Thursday, April 10, 2008

Kisah-kisah dari Kaum Sarungan

Pendahuluan
Setiap komunitas selalu menyimpan kekayaan budayanya tersendiri. Namun persoalannya, tidak semua budaya, yang seringkali teramat esotis itu, dapat diketahui dan ikut serta dinikmati oleh orang yang berada di luar komunitas tersebut. Terlalu banyak kekayaan dan keragaman budaya hanya dinikmati olah para ‘pemiliknya’ sendiri tanpa publikasi ke luar. Kiranya sebabnya sederhana saja, yaitu tidak adanya akses bagi orang lain untuk ikut bergabung dalam menikmati kedalaman budaya tersebut. Tidak adanya akses itu, di antaranya, bisa karena memang dalamnya kekayaan budaya tersebut sehingga tidak dapat dikonsepsikan, tetapi harus dialami sendiri secara langsung, sehingga orang luar merasa kesulitan tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Alam pikiran dan spiritualitas Timur dengan kekayaannya yang melimpah kiranya dapat menjadi contoh baik untuk hal ini.

Bisa juga tiadanya akses bagi orang luar itu lantaran memang tidak atau belum adanya penulis yang konsen terhadap masalah itu, yang bisa terjadi karena belum sadarnya para anngota komunitas akan kekayaan yang mereka miliki sendiri, atau memang karena kendala bahasa; belum adanya ‘orang dalam’ yang mampu untuk melakukan proyek ini. Karena itu, tidak jarang orang yang memperkenalkan kekayaan dan nilai-nilai berharga yang ada pada suatu komunitas adalah orang dari luar, yang setelah mengalami langsung dan hidup bersama dengan anggota komunitas, menemukan nilai-nilai luhur tersebut yang ia rasakan berbeda dengan apa yang terdapat di komunitas lain.

Dan di antara kekayaan budaya itu adalah kisah, cerita, legenda, anekdot, dan sebagainya yang ada pada suatu komunitas. Pesantren, yang oleh Abdurrahman Wahid disebut sebagai subkultur yang ada di Indonesia, adalah bagian dari kebudayaan yang lama tidak terekspos sebelum akhirnya ikut meramaikan jagad kebudayaan Indonesia sekarang. Banyak dari kekayaan budaya yang dimilikinya tidak terbaca oleh orang luar lantaran memang tidak adanya akses untuk itu. Tidak banyak para santri, sebutan untuk orang-orang yang sedang atau pernah tinggal di sana, memiliki kemampuan untuk mengekspresikan kekayaan dan melimpahnya budaya yang mereka miliki. Mereka mahir dan atraktif dalam sastra Arab, tetapi sedikit yang memahami sastra bangsanya sendiri, sastra Indonesia.

Di antara sedikit orang yang berusaha untuk terus mengekspresikan dan menampilkan kebudayaan pesantren ini adalah A. Mustofa Bisri. Kredibilitasnya sebagai seorang santri tidak ada yang meragukan. Selain menghabiskan masa studinya di berbagai pesantren, dia adalah anak seorang kiai besar dan berpengaruh di Jawa, Kiai Bisri Mustofa. Dan Lukisan Kaligrafi, kumpulan cerpen pertamanya ini, adalah salah satu usaha untuk mengenalkan dunia pesantren kepada kalayak umum melalui kisah-kisah yang ada di dalamnya. Pengisahan ini tidak dilakukan oleh orang luar, tetapi dilakukan sendiri oleh orang dari dalam.

Cerita dari pesantren
Inilah sebuah cerpen yang dianggit oleh seorang kiai tentang dunia kiai, santri, pesantren, dan masyarakat Islam bawah yang ada di sekeliling penulisnya. Di situlah letak keistimewaan cerpen ini. Pengalaman penulis sebagai seorang kiai, memungkinkannya mengungkap sisi-sisi lain yang tak terjangkau oleh orang lain yang tidak memiliki posisi yang sama dengannya. Demikian juga dari pengalamannya sebagai seorang santri, membuatnya cukup peka terhadap pengalaman sehari-hari kehidupan santri yang, dalam hal tertentu sangat humoris dan esotis, namun belum ditangkap dengan baik oleh yang lain.

Dilihat dari isi cerita yang ada di dalamnya, Lukisan Kaligrafi tidaklah terlalu istimewa bagi kalangan santri. Banyak dari kisah-kisah yang ada dalam kumpulan cerpen ini adalah kisah-kisah yang diakui kebenarannya oleh para anggota komunitas di sana. Kisah-kisahnya banyak diambil dari konteks lokal yang diceritakan dari mulut ke mulut di berbagai pesantren, namun belum terbukukan. Kisah Gus Jakfar yang keramat dan dapat membaca tanda-tanda, Amplop-amplop Abu-abu tentang Nabi Khidhir yang masih menemui orang-orang sampai masa sekarang, Ndara Mat Amit tentang wali dan kekasih Tuhan yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, dan Mbok Yem tentang keajaiban-keajaiban yang terjadi sewaktu melaksanakan haji di Mekkah. Semua itu adalah kisah yang sudah lumrah dan sangat biasa di kalangan pesantren, namun asing bagi orang yang tidak mengenal dunia santri.

Kisah-kisah semacam itu terlalu biasa di lingkungan santri, akan tetapi tidak ikut dinikmati oleh orang dari luar karena memang tidak adanya akses untuk ke sana. Maka di sinilah letak kelemahan, kalau memang demikian, dari cerpen-cerpen ini. Kebanyakan cerita tidak mengisahkan sesuatu yang baru yang merupakan anggitan asli penulis sendiri, akan tetapi hanya merupakan publikasi atas apa yang sudah ada dan banyak beredar di lingkungannya. Cerpen-cerpen ini adalah cerpen-cerpen ‘sontekan’ karena mengisahkan sesuatu yang sudah ada.

Tetapi di situ pula keistimewaannya. Kisah-kisah yang sangat berlimpah itu tidak banyak terpublikasi ke luar karena memang belum ada orang ‘dalam’ yang mampu untuk mengangkatnya ke luar. Memang ada usaha-usaha yang mengarah ke sana, akan tetapi selalu gagal ‘kualifikasi’ sehingga hasilnya hanya cukup untuk dinikmati para anggota budayanya sendiri. Maka dapat dikatakan, Lukisan Kaligrafi ini adalah usaha pertama yang sukses dalam membawa kekayaan cerita-cerita ini ke hadapan kalayak luas di luar pesantren.

Model cerpen
Berbeda dengan banyak cerpenis lain yang mengandalkan deskripsi sebagai kekuatan tulisannya, hampir seluruh cerpen dalam Lukisan Kaligrafi menggunakan bentuk narasi dan dialog. Tidak banyak ditemukan penggambaran yang njelimet ataupun alur mundur sebagaimana ditemukan dalam banyak cerpen yang lain. Cerita-cerita yang ada di sini diceritakan secara datar, kebanyakan beralur maju, dan diisi dengan banyak dialog antar para tokohnya. Bentuk narasi ini tentu karena sebagian besar cerita yang diangkat memang sudah ada sebelumnya, bukan murni rekaan penulis, sehingga media yang terasa cocok pun adalah narasi.

Seperti dalam karya-karyanya Ahmad Tohari, bahasa yang digunakan penulis di sini adalah bahasa sehari-hari. Bahasa yang digunakan orang kebanyakan dalam bergaul dan tidak ‘ilmiah-akademis’. Selain itu, usaha untuk mengangkat kisah-kisah orang pinggiran dalam karya tulis juga menjadi kesamaan bagi keduanya. Kisah-kisah orang biasa dan keseharian mereka yang sebenarnya memuat nilai-nilai berharga untuk dinikmati dan, lebih dari itu, untuk direnungkan keluhurannya. Tentang kehidupan orang-orang yang ada di sekitar kita namun tidak kita sadari karena keterpukauan kita pada kisah orang-orang ‘besar’ yang kita kagumi.

Pola lain yang banyak terdapat dalam kumpulan cerpen ini adalah kejenakaan yang ada di dalamnya. Hal itu tidak aneh, karena dunia santri memang penuh dengan humor dan kejenakaan. Dan itu berhasil diangkat dengan baik oleh penulis dalam tulisannya. Cerpen Kang Amin adalah contohnya. Seorang santri yang menjadi tangan kanan kiai ini sudah lama memendam perasaaan cintanya pada putri kiainya. Uniknya, semua putri kiainya ini, oleh si Amin, satu persatu di cintainya setelah satu persatu pula meninggalkannya tanpa perasaan apa-apa terhadapnya. Setelah semua kisah cintanya gagal, “ada peristiwa besar yang benar-benar mengejutkan dan menggegerkan. Anda pun pasti tak percaya: Kang Amin kawin dengan Nyai Jamilah, janda Kiai Nur.”

Begitu pula cerpen Mubalig Kondang. Cerpen ini berkisah tentang seorang dai kondang ibu kota yang tenar dan sedang naik daun. Tetapi tidak disangka, di balik semua itu, si dai, KH. Drs. Samsuddin, ternyata adalah Sudin, teman mondok tokoh ‘Aku’ ketika masih di pesantren. Sidin yang nakal, banyak terkena sanksi, dan selalu tidak naik kelas ini ternyata sekarang menjadi pintar ‘menggurui’ orang lain. Suatu cerita yang bisa memberi kesan negatif maupun positif. Negatif, karena di balik kepopuleran dai ini, ternyata ia adalah ‘preman’ di pondoknya. Orang yang menggurui orang lain tetapi dirinya sendiri perlu untuk dinasehati. Positif, karena setiap orang dapat berubah, sebagaimana si dai yang sebelumnya adalah orang nakal, tetapi akhirnya menjadi orang yang saleh dan dapat mengajarkan kebaikan pada orang lain.

Dan satu hal yang sangat kentara dalam cerpen-cerpen ini adalah pesan moral dan religiusnya yang sangat kuat. Bentuk-bentuk dakwah yang penulis selipkan dan bahkan menjadi inti utama cerita banyak dijumpai hampir di seluruh buku ini. Tentu hal ini tidak lepas dari status penulisnya yang adalah seorang kiai. Dalam cerpen pertama, Gus Jakfar, pesan moral dan agama ini sudah langsung kelihatan. Gus Jakfar adalah seorang putra kiai yang memiliki kelebihan dapat membaca tanda-tanda yang ada dalam diri seseorang. Namun ia akhirnya sadar dan tidak menampilkan lagi kelebihan-kelebihan itu kepada orang lain setelah bertemu dengan Kiai Tawakkal. Pesannya jelas, bahwa kelebihan yang ada sebenarnya hanyalah merupakan ujian belaka bagi yang si empunya. Di samping itu, kesalehan dan ketidaksalehan seseorang tidak dapat dinilai dari keadaan lahiriahnya, akan tetapi itu semua adalah masalah batin yang kita semua tidak punya akses ke sana. Hanya Tuhan semata yang dapat mengetahui apakah seseorang itu adalah orang yang baik atau tidak. Karena itu kita tidak dapat mendaku bahwa seseorang akan masuk neraka hanya karena perbuatan lahirnya tidak seseuai dengan kualifikasi baik menurut kita.

Perbuatan lahir tidak menunjukkan kesalehan seseorang. Mbok Yem adalah salah satu contohnya. Dalam cerpen tersebut dikisahkan sepasang suami istri yang mengalami banyak keajaiban ketika sedang melakukan haji. Suaminya dapat kembali setelah hilang dalam kerumunan berjuta-juta orang di Mekkah. Padahal mereka adalah mantan seorang PSK dan pria pelanggan, namun akhirnya tobat bersama-sama. Amplop-amplop Abu-abu juga mengisahkan tentang seorang dai yang sibuk berdakwah dan mengajar orang lain sampai lupa untuk berdakwah dan mengajar dirinya sendiri. Ia mengurusi moralitas orang lain, akan tetapi menjadi lupa pada moralitasnya sendiri. Ia mengajar orang lain untuk tidak rakus terhadap dunia, akan tetapi dia sendiri tidak memiliki waktu selain mengejar hal-hal duniawi.

Di samping pesan moral yang kuat, hal-hal yang berbau mistis dan klenik juga banyak dijumpai dalam kumpulan cerpen ini. Kiranya hal itu wajar, karena penulis hidup dalam dunia yang lekat dengan hal-hal semacam itu. Cerpen Kang Kasanun paling banyak menampilkan segi mistik dan klenik ini. Ia menceritakan tentang Kasanun yang tidak hanya mahir seni bela diri, akan tetapi juga menguasai banyak kesaktian dan ilmu kanuragan. Ia tidak perlu membayar ketika membeli sesuatu di toko, karena ia dapat mengambilnya tanpa diketabui oleh pemiliknya. Tubuhnya dapat menghilang tanpa diketahui oleh orang lain. Namun toh akhirnya ia tobat dan meninggalkan kebiasaan dan kleniknya ini. Sekali lagi, model dakwah masuk lagi di sini. Bagitu juga dengan cerpen Ngelmu Sigar Raga yang berkisah tentang seseorang yang dapat keluar dari tubuhnya, dan akhirnya menjadi lupa akan jati dirinya sendiri. Tokoh ‘Aku’ menjadi lupa terhadap asal-usul, orang tua, bahkan dirinya sendiri karena sibuk akan aktivitasnya sebagai politisi penting di Jakarta.

Benang merah cerita
Setidaknya terdapat dua gagasan utama yang hendak di sampaikan penulis dalam buku cerpennya ini. Yang pertama adalah usaha untuk menampilkan sosok dan kehidupan pesantren, plus kiai dan santrinya, melalui cerita-cerita yang sebenarnya sudah banyak beredar dan sebagian bahkan diakui sebagai kisah-kisah nyata. Sebagaimana dalam penjelasan terdahulu, belum banyak akses bagi orang luar untuk mengetahui dunia pesantren. Maka kehadiran buku ini harus dilihat juga dari segi pengenalan subkultur ini, di samping untuk ikut serta meramaikan sastra Indonesia umunya.

Yang kedua adalah gagasan tentang Islam yang moderat, ramah, dan biasa-biasa saja. Secara historis, cerpen-cerpen yang ada di dalam Lukisan Kaligrafi ini adalah karya penulis dalam rentang waktu antara tahun 2002 sampai 2003. Masa-masa tersebut, begitu pula sampai sekarang, adalah masa yang buruk bagi Islam. Agama ini dicitrakan oleh dunia sebagai agama yang tidak manusiawi. Di situ, perang Afganistan dan Irak, yang diawali dengan penyerangan WTC terjadi. Di situ pula bom-bom bunuh diri banyak menimpa Indonesia secara khusus. Semua itu tentu tidak lepas dari pola perilaku kegamaan sebagian umat Islam sendiri yang ekstrim dan tidak toleran, di samping persepsi awal yang sudah negatif terhadap Islam.

Maka cerpen ini adalah sebuah dakwah untuk menampilkan dan mengajarkan Islam yang damai dan tidak ekstrim dari penulisnya. Islam bukanlah agama yang radikal dan tidak menaruh penghargaan terhadap orang lain. Penulis mau menampilkan Islam sebagai agama yang mengajarkan sikap yang toleran, ramah, dan tidak ekstrim dalam bertindak. Bahwa ekspresi luar keagamaan bukanlah aspek yang menjadi penekanan setiap agama, akan tetapi keluhuran budi dan batin yang ada dalam diri seseoranglah yang menjadi objek dan ukuran kesalehan. Kesalehan ritual bukanlah ukuran bagi keberagamaan seseorang. A. Mustofa Bisri mau menampilkan substansi Islam yang sebenarnya penuh dengan kedamaian, dan mengkritik umat Islam sendiri yang banyak menyimpang dari ajarannya, dengan bertindak ekstrim dan sering menyalahkan sesama saudaranya sendiri.

Autokritik ini dapat dengan jelas kita jumpai dalam Bidadari Itu Dibawa Jibril. Ia berkisah tentang seorang aktivis Islam yang mudah menjatuhkan status murtad dan sesat pada sesama umat Islam. Semua orang yang tidak sepaham dan sealiran dengannya dia kritik dengan keras dan ia masukkan dalam kategori sesat. Tetapi ternyata dari pola keberagamaannya yang kaku ini, ia toh terjerumus pula dalam aliran yang sama sekali tidak rasional. Aliran Jibril yang turun ke bumi dan menyuruh pengikutnya untuk membakar diri guna membersihkan diri dari dosa.

Demikian pula dengan cerpen Gus Jakfar yang mengajak orang untuk tidak cepat-cepat menempelkan stempel buruk pada orang lain hanya karena penampilan lahirnya yang kurang baik. Ukuran kesalehan bukanlah tanda-tanda lahirnya, akan tetapi dalam hatinya. Ada sisi-sisi terdalam yang tidak dapat kita lihat pada orang lain. Dan hanya Tuhanlah yang mengetahui dengan persis akan hal tersebut. Mengklaim dapat mengetahui keselamatan dan status seseorang di mata Tuhan tidak ada bedanya dengan mengaku diri sebagai Tuhan, karena telah mengambil alih hak-Nya dalam menentukan keselamatan seorang hamba.

Adapun cerpen Gus Muslih bercerita tentang seorang dai muda yang ingin membarui dan menampilkan agamanya dengan semangat jamannya. Namun ia harus berkonfrontasi dengan orang-orang tua yang konserfatif dan tidak mengharapkan pembaruan keagamaan. Kiranya penolakan ini jelas, karena pembaruan berarti menghilangkan status dan keistimewaan kalangan tua yang selama ini mereka nikmati. Sebuah kritik yang sebenarnya berlaku juga bagi setiap agama.

Adapun Lukisan Kaligrafi, cerpen yang dijadikan judul buku ini, berkisah tentang kebodohan kalayak umum tentang lukisan kaligrafi yang sebenarnya ‘tidak bernilai seni’, namun mereka apresiasi dengan begitu rupa hanya karena promosi yang menggiurkan. Sebuah kritik bagi kita yang seringkali terbuai oleh iklan dan promosi dan menjadi lupa akan nilai dan esensi dari barang yang dipromosikan itu sendiri.

Penutup
Cerita-cerita tersebut memang kisah yang berasal dari pesantren. Namun, meski berasal dari suatu kebudayaan yang tertentu, isi dan pesan yang mau disampaikan telah melampaui batas-batas kulturnya. Itu semua adalah kisah yang memuat ajaran cinta dan kedamaian universal yang lintas batas. Karena itu, buku cerpen ini kiranya tidak hanya baik untuk kita renungkan pesan-pesan moralnya, namun juga baik untuk menjadi cerita pengantar tidur bagi anak-anak kita, yang otaknya semakin dipenuhi oleh tokoh-tokoh imajiner rekaan asing dan tidak ‘membumi’. Selamat membaca.

Tentang buku:
Judul : Lukisan Kaligrafi
Pengarang : A. Mustofa Bisri
Penerbit : Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2003
Tebal : ix + 134 hlm.

No comments: