Thursday, April 10, 2008

Tektualitas Al-Qur’an

Kajian tentang I’jaz, Munasabah, Ambiguitas-Distingsi, Amm-Khash, dan Tafsir-Ta’wil dalam Al-Qur’an*

I. I’jaz

Al-Quran dan Puisi
Kajian tentang i’jaz pada dasarnya adalah kajian tentang karakteristik teks yang membedakannya dan membuatnya lebih unggul dari teks-teks lain dalam kebudayaan. Artinya, Al-Quran sebagai mu’jizat tidak dapat dilepaskan dari keunggulan tekstualnya dari teks serupa pada jamannya. Di sisi lain, keberadaan al-Quran, yang di dalamnya terdapat kei’jazan yang adalah mukjizat bagi Nabi Muhammad, terkait erat dengan kondisi nyata masyarakat pada masa beliau hidup. Nabi Muhammad hidup pada masa dimana sastra menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Karena itu, kemu’jizatan Nabi Muhammad berupa teks yang yang dapat mengalahkan semua bentuk teks yang ada pada masa itu, sehingga tidak ada satupun dari manusia yang dapat menandinginya. Sebagai kilas balik, Nabi Musa hidup pada masa dimana sihir meraja-lela dalam masyarakat. Karenanya, Allah memberikan kepadanya mukjizat berupa tongkat yang dapat berubah menjadi ular yang dapat mengalahkan semua sihir kaumnya. Demikian pula dengan Yesus yang hidup pada masa ketika pengobatan berkembang dengan sangat pesatnya. Maka di antara kemukjizatannya adalah kemampuannya dalam menyembuhkan berbagai penyakit, bahkan menghidupkan kembali orang yang telah mati.

Al-Qur’an adalah wahyu Allah. Dipandang dari kesusartraannya, ada kemiripan antara al-Quran dengan puisi yang merupakan teks dalam kebudayaan pra Islam. Meski memiliki kemiripan dengan puisi, dari segi esensinya sebagai komunikasi, ia dalam banyak hal berbeda dari puisi. Perbedaan itu tampak dalam proses dan hubungan komunikasi dan siapa-siapa saja yang terlibat. Hubungan dalam wahyu bersifat vertikal antara hamba dengan Tuhan, sedangkan dalam puisi bersifat horizontal, karena jin bagi bangsa Arab adalah komunitas yang hidup dalam kawasan tertentu – sebagaimana diketahui, banyak sekali puisi-puisi Arab yang bicara tentang jin, sesembahan mereka, di samping bicara tentang wanita dan daya tarik seksualnya. Di samping itu, wahyu memerlukan mediator dalam penyampaiannya, sedangkan puisi langsung dari seseorang kepada temannya. Dan teks al-Quran berbeda dari semuanya. Ia tidak bisa dimasukkan dalam kelompok puisi ataupun prosa yang dikenal dalam masyarakat Arab pra Islam, baik itu teks pidato, sajak para peramal, atau teks perumpamaan. Karenanya, umat Islam mengganti istilah-istilah yang lazim dalam pusisi dengan istilah yang baru, seperti qafiyah diganti dengan fashilah, bait dengan ayat, dan qashidah dengan surat.

Teks al-Quran berusaha menolak sebutan puisi juga karena alasan-alasan yang berkaitan dengan konsepsi bangsa Arab mengenai esensi puisi dilihat dari segi sumber dan fungsinya. Teks al-Quran juga menolak Muhammad sebagai penyair karena fungsi penyair dalam masyarakat berbeda dengan fungsi yang diberikan oleh teks terhadap beliau. Penyair menjadi corong kabilah, sedangkan Muhammad adalah penyampai risalah. Puisi adalah teks yang menyuarakan kepentingan kelompok dalam menghujat musuh-musuhnya dan dan membantu sekutu-sekutunya. Sedangkan al-Quran adalah teks yang bertujuan merekonstruksi realitas dan mentransformasikannya ke arah yang lebih baik. Karena itu, Muhammad bukanlah penyair dan al-Quran bukanlah puisi. Hal ini tidak berarti puisi terlarang dalam Islam. Teks wahyu sangat memerlukan bantuan puisi dan teks-teks sejenis dalam kebudayaan untuk memahami teks wahyu itu sendiri. Teks wahyu memberi dukungan kepada puisi yang dapat membantu mewujudkan fungsi teks wahyu, dan menyangkal puisi yang tidak dapat membantunya dalam hal tersebut. Karenanya, konsep Islam tentang puisi bersifat ideologis yang harus dilepaskan dari halal dan haram. Ia menolak yang bertentangan dan menerima yang sejalan.

Kaum Muslim awal sendiri menyadari bahwa teks wahyu tidak terpisah dari realitas, dan karenanya mereka tidak segan-segan untuk memahami teks al-Quran dari perspektif teks-teks lain, khususnya puisi. Prinsip dasar yang dipegang semenjak usaha awal penafsiran adalah “apabila kamu mengalami kesulitan dengan al-Quran, maka kembalilah kepada puisi”. Banyak riwayat dari sahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa mereka menggunakan puisi untuk menjelaskan kata yang asing dan sulit dalam al-Quran.

Al-Quran dan Saja’
Di dalam kalam saja’, unsur makna mengikuti kata yang menimbulkan saja’. Akan tetapi tidak demikian dengan al-Quran – kalau dikatakan ia sebagai saja’, karena kata di sini mengikuti makna. Ada perbedaan antara kalam yang tersusun melalui kata-kata yang dapat mengungkapkan makna yang dimaksud, dengan makna yang tersusun tanpa kata. Apabila makna terkait dengan saja’, maka manfaat saja’ seperti manfaat lainnya, dan apabila makna terkait dengan dirinya sendiri tanpa saja’, maka makna akan menimbulkan semacam jinas dalam kalam, bukan membenarkan makna.

Upaya ulama kono untuk membedakan antara al-Quran dari saja’ sebenarnya bertujuan membedakan kalam Ilahi dari jaran manusia. Dan kalam, sebagaimana dalam doktrin Asy’ariyah, adalah salah satu sifat zat Ilahi, bukan tindakannya. Karena itu, teks al-Quran dibedakan dari teks-teks yang lain. Hanya saja pemisahan ini menyebabkan teks menjadi sacral dalam dirinya sendiri. Maka disepakati tidak boleh menamakan fashilah dengan qafiyah, karena ketika Allah membebaskan al-Quran dari sebutan puisi, maka sebutan qafiyah juga harus dilepaskan dari al-Quran, karena qafiyah termasuk dalam istilah puisi. Dan digantilah dengan fashilah.

I’jaz di Luar Teks
Ulasan di atas adalah pembicaraan tentang kemu’jizatan teks wahyu dipandang dari dirinya sendiri, menyatunya penanda (dal) dan petanda (madlul) dalam teks wahyu. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa kemu’jizatan itu berasal dari luar, yaitu ketidakmampuan bangsa Arab yang hidup semasa dengan turunnya teks untuk membuat yang sepadan dengannya sebagimana yang ditantang oleh teks sendiri. Ketidakmampuan ini bersifat aksidental karena terdapat intervensi kehendak Tuhan, dimana para penyair dan orator dihalangi untuk dapat menerima tantangan tersebut dan membuat yang sepadan.

Dalam pandangan Mu’tazilah, yang menunjukkan kebenara Nabi adalah adanya sesuatu yang melemahkan (mu’jiz) pada dirinya. Sesuatu yang melemahkan itu dapat berupa perbuatan-perbuatan yang menyalahi aturan kebiasaan dan alam, dan juga perbuatan-perbuatan biasa alamiyah yang dapat dilakukan oleh manusia, namun pada saat itu manusia tidak dapat melakukan perbuatan yang biasa tersebut, padahal sebelumnya tidak sulit baginya. Dan kekuatan yang melemahkan itu adalah pemberi mu’jizat itu sendiri, yaitu Allah.

I’jaz di Dalam Teks
Beberapa ulama mengatakan bahwa kemu’jizatan al-Quran terdapat dalam dirinya sendiri, tidak berasal dari intervensi eksternal yang menutup kemungkinan bangsa Arab untuk membuat yang sepadan. Termasuk di antara mereka adalah al-Baqillani. Ia membedakan teks al-quran dari teks yang lain dari dua sisi. Sisi pertama adalah bentuk eksternal, struktur umum, atau genre sastra. Aspek umum ini adalah susunan dan style (uslub). Bahwa al-Quran memiki susunan yang sedemikian bervariatif dan beragam, menyimpang dari seluruh system kalam dan ujaran pada umumnya. Demikian juga dalam hal ukuran dan panjangnya. Al-Quran memiliki karakter panjang yang tidak biasa terdapat dalam teks-teks Arab. Kedua, susunannya yang menakjubkan dan penataannya yang indah dan harmonis. Tidak terdapat kontradiksi meski banyak aspek yang ditata di dalamnya seperti kidah, nasehat, argument, kata mutiara, peringatan, janji, ancaman, dan lain-lain. Hal itu berbeda dengan banyak karya manusia yang mengandung banyak kontradiksi, padahal hanya dalam satu aspek saja.

I’jaz di Dalam Bahasa Teks (Nazhm)
Beberapa ulama mengatakan bahwa kemu’jizatan al-Quran didasarkan pada temuan atas hukum-hukum umum yang dapat diterima oleh akal manusia. Kemu’jizatan bukan dilihat dari perbedaannya dengan teks lain dalam kebudayaan dari segi bentuk, jenis, atau tipenya. Sebab perbedaan bentuk tidak berarti kelebihan atau suatu keistimewaan. Syarat sebuah teks menjadi fashih adalah adanya pesan yang bagus dan kata yang jernih. Abdul Jabbar menetapkan fashahah melalui tiga dimensi dalam struktur bahasa; 1) penggantian (diksi) yang terkait dengan kata-kata. Yaitu pemilihan kata-kata tertentu dari kata-kata yang lain. 2) posisi yang terkait dengan prinsip mendahulukan dan mengakhirkan (taqdim wa ta’khir). 3) I’rab yang terkait dengan posisi kata secara gramatikal dalam kalimat tertentu.

Karena itu, kemukjizatan al-Quran dapat terjadi dalam satu kalimat sebagaimana dapat terjadi pula dalam kalimat yang banyak, dapat terjadi dalam ayat yang pendek, sebagaimana dapat terjadi dalam ayat yang panjang, selama hukum-hukum bahasa yang menjelaskan fashahah i’jaz memiliki efektifitasnya dalam satu kalimat, dan juga dalam teks yang panjang. Dan karena itu juga, konsep notasi (irama) tidak disertakan sebagai bagian dari definisi karakteristik ujaran. Karena irama terkait dengan puisi dalam konsep budaya. Lantaran perbedaan antara al-Quran dan puisi adalah penting dan niscaya, maka usaha ulama kuno mengeluarkan dimensi tersebut dari konsep fashahah dan i’jaz juga penting dan niscaya. Keindahan nada dan kelembutan ungkapan memang menjadikan ungkapan enak didengar. Tetapi hal itu bukan unsure yang menjadikan fashahah, sebab yang menjadikan istimewa dalam hal ini adalah jelas, yaitu dalam ujaran dan penceritaannya. Unsur tersebut juga terdapat dalam tulisan, sebagaimana terdapat dalam ujaran lisan.

II. Munasabah Antarayat dan Surat

Fokus perhatian ilmu munasabah adalah bukan pada kronologi histories dari bagian-bagian teks, tetapi aspek pertautan antarayat dan antarsurat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan urutan bacaan sebagai bentuk lain dari urutan turunnya ayat. Di sini diperselisihkan apakah urutan surat dalam mushhaf itu taufiqi atau tauqifi sebagaimana urutan ayat dalam surat. Perbedaan antara urutan turun dan urutan bacaan terletak pada susunan dan penataan. Melalui perbedaan susunan dan penataan ini, persesuaian antarayat dalam surat dan antarsurat dalam mushhaf, dapat disingkap.

Dasar munasabah antarayat dan surat adalah bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling berkaitan. Tugas mufassir adalah untuk menemukan hubungan-hubungan itu. Hanya saja, menurut Syaikh Izzuddin, keterkaitan ujaran dianggap bagus apabila keindahan terjadi karena satu hal yang sama, yang pertama terkait dengan yang akhir.

Munasabah Antarsurat
Karena munasabah ini, maka surat al-Fatihah menempati kedudukan yang istimewa lantaran kedudukannya sebagai pengantar dalam mushhaf. Ia disebut sebagai umm al-kitab, induk kitab, yang mengandung tauhid, peringatan, kisah, dan hukum. Itu semua adalah isi dari al-qur’an itu sendiri. Dan hal yang sama juga dapat diterapkan dalam surat al-Ikhlash yang dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Tetapi hubungan-hubungan umum ini bukanlah pengganti hubungan khusus surat al-Fatihah dengan surat setelahnya, surat al-Baqarah. Hubungan khusus lebih bersifat stalistika kebahasaan, sementara hubungan umum lebih bersifat isi dan kandungan.

Sebagai contoh hubungan ini adalah akhir surat al-Fatihah yang berupa doa “Ihdinashirathal mustaqiem….”. Doa ini mendapatkan jawabannya dalam permulaan surat al-Baqarah berupa “Alif Lam Mim, Dzalikal kitab…”. Demikian juga hubungan antara surat al-Baqarah dengan surat sesudahnya, surat Ali Imran. Yang pertama mengajukan dalil mengenai hukum, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sedangkan surat Ali Imran sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh. Surat al-Baqarah mengacu pada hukum-hukum yang ditunjukkan surat al-Fatihah, sementara surat Ali Imran memuat keragu-raguan para musuh, khususnya yang berkaitan dengan dalil tersebut. Oleh karena keragu-raguan musuh terhadap dalil Islam muncul dari pihak Yahudi atau Nasrani, maka wajar jika surat al-Baqarah mendahului surat Ali Imran lantaran hubungan yanglebih awal antara Islam dan Yahudi pada satu sisi, dan dan lantaran Taurat mendahului Injil dalam sisi yang lain. Maka wajar kalau dua surat setelahnya, yaitu an-Nisa’ dan al-Maidah, memuat detil-detil hukum dan syariat. Olehkarena itu, urutan surat dalam mushhaf didasarkan pada asas mendahulukan yang universal yang pertama-tama dibentuk oleh surat al-Fatihah, kemudian surat al-Baqarah, dst.

Ada bentuk hubungan lain yang berbeda dari yang telah diuraikan tadi, yaitu yang didasarkan pada adanya semacam hubungan kebahasaan atau pengulangan bahasa antara kata yang terdapat pada akhir surat dengan kata yang ada pada awal surat berikutnya. Seperti surat al-Waqi’ah yang diakhiri dengan perintah bertasbih, dengan surat al-Hadid yang diawali dengan tasbih. Demikian juga antara surat al-Kahfi dengan surat al-Isra’. Sedangkan dalam surat al-Masad dan al-Ikhlash, kita akan menemukan keterkaitan dalam ritme fashilah terakhir. Beberapa surat yang lain, seperti al-Ma’un dan al-Kautsar, serta surat ad-Dhuha dan as-Syarh, kita menemukan di antara masing-masing dari keduanya keterkaitan kontras; beberapa sifat yang disebut dalam suatu surat, yang kemudian disebut lawannya dalam surat berikutnya. Dalam surat al-Ma’un, Allah melukiskan orang munafik dengan empat karakter; kikir, meninggalkan shalat, riya’ dalam shalat, daj menolak zakat. Kemudian dalam surat setelahnya, Allah menyebutkan lawan-lawan dari sifat tersebut; pemurah, senantiasa shalat, ikhlas kepada Allah, dan berkorban.

Munasabah Antarayat
Pada dasarnya, konsep kesatuan teks berasal dari persoalan i’jaz, yaitu persoalan yang sebagian besar bersumber pada perdebatan antara yang mengatakan teks (Allah) dengan pembicara-pembicara selainnya. Karenanya, munasabah antarayat ini dihindari oleh beberapa ulama. Di sini, hubungan antara keduanya kadang berlawanan, seperti munasabah rahmat yang disebut setelah dosa, senang setelah takut. Al-Quran biasa menyebut hukum setelah menyebut janji dan ancaman. Hal itu adalah untuk membangkitkan dorongan mengamalkan apa yang sudah disebutkan, kemudian menyebutkan ayat-ayat tauhid dan penyucian Allah, agar diketahui keagungan Zat yang memerintah dan melarang.

Beberapa hal penting dalam munasabah ini adalah keterkaitan dua ayat yang seolah tidak berkaitan sama sekali, seperti ayat-ayat awal surat al-Isra’. Ayat pertama berbicara tentang isra, sedangkan ayat kedua beralih pada pembicaraan tentang Musa dan Bani Israil. Kemudian beralih lagi kepada masalah al-Quran. Pertanyaannya, hubungan apa yang ada antara isra dengan cerita Bani Israil? Mengapa focus utama tentang mereka disebutkan sebagai keturunan orang yang bersama dengam Nuh, padahal semua umat manusia dianggap sebagai berasal dari keturunan ini, bukan hanya Bani Israil saja. Menurut al-Zarkasyi, perubahan focus dari kisah Bani Israil ke al-Quran setelahnya merupakan bentuk penyimpangan lain menuju hikmah al-Quran, sebab ia merupakan ayat yang terbesar. Atas dasar ini, dapat dianaogkan perubahan dari satu situasi ke situasi yang lain.

Beberapa masalah lain yang muncul adalah apabila dua ayat yang berdampingan, masing-masing ayat memiliki sebab turunnya sendiri, apakah hukum dari salah satu ayat tersebut dapat dimasukkan ke dalam hukum ayat lainnya atas dasar keumuman kata pada ayat yang lain? Apakah kata yang mengungkapkan hukum pada ayat pertama merupakan sebab atau ia tidak memiliki kekuatan yangmenentukan sebab? Ini adalah masalah pelik yang tidak mudah ntuk dipecahkan. Dan beberapa ulama Islam berbeda pendapat dalam masalah ini.

III. Ambiguitas dan Distingsi

Ada dua istilah penting dalam ilmu tafsir yang berhubungan dengan ambiguitas dan distingsi suatu teks, yaitu ayat yang muhkam dan ayat yang mutasyabih. Ayat muhkam adalah ayat yang jelas dan nyata maknanya, sehingga tidak lagi memerlukan takwil. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang ambigu, sehingga diperlukan sebuah takwil. Aturan penggunaan keduanya adalah yang mutasyabih harus dikembalian pada yang muhkam. Artinya, tafsir atas ayat yang ambigu dikembalikan kepada yang jelas. Yang muhkam harus menjadi panduan dalam memahami dan menafsirkan yang mutasyabih.

Selain itu, juga dibedakan lagi menjadi yang tersurat dan tersirat. Dalam hal ini, terdapat empat pola yang berbeda, pertama nash, yaitu penanda yang menunjuk pada makna tanpa menunjuk pada makna yang lain. Kedua dhahir, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna, akan tetapi yang digunakan adalah yang diunggulakan. Ketiga ta’wil, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna, akan tetapi yang digunakan adalah yang tidak dhahir. Keempat ambigu (ghumudh), yaitu teks yang mengandung dua makna, dan keduanya sulit dipastikan mana yang diunggulkan. Empat pola tersebut didasarkan pada pola gradasi dariyang distingsi ke ambigu. Nash adalah yangpaling jelas, yang berlawanan dengan mujmal. Dhahir lebih dekat kepada nash, sedangkan ta ‘wil lwbih dekat dengan mujmal.

Namun persoalannya menjadi kompleks ketika kita melihat makna yang tersirat kadang berlawanan dengan yang tersurat. Makna ini bida terjadi melalui muwafaqah, dan kebalikannya, mukhalafah. Muwafaqah seperti larangan untuk mengucapkan kata ‘hus’ kepada orang tua. Karenanya, kalau mengatakan hus saja tidak boleh, maka menyakiti keduanya jauh lebih tidak boleh. Yang kedua, mukhalafah, yaitu ketikayang tersurat menunjukkan makna yang secara bahasa dibatasi oleh keterangan sifat sehingga pengertian yang terbatas tersebut menunjukkan di luar makna tersebut yang dinafikan. Seperti firman ‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu didatangi orang fasik denga membawa berita, maka carilah kejelasan’. Karenanya, berita yang datangnya bukan dari orang fasik maka tidak memerlukan pencarian kejelasan. Semuanya tersebut menunjukkan bahwa produksi makna dalam bahasa tidak terlepas dari dialektika pembaca. Bahkan, takwil tidak berangkat dari data bahasa teks, akan tetapi pertamakali berangkat dari kerangka kultural yang merepresentasikan wawasan pembaca yang melakukan tindak pembacaan. Contoh paling terkenal dari ambiguitas ini adalah ayat warraskhuna fil’ilmi ….. Apakah wawu di sini wawu athaf atau wawu isti’naf. Mungkin kalau hanya seputar masalah gramer seperti ini tidak masalah. Akan tetapi perbedaan antara wawu athaf atau wawu isti’naf ini telah menimbulkan masalah besar pada makna teks.

Prinsip yang dilontarkan oleh para mufassir adalah bahwa ambiguitas yang berasal dari ijmal maknanya dapat diraih dengan kembali kepada teks itu sendiri di tempat lain. Sebab suatu ayat yang mujmal di suatu tempat mempunyai penjelasan di tempat lain. Teks melalui sistem bahasa dan semantiknya membentuk leksikografinya yang khas dan memberikan dasar penafsiran terhadap yang ambigu dalam beberapa bagiannya.

Dan ketika kita membaca al-Quran, maka kita akan menemukan banyak pengulangan ayat, yang maknanya sama, akan tetapi dengan redaksi yang berbeda. Perlu diketahui bahwa perbedaan tersebut menunjukkan kei’jazan al-Quran, dalam arti bahwa teks menunjukkan kemampuannya dalam mengolah dan menata tanpa terjerumus ke dalam pengulangan secara literal. Jika perbedan, ketika dibaca melalui yang rasional, melenyapkan anggapan adanya kontradiksi, maka perbedaan menjadi semacam variasi yang tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa teks tunggal dan sumbernya satu.

As-Suyuti mengatakan, ‘Andaikata seluruh al-Quran itu muhkam, maka ia hanya akan cocok bagi satu kalangan saja, dan tidak mengakui semua hal yang tidak berasal dari golongan tersebut. Akan tetapi jika al-Quran memuat yang muhkam dan mutasyabih, maka masing-masing pengikut dari satu golongan akan berusaha untuk mendapatkan di dalamnya sesuatu yang menguatkan golongannya dan mendukung pendapatnya. Dan apabila mereka bersikap berlebih-lebihan dalam hal menafsirkan, maka yang muhkam akan menafsirkan yang mutasyabih.’

Penggalan Huruf pada Awal Surat
Penggalan pada awal surat juga menimbulkan ambiguitas dalam makna. Ada beberapa huruf yang diletakkan pada awal surat, dan tidak seorang pun yang mengetahui maknanya secara pasti. Sebagian ulama menjadikan huruf-huruf tersebut dalam bingkai mutasyabih, dimana hanya Allah saja yang mengetahuinya, sebagaimana teks yang berkaitandengan hari kiamat, kebangkitan, apa yang ada dalam rahim, dan roh. Dari penggalan huruf pada awal surat ini muncullah banyak penafsiran dari para ulama. Ada yang menafsirkannya menurut angka-angka, seperti as-Suhaily yang menjumlahkan semua huruf-huruf tersebut. Menurutnya, jumlah keseluruhan huruf tersebut adalah 14 huruf, dan dapat dikumpulkan dalam kalimat alam yasti nashshu haqqi karihin. Setelah dijumlahkan menurut perhitungan jumal, jumlahnya menjadi 730. jumlah ini jika ditambah 1000, menurutnya, akan menjadi usia dariagama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Hal itu berbeda dengan Ibn Abbas yang menafsirkan huruf-huruf tersebut menjadi sifat-sifat Allah. Seperti huruf alif dari Allah, lam dari Latif, dan mim dari Majid. Beberapa ulama yang lain mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut tidak memiliki makna, akan tetapi hanyalah sebagai bagian dari sistem bahasa yang menjadi sandaran teks. Keberadaannya yang terpencar-pencar menunjukkan teks yang merupakan mukjizat itu tersusun dari huruf yang sama dengan huruf yang digunakan oleh masyarakat dalam menyusun teks mereka. Beberapa ulama lain bahkan sampai pada interpretasi bahwa 14 huruf tersebut adalah representasi dari seluruh fenomena suara yang ada dalam bahasa Arab, yaitu hams, jahr, syiddah, rakhawwah, infitah, dan ithbaq. Ia juga representasi pembagian huruf menurut makhrajnya, yaitu antara huruf faringal dan nonfaringal. Ini berarti pemilihan huruf-huruf tersebut tidak serampangan dan asal-asalan, tetapi memang sudah disesain oleh Allah sedemikian rupa sehingga menunjukkan keistimewaan al-Quran. Jika asal-usul bahasa adalah tauqifi, natural, maka hal tersebut jelas. Dan jika asalny bahasa adalah konvensi sosial, maka hal itu juga ajaib karena tidak mungkin berbagai kepentingan menjadi satu seperti itukecuali karena izin Allah.

IV. Amm dan Khash

Dalam ilmu amm dan khash, para ulama menegaskan bahwa meskipun ayat-ayat diturunkan karena sebab-sebab tertentu, namun dari segi maknanya ayat-ayat tersebut melampaui sebab-sebab tersebut. Karenanya dipertanyakan, manakah yang dijadikan pertimbangan, kekumuman lafad atau kekhususan sebab? Perselisihan ini adalah perselisihan fiqhiyyah, menyangkut ayat-ayat hukum, bukan yang lain. Bahwa menarik makna teks dari sebab khusus ke arah keumuman lafad harus didasarkan pada tanda-tanda dalam teks itu sendiri yang membolehkanpenarikan dan peralihan tersebut. Perlu diketahui bahwa salah satu watak bahasa adalah ia mengungkapkan realitas secara simbolis. Wujud fisik dari sesuatu dalam bahasa berubah menjadi simbol-simbol bunyi. Perubahan ini hanya dapat berlangsung kalau wujud materi ditarik menjadi wujud mental dalam bentuk konsep-konsep yang sama. Dengan demikian, dasar mekanisme bahasa adalah kemampuan generalisasi. Maka ulama dengan gigih menegaskan keumuman lafad dalam memberlakukan hukum yang disyariatkan teks. Meski demikian, keumuman ini tidak mengurangi pentingnya ilmu asbab al nuzul yang dalam banyak hal upaya menyingkapkan makna teks justru tergantung dari ilmu ini.

Mekanisme Keumuman
Beberapa lafad yang diklaim memiliki makna umum adalah sebagai berikut: kata kullu (semua), isim maushul (kata penghubung), kata ayy, ma, dan man (mana, apa, siapa saja), kata jama’ yang dima’rifatkan baik dengan alif lama tau dengan idhafah, isim jinis yang dima’rifatkan baik dengan al atau dengan idhafah, isim nakirah dalam konteks larangan, nafi, dan syarat. Sebagai contoh isim maushul adalah ayat ‘Qad sami’a Allah qaula allati tujadiluka…..’ ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan salamah binti Skhr. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana teks tersebut dimulai dengan peristiwa parsial, yaitu pengaduan istri tentang suaminya, kemudian teks menjadi umum dengan mempergunakan isim maushul. Hukum menjadi mencakup siapa saja yang yang dapat dikenai atribut isim maushul.

Mekanisme Kekhususan
Pengertian kekhususan terangkum secara bahasa dalam salah satu dari dua hal, pertama, kata dengan format umum, namun maknanya tidak mencakup semua bagian yang ditunjukkan oleh kata tersebut, tetapi maknanya khusus. Makna khusus ini dapat dipahami dari struktur teks. Ini dinamakan dengan amm yuradu bihi khash. Kedua, kata yangmenurut bentuk dan maknanya amm, tetapi hukum yang ada dalam teks tidak dapat diterapkan pada acuannya. Ini disebut dengan amm al-mukhashshash. Bentuk keduan inilah yang umum dalam hukum syariat. Yang membedakan antara keduanya adalah perbedaan semantis yang pada dasarnya dapat ditentukan melalui beberapa sudut. Pertama, bahwa makna kata dalam tipe pertama tidakmenyeluruh meliputi semua bagian yang tercakup dalam semua pengertian kata tersebut, sementara makna pada tipe kedua adalah meyeluruh. Kedua, dari segi hukum yang dikandung, hukum pada tipe pertama hanya dapat diterapkan pada makna khusus dari kata, sementara hukum pada tipe kedua tidak sejalan dengan makna katanya sebab kata tersebut umum, namun hukumnya khusus. Ketiga, bahwa makna pada tipe pertama adalah metaforis, sedangkan pada tipe kedua adalah hakiki. Keempat, konteks takhsish pada tipe pertama bersifat rasional, sementara konteks pada tipe kedua bersifat verbal. Kelima, konteks rasional pada tipe pertama berkaitandengan ujaran, sedangkan konteks verbal pada tipe kedua dapat berkaitan dan dapat pula terpisah.

Di samping itu, ulama kuno menetapkan lima gejala dalam bahasa sebagai konteks yang bersambung. Kelimanya adalah pengecualian, sifat, syarat, kehinggaan/ghayah, dan mengganti sebagian dari keseluruhan (badal ba’dh min kull). Perangkat kebahasaan ini dapat dianggap sebagai penentu-penentu semantis dalam struktur bahasa, penentu semantis yang merumuskan kembali makna dari beberapa kata sehingga dapat mengubah dari makna yang umum menjadi makna yang khusus.

Muthlaq dan Muqayyad
Bahwa jika ada teks yang muthlaq, kadang ada teks lain yang membatasi kemutlakan teks tersebut. Artinya, takhsish terkadang dapat dilakukan dengan menghadapkan teks-teks pada dalam keseluruhan teks yang umum atau antara al-Quran dengan teks keagamaan lainnya. Teks yang mutlak dalam teks apapun tetap dalam status kemutlakannya selama tudak ada teks lain yang membatasi kemutlakannya. Dasar yang dipergunakan ulama ushul dalam hal ini adalah bahwa al-Quran bagaikan satu ayat. Dialektika antara keumuman dan kekhususan memeprlihatkan bahwa ulama fiqih memperlakukan teks al-Quran sebagai teks tunggal. Jika ayat-ayat, dari segi turunnya, berkaitan erat dengan realitas dan latar belakang yang mengungkapkan makna-makna ayat, maka upaya membuahkan hukum dari teks memperlakukan teks sebagai satu kesatuan semantik yang tunggal.

Namun jika terjadi pertentangan antarteks wahyu, sehingga sulit diklasifikasi dan dikompromikan, maka dibutuhkan data sejarah, dan ayat yang turun lebih dulu diabaikan demi yang turun terakhir. Ini berarti naskh (penghapusan) bagi yang pertama. Jika tidak diketahui data sejarahnya namun ada ijma’ atas praktek dari salah satu ayat, maka yang menaskh adalah apa yangmenjadi ijma’. Dan setiap ada ayat yangbertentangan dalam al-Quran, pasti tidak lepas daridua ketentuan ini.

V. Tafsir dan Ta’wil

Ta’wil sendiri dalam pemkiran agama ‘resmi’ adalah istilah yang dibenci demi istilah tafsir. Ada upaya pemberantasan semua orientasi pemikiran oposisi baik dalam tataran intelektual maupun tataran perdebatan kontemporer dalam kebudayaan. Klaim ta’wily disematkan pada mereka yang dicap sebagai sesat dan ahli bid’ah. Sebaliknya, ta’wil dari pemikiran resmi disebut sebagai tafsir, untuk menyematkan objektivitas dankebenaran mutlak terhadap ta’wil tersebut. Sikap semacam ini sama dengan yang ditempuh oleh aliran tradisional dalam tradisi pemikiran yang mencap semua ta’wil yang bertentangan dengan ta’wilnya sebagai rusak, atau paling banter sebagai tafsir birra’yi (tafsir dengan pikiran) yang merupakan larangan. Mereka digolongkan sebagai ahli bid’ah dankeluar dari golonganahli sunnah wal jama’ah .

Kriteria yang benar menurut kalangan ahli sunnah wal jama’ah, baik dalam tataran tradisi ataupun pemikiran agama resmi kontemporer, adalah riwayat yangberasal dari Rasul atau sahabat yang menyaksikan turunnya wahyukarena mereka lebih tahu tentang maknanya. Tafsir harus didasarkan pada naql (riwayat), sebab melakukan penalaran selalu menyebabkan kekeliruan. Ilmu yang didasarkan pada penalaran, bukan riwayat, banyak menimbulkan kekeliruan yang dilakukan oleh dua kelompok yang muncul setelah sahabat, tabiin, dan tabi’i tabi’in. Tafsir tersebut hampir tidak memuat kedua kelompok tersebut, pertama, kelompok yang meyakini makna-makna, kemudian kata-kata al-Quran dimaknai dengan makna-makna tersebut. Kedua, kelompok yang menafsirkan al-Quran hanya denganm akna yang dapat diterima oleh orang Arab, tanpa memerhatikan pembicara nya (Allah), penerima (Nabi) dan sasaran(umat).

Tafsir menurut Ahli Sunah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno. Padahal penafsiran semacam ini menyebabkan makna teks terikat dengan horizon nalar dan bingkai kultural era generasi pertama kaum kuslimin. Keterkaitan ini bertentangan secara mendasar dengan konsep yang sudah mapan dalam kebudayaan bahwa makna teks melampaui batas-batas ruang dan waktu. Akibatnya mereka cukup dengan kebenaran azali sebagai kebenaran final, dan menjauhi metode eksperimental dalam mengkaji fenomena alam dan kemanusiaan. Kekeliruan mendasar pada sikap Ahlu Sunah adalah pandangannya terhadap gerak sejarah danperkembangan zaman sebagai gerak menuju yang lebih buruk dalam semua lapisan. Karenanya mereka mengkaitkan makna teks dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, dan masa turunnya wahyu. Mereka lupa bahwa hal ini berarti menegaskan temporalitas wahyu bukan saja dari sisi keterbukaan teks, tetapi juga dari sisi makna dan signifikansinya.

Tafsir dan Ta’wil (Makna Bahasa dan Istilah)
Terdapat perbedaan dalam mencari akar kata tafsir menurut para ahli bahasa. Apakah ia berasal dari kata fasara atau safara. Fasara (al-fasru) berarti pengamatan seorang dokter terhadap air. Bahwa mufasir harus bertindak bagai seorang dokter. Ia harus memiliki pengetahuan terhadap penyakit dan gejala-gejala agar ia dapat menemukan penyakit dari materi, agar ia dapat melakukan proses penafsiran. Sedangkan safara berarti perpindahandan perjalanan. Dari makna ini muncul makna penyingkapan dan kemunculan. Atas dasar ini, kata tafsir baik berasal dari safar atau fasru adalah sama, bermakna mengungkapkan sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufassir (orang yang menafsirkan), melalui tanda itu ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi dan samar.

Sedangkan kata ta’wil sendiri dalam al-Quran justru lebih populer karena muncul lebih banyak dibandingkan dengan tafsir. Ta’wil muncul 17 kali, sedangkan tafsir hanya sekali saja. Mungkin hal ini karena ta’wil merupakan konsep yang dikenal dalam kebudayaan pra Islam, berkaitan dengan tafsir terahdap mimpi atau ta’wil al-ahadits. Dalam surat Yusuf kita akan menemukan bahwa struktur surat tersebut didasarkan pada mimpi Yusuf pada awal surat, yaitu mimpi yang ta’wilnya terealisasi pada akhir kisah. Atau mimpi raja dan mimpi dua teman penjara Yusuf, dimana Yusuf menafsirkannya. Di sini ta’wil berarti memberitahukan kejadian sebelum terjadi secara faktual. Artinya, ta’wil tidak hanya terbatas pada ta’wil mimpi saja, akan tetapi (Yusuf mampu) menceritakan kejadian sebelum terjadi. Akhirnya, ta’wil bermakna kembali pada yang usul dan juga berarti sampai pada tujuan.

Dari keterangan tersebut, terdapat perbedaan pentingantara tafsir dan ta’wil. Hal itu tercermin bahwa proses penafsiran selalu membutuhkan medium yang diamati mufassir sehingga ia dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya. Sedangkan ta’wil adalah proses yang tidak selalu membutuhkan medium tersebut, bahkan kadang-kadang ta’wil didasarkan pada gerak mental intelektual dalam menemukan asal mula gejala, atau dalam mengamati akibatnya. Dengan kata lain, ta’wil dapat dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara subjek dan objek, sedangkakn proses ini dalam tafsir tidak berlangsung karena melalui medium yang berupa teks bahasa atau suatu penanda. Tafsir terkait dengan aspek-aspek umum yang eksternal dari teks, seperti pengetahuan tentang asbabun nuzul, makkiyyah-madaniyyah, nasikh-mansukh, dll. Semuanya adalah ilmu-ilmu naqliyah yang didasarkan pada riwayat menurut ulama kuno. Dalam ilmu-ilmu tersebut, tidak ada tempat untukberijtihad, selain mentarjih atau mengkopromikannya.

Dari pembatasan ini, ilmu tafsir nampak sebagai ilmu yang menghimpun semua ilmu yang menjadi pengantar bagi ta’wil yang berarti upaya mu’awwil untuk mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya. Maka tafsir adalah bagian dari ta’wil, dan hubungan antara keduanya adalah hubungan antara khash dengan amm, serta hubungan naql dengan ijtihad. Pembedaan ini mengandung satu dimensi penting dari proses ta’wil, yaitu peran pembaca dalam menghadapi teks dan dalam menemukan maknanya. Tetapi peran pembaca bukanlah mutlak, melainkan harus didasarkan pada pengetahuan mengenai beberapa ilmu yang berkaitan erat dengan teks, yang termasuk dalam konsep tafsir. Muawwil harus mengetahui benar tentang tafsir sedemikian rupa sehingga ia dapat memebrikan ta’wil yang diterima terhadap teks, yaitu ta’wil yang tidak menundukkan teks pada kepentinga subjektif, kecenderungan pribadi, dan ideologinya. Inilah ta’wil terlarang dan bertentangan dengan teks baik tersurat maupun tersirat.

Mekanisme Ta’wil
Dalam menjalankan kegiatannya, seorang mufassir harus tetap dalam batas-batas ilmu al-Quran dan bahasa. Ilmu al-Quran berkaitan dengan teks, karena ilmu tersebut membicarakan berbagai aspek teks. Dan ilmu bahasa yang diketahui mufassir adalah tentang bentuk-bentuk morfologis dan semantiknya, hubungan kata kerja dengan petandanya, proses derivasi dan perubahan. Kemudian ilmu nahwu dan i’rab. Meski demikian, dalam teks tetap ada dimensi-dimensi semantik yang lebih dalam dan memerlukan gerak mental intelektual dalam menghadapi teks. Di sinilah ta’wil menjadi penting setelah mufassir dengan sejumlah perangkat ilmiahnya menguras segala bentuk kemungkinan makna yang dapat diungkapkan melalui ilmu-ilmu tersebut. Ta’wil mendakup semua bagian teks, tidak hanya pada yang ambigu atau teks yang kepadatan maknanya sangat tinggi. Ijtihad adalah keharusan praktis yang dituntut oleh perkembangan realitas dan pluralitas masyarakat Islam. Sabda nabi, ‘Perbedaan pendapat di antara umatku adalah suatu rahmat.’

Dalam hal kata yang memiliki dua makna, maka pertama, salah satu dari dua makna tersebut lebih jelas dari yang lainnya. Karenanya harus dimaknai secara dhahir, kecuali ada dalil yang menunjukka bahwa maknanya adalah yang samar, maka harus diterapkan pada makna yang samar tersebut. Kedua, keduanya jelas dan pemakaian keduanya adalah haqiqi. Hal ini ada dua bagian, pertama, asal-usul makna haqiqi kedua makna tersebut berbeda. Jika salah satunya adalah hakiki secara bahasa, sedangkan yang satunya adalah hakiki secara syara’, maka makna syara’ harus didahulukan. Jika kehakikiannya berkisar antara bahasa dan kebiasaan, maka maka makna kebiasaan lebih diutamakan. Atau antara makna syara’ dan kebiasaan, maka makna syara’nya lebih kuat.

Kedua, asal-usul makna hakikinya sama. Jika keduanya saling menafikan, maka harus berijtihad. Namun jika tidak saling menafikan, maka harus dimaknai menurut keduanya. Dalam ta’wil, teks selalu terbuka terhadap pembacaan baru. Meski demikian, pembaca harus tenggelam total dalam dunia teks, sebab tanpa yang demikian, pembaca akan tetap dangkal dan berkutat pada taa’wil yang dibenci. Dasar memahami makna-makna al-Quran adalah dengan tadabbur dan tafakkur. Dan seseorang tidak akan dapat memahami makna wahyu yang sebenarnya. Seseorang tidak akan dapat melihat rahasia-rahahsia ilmu tentang pengetahuan gaib, sementara dalam hatinya terdapat bid’ah danbergelut dalam dosa,atau dalam hatinya ada kesombongan, nafsu, cinta dunia, atau imannya yang sebatas kata-kata, atau kurang kuat daya nalarnya, atau hanya mendasarkan pada nalarnya.

Pembedaan tafsir dan ta’wil memang benar adanya. Akan tetapi menggunakan perbedaan tersebut dengan mengedepankan tafsir, dan mengorbankan ta’wil, pada dasarnya sangat bertendesi ideologis yang didasarkan pada tradisi dan tujuan untuk mendukung status quo lewat upaya memapankan makna teks sebagai hasil ijtihad ulama kuno. Akhirnya, muawwil (orang yangmena’wilkan) harus bersandar pada kepentingan mayoritas umat, dan menyuarakan kepentingan tersebut. Ia tidak hanyaharus menguasai ilm-ilmu naqliyah tradisional, tetapi juga ilmu-ilmu bantu dalam memahami realitas, menangkap gerak perubahan dan perkembangan dalam menyikapi realitas dan kekuatan-kekuatan yang saling bertarung.
===============================================================

*Disarikan dari: Abu Zaid, Nasr Hamid, ‘Tekstualitas al-Qur’an, Kritik terhadap Ulumul Qur’an’, Yojakarta: LKiS.

No comments: