Friday, July 6, 2007

Kalam Cinta Dari Tuhan

Salah satu unsur pokok agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindakan moral, menurut hipotetis kategoris-nya Immanuel Kant, adalah adanya sifat otonomi. Seturut prinsip ini, suatu tindakan dapat disebut sebagai tindakan moral hanya jika dilakukan dengan kesadaran bahwa tindakan tersebut memang bernilai pada dirinya sendiri, dan karena itu layak untuk dilakukan. Sifat ini berlawanan dengan sifat moral heteronom, dimana tindakan dilakukan bukan karena kesadaran akan nilai dari tindakan tersebut, namun semata karena dorongan dan pengaruh faktor-faktor eksternal seorang pelaku.


Persis sifat moral otonom inilah yang akan kita jumpai sebagai karakter sekaligus menjadi kepribadian tokoh-tokoh utama dalam novel Kalam Cinta dari Tuhan karya Ali Sobirin El Muannatsy ini. Dalam menentukan sikap dan tindakan, apalagi menyangkut hal-hal penting dalam hidup yang harus diputuskan, dua tokoh utamanya, Jony ‘Kesiangan’ dan Revy, meski mendapat berbagai ide, saran, dan bahkan penentangan dari luar, mereka tetap pada prinsip dan keyakinan moralnya masing-masing yang dianggapnya benar. Masukan dan saran dari orang lain memang sangat berguna, tetapi keputusan akhir tetap ada pada pelaku. Karenanya, mereka sendiri juga yang akan mempertanggung-jawabkannya kelak dihadapan Sang Khalik.


Novel ini berkisah tentang salah satu bagian dari perjalanan hidup Jony, seorang mahasiswa UIN Ciputat yang sedang menjalani semester akhir masa perkuliahannya. Diceritakan, untuk membantu meringankan beban kedua orang tuanya yang hidup pas-pasan di sebuah desa di Jawa Tengah, Jony, bersama teman-temannya, membuka usaha rental komputer dan foto copy di kost-kostannya. Selain dikaruniai wajah yang lumayan, Jony juga berotak encer. Tidak hanya itu, ia juga memiliki “bakat alami” dalam bergaul dengan teman-teman ceweknya. Pengarang mengistilahkannya dengan ‘kalung usus’, sebuah keyakinan kuno bahwa anak yang lahir dengan usus melingkar di lehernya, kelak ia akan mudah bergaul dan disukai banyak orang Tetapi justru lantaran “bakat alami” yang dimilikinya ini ia menuai banyak masalah. Pasalnya, banyak dari teman-temannya cewek yang tergila-gila padanya. Bahkan, seorang pelanggannya yang sudah bersuami pun ikut pula kesengsem.


Dalam perjalanan selanjutnya, muncullah drama cinta segi tiga antara Revy dan Betty yang sama-sama mencintainya, serta Yuni yang ia cintai karena lebih dewasa. Namun pilihan akhirnya tertuju pada Revy, gadis manja yang sering bertingkah kekanakan. Dan dari sinilah muncul banyak ketegangan. Di satu sisi memang Jony mencintai Revy, namun di sisi lain keduanya tidak se-kufu; Jony yang merupakan anak dari keluarga miskin merasa tidak sepadan dengan Revy yang berasal dari keluarga elit. Hal itu masih ditambah dengan beban Jony yang masih harus menyelesaikan masa akhir studinya. Sedangkan Revy sendiri juga tidak luput dari tekanan orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan laki-laki pilihan mereka. Kisah ini berakhir secara happy ending dengan pertemuan tak terduga antara keduanya di rumah Revy, yang ternyata adalah anak dari teman Abi-nya Jony sendiri.


Sebuah pesan
Membaca cerpen ini ibarat hadir dalam sebuah majlis taklim yang sarat dengan petuah-petuah moral yang menyejukkan kalbu. Bedanya, ajaran-ajaran moral yang diutarakan di sini tidak disampaikan secara ngotot dan berpretensi. Melainkan, meski sangat jelas, pesan tersebut dibalut dengan perumpamaan dan dialog yang mengalir, sehingga tidak terkesan menggurui.


Lebih dari itu, ini adalah salah satu dari beberapa novel yang mengandung nilai-nilai Islam yang wasath. Nilai-nilai Islam yang tidak kaku, kolot, dan jumud. Ia memberi kepada kita sebuah pengertian bahwa berislam tidak berarti mengikuti secara buta apa yang ada pada generasi masa silam, apalagi menyontek ajaran yang sebenarnya hanya merupakan produk budaya dari sebuah kebudayaan tertentu. Islam adalah agama yang menghargai baik budaya masa lalu maupun masa kini. Novel ini mengkritik keras pola keberislaman masyarakat Indonesia, terlebih mereka yang dianggap sebagai pemuka agama, yang lebih menyukai bentuk-bentuk luar ajaran, tanpa berusaha untuk mengetahui dan menghayati isi dan kandungan ajarannya yang hakiki. Di samping itu, pertentangan antara nilai-nilai al-haya’ yang ‘islami’ dengan permisifisme yang ‘sekuler’ juga mendapat porsi tersendiri di sini.


Kritik pedas terhadap kapitalisme juga akan segera kita jumpai dalam novel ini sejak dari awal. Percakapan antartokohnya memberikan pengertian kepada kita akan dampak buruk kapitalisme yang diusung oleh Barat untuk kita. Kritiknya tajam terhadap merebaknya mall-mall besar milik pemodal asing di Jakarta, sehingga menggusur lahan pencarian nafkah para pedagang lokal yang bermodal pas-pasan. Demikian juga kritik terhadap mode yang menjadi menu utama orang-orang kelas atas. Padahal banyak saudaara-saudaranya yang untuk dapat bertahan hidup tiap harinya saja sudah beruntung. Mungkin ini sesuai dengan consern penulisnya yang aktif di sebuah LSM pemberdayaan masyarakat.


Penulis cukup baik dalam mendiskripsikan latar dan kejadian cerita, dengan dilengkapi data-data yang agak lengkap, sehingga pembaca seolah benar-benar mengalaminya sendiri. Karenanya, sebagaimana Gusmus dalam pengantarnya, seorang yang berada di luar lingkup UIN akan segera tahu bagaimana hal-ihwal UIN; kampusnya, kurikulum dan kegiatan ekstra kurikulernya, serta kehidupan anak kost-kostan. Bahkan, beberapa tempat wisata di Jawa Tengah juga ikut dipromosikan oleh penulis. Sebuah usaha yang patut dihargai dalam era dimana wisata ke luar negeri menjadi primadona.


Akhirnya, beberapa hal dalam novel ini menurut saya juga perlu dikritik. Di antaranya adalah sebuah ending yang mudah untuk ditebak. Meski dibumbui dengan lika-liku peristiwa yang mendebarkan di seputar tokoh utama, tetapi pembaca akan segera dapat menebak bagaimana kira-kira akhir ceritanya, ketika telah menyelesaikan bacaan sampai pada halaman tengah buku. Hal itu terlihat ketika Pak Dany, orang tua Revy, ingin menitipkan putrinya kepada salah satu teman lamanya di pesantren, yang ternyata adalah ayahnya Jony, untuk mencarikan jodoh buat Revy.


Beda lagi dengan percintaan antara Jony dengan Betty. Kisah keduanya yang saling mencintai tiba-tiba hilang dalam cerita. Tidak lagi diketahui bagaimana kelanjutan kisah tersebut, padahal kisah ini, menurut saya, sangat berpengaruh terhadap alur cerita selanjutnya. Di samping itu, beberapa dialog yang ada juga masih terlihat kaku. Meski demikian, ini tetaplah novel penyemangat hidup, yang mengajari kita untuk tetap optimis menatap masa depan, dan mengisi hari-hari dengan karya. Novel gaul sekaligus islami.

No comments: