Friday, October 23, 2009

Hermeneutika Ganda dalam Ilmu-ilmu Sosial

Pada mulanya para pemikir, baik yang berkecimpung dalam ilmu yang sekarang lazim disebut sebagai ilmu alam maupun ilmu sosial, disebut sebagai filosof. Bahkan tidak sedikit dari para pemikir itu yang menguasai kedua-duanya, baik ilmu alam maupun ilmu sosial. Dan sampai pada pertengahan abad ke-19, ilmu-ilmu alam semacam matematika, fisika, dan astronomi, lazim disebut sebagai ‘filsafat alam’ (natural philosophy).Sedangkan ilmu-ilmu sosial semacam hukum, sosiologi, dan agama, disebut sebagai ‘filsafat moral’ (moral philosophy). Hanya pada akhir abad ke-19 bidang kajian filsafat moral berkembang menjadi cabang-cabang ilmu yang semakin beragam semacam sosiologi, ekonomi, antropologi, geografi, dsb. Hal inilah yang menjelaskan mengapa perintis ilmu-ilmu sosial tersebut adalah para filosof moral semacam Aristoteles, Hobbes, Locke, Rousseau, Adam Smith, dll. Aristoteles misalanya, ia adalah pakar dalam bidang ekonomi, politik, sosiologi, logika, etika, dll.

Pemisahan antara ilmu-ilmu alam dari ilmu-ilmu sosial memang tidak terelakkan dan dapat dipahami lantaran objek kajian dari keduanaya memang berbeda. Kalau yang pertama menjadiakan alam sebagai objek kajiannya, maka yang dijadikan sebagai objek kajian bagi yang kedua adalah realitas sosial. Karena perbedaan objek kajian ini, maka hubungan antara seorang ilmuwan alam dengan objek yg ia kaji jg berbeda dari hubungan seorang ilmuwan sosial dengan objek kajiannya. Hubungan bagi yang pertama disebut dengan hermeneutika tunggal, sedangakan hubungan pada yang kedua disebut dengan hermeneutika ganda.

Hermeneutika ganda (double hermeneutic) berarti adanya sebuah arus timbal balik antara dunia sosial yg diperbuat oleh khalayak dan wacana ilmiah yg dilakukan oleh ilmuwan sosial. Hal ini lantaran objek kajian ilmu-ilmu sosial yang berupa tindakan dan praktek sosial selalu memberi umpan balik terhadap proses sebuah kajian. Di sini, pengamat tidak berada di luar objek kajian, akan tetapi ia sendiri telah menjadi bagian dari objek kajiannya. Yang terjadi tidak hanya si peneliti yang mengkaji suatu proses sosial tertentu, akan tetapi realitas sosial tersebut ikut memengaruhi si pengkaji dan jalannya penelitian.

Maka yang terjadi adalah mirip dengan permainan petak umpet. Seorang anak yang kebagian peran untuk mencari teman-temannya akan berpikir kira-kira berada di mana para lawan main bermainnya. Begitu juga teman-temannya akan berpikir juga, kira-kira si pencari ini akan mencari mereka di mana, sehingga mereka dapat menghidar. Maka ketika data, konsep, dan teori ilmu-ilmu sosial terlihat lenyap dan kedengaran usang, itu lantaran temuan dan teori-teori itu sudah atau sedang menjadi unsur integral dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, dan karena sudah menjadi bagian dari insting dan praktek sehari-hari.

Hubungan timbal balik di atas tidak terjadi dalam kajian ilmu-ilmu alam, di mana hanya terjadi hubungan satu arah, yaitu dari ilmuwan ke objek kajiannya, dan tidak sebaliknya. Yang terjadi hanyalah hermeneutika tunggal (single hermeneutic). Ambillah contoh seorang peneliti yang mengamati cuaca. Tidak akan terjadi hubungan timbal balik antara subjek (peneliti) dan objek (cuaca). Bagaimanapun keadaan si subjek, baik ia sedang marah, benci, gembira, atau sedih, tidak akan berpengaruh terhadap cuaca yang ia amati. Cuaca akan tetap sebagaimana mestinya lepas dari suka atau tidak sukanya peneliti. Singkatnya, yang terjadi hanyalah peneliti yang mengawasi cuaca, tidak termasuk sebaliknya: cuaca yang ikut ‘mengawasi’ peneliti.

Dalam realitas sosial, contoh dari hermeneutika ganda adalah khidupan keagamaan. Konkretnya sbb: praktek spiritualitas → agama Yahudi → praktek spiritualitas → agama Kristen → praktek spiritualitas → agama Islam, dst. Bahwa telah terjadi sebuah praktek dalam konteks tertentu atas sebuah kepercayaan sehingga melahirkan agama Yahudi, dan dari agama Yahudi ini muncullah praktek-praktek keagamaan yang akhirnya melahirkan agama Kristen. Dan dari agama Kristen ini lalu muncul praktek-praktek keagamaan yang nantinya menumbuhkan agama Islam. Dan dari agama Islam akan muncul praktek-praktek yang nantinya akan melahirkan aliran-aliran yang baru. Begitu seterusnya.

Dari Eksistensi ke Esensi

Dalam proses analisis ilmu-ilmu sosial, pertanyaan tentang ‘siapa manusia?’ sama pentingnya seperti dalam filsafat. Pengetahuan akan esensi manusia ini penting karena dengan mengetahui hakekatnya maka tindakan manusia dan gejala penyebab dan akibatnya akan mudah terpahami. Hanya saja dalam ilmu-ilmu sosial, persoalan tentang esensi manusia ini biasanya baru muncul setelah pengamatan tentang eksistensi manusia.

Berbeda dari penjelasan filsafat yang biasanya bermula dari esensi, penjelasan dalam ilmu-ilmu sosial biasanya bermula dari eksistensi. Hal ini dapat dimengerti karena ilmu-ilmu sosial memiliki objek kajian yang sudah jelas, yaitu realitas sosial. Realitas sosial adalah segala jenis gejala yang kemunclan, keterjadian, dan konsekuensinya terkait denganfakta tindakan manusia (human action) dalam hubungannya dengan tindakan-tindakan manusia lain.

Dengan demikian maka objek kajian ilmu-ilmu sosial bukanlah sebuah ‘ruang kosong’ atau pemikiran yang jauh atau tidak berdasar pada realitas. Objek kajian ilmu-ilmu sosial selalu berupa realitas sosial yang menunjuk pada tindakan dan interaksi manusia. Karena itu, objek kajian ini selalu mengacu pada konteks.

Karena objek kajian yang berupa realitas sosial itu, maka yang biasanya akan muncul pertama kali adalah eksistensi dari manusia. Manusia pertama kali tidak dijelaskan bagaimana hakekatnya, akan tetapi dijelaskan bagaimana gambaran dan keadaannya terlebih dahulu. Dan bermula dari pengetahuan tentang eksistensi, baru diteruskan ke pertanyaan tentang esensi. Maka pertanyaan tentang esensi (kodrat manusia) muncul dalam rangka sebagai usaha untuk memahami eksistensi (kondisi hidup).

Contoh dari pengamatan tentang eksistensi manusia yang terjadi lebih dulu dari pada persoalan esensi adalah kajian spiritualitas pada manusia. Ilmu-ilmu sosial terlebih dahulu mengamati realitas sosial yang ada sebagai objek kajiannya, semisal orang-orang yang beribadah di masjid, gereja, pura, dll. Dari realitas sosial yang ada itu baru dapat ditarik sebuah asumsi tentang manusia, semisal manusia adalah makhluk spiritual. Dan dari situ lalu muncul ilmu-ilmu agama.

Hanya saja kerap kali terjadi pereduksian esensi manusia menjadi makhluk yang esensinya ada pada hal tertentu saja. Padahal manusia adalah ‘taman keragaman’, dimana serentak ia adalah makhluk religius, makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk ruang, dan seterusnya. Manusia pastilah makhluk spiritual, akan tetapi makluk spiritual bukanlah keseluruhan manusia. Sebagaimana juga manusia pasti makhluk ekonomi, akan tetapi makhluk ekonomi pasti bukanlah keseluruhan manusia. Karena itu klaim bahwa manusia hanyalah makhluk spiritual, dengan menjadikan segala hal yang menyangkut kehidupan manusia dikembalikan kepada sisi spiritual – apalagi mengembalikan semuanya pada ajaran agama atau kepercayaan tertentu - , jelas merupakan penciutan kodrat manusia. Klaim semacam itu jelas menyesatkan kita. Namun itulah yang kerap terjadi di sekeliling kita.

Pustaka:

Herry-Priyono, B, Anthony Giddens, Suatu Pengantar, Jakarta: KPG, 2002.
______________, Sesudah Filsafat, Esai-esai untuk Franz Magnis-Suseno, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
______________, Dektat kuliah mk. Filsafat Ilmu-ilmu Sosial, STF Driyarkara 2009.