Monday, July 9, 2007

Metafisika, Mungkinkah Sebagai Ilmu Pengetahuan?

Pandangan Immanuel Kant Tentang Metafisika

Pengantar
Lama sebelum Kant muncul dengan pemikirannya, metafisika telah menjadi “ratu” dalam ilmu pengetahuan. Ia mengklaim dapat mengetahui rahasia paling dalam dari kenyataan. Namun Kant justru mempertanyakan klaim kesahihan metafisika ini. Apakah metafisika memang memberi pengetahuan yang benar tentang kenyataan? Apakah konsep-konsep metafisika yang apriori dan tidak berasal dari pengalaman itu dapat dibenarkan dan dipertanggung-jawabkan?

Pemikiran dan kritik Kant dalam metafisika
Kant terkenal dengan usahanya dalam mensintesiskan dua paham besar dalam pengetahuan, yaitu rasionalisme dan empirisme . Yang pertama mengklaim bahwa pengetahuan hanya berasal dari rasio, sedangkan yang kedua mengasalkannya hanya dari pengalaman. Keduanya sama-sama mengklaim dapat menjelaskan kenyataan secara tuntas. Kant sendiri memulai filsafatnya dengan memusatkan penyelidikan tentang subjek, tidak penyelidikan atas benda-benda sebagai objeknya. Karenanya, filsafat Kant dinamai dengan kritisisme, lantaran mengawali perjalanannya dengan menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio terlebih dahulu.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Kant membedakan dua macam putusan; putusan analitis dan putusan sintesis. Putusan analitis adalah putusan yang predikatnya sudah terkandung dalam subjek, sehingga predikat hanyalah analisis atas subjek. Sedangkan putusan sintesis adalah putusan yang predikatnya tidak terkandung dalam subjek, sehingga mengandung informasi baru. Putusan analitis bersifat apriori, dan putusan sintesis bersifat aposteriori. Namun masih ada putusan jenis ketiga, yaitu sintesis apriori. Mengingat banyaknya ilmu pengetahuan yang berhasil dalam menggunakan putusan jenis ketiga ini, bagaimana putusan ini dapat diterangkan? Sekaligus kalau metafisika ingin menjadi ilmu pengetahuan, ia harus memiliki putusan sintesis apriori ini.

Pengetahuan pada taraf indra.
Menurut Kant, pengetahuan kita pada taraf indra adalah sintesis atas unsur-unsur yang sudah ada sebelum pengalaman, dan unsur-unsur yang didapat setelah pengalaman. Yang pertama bersifat apriori, dan yang kedua bersifat aposteriori. Unsur aposteriori yang merupakan materi pada taraf ini adalah cerapan-cerapan atas objek. Sedangkan unsur apriori yang merupakan formanya adalah ruang dan waktu. Kant tidak memahami ruang dan waktu ini sebagaimana Newton, akan tetapi memahaminya sebagai perlengkapan mental atau instrurmen rohaniyah yang menggarap data-data indrawi. Di sini belum ada pengetahuan, akan tetapi baru pengalaman.

Dengan demikian, ada realitas pada dirinya sendiri. Das Ding an sich itu tidak dapat kita ketahui karena kita hanya dapat mengetahui gejala atau penampakannya saja yang merupakan sintesis antara cerapan-cerapan atas subjek dengan ruang dan waktu.

Pengetahuan pada taraf akal (verstand)
Menurut Kant, ada dua kemampuan pada diri subjek, yaitu sensibilitas (kemampuan untuk menerima data-data indrawi) dan verstand (kemampuan untuk menghasilkan konsep). Dalam pembentukan putusan ini, juga terjadi sintesis antara unsur materi dan forma. Materi dalam verstand adalah data-data indrawi yang oleh akal diolah menjadi fenomena atau penampakan. Sedangkan formanya adalah 12 kategori yang merupakan syarat apriori pengetahuan. Keduabelas kategori itu adalah kesatuan, kejamakan, keutuhan, realitas, negasi, pembatasan, substansi, kausalitas, resipresitas, kemungkinan, peneguhan, dan keperluan.

Agar suatu objek dapat diketahui, objek tersebut harus menyesuaikan diri dengan kedua-belas kategori itu, bukan sebaliknya. Karenanya, 12 kategori itu mirip dengan kaca mata berwarna yang kita pakai, sehingga semuanya terlihat sesuai dengan warna kaca mata itu. Tanpa 12 kategori itu, realitas tidak akan tampak. Dengan demikian, pengetahuan alam jelas menjadi mungkin, karena dalam pengenalan manusiawi, subjek tidak mengarahkan diri kepada objek, melainkan pengenalanlah yang berpusat pada subjek.

Pengetahuan pada taraf rasio atau buddhi (vernunft)
Di sini, rasio menghasilkan ide-ide transendental yang tidak memperluas pengetahuan kita, tetapi mengatur putusan-putusan akal ke dalam sebuah argumentasi. Jika akal langsung berkaitan dengan penampakan, maka rasio berkaitan dengannya secara tidak langsung, yaitu melalui akal. Di sini rasio menerima putusan-putusan akal untuk mendapatkan kesatuan dalam terang asas yang lebih tinggi. Dalam penyusunan putusan-putusan ini, rasio dipimpin oleh tiga macam idea, yaitu idea jiwa, idea dunia, dan idea Allah. Ide jiwa menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek dalam hubungannya dengan diri sendiri. Ide dunia menjamin kesatuan akhir dalam hubungan kausal dalam penampakan objektif. Sedangkan ide Allah menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan.

Dengan demikian, kesalahan metafisika adalah ia memandang ketiga idea itu sebagai gagasan tentang benda yang berada. Ia mau menerapkan 12 kategori itu pada idea-idea, padahal 12 kategori itu hanya berlaku untuk pengalaman. Kalau metafisika mau menjadi ilmu pengetahuan, ia harus memiliki objek yang berhubungan dengan idea-idea transendental. Padahal tak ada objek pengalaman bagi ketiga idea itu. Karenanya, metafisika tidak mungkin menjadi ilmu pengetahuan.

Tanggapan
Usaha Kant dalam membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme masih terlihat berat sebelah ke arah rasionalisme. Hal itu terlihat dalam ajarannya tentang proses pengetahuan. Di situ nampak bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka makin berkuranglah peran unsur aposteriorinya.

No comments: