Thursday, April 10, 2008

Kontekstualisasi al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi sumber utama hukum dan ajaran Islam yang mengajak kepada manusia untuk menghambakan diri kepada Pencipta. Ia diturunkan selama 23 tahun, sebagai mu’jizat Nabi Muhammad dimana tidak ada seorangpun yang dapat menandingi al-Qur’an. Ia adalah penyeimbang akidah, syari'at, dan akhlak yang mulia. Sedangkan manusia adalah makhluk yang terhormat di sisi Allah. Dia dikaruniai oleh Allah dengan kemampuan fisik dan rasio, di samping juga ada nafsu yang harus dijaga. Di sisi lain, manusia adalah abdu, hamba Allah, yang memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan berdasar ketentuan dan kemampuan ikhtiar. Sejauh manusia memenuhi kewajiban tersebut, maka ia tetap berada dalam keistimewaan di sisi-Nya.

Di samping itu, manusia adalah khalifatullah. Ia diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Tugasnya adalah imaratul ardh atau memakmurkan bumi, di samping ibadatullah. Dan memakmurkan bumi ini adalah sebagai cara ibadatullahi untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Maka masyarakat dalam al-Quran adalah masyarakat ibadah dan ‘imarah, dimana keduanya saling berkaitan. Hal itu secara nyata telah dipraktekkan oleh Nabi ketika baru saja tiba ke Madinah dalam hijrahnya. Dua bangunan pertama yang beliau bangun adalah Masjid Quba dan pasar. Karenanya, tidak seharusnya ada kesenjangan antara masjid dan pasar, antara ibadah dan bekerja.

Dalam perubahan, al-Quran menempatkan manusia sebagai objek sekaligus objekknya. Manusia tidak akan berkembang dan berubah jika ia sendiri tidak merubahnya. Keberhasilan proses pembangunan ditentukan oleh sumber daya manusianya. Karennya manusia harus selalu berpacu dalam kebaikan, yang memerlukan dinamika tinggi dan bermutu, wawasan kreatif dan inovatif, serta analisis yang tajam. Semua itu menuntut etos kerja yang tinggi. etos kerja ini dalam al-Qur’an disebut sebagai ibtigha’ fadhlillah atau amal saleh. Al-Qur’an juga menyebut potensi diri manusia yang merupakan penentu dalam kualitasnya. Potensi itu adalah qawiyyun, atau makinun.

Dan ketika pembangunan ekonomi semakin merajalela, maka nilai-nilai religius semakin tersisihkan. Bahkan nilai yang terakhir ini juga diekonomiskan. Dari sinilah bilai-nilai iman dan tawakkal terancam, dan diganti oleh ghurur ad-dunya. Dalam hal ini, al-Qur’an memandang kehidupan dunia sebagai materi yangmenipu. Karenanya, al-Qur’an menawarkan konsep al-wasath dan al-‘adl. Keadilan berarti keseimbangan dalam kehidupan manusia. Takut akan siksa Allah diimbangi dengan optimis akan ampunan dan rahmat-Nya. Dalam mengolah bumi, harus ada keseimbangan sehingga tidak israf (berlebih-lebihan) dan tabdzir (mubadzir). Kehidupan harus didasari semangat keseimbangan antara etos kerja dan tawakal. Etos kerja adalah ikhtiar yangmerupakan sarana. Sedangkan keberhasilannya adalah ditawakkalkan kepada Allah yang adalah penentu keberhasilan tidaknya sesuai dengan qudrah iradah-Nya.

No comments: