October 23, 2009

Hermeneutika Ganda dalam Ilmu-ilmu Sosial

Pada mulanya para pemikir, baik yang berkecimpung dalam ilmu yang sekarang lazim disebut sebagai ilmu alam maupun ilmu sosial, disebut sebagai filosof. Bahkan tidak sedikit dari para pemikir itu yang menguasai kedua-duanya, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dan sampai pada pertengahan abad ke-19, ilmu-ilmu alam semacam matematika, fisika, dan astronomi, lazim disebut sebagai ‘filsafat alam’ (natural philosophy).Sedangkan ilmu-ilmu sosial semacam hukum, sosiologi, dan agama, disebut sebagai ‘filsafat moral’ (moral philosophy). Hanya pada akhir abad ke-19 bidang kajian filsafat moral berkembang menjadi cabang-cabang ilmu yang semakin beragam semacam sosiologi, ekonomi, antropologi, geografi, dsb. Hal inilah yang menjelaskan mengapa perintis ilmu-ilmu sosial tersebut adalah para filosof moral semacam Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Adam Smith, dll. Aristoteles misalanya, ia adalah pakar dalam bidang ekonomi, politik, sosiologi, logika, etika, dll.

Pemisahan antara ilmu-ilmu alam dari ilmu-ilmu sosial memang tidak terelakkan dan dapat dipahami lantaran objek kajian dari keduanaya memang berbeda. Kalau yang pertama menjadiakan alam sebagai objek kajiannya, maka yang dijadikan sebagai objek kajian bagi yang kedua adalah realitas sosial. Karena perbedaan objek kajian ini, maka hubungan antara seorang ilmuwan alam dengan objek yg ia kaji jg berbeda dari hubungan seorang ilmuwan sosial dengan objek kajiannya. Hubungan bagi yang pertama disebut dengan hermeneutika tunggal, sedangakan hubungan pada yang kedua disebut dengan hermeneutika ganda.

Hermeneutika ganda (double hermeneutic) berarti adanya sebuah arus timbal balik antara dunia sosial yg diperbuat oleh khalayak dan wacana ilmiah yg dilakukan oleh ilmuwan sosial. Hal ini lantaran objek kajian ilmu-ilmu sosial yang berupa tindakan dan praktek sosial selalu memberi umpan balik terhadap proses sebuah kajian. Di sini, pengamat tidak berada di luar objek kajian, akan tetapi ia sendiri telah menjadi bagian dari objek kajiannya. Yang terjadi tidak hanya si peneliti yang mengkaji suatu proses sosial tertentu, akan tetapi realitas sosial tersebut ikut memengaruhi si pengkaji dan jalannya penelitian.

Maka yang terjadi adalah mirip dengan permainan petak umpet. Seorang anak yang kebagian peran untuk mencari teman-temannya akan berpikir kira-kira berada di mana para lawan main bermainnya. Begitu juga teman-temannya akan berpikir juga, kira-kira si pencari ini akan mencari mereka di mana, sehingga mereka dapat menghidar. Maka ketika data, konsep, dan teori ilmu-ilmu sosial terlihat lenyap dan kedengaran usang, itu lantaran temuan dan teori-teori itu sudah atau sedang menjadi unsur integral dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, dan karena sudah menjadi bagian dari insting dan praktek sehari-hari.

Hubungan timbal balik di atas tidak terjadi dalam kajian ilmu-ilmu alam, di mana hanya terjadi hubungan satu arah, yaitu dari ilmuwan ke objek kajiannya, dan tidak sebaliknya. Yang terjadi hanyalah hermeneutika tunggal (single hermeneutic). Ambillah contoh seorang peneliti yang mengamati cuaca. Tidak akan terjadi hubungan timbal balik antara subjek (peneliti) dan objek (cuaca). Bagaimanapun keadaan si subjek, baik ia sedang marah, benci, gembira, atau sedih, tidak akan berpengaruh terhadap cuaca yang ia amati. Cuaca akan tetap sebagaimana mestinya lepas dari suka atau tidak sukanya peneliti. Singkatnya, yang terjadi hanyalah peneliti yang mengawasi cuaca, tidak termasuk sebaliknya: cuaca yang ikut ‘mengawasi’ peneliti.

Dalam realitas sosial, contoh dari hermeneutika ganda adalah khidupan keagamaan. Konkretnya sbb: praktek spiritualitas → agama Yahudi → praktek spiritualitas → agama Kristen → praktek spiritualitas → agama Islam, dst. Bahwa telah terjadi sebuah praktek dalam konteks tertentu atas sebuah kepercayaan sehingga melahirkan agama Yahudi, dan dari agama Yahudi ini muncullah praktek-praktek keagamaan yang akhirnya melahirkan agama Kristen. Dan dari agama Kristen ini lalu muncul praktek-praktek keagamaan yang nantinya menumbuhkan agama Islam. Dan dari agama Islam akan muncul praktek-praktek yang nantinya akan melahirkan aliran-aliran yang baru. Begitu seterusnya.

Dari Eksistensi ke Esensi

Dalam proses analisis ilmu-ilmu sosial, pertanyaan tentang ‘siapa manusia?’ sama pentingnya seperti dalam filsafat. Pengetahuan akan esensi manusia ini penting karena dengan mengetahui hakekatnya maka tindakan manusia dan gejala penyebab dan akibatnya akan mudah terpahami. Hanya saja dalam ilmu-ilmu sosial, persoalan tentang esensi manusia ini biasanya baru muncul setelah pengamatan tentang eksistensi manusia.

Berbeda dari penjelasan filsafat yang biasanya bermula dari esensi, penjelasan dalam ilmu-ilmu sosial biasanya bermula dari eksistensi. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu-ilmu sosial memiliki objek kajian yang sudah jelas, yaitu realitas sosial. Realitas sosial adalah segala jenis gejala yang kemunclan, keterjadian, dan konsekuensinya terkait denganfakta tindakan manusia (human action) dalam hubungannya dengan tindakan-tindakan manusia lain.

Dengan demikian maka objek kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah sebuah ‘ruang kosong’ atau pemikiran yang jauh atau tidak berdasar pada realitas. Objek kajian ilmu-ilmu sosial selalu berupa realitas sosial yang menunjuk pada tindakan dan interaksi manusia. Karena itu, objek kajian ini selalu mengacu pada konteks.

Karena objek kajian yang berupa realitas sosial itu, maka yang biasanya akan muncul pertama kali adalah eksistensi dari manusia. Manusia pertama kali tidak dijelaskan bagaimana hakekatnya, akan tetapi dijelaskan bagaimana gambaran dan keadaannya terlebih dahulu. Dan bermula dari pengetahuan tentang eksistensi, baru diteruskan ke pertanyaan tentang esensi. Maka pertanyaan tentang esensi (kodrat manusia) muncul dalam rangka sebagai usaha untuk memahami eksistensi (kondisi hidup).

Contoh dari pengamatan tentang eksistensi manusia yang terjadi lebih dulu dari pada persoalan esensi adalah kajian spiritualitas pada manusia. Ilmu-ilmu sosial terlebih dahulu mengamati realitas sosial yang ada sebagai objek kajiannya, semisal orang-orang yang beribadah di masjid, gereja, pura, dll. Dari realitas sosial yang ada itu baru dapat ditarik sebuah asumsi tentang manusia, semisal manusia adalah makhluk spiritual. Dan dari situ lalu muncul ilmu-ilmu agama.

Hanya saja kerap kali terjadi pereduksian esensi manusia menjadi makhluk yang esensinya ada pada hal tertentu saja. Padahal manusia adalah ‘taman keragaman’, dimana serentak ia adalah makhluk religius, makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk ruang, dan seterusnya. Manusia pastilah makhluk spiritual, akan tetapi makluk spiritual bukanlah keseluruhan manusia. Sebagaimana juga manusia pasti makhluk ekonomi, akan tetapi makhluk ekonomi pasti bukanlah keseluruhan manusia. Karena itu klaim bahwa manusia hanyalah makhluk spiritual, dengan menjadikan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia dikembalikan kepada sisi spiritual – apalagi mengembalikan semuanya pada ajaran agama atau kepercayaan tertentu - , jelas merupakan penciutan kodrat manusia. Klaim semacam itu jelas menyesatkan kita. Namun itulah yang kerap terjadi di sekeliling kita.

Pustaka:

Herry-Priyono, B, Anthony Giddens, Suatu Pengantar, Jakarta: KPG, 2002.
______________, Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
______________, Dektat kuliah mk. Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, STF Driyarkara 2009.



Saturday, October 10, 2009

Teori Pembenaran

I. Pendahuluan

Sebagaimana ciri khas dari setiap tilikan filosofis yang selalu mencari pertanggungjawaban rasional atas setiap klaimnya, apa yang terpapar dalam tulisan ini juga merupakan uraian, meski hanya singkat, bagaimana sebuah klaim kebenaran pengetahuan itu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional di hadapan akal budi. Kami tidak menyinggung bagamaimana pengetahuan itu diperoleh, tetapi, sebagaimana telah dijelaskan, hanya memfokuskan diri pada teori-teori yang ada dalam epistemologi dalam memberikan pertanggungjawaban atas klaim suatu kebenaran.Dengan perkataan lain, bagaimana pembenaran pengetahuan itu dilakukan. Untuk lebih jelasnya, teori-teori pembenaran yang dimaksud itu adalah sebagai berikut.

II. Fondasionalisme

Fondasionalisme adalah teori pembenaran yang menyatakan bahwa suatu klaim kebenaran pengetahuan untuk dapat dipertanggungjawabkan secara rasional perlu didasarkan atas suatu fondasi atau basis yang kokoh, yang jelas dengan sendirinya, tak dapat diragukan lagi kebenarannya, dan tak memerlukan koreksi lebih lanjut. Jenis pengetahuan yang harus memiliki dasar sebagai pembenarannya ini dalam sejarah filsafat sudah dapat kita temui pada Plato dengan ideanya dan Aristoteles dengan materi dan bentuknya. Adapun fondasi yang dimaksud oleh para penganut teori pembenaran ini bisa berbentuk intuisi akal budi atau persepsi indrawi.

Para penganut teori ini mebedakan antara dua kepercayaan dalam pembenaran. Yaitu kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan. Kepercayaan dasar adalah kepercayaan yang sudah jelas dengan sendirinya, sehingga dapat digunakan sebagai fondasi bagi kepercayaan-kepercayaan lain yang bersifat simpulan. Sedangkan kepercayaan simpulan adalah kepercayaan yang disimpulkan dari satu atau lebih kepercayaan dasar. Sebagai contoh, dengan keyakinan bahwa bilangan “positif kali positif adalah positif” sebagai keyakinan dasar, maka semua bilangan yang mengikuti pola “positif kali positif” pada akhirnya harus sesuai dengan keyakinan dasar tersebut, yaitu berhasil akhir positif. Seperti 2x2=4, 2x3=6, dst.

Dengan demikian, pembenaran kebenaran berstruktur hierarkis, dimana kepercayaan dasar sudah benar pada dirinya sendiri, sedangkan kepercayaan simpulan hanya dapat dibenarkan berdasarkan kepercayaan dasar. Pembenaran kebenaran terjadi secara searah. Dengan kata lain, pembenaran kebenaran bersifat asimetris.

Namun, mengapa pembenaran sebuah keyakinan harus dikembalikan kepada sebuah kepercayaan dasar? Hal itu bagi kalangan fondasionalis adalah untuk (1) menghindarai argumen penarikan mundur yang terus-menerus (infinite regress argument). Memang ada sejumlah opsi bagi pendasaran kebenaran ini. Pertama, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dimana B sendiri tidak jelas kebenarannya. Kedua, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayaan C, dan begitu seterusnya sampai tak terhingga. Ketiga, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B, dan B berdasar pada kepercayan C, sedangkan C sendiri berdasar pada kepercayaan A. Keempat, kepercayaan A berdasar pada kepercayaan B yang sudah jelas dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi. Bagi kalangan fondasionalis, tidak mungkin mendasarkan sebuah keyakinan pada suatu keyakinan lain yang keyakinan terakhir ini masih butuh pendasaran pada keyakinan lain lagi sampai tidak ada habisnya, sebagaimana dalam opsi kedua. Begitu juga dengan pilihan ketiga, yang terjadi hanyalah ligkaran setan yang tidak berpangkal dan tidak berujung. Adapaun yang pertama sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan karena ketidakjelasannya.

Dengan demikian, kalangan fondasionalis ingin (2) menghindari skeptisisme dalam pengetahuan. Dengan adanya kepercayaan dasar sebagi fondasi yang tidak lagi memerlukan pembenaran dari yang lain, sebagaimana dalam opsi keempat, kepastian dalam pengetahuan dapat tercapai.

Dalam perkembangannya, teori pembenaran ini dapat kita bagi menjadi dua bagian. Yaitu fondasionalisme versi ketat dan fondasionalisme versi longgar atau moderat. Yang pertama menuntut agar kepercayaan dasar yang menjadi fondasi pembenaran pengetahuan merupakan kepercayaan yang tak dapat keliru, tak dapat diragukan, dan tak dapat dikoreksi lagi. Versi ketat ini juga menuntut agar pembenaran yang merujuk pada kepercayaan dasar itu berdasarkan pada suatu implikasi logis atau induksi dari kepercayaan dasar tersebut. Beberapa tokoh dari fondasionalisme versi ketat ini adalah Descartes, Leibniz, dan Spinoza dari kalangan rasionalis; Locke, Berkeley, dan Hume dari kalangan empiris; serta Russell, Ayer, dan Carnap dari kalangan positivis logis.

Kalangan positivis logis misalnya, menyatakan bahwa hanya keyakinan yang berbentuk kalimat analitis dan pernyataan yang dapat diverifikasi yang menunjukkan kebenaran. Selain keduanya adalah pernyataan yang tidak rasional. Demikian juga dengan Descartes. Kepercayaan adanya orang lain dan keberadaan dunia luar adalah kepercayaan simpulan dari kepercayaan akan keberadaan dirinya yang meragukan segala sesuatu, sebagai gagasan yang begitu jelas dan terpilah-pilah dalam pikirannya.

Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat disebut kepercayaan dasar dan menjadi fondasi pembenaran pengetahuan kalau secara intrinsik probabilitas atau kementakan kebenarannya tinggi. Ia tidak menuntut agar kepercayaan dasar harus tak dapat keliru dan tak dapat diragukan. Aliran ini juga tidak menuntut adanya implikasi logis atau induksi penuh. Ia mencukupkan diri pada penjelasan terbaik yang dapat diberikan berdasarkan kepercayaan dasar. Hampir sebagian besar fondasionalis kontemporer mengikuti jenis fondasionalisme ini.

Tanggapan

Fondasionalisme adalah teori pembenaran paling terkenal dalam epistemologi. Hal itu tidak berlebihan karena teori ini memang cukup menarik lantaran penjangkaran empirisnya pada pengalaman, baik indrawi maupun introspektif, sebagai sumber informasi pengetahuan kita tentang dunia ini dan pembenarannya. Sebagaimana diketahui, indra adalah satu-satunya pintu gerbang bagi pemerolehan informasi dari luar diri kita. Di samping itu, intuitif terasa paling dekat dengan pengertian umum tentang pertanggungjawaban klaim kebenaran pengetahuan. Karena kalau biacara tentang pertanggungjawaban kebenaran pengetahuan, biasanya orang akan mencari alasan yang menjadi sumber dari pengetahuan tersebut. Dan dasar, sebagaimana lazim diketahui, memang tidak lagi bersumber pada dasar yang lain. Dengan demikian teori ini terlihat cocok.

Di samping menarik, teori pembenaran ini juga tidak bisa lepas dari kritik. Di antaranya adalah, pertama, fondasionalisme versi ketat dengan berbagai tuntutannya tersebut hampir mustahil untuk terpenuhi. Kalau tuntutan-tuntutan tersebut tetap dipaksakan, maka apa yang dapat diklaim sebagai pengetahuan yang benar menjadi hampir tidak ada. Dengan demikian, kepercayaan-kepercayaan lain yang didasarkan atasnya menjadi amat sedikit dan orang menjadi skeptis terhadap kenyataan dari luar, persepsi, kepercayaan berdasarkan ingatan, induksi, dll. Sedangkan fondasionalisme versi longgar/moderat ternyata kurang memberi pendasaran yang kuat bagi klaim kebenaran pengetahuan yang kita perlukan. Dengan demikian ia menjadi mirip dengan koherentisme moderat.

Kedua, pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan dalam kenyataan juga sulit. Karena apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar, kebenarannya tidak selalu sudah jelas dengan sendirinya bagi setiap orang. Ukuran sebuah kepercayaan untuk dapat dikatakan sebagai kepercayaan dasar tidaklah jelas. Di samping itu, fondasi bagi tiap fondasionalis juga tidak satu dan sama. Apa yang diklaim oleh seorang fondasionalis sebagai kepercayaan dasar yang benar dengan sendirinya dan tidak memerlukan pembenaran lagi, tidak selalu merupakan kepercayaan dasar pula bagi fondasionalis yang lain. Dan dalam kenyataan, apa yang diklaim sebagai kepercayaan dasar ternyata juga merupakan simpulan dari kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Ketiga, argumen penarikan mundur terus menerus (infinite regress argument) bukanlah argumen yang konklusif, karena argumen tersebut hanya mengandaikan dua asumsi saja; yaitu berhenti pada suatu kepercayaan dasar atau tidak berakhir sama sekali. Dan fondasionalisme mengambil yang pertama. Padahal masih ada kemungkinan yang lain, yaitu alasan atau dasar yang saling mendukung antara kepercayaan yang satu dengan kepercayaan yang lain tanpa jatuh ke lingkaran setan, sebagaimana dalam koherentisme.

III. Koherentisme

Koherentisme berasal dari bahasa Latin yaitu cohaerere yang berarti melekat, tetep menyatu, dan bersatu. Menurut teori ini, ukuran kebenaran adalah hamorni internal proposisi-proposisi dalam suatu sistem tertentu. Suatu proposisi dikatakan benar kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima atau diketahui kebenarannya. Dengan kata lain, proposisi baru dikatakan benar kalau proposisi itu dapat dimasukkan ke dalam suatu sistem tanpa mengacaukan keharmonisan internal sistem tersebut. Menjadi benar berarti menjadi unsur dari suatu sistem yang tidak berkontradiksi. Koherentisme merupakan semua kepercayaan yang mempunyai kedudukan epistemik yang sama, sehingga tidak perlu ada pembedaan antara kepercayaan dasar dan kepercayaan simpulan.

Kendati koherentisme tidak didasarkan atas suatu fondasi yang sudah jelas dengan sendirinya dan kebenarannya tak dapat diragukan lagi, suatu kepercayaan sudah bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya kalau kepercayaan itu koheren atau konsisten dengan keseluruhan sistem kepercayaan yang selama ini diterima kebenarannya.

Gambaran dasar bagi teori pembenaran koherentisme adalah sebuah sistem jaringan yang terbuat dan memperoleh kekuatannya dari berbagai kepercayaan yang saling mendukung. Sasaran pengujian atau pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenarannya bukan kepercayaan masing-masing secara individu, tetapi seluruh sistem jaringan kepercayaan.

Dengan demikian, pembenaran epistemik merupakan suatu pengertian holistik. Pengertian holistik dalam arti sebagai sesuatu yang saling berkaitan, atau suatu bentuk lingkaran yang berjalan terus-menerus. Teori pembenaran koherentisme erat terkait dengan teori kebenaran koheren atau padangan tentang kenyataan yang disebut idealisme.

Filsuf idealis abad ke-19 seperti Hegel dan Bradley adalah penganut teori pembenaran koherentisme. Mereka termasuk penganut koherentisme garis keras. Keduanya berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren kalau secara logis saling mengimplikasikan. Sedangkan filsuf Barat kontemper yang menganut koherentisme misalnya Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour. Mereka termasuk penganut koherentisme lunak. Mereka berpandangan bahwa suatu sistem jaringan kepercayaan disebut koheren apabila komponen kepercayaan yang membentuk sistem jaringan kepercayaan itu konsisten satu sama lain, namun tidak perlu harus sampai secara logis saling mengimplikasikan. Semakin banyak kepercayaan yang menjadi komponen sistem jaringan kepercayaan itu dapat saling mengandiakan, semakin tinggi tingkat koherensi sistem tersebut. Dan semakin banyak komponen kepercayaan yang tak bisa dijelaskan berdasarkan komponen lain dalam sistem, semakin rendah pula tingkat koherensi sistem tersebut.

Koherentisme Linear

Koherentisme dapat dibedakan menjadi dua, linear dan holistik. Yang pertama merupakan suatu kepercayaan yang membentuk lingkaran pembenaran yang penarikannya mundur terus-menerus. Misalnya kepercayaan A1 mendapat pembenaran dari A2, dan A2 dari A3… Dan An sendiri mendapat pembenaran dari A1. Maka koherentisme linear membentuk suatu lingkaran pembenaran yang tampaknya tidak bisa menghindari kesulitan penarikan mundur terus menerus, karena tidak dapat menjelaskan, bagaimana hanya dengan bergerak dalam lingkaran pengandaian dapat memberi pembenaran sama sekali. Kalau A1 tidak memiliki jaminan epistemik pada dirinya sendiri, bagaimana keseluruhannya dapat memperoleh pembenaran epistemik? Inilah yang juga merupakan kelemahan dari koherentisme linear.

Koherensisme Holistik

Dijelaskan bahwa suatu kepercayaan tidak memperoleh pembenaran epistemik melulu dari kepercayaan lain, tetapi dengan memainkan peran penting dalam keseluruhan sistem kepercayaan. Koherentisme holistik ini tidak sama dengan fondasionalisme yang selalu melihat perlunya pembenaran sesuai dengan kepercayaan dasar, sehingga bersifat asimetris. Oleh karena itu, para penganut koherentisme umumnya (misalnya: Hegel dan Bradley; Wilfrid Sellar, W.V. Quine dan Laurence Bonjour) menolak koherentisme linear dan memeluk koherentisme holistik. Nah, dalam koherensisme holistik, kepercayaan yang dipersoalkan dasar pertanggungjawabannya ditempatkan dalam keseluruhan sistem kepercayaan yang berlaku dan dilihat apakah koheren dengannya atau tidak.

Dalam pandangan koherentisme, kepercayaan yang memerlukan pembenaran berhubungan secara simetris dan timbal balik dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain dalam keseluruhan sistem. Kepercayaan A dapat saja mendukung B, dan kepercayaan B secara kompleks juga dapat mendukung A. Sebagai ilustrasi adalah apa yang terdapat dalam teka-teki silang.

Tanggapan

Setidaknya ada beberapa kritik klasik terhadap koherentisme. Pertama, argumen isolasi atau keberatan berdasarkan sistem tandingan. Artinya, teori koherentisme mengisolasi diri dari realitas yang sebenarnya. Suatu kepercayaan bisa koheren dengan kepercayaan yang lain tetapi belum tentu kompatibel dengan kenyataan yang sesungguhnya. Teori ini juga tidak memadai karena pada dirinya sendiri tidak bisa menjelaskan bagaimana membedakan antara 2 sistem atau kepercayaan yang secara internal saling koheren tetapi inkompatibel satu sama lain. Keberatan kedua adalah karena tidak adanya masukan dari dunia luar. Koherentisme sendiri terdiri dari serangkaian kepercayaan yang saling berhubungan dan mendukung. Akan tetapi tidak ada satu ukuran yang pasti untuk menilai sejauh mana kepercayaan itu merujuk ke kenyataan yang sebenarnya di dunia luar.

Keberatan yang ketiga berdasarkan argumen pemunduran yang tak terbatas. Koherentisme menolak kepercayaan dasar. Bagi kaum koherentisme holistik, keseluruhan sistem kepercayaan seseorang adalah sumber pembenaran empiris baginya. Karena kepercayaan inilah mereka akan jatuh pada kelemahan yang berupa terus menerus mundur tanpa batas. Dan argumen yang keempat mempertanyakan keniscayaan perlunya koherensi dan konsistensi sebagai dasar pembenaran. Hal itu karena dalam situasi tertentu suatu kepercayaan itu dpat dibenarkan tanpa harus koheren dengan kepercayaan yang sebelumnya kita anggap sudah benar. Sedangkan terhadap keniscayaan konsistensi, Richard Foley menentang dengan mengatakan bahwa paradoks lotry menunjukkan bahwa seseorang dapat saja tidak konsisten karena memiliki dua kepercayaan yang berbeda satu sama lain dalam satu hal yang sama.

Namun, kaum kohenrentisme menjawab balik kritik yang dilontarkan kepadanya. Terhadap keberatan pertama, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak mengisolasi diri dari dunia luar. Koherentisme tidaklah berbeda dengan fondasionalisme. Hanya saja bagi yang terakhir ini, kepercayaan yang berdasar pengamatan indrawi dipandang sebagai kepercayaan dasar, sedangkan bagi koherentisme masih harus disesuaikan atau dikoherensikan dengan kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik dari adanya sistem tandingan, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak berpendapat bahwa masing-masing sistem itu sebagai benar. Secara ideal hanya ada satu sistem yang benar, hanya saja kita tidak tahu mana dari sistem-sistem itu yang benar. Karena itulah butuh pemeriksaan a la koherentisme.

Terhadap kritik tentang tidak adanya masukan dari duania luar, mereka menjawab bahwa koherentisme tidak menyangkal dunia fisik di luar subjek. Akan tetapi, sebagaimana diketahui, masukan dari dunia luar itu tetap masuk ke dalam diri subjek sesuai dengan cara pandang dan kerangka pikir yang telah ia punyai. Karena itu harus dibandingkan juga dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Dan terhadap kritik penarikan argumen mundur terus-menerus, mereka memang tidak menyangkalnya. Dan manusia sebagai makhluk terbatas memang membutuhkan pendasaran yang jelas baginya. Akan tetapi, pendasaran itu sendiri akhirnya juga ditentukan oleh koheren tidaknya ia dengan kepercayaan yang lain dan sistem yang ada. Untuk keberatan yang keempat, penganut teori ini memandangnya hanya sebagai pengecualian. Karena teori ini, bagi mereka, sampai sekarang tetap dapat menjamin kebenaran.

IV. Internalisme

Internalisme adalah pandangan bahwa orang selalu dapat menentukan dengan melakukan introspeksi diri apakah kepercayaan atau pendapatnya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional atau tidak. Motivasinya adalah bahwa manusia sebagai makhluk rasional secara prima facie mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan secara rasional apa yang ia percayai atau apa yang menjadi pendapatnya.

Sebagaimana dua teori pembenaran sebelumnya, internalisme juga dibagi menjadi dua, garis keras dan garis lunak. Internalisme garis keras meyakini bahwa pikiran manusia yang terlatih dengan baik dapat memiliki akses kognitif introspektif yang tak dapat keliru, sebagaimana yang diyakini oleh Plato dan Descartes. Sedangkan internalisme garis lunak berpandangan bahwa kendati mungkin orang tidak secara introspektif mempunyai akses kognitif yang tak dapat keliru, suatu kepercayaan yang memiliki alasan yang masuk akal bagi orang yang memiliki kondisi psikologis yang sehat, maka kepercayaan itu sudah memiliki pembenaran atau pertanggungjawaban rasional.

Namun demikian, para internalis dewasa ini hanya menuntut untuk dapat memberi alasan terbaik yang bisa tersedia bagi kita, entah dari perspektif fondasionalisme ataupun koherentisme. Internalisme menuntut adanya tanggung jawab dari subjek penahu untuk sungguh-sungguh berupaya mencari kebenaran. Motivasinya untuk dapat memberi pertanggungjawaban rasional atas kepercayaan yang dipegang adalah agar kepercayaan atau pendapat itu memang secara benar dan tepat menggambarkan kenyataan dunia sebagaimana adanya. Pertanggungjawaban rasional merupakan sarana untuk menemukan kebenaran. Hal ini analog dengan prinsip prima facie dalam tanggung jawab moral. Dimana secara epistemik kita juga wajib memaksimalkan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yang benar dan meminimalisasikan jumlah kepercayaan atau pendapat kita yg salah.

Tanggapan

Kritik tajam terhadap teori pembenaran ini datang karena pandangan internalisme yang meyakini bahwa kita memiliki aspek introspektif langsung terhadap apa yang menjamin kebenaran suatu kepercayaan. Pertanyaannya, sungguhkah kita memiliki aspek introspektif langsung semacam itu? Sungguhkah apa yang kita yakini sebagai benar, secara objektif juga benar? Ternyata dalam kenyataan tidak selalu seperti itu. Banyak sekali apa yang kita yakini sebagai benar, ternyata adalah tidak benar.

V. Eksternalisme

Karena paham internalisme tidak menjamin kesahihan suatu klaim kebenaran, maka dibutuhkan suatu teori baru, yaitu eksternalisme. Perbedaan dari keduanya adalah bahwa paham internalisme lebih menekankan pada syarat-syarat psikologi internal dalam subyek penahu sebagai syarat pembenaran pengetahuan. Sedangkan paham eksternalisme lebih menekankan proses penyebaban dari faktor eksternal seperti dapat diandalkan tidaknya proses pemerolehan pengetahuan itu, berfungsi tidaknya secara normal dan semestinya sarana-sarana wajar kita untuk mengetahui. Demikian juga lingkungan, sejarah, dan konteks sosial ikut menjadi bagian dari faktor penentu dibenarkan tidaknya suatu kepercayaan atau pendapat.

Salah satu bentuk dari paham eksternalisme adalah reliabilisme. Reliabilisme adalah pandangan bahwa suatu kepercayaan dapat dibenarkan kalau kepercayaan itu dihasilkan oleh suatu proses mengetahui yang dapat diandalkan. Misalnya saya mengatakan bahwa di depan saya terdapat sebuah pulpen berwarna biru. Pernyataan saya ini dapat dibenarkan kalau indra penglihatan saya dalam keadaan normal dan saya sendiri melihatnya.

Salah seorang epistemolog penganut paham eksternalisme adalah Alvin Goldman. Goldman membedakan adanya dua jenis proses kognitif; pertama, proses yang tergantung pada suatu kepercayaan. Misalnya; semua manusia dapat mati. Kedua, proses yang tak tergantung pada kepercayaan. Misalnya saya melihat hantu.

Suatu proses kognitif hanya dapat diandalkan kalau proses itu membawa ke kepercayaan yang benar. Karena keandalan atau reliabilitas proses kognitif sebagian ditentukan oleh lingkungan eksternal dimana kegiatan kognitif itu diandalkan, maka pembenaran epistemiknya dinamakan eksternalisme. Epistemolog lain yang menganut paham eksternalisme adalah Armstrong, Dretske, Sosa, dan Alvin Platinga. Dari kelima filsuf penganut eksternalisme ini, akan dipaparkan di sini pandangan Alvin Platinga tentang eksternalisme.

Tidak seperti yang lain, Platinga menolak paham reliabilisme karena paham ini dianggap belum mencukupi. Sebab bisa terjadi bahwa ada alternatif proses kognitif yang sama-sama wajar dan dapat diandalkan, tetapi membawa hasil pengetahuan yang berbeda. Misalnya dua orang diminta untuk meneliti suatu obyek yang sama. Setelah meneliti obyek yang sama itu dengan saksama, keduanya diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka masing-masing. Dan dalam presentasi itu ada kemungkinan bahwa laporan yang diberikan tidak sama. Dengan demikian terbukti bahwa proses kognitif yang wajar tidak menjamin bahwa pengetahuan yang dihasilkan selalu sapat dibenarkan. Apalagi sangat sulit untuk menentukan ukuran wajar dan tidaknya sebuah proses kognitif.

Sebagai pengganti reliabilisme, Platinga memfokuskan diri pada daya-daya kognitif yang berfungsi semestinya sesuai dengan desain atau rancang bangun daya kognitif tersebut dalam lingkungan yang sesuai. Dari pernyataan ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bagi Platinga suatu kepercayaan terjamin kebenarannya bila di dalam kepercayaan itu tercakup tiga unsur pokok sebagai dasar penilaiannya. Ketiga unsur pokok itu yang pertama adalah adanya rancang bangun dari daya kognitif; kedua, berfungsinya daya-daya kognitif tersebut secara semestinya; ketiga, desain itu seharusnya desain yang baik yang mengarah kepada kebenaran. Dan kalau kita lihat, konsep desain dalam pemikiran Platinga ini bisa juga berarti rencana ilahi dalam menciptakan organ-organ tubuh manusia.

Tanggapan

Pandangan Platinga mengatakan bahwa kita telah didesain sedemikian rupa oleh sang pencipta sehingga dalam keadaan yang sesuai daya-daya kognitif kita berfungsi dengan semestinya. Pertanyaanya, sungguhkah daya-daya kognitif berfungsi semestinya seperti yang dipikirkan oleh Platinga? Tidak mungkinkah bahwa suatu sistem yang telah didesain dengan baik tetap tidak berfungsi semestinya? Adanya desain belum menjamin bahwa akan selalu berfungsi dengan semestinya. Di samping itu, kalau kita memang didesain oleh Sang Maha Sempurna dengan baik, mengapa proses kognitif kita tidak berfungsi lebih baik?

Persoalan kedua adalah menyangkut hubungan antara desain dengan fungsi semestinya. Apakah rancang desain merupakan suatu syarat mutlak untuk adanya jaminan bahwa berfungsi semestinya? Platinga mendefinisikan fungsi semestinya sebagai erat terkait dengan rancang desain yang secara berhasil diarahkan kepada kebenaran. Padahal adanya rancang desain bukanlah syarat mutlak untuk berfungsi semestinya proses kognitif kita. Bisa saja terjadi bahwa proses kognitif befungsi dengan baik, padahal ia tidak didesain dari awal.

Persoalan ketiga yang lebih mendasar adalah penolakan Platinga atas internalisme. Platinga menolak internalisme karena paham deontologisme epistemologi yang ada di dalamnya, yang mewajibkan pertanggungjawaban rasional atas klaim kebenaran pengetahuan kita. Padahal bagi kaum internalis, paham internalisme sendiri pertama-tama berarti suatu pembenaran subyektif. Artinya, subyek yang membuat klaim kebenaran sendiri sekurang-kurangnya dapat menjawab secara masuk akal bila ditanya tentang alsan mengapa ia percaya apa yang ia percayai. Karena dalam kenyataan kita mempunyai kewajiban prima facie untuk memeriksa bukti-bukti yang tersedia pada waktu yang tepat dan mempertanggungjawabkannya.

VI. Kesimpulan

Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa masing-masing teori ternyata mengandung kelemahannya sendiri-sendiri, yang meskipun setiap teori berusaha memperbaiki teori yang muncul sebelumnya, kelemahan tetap masih ada atau bahkan muncul kelemahan yang baru. Hal ini membuat seorang epistemolog seperti Susan Haack berusaha untuk mengambil jalan tengah, dengan memadukan beberapa teori yang telah ada. Ia yakin bahwa teori pembenaran yang memadai haruslah berupa perpaduan antara fondasionalisme dan koherentisme. Sebagaimana telah diuraikan, fondasionalisme mengklaim adanya pengetahuan dasar yang benar dengan sendirinya. Bagi Haack, pengetahuan semacam itu hanyalah mitos belaka. Karena itu koherentisme menjadi diperlukan dan tak dapat diabaikan Namun hanya dengan menggunakan koherentisme murni juga tidak memadai, karena mengabaikan perlunya basis empiris pengalaman sebagai basis kenyataan.

Apalagi fondasionalisme versi ketat, yang menuntut kepercayaan dasar sebagai benar dengan sendirinya dan tidak dapat salah sama sekali, terasa mustahil untuk diupayakan. Demikian juga koherentisme versi ketat yang menuntut adanya koherensi dan implikasi logis dari setiap kepercayaan juga sulit terpenuhi.

Teori perpaduan yang dikemukakan Hacck ini ia namakan dengan foundherentisme. Ia menyatakan bahwa suatu kepercayaan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara rasional kalau ia memiliki evidensi yang mengindikasikan kebenarannya. Unsur fondasionalisme yang mau ia pertahankan adalah perlunya pendasaran objektif yang baru memadai kalau sunguh mengindikasikan kebenaran. Sedangkan unsur fondasionalisme yang mau ia tolak adalah adanya kepercayaan dasar yang kebenarannya tidak dapat dikoreksi lagi karena sudah benar dengan sendirinya. Adapun aspek koherentisme yang mau ia pertahankan adalah adanya dukungan koherensi antara kepercayaan yang mau dibenarkan dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Bisa dikatakan, teori Hacck adalah gabungan antara fondasionalisme moderat dengan koherentisme.

Dengan demikian, teori pembenaran yang memadai juga merupakan gabungan antara internalisme dan eksternalisme. Dengan internalisme, subjek tetap memliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan klaim kebenarannya. Subjek harus tahu apa yang ia ketahui dengan mampu memberi alasan rasional atas klaim kebenarannya. Dan hal itu disempurnakan dengan eksternalisme yang menekankan pentingnya mekanisme proses kognitif yang dapat diandalkan.

Namun demikian, usulan Hacck dengan foundherentismenya juga tidak menyelesaikan masalah. Teori perpaduan yang ia usulkan justru menjadi semakin tidak jelas. Bagaimana bisa terwujud suatu pembenaran yang menuntut suatu kepercayaan di satu pihak harus memiliki dasar, tetapi di pihak lain harus juga koheren dengan yang lain? Karena kalau sudah memiliki dasar yang kokoh, maka ia tidak lagi memerlukan koherensi dengan yang lain. Demikian karena, kalau ia masih memerlukan koherensi dengan yang lain, maka otomatis status dasar yang kokoh menjadi hilang, lantaran ia meskipun diklaim sebagai fondasi tetap relatif dengan yang lain. Dan contoh teka-teki silang yang ia ajukan juga tidak pas dengan teori foundherentismenya itu. Karena masing-masing lajur dalam teka-teki silang tidak memiliki dasar sendiri, namun ia hanya benar karena koherensinya dengan yang lain. Artinya, tidak ada unsur fondasionalismenya di situ.

Di samping itu, dengan foundherentisme, pengetahuan yang benar justru menjadi semakin sedikit, karena syarat untuk mencapainya semakin dipersempit lagi lantaran harus sesuai dengan syarat-sayarat dari dua teori yang dipadukan, tidak hanya salah satu teori saja. Padahal itulah yang mau ia kritik dari masing-masing teori. Dengan demikian, ia jatuh pada yang apa yang ia sendiri mau mengkritiknya.

VII. Pustaka

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004.
K. Moser, K (ed), The Oxford Handbook of Epistemology,…………………………………
Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Sudarminta, J, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002.



Sunday, October 4, 2009

Subjektivitas dan Objektivitas dalam Pengkajian Sejarah

Di antara pertanyaan mendasar yang muncul ketika kita membaca sejarah adalah apakah sejarah yang kita pelajari dan baca itu memang objektif, atau ia tidak lebih dari gambaran penulis yang telah dipengaruhi oleh berbagai macam nilai? Tulisan ini akan menghadirkan perdebatan seputar masalah subjektivitas dan objektivitas dalam pengkajian sejarah, serta jalan tengah yang diusulkan bagi pertentangan tersebut.Adapaun tanggapan saya – kalau memang ada – atas gagasan-gagasan tersebut, untuk tidak memperpanjang tulisan serta untuk memudahkan alur pembahasan, saya letakkan di akhir masing-masing gagasan dengan kalimat yang dicetak miring.

Subjektivitas dan objektivitas

Pengkajian sejarah menjadi subjektif ketika subjek yang tahu, yaitu sejarawan, ikut hadir di dalamnya. Dan pengkajian menjadi objektif ketika hanya objek penulisan sejarah yang dapat diamati. Subjektivitas ini terjadi, di antaranya, ketika sejarawan membiarkan keyakinan politik dan etisnya ikut berperan serta. Dengan kata lain, ketika nilai-nilai yang dianutnya turut memainkan peran dalam proses pengkajian sejarah. Subjektivitas juga terjadi ketika sejarawan menghadirkan gaya penulisan atau pendapat-pendapatnya yang benar atau tidak benar secara ilmiah.

Kesadaran akan merasuknya nilai-nilai dalam proses penulisan sejarah oleh para sejarawan ini setidaknya sudah muncul di abad ke-16 lewat tulisan Francesco Patrizi. Meski begitu, mereka sepakat bahwa penulisan sejarah yang objektif harus selalu diusahakan. Namun ideal ini tidak berlaku untuk mazhab Prusia di Jerman. Von Sybel dan H. Von Treitshke, dua orang penganut mazhab ini, ingin menjadikan cita-cita politik sebagai pedoman dalam penulisan sejarah. Demikian juga bagi aliran presentisme di Amerika tahun 1920-an. Mereka ingin menulis sejarah yang terilhami oleh “present needs and interest”, yaitu kepentingan politik dewasa ini. Sejarawan harus mampu untuk ikut memecahkan problem-problem masa kini. Demikian juga bagi kalangan marxis. Objektivitas tidak usah diusahakan karena ia sudah merupakan nilai bagi sejarawan dalam penelitiannya.

Tanggapan untuk mereka adalah, bahwa kita menjadi tidak akan mungkin untuk mengetahui kejadian yang “sebenarnya”. Bahkan alur besar cerita yang ada bisa menjadi hilang demi kepentingan sejarawan, yang belum tentu benar. Hal itu menunjukkan bahwa objektivitas memang tidak mudah dicapai. Sehingga pertanyaannya adalah apakah penulisan sejarah yang objektif pada prinsipnya mungkin? Bagi subjektivis, hal itu tidak mungkin. Sedangkan bagi objektivis, hal itu tetap mungkin.

Argumen subjektivitas

(a) Alasan induksi

Menurut G. Myrdal, jika telaah hisotris t1, t2,dan seterusnya bersifat subjektif, maka dengan cara induktif dapat disimpulkan bahwa telaah historis, baik masa silam, masa kini, dan masa depan, bersifat subjektif. Namun Myrdal menandaskan bahwa sejarawan harus menyadari nilai-nilai dalam penulisannya. Pendapat ini lemah karena nilai-nilai adalah suatu arus yang kita berada dan ikut berpartisipasi di dalamnya dalam setiap kegiatan memahami, sehingga kita tidak menyadarinya, sebagaimana diutarakan oleh Gadamer. Sangat sulit membedakan nilai dari kebenaran, karena nilai seringkali masuk dalam penulisan sejarah dengan berkedok sebagai kebenaran.

(b) Alasan relativisme

Untuk mendukung argumen ini, Ch. Beard dan J. Romein membedakan tiga hal, (a) masa silam sendiri, (b) bekas yang tertinggal dari masa silam, dan (c) penggambaran kita terhadap masa silam. Peralihan dari (a) ke (b) tentu subjektif, karena ia adalah hasil penguraian penulis masa itu terhadap apa yang ia anggap perlu untuk ditulis. Dan pada peralihan dari (b) ke (c), subjektivitas itu menjadi semakin jelas dalam tiga hal. Pertama, adalah yang merupakan hasil dari kepribadian sejarawan. Kedua adalah pengaruh kelompok sosial dimana ia berada, yang sulit baginya untuk dapat lepas darinya. Namun dengan mawas diri dan membandingkan tulisannya dengan tulisan sejarawan berhaluan lain, ia dapat menhilangkan subjiketivitas ini. Meski begitu, subjektivitas ini tetap tidak hilang, maksimal hanya diminimalisir. Dan yang tidak dapat dieliminir adalah yang ketiga, subjektivitas waktu. Sudah pasti bahwa sejarawan adalah anak zaman yang menerima nilai-nilai yang dianut oleh zamannya.

Romein dan E.H. Carr mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan tersebut, sejarawan harus mampu untuk mengatasi kerangka zamannya dengan menempatkan diri di masa mendatang, yaitu masyarakat tanpa kelas sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Sehingga argumen ini mudah dipatahkan karena asumsi yang menopangnya berpangkal pada filsafat sejarah spekulatif yang dapat disangksikan objektivitasnya. Rupanya Romein tetap mempertahankan konsepnya meskipun hal itu tidak rasional. Tanggapan: sebenarnya tiga macam subjektivitastersebut tidak hanya terdapat pada peralihan dari (b) ke (c), namun juga terdapat dalam peralihan dari (a) ke (b).

(c) Alasan bahasa

Bahwa dalam bahasa sendiri terdapat berbagai ungkapan yang mengandung penilaian, sehingga tulisan yang dihasilkan bersifat subjektif. Namun L. Strauss justru berpendapat bahwa penilaian dan bahasa yang bermuatan penilaian justru penting dalam penulisan sejarah. Karena dengan bahasa yang mengandung penilaian itulah kejadian-kejadian yang “mendebarkan” dapat disusun. Demikian juga bagi A.R. Louch. Ia mengatakan bahwa tugas sejarawan adalah membangkitkan kembali masa silam. Kata-kata seperti agresif, bersahabat, bermusuhan, dsb. dapat digunakan sebagai sarana untuk membangun kembali masa silam. Dengna kata-kata itu, muncul dalam diri kita perasaan yang sama dengan perasaan yang muncul dalam diri penulis ketika menuliskannya. Tanggapan: siapa yang dapat menjamin bahwa perasaan kita akan sama dengan perasaan penulis ketika menuliskannya? Perasaan adalah masalah hati yang tidak seorangpun mengetahuinya.

(d) Alasan idealistis

Sebagaimana argumen dasarnya, bahwa kenyataan itu ada sejauh kita menyadarinya, kenyataan historis pun merupakan buah hasil dari budi manusia. Budi manusia adalah objek penelitian historis sekaligus juga subjek penelitian historis. Karena subjek dan objeknya sama, maka keduanya tidak dapat dipisahkan.

(e) Alasan marxis

Bagi penganut paham ini, tidak mungkin memisahkan subjek dan objek. Pengetahuan selalu berakar dalam pergaulan kita dengan kenyataan. Dan kenyataan itu adalah kenyataan yang bereaksi terhadap sentuhan penelitian kita. Kenyataan sosial tidak akan muncul dalam bentuk rumus sosiologis yang objektif, akan tetapi baru akan muncul ketika telah dirombak oleh seorang revolusioner. Karena objektivitas mengandaikan pemisahan antara subjek dan objek, maka ia tidak akan terjadi.

Argumen objektivitas

Bagi pendukung argumen ini, perbedaan antara pengkajian sejarah dan sains hanya bersifat gradual dan tidak esensial, sehingga kalau objektivitas dalam sains adalah mungkin, maka dalam sejarah pun juga mungkin.

(a) Memilih objek penelitian.

Meskipun dalam memilih bahan yang dijadikan dalam pengkajian sejarah seorang sejarawan dipengaruhi oleh nilai-nilai subjektifnya, hal itu tidak lantas membuat hasilnya juga subjektif. Seperti seorang ahli fisika yang punya minat terhadap gejala tertentu, tidak lantas membuat hasil penelitiannya subjektif. Namun apakah objek fisika yang dapat diindra itu sama dengan realitas sejarah yang banyak dari gejala-gejalanya tidak dapat diindra?

(b) “Wertung” dan “Wertbeziehung”

Dalam argumen ini, kita perlu membedakan antara wertbeziehung dan wertung. Yang pertama adalah pertalian dengan nilai-nilai, yang terjadi ketika kita menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah sambil menghubungkan perbuatan itu dengan nilai yang dianut pada masanya. Sedangkan yang kedua adalah penggambaran sejarawan tentang seorang pelaku sejarah yang sudah diilhami oleh nilai-nilai yang dianut oleh sejarawan itu sendiri.

(c) Alasan seleksi

Mengadakan seleksi berarti mengacaukan jalinan peristiwa yang terjadi dalam sejarah, padahal menurut subjektivisme, sejarah adalah ibarat kain tanpa jahitan yang bagian-bagiannya kait mengait. Oleh pendukung objektivisme, argumen ini ditolak karena meskipun penyajian oleh sejarawan tidak lengkap, tidak berarti ia tidak objektif. Sebuah peta tetap objektif meskipun tidak manampilkan hal-hal kecil secara detail. Namun, apakah sejarah sama dengan peta. Peta adalah benda mati yang tidak berubah bagian-bagiannya, sedangkan sejarah terdiri dari bagian-bagian yang saling memengaruhi satu sama lainnya, sehingga menampilkan salah satu bagian saja tidak akan mungkin menggambarkan kenyataannya.

Adapaun alasan subjektivistis yang mengatakan bahwa sejarawan berhenti pada suatu titik dalam penelitiannya dan tidak melanjutkan ke titik-titik berikutnya, ditanggapi oleh kalangan objektivis dengan mengatakan bahwa penelusuran sampai masa paling awal tidak perlu, karena, misalnya, untuk mengetahui sebab-sebab revolusi perancis kita tidak harus melacak sebabnya sampai pada masa Bapak Adam. Sekali lagi, sejarah bukanlah sesuatu yang statis yang dapat diketahui dengan mudah pangkal dan ujungnya. Siapa yang dapat mengetahui dengan pasti bahwa suatu sebab kejadian sejarah berpangkal dari sebuah kejadian tertentu?

(d) Alasan antiskeptisisme atau relativisme

Sebenarnya para skeptisisme telah masuk dalam wilayah yang kontradiktif. Secara implisit, mereka masih mempertahankan kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan yang objektif, meskipun secara eksplisit menolaknya. Hal itu karena para skeptisis baru dapat mengatakan bahwa sebuah pengetahuan adalah subjektif kalau ia memiliki sandaran untuk mengukur bahwa pengetahuan itu memang subjektif. Dengan demikian, pengetahuan objektif itu tetap diandaikan. Di samping itu, ia harus dapat membuktikan bahwa nilai-nilai mana yang memengaruhi seorang sejarawan. Dan bila nilai-nilai itu telah disingkirkan, maka objektivitas menjadi mungkin. Apakah dengan menyingkirkan nilai-nilai yang diketahui itu lantas membuat penelitian sejarah menjadi objektif? Nilai-nilai adalah sesuatu yang abstrak, yang melingkupi dan melampaui kita karena kita berada di dalamnya, sehingga tidak disadari.

(e) Alasan sebab musabab

Seorang sejarawan mungkin menggunakan penilaiannya, akan tetapi tidak berarti bahwa pendapat-pendapatnya langsung menunjuk pada benar atau salah. Kalau penilaiannya salah, jelas sejarah menjadi kacau. Dan kalaupun penilaiannya benar, bukankah terdapat banyak aspek dalam sejarah, dimana penilaian sejarawan tersebut sangat mungkin hanyalah salah satunya saja?

(f) Alasan propaganda

A.I. Melden mengatakan bahwa jika nilai-nilai merupakan unsur pokok dalam pengetahuan historis, maka penulisan sejarah menjadi tidak dapat dibedakan lagi dari propaganda. Keduanya menjadi sama kerena hanya merupakan tindak bahasa yang ingin menyebarkan nilai-nilai tertentu. Padahal propaganda berbeda dengan tulisan sejarah, karena pembaca propaganda tidak terkesan oleh mutu ilmiahnya. Di samping itu, propaganda bertujuan untuk mengalihkan nilai-nilai kepada orang yang belum memilikinya. Akan tetapi nilai-nilai dalam sejarah tidak diketahui oleh pembacanya, sehingga pengalihan nilai-nilai itu menjadi tidak mungkin.
Dengan kata lain, nilai-nilai yang dianggap sebagai bagian pokok itu hanyalah kesimpulan belaka dalam sebuah penalaran, bukan unsur penting di dalalamnya. Pada hakekatnya, penulisan sejarah memang tidak berbeda dengan propaganda, hanya saja yang terakhir sudah diketahui bahwa ia memang propaganda sehingga tidak dianggap ilmiah, sedangkan yang pertama, penulisan sejarah, belum diketahui kalau ia adalah propaganda, tetapi sudah diasumsikan begitu saja sebagai sejarah, sehingga dianggap ilmiah.

(g) Alasan analogi

Pengkajian sejarah sama saja dengan pengetahuan eksakta, yang mungkin untuk mendapatkan objektivitas. Ada tolok ukur tertentu dalam menentukan objektivitas. Padahal dalam ilmu eksakta sendiri objektivitas masih diperdebatkan. Hukum gravitasi Newton, misalnya, dianggap kurang memadai sehingga muncullah Einstein dengan hukum relativitasnya.

Jalan tengah

(a) Walsh dan Danto

Walsh dengan teori perpektivistisnya mengatakan bahwa perbedaan antar sejarawan adalah wajar. Ada banyak sudut pandang yang dapat digunakan untuk mengkaji sejarah. Sehingga mereka dapat menggunakannya dari mana mereka suka. Revolusi Perancis dapat didekati dari sudut pandang ekonomis, politis, dsb. Dengan demikian tidak ada masalah dengan perbedaan itu, asal tidak dengan pendekatan yang sama menghasilkan hasil yang berbeda. Hal itu diamini oleh Danto. Hasil yang berbeda dari metode yang berbeda memang tidak bermasalah, asalkan semua itu tecakup dalam satu kesatuan sebuah peristiwa sejarah. Namun bagaimana jika masing-masing hasil itu saling bertentangan satu dengan yang lain? Kalau begitu, mana yang kita anggap benar?

(b) Alasan bahasa sehari-hari

Masalah dalam filsafat muncul karena pada filsuf gemar untuk memberi arti lain terhadap kata yang sebenarnya sudah memiliki artinya sendiri dalam percakapan sehari-hari. Karena itu, sebaiknya penggunaan arti oleh para filsuf itu ditinggalkan. Filsafat hendaknya berawal dari arti kata yang ada dalam hidup sehari-hari. Demikian pula objektivitas dan subjektivitas, harus dikembalikan pada sesuatu yang ada dalam kenyataan. Kalau kita harus kembali kepada realitas yang ada dalam kenyataan, lalu apa gunanya filsafat yang ingin mencari “sumber” dibalik seetiap kenyataan? Bukankah realitas sendiri adalah plural dan terdiri dari banyak bagian yang sering kali saling bertentangan? Di samping itu, bagaimana caranya kita mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari realitas itu? Bukankah pandangan kita terhadap realitas yang ingin kita jadikan sebagai acuan juga subjektif, karena dipengaruhi oleh nilai-nilai kita?

Penutup

Perdebatan antara subjektivitas dan objektivitas masih berlangsung sampai kini. Masing-masing bertahan dengan argumennya. Namun argumen subjektivitas terlihat lebih kuat dan digemari daripada argumen objektivitas. Karena itulah beberapa sejarawan merasa gelisah. Karena jika subjektivisme itu benar, maka perbedaan antarsejarawan tidak berkisar pada sejarah itu sendiri, akan tetapi menjadi perbedaan yang bersifat etis dan politis yang tidak dapat dipecahkan. Maka muncullah ide untuk mengilmiahkan pengkajian sejarah. Namun jika demikian, bukankah sejarah menjadi sesuatu yang kaku, tidak mencerminkan unsur-unsurnya yang saling memengaruhi satu sama lain?

Pustaka

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah; Pendapat-Pendapat Moderen tentang Filsafat Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1987, Bab XII: Subjektivitas dan Objektivitas:Nilai-Nilai dalam Pengkajian Sejarah, hal. 318-346.
Sudarminta, J., Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogjakarta: 2002.
-------------, Hermeneutika Gadamer, makalah dalam mk. Filsafat Kontemporer, STF Driyarkara 2007.