Tuesday, August 4, 2009

Superioritas Wakil Rakyat

A. Biografi singkat

Lahir pada tahun 1588 di Malmesbury, Inggris, Hobbes hidup pada masa yang kejam dan berdarah dalam sejarah Inggris. Waktu Hobbes lahir, Ratu Elisabeth I menundukkan golongan Katolik di Irlandia dan Skotlandia dengan kejam. Setelah inggris dikuasai oleh Stuart, Inggris terpecah antara gereja Anglikan resmi, kaum puritan, dan Katolik; serta pertikaian antara raja dan parlemen. Hobbes sendiri sedikit banyak ikut terlibat dalam konflik politik ini.


Tahun 1651 terbit Leviathan yang membuat nyawanya terancam karena memuat kritik atas Gereja Anglikan. Tahun 1679 Hobbes meninggal dengan relatif tenang, karena telah berdamai dengan penguasa waktu itu.

B. Latar belakang Leviathan

Situasi sosial-kenegaraan semasa Hobbes hidup, yang penuh dengan gejolak dan pertikaian, ikut berandil besar dalam mempengaruhi filsafat politiknya. Seakan ia terobsesi oleh pertanyaan: bagaimana masyarakat dapat diatur sedemikian rupa sehingga kekacauan tidak lagi terjadi sebagaimana yang telah ia alami?

C. Asumsi dasar tentang manusia

Dari pengamatannya, Hobbes berkesimpulan:
1. Tidak mungkin menata masyarakat dengan berdasarkan pada prinsip normatif.
2. Masyarakat hanya dapat ditata dengan melepaskan pengaruh emosi dan nafsunya, yaitu dengan metode ilmu ukur yang bersifat pasti.

Kesimpulan yang terkait dengan dua asumsi tersebut adalah bahwa seluruh tindakan manusia dapat dikembalikan pada satu dorongan saja: perasaan takut pada kematian atau naluri untuk mempertahankan diri.

“Dari semua gairah, yang paling kecil mendorong manusia untuk melanggar hukum adalah ketakutan. Sungguh, kecuali beberapa sifat kebajikan, inilah satu-satunya hal, yang membuat manusia menjaga diri mereka.” [Bab 27 hlm. 343]

D. Terbentuknya negara

Keadaan alami yang bebas membuat tak seorang pun berwewenang mengatur lainnya. Karenanya mereka hidup dalam persaingan satu sama lain. Tak ada yang tidak adil di sana, karena tidak adanya hukum. Dengan demikian manusia adalah serigala bagi sesamanya, homo homini lupus.

“Dalam perang semacam ini, tidak ada yang tidak adil…… Gagasan tentang benar dan salah, keadilan dan ketidakadilan, di sana tidak memiliki tempat. Di mana tidak ada kekuatan bersama, maka tidak ada hukum. Dan di mana tidak ada hukum, maka tidak ada keadilan.” [Bab 13]

Sebelum lahirnya negara, tidak ada konsep keadilan dan ketidakadilan, karena hukum, sebagai acuan keadilan, belum terbentuk. Tidak adanya otoritas membuat semua subjek/orang bebas untuk berbuat.

[15] “Orang berkenalan dengan arti adil dan tidak adil baru di dalam negara.”

Dari keadaan kacau inilah terlahir kontrak antar individu untuk membentuk negara.

“Aku menyerahkan hakku untuk memerintah diriku sendiri, kepada manusia ini atau masyarakat ini, dengan syarat bahwa engkau juga menyerahkan hakmu atas dirimu sendiri kepadanya. Jika ini dijalankan, di mana banyak orang dipersatukan dalam satu orang, disebut sebagai persemakmuran, dan dalam bahasa Latin civitas (negara, penj). Dengan cara itulah terjadi leviathan yang dahsyat itu, atau – sebutlah – Allah yang dapat mati.” [Bab 17 hlm. 227]

E. Hak-hak para wakil rakyat

Di sini wakil rakyat saya gunakan untuk menyebut para pemegang kedaulatan, yang oleh Hobbes bisa berarti satu orang atau banyak orang, yang adalah negara itu sendiri.

Kutipan di atas [Bab 17 hlm. 227] menunjukkan bahwa perjanjian/kontrak terjadi bukan antara para invidu dengan negara, akan tetapi antar individu sendiri untuk membentuk negara. Karenanya negara bukanlah peserta pembuat perjanjian, melainkan hasil dari perjanjian itu sendiri! Maka konskuensinya jelas: negara tidak terikat perjanjian dan karena itu apapun yang dilakukan negara tidak akan melanggar hukum. Karena hukum hanya mengikat para peserta kontrak saja. Dan negara bukan patner dalam kontrak.

“Melalui pendirian negara ini, setiap orang adalah pencipta dari segala hal yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan. Konskuensinya, siapa yang mengeluhkan kerugian dari pemegang kedaulatan, berarti mengeluhkan apa yang ia ciptakan sendiri. Dan dengan demikian sebaiknya ia tidak menghujat siapapun kecuali dirinya sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

a. Dari ketidakterikatan dengan perjanjian ini, pemegang kedaulatan memiliki hak-hak istimewa (hak-hak esensial kedaulatan):

1. Subjek/rakyat tidak dapat mengubah bentuk pemerintahan, karena semua urusan pemerintahan sudah diserahkan kepada para wakilnya, dan dengan demikian semua menjadi urusan para wakil. Dan bentuk pemerintahan tergantung pada selera pemegang kedaulatan.

“Masing-masing dari mereka telah memberikan kedaulatan kepada orang yang mengurusi mereka, dengan demikian, jika mereka menyingkirkannya, maka mereka mengambil apa yang menjadi milik sendiri, dan itu merupakan ketidakadilan.” [Bab 18 hlm. 229]

2. Kekuasaan penguasa tidak dapat dihilangkan. Kekuasaan ini penting karena sebagai penjaga kedamaian dan mencegah terjadinya pertikaian masyarakat, sebagaimana tujuan semula, sehingga state of nature tidak muncul kembali.

“Seandainaya seseorang yakin terhadap adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pemegang kedaulatan, dan yang lain yakin bahwa tidak ada pelanggaran, maka dalam kasus semacam ini (keadaan di mana tidak ada kekuasaan pemegang kedaulatan, penj) tidak ada hakim yang dapat memutuskan, dan keadaan akan kembali lagi ke pedang.” [Bab 18 hlm. 230]

3. Tak seorang pun tanpa ketidakadilan dapat memprotes institusi pemegang kedaulatan yang telah dideklarasikan. Karena siapa saja yang mempermasalahkan pemegang kedaulatan, berarti ia telah berbuat tidak adil.

“Karena pihak mayoritas lewat suara-suara persetujuannya telah mendeklarasikan satu pemegang kedaulatan, seseorang yang berkeberatan harus menyetujuinya sebagaimana orang lain.” [Bab 18 hlm. 231]

4. Tindakan pemegang kedaulatan tidak dapat dihujat. Karena menggugatnya berarti menggugat tindakan yang ia lakukan sendiri. (kutipan telah dikutip di atas, bab 18 hlm. 232)

5. Pemegang kedaulatan tidak akan terkena hukuman karena tindakannya. Karena yang ia lakukan sudah pasti adil. Selain itu ia juga tidak terikat kontrak.

“Tak seorang pun dari pemegang kedaulatan dapat dihukum dengan adil. Dengan melihat bahwa subjek adalah pencipta tindakan-tindakan dari pemegang kedaulatan, maka ia menghukum orang lain atas apa yang ia perbuat sendiri.” [Bab 18 hlm. 232]

“Bahwa seseorang yang dijadikan penguasa tidak membuat perjanjian dengan subjek-subjeknya sejak dini adalah jelas,” [Bab 18 hlm. 230]

Bagi Hobbes, keadilan adalah apa yang sesuai dengan hukum. Dan hukum, yang dibuat para pemegang kedaulatan, dengan sendirinya sudah pasti adil. Karena itu tindakan negara tidak mungkin tidak adil.

6. Pemegang kedaulatan berhak untuk memutuskan apa yang dibutuhkan demi kedamaian dan ketahanan subjek-subjeknya (warga masyarakat).

“Adalah hak orang atau majelis yang memegang kedaulatan untuk memutuskan cara-cara kedamaian dan pertahanan, kendala-kendala dan gangguan-gangguannya…” [Bab 18 hlm. 232]

b. Hak-hak yang lain:
Hak memutuskan doktrin yang tepat untuk diajarkan kepada rakyat. Hanya pemegang kedaulatan yang berhak dan memiliki otoritas untuk menentukan mana doktrin yang benar dan mana yang salah.

“Melekat pada kedaulatan untuk memutuskan opini-opini dan doktrin-doktrin apa yang ditentang, serta apa yang membawa pada kedamaian, dan konskuensinya pada peristiwa apakah, dan seberapa jauh, serta manusia macam apa yang harus dipercaya untuk berbicara di depan rakyat banyak…..[Bab 18 hlm. 233]

Hak untuk membuat undang-undang (hlm. 234).
Hak untuk mengelola keadilan (hlm. 234).
Hak untuk melakukan perang dan kedamaian (hlm. 234-235).
Hak untuk memilih penasehat, menteri, dan pejabat (hlm. 235).
Hak untuk memberi imbalan dan hukuman (hlm. 235).
Hak untuk memberi gelar-gelar kehormatan (hlm. 235-236).

F. Kewajiban-kewajiban pemegang kedaulatan

Dalam menjalankan kekuasaannya, pemegang kedaulatan juga tidak lepas dari kewajiban-kewajiban yang harus mereka jalankan.
Kewajiban-kewajiban itu, menurut Hobbes, dalam bab 30 Leviatannya, adalah:
1. Memelihara hak-hak esensial dari kedaulatan (hlm. 376-377)
Hak-hak esensial itu harus tetap mereka jaga untuk memungkinkan mereka tetap berkuasa.

2. Kewajiban untuk mengajar rakyat [hlm. 377-385] perihal:
Hak-hak esensial dari kedaulatan.
Untuk tidak mempengaruhi perubahan pemerintahan.
Untuk tidak taat pada tokoh-tokoh populer.
Untuk tidak mempertikaikan kekuasaan pemegang kedaulatan.
Untuk menghormati orang tua-orang tua mereka.
Menjalankan semua itu dengan tulus.

3. “Kewajiban untuk membuat undang-undang yang baik” [hlm. 387-389].
Hobbes membedakan antara undang-undang yang baik dengan undang-undang yang adil. Setiap undang-undang dengan sendirinya adalah adil. Dan undang-undang yang baik adalah undang-undang yang perlu (bagi kesejahteraan rakyat) dan bersifat jelas.

4. Kewajiban untuk memelihara keadilan yang setara di antara warga (hlm. 385).

5. Kewajiban untuk menarik pajak secara setara (hlm. 386) dan memilih komandan tentara yang loyal dan populer (hlm. 393).

6. Kewajiban untuk memilih penasehat yang baik (hlm. 391).

7. Kewajiban untuk menerapkan hukuman dan imbalan yang benar (hlm. 389).

8. Kewajiban untuk tidak memihak pada yang besar, karena hal itu akan menimbulkan peberontakan (hlm. 385).

Para komentator Hobbes mengatakan bahwa para pemegang kedaulatan dalam negara Leviathan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap rakyat. Hal itu, hemat saya, benar sejauh yang dimaksudkan sebagai kewajiban adalah kewajiban murni para pemegang kedaulatan kepada rakyat sebagai konskuensi dari kontrak. Maka benar adanya jika tidak ada kewajiban di sana, lantaran para wakil tidak ikut serta dalam perjanjian, sehingga tidak terikat dengannya.

Akan tetapi, terhadap diri mereka sendiri, para wakil rakyat jelas memiliki kewajiban, yaitu tindakan-tindakan yang harus mereka jalankan agar kedaulatan dan kekuasaan tetap berada dalam genggaman mereka.

Maka kelihatan bahwa sebagian besar kewajiban-kewajiban tersebut pada dasarnya adalah hak para pemegang kedaulatan itu sendiri, dan sedikit sekali yang benar-benar merupakan kewajiban yang harus dilakukan murni demi kepentingan rakyat. Akan tetapi hak-hak ini, oleh Hobbes, dianggap sebagai kewajiban, lantaran tanpa itu semua kedaulatan yang mereka genggam akan menjadi hilang. Maka yang terjadi adalah kewajiban terhadap kepentingan pemegang kedaulatan. Atau kewajiban demi diri mereka sendiri.

G. Kendali terhadap kesewenang-wenangan wakil rakyat

Negara Hobbes terlihat sebagai sewenang-wenang, karena semuanya tergantung pada pemegang kedaulatan. Tetapi bagaimana agar pemegang kedaulatan ini tidak menyelewengkan kekuasaannya?

Bagi Hobbes, ada dua macam penghalang bagi kesewenang-wenangan ini:
1. Kesadaran penguasa sendiri. Ia harus seadil Tuhan. Karenanya rakyat hanya dapat mengharapkan, tetapi tidak dapat menuntutnya.
2. Adanya hak alamiah setiap warga. Masyarakat menyerahkan haknya kepada pemegang kedaulatan dengan tujuan agar mereka dapat hidup damai. Karena itu, jika penguasa bertindak sewenang-wenang, maka tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tunduk pada penguasa.

H. Kesimpulan

Negara Hobbes memang mutlak wewenangnya dan tanpa tanding, akan tetapi tidak begitu saja bebas untuk berbuat sewenang-wenang dan jahat. Karena para penguasa juga memiliki kepentingan terhadap baiknya keadaan masyarakat mereka, dan pengaturan yang baik akan dapat menangkal konflik dan pemberontakan.

“Karena tiada raja yang dapat menjadi kaya, mulia, ataupun aman, apabila subjek-subjeknya miskin, hina, terlalu lemah untuk dimintai, atau tidak sepakat untuk melakukan peperangan terhadap musuh-musuhnya.” [Bab 19 hlm. 241]

Namun di sinilah terletak kontradiksi dalam pemikiran Hobbes. Di satu sisi ia mengatakan bahwa pemegang kedaulatan tidak memiliki kewajiban apapun terhadap para subjek karena tidak terikat kontrak, dan kekuasaan mereka tidak dapat dihilangkan. Namun di sisi lain mereka juga memiliki kewajiban untuk berbuat baik terhadap rakyat, karena jika tidak demikian maka rakyat akan memiliki alasan untuk melawan kedaulatan mereka. Tidak wajib tetapi juga wajib (?)

I. Pustaka

Hardiman, F. Budi, Filsafat Politik, Membangun Pemikiran Politis Melalui Interpretasi Karya-Karya Klasik, Diktat Kuliah 2008.

Hobbes, Thomas, Leviathan, ed. C. B. MacPherson, Harmondsworth: Penguin, 1986.

Magnis-Suseno, Franz, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia, 2003.

No comments: