Friday, April 22, 2011

Patokan Moral menurut Immanuel Kant

Seorang anggota dewan dari sebuah partai yang mengklaim sebagai partai ‘bersih’ kepergok menonton video porno di tengah sidang paripurna. Dan di tengah kesulitan rakyat kecil memenuhi kebutuhan dasarnya, para anggota DPR bersikukuh untuk membangun gedung mewah sebagai kantor barunya. Terhadap dua peristiwa yang sampai sekarang masih hangat tersebut, rakyat mencibir mereka sebagai wakil rakyat yang tidak bermoral.

Di negeri kita, negeri Timur nan ‘agamis’, kebutuhan untuk bermoral atau berakhlak baik hampir sama pentingnya dengan kebutuhan dasar untuk hidup. Sejak kecil anak sudah diajari agar bermoral yang baik. Murid sekolah dasar sampai mahasiswa di perguruan tinggi tak pernah luput dari serbuan ceramah moral. Mau melamar kerja maupun melamar pasangan hidup pun mensyaratkan moral yang baik. Bahkan sampai mati pun moral seseorang masih menjadi perbincangan di antara mereka yang hidup.

Moral atau akhlak berarti ajaran tentang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak diperkenankan, mana yang pantas dan tidak layak. Biasanya kita mendapatkan ajaran moral dari orang tua, guru agama, atasan, atau orang-orang yang kita anggap [atau menganggap diri mereka sendiri] memiliki kelebihan daripada kita. Sedangkan ajaran-ajaran moral tersebut biasanya bersumber dari ajaran agama, adat-istiadat, kitab-kitab, serta kepercayaan dan keyakinan yang dianut.

Namun benarkah jika kita melakukan sebagaimana yang dianjurkan oleh orang tua atau guru agama lantas membuat kita menjadi orang yang bermoral? Benarkah rajin ibadah, suka membantu mereka yang lemah, mematuhi peraturan yang ada, dst, otomatis membuat kita menjadi orang yang baik? Apakah jika kita berbohong atau tidak menepati janji lantas menjadikan kita sebagai orang yang tidak berakhlak?

Etika Kant

Kalau pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan kepada Kant, dengan tegas ia akan menjawab: belum tentu! Immanuel Kant adalah salah satu filsuf besar yang dilahirkan sejarah. Pemikiran filsuf Jerman kelahiran 22 April 1724 ini masih terus dikaji dan diminati sampai saat ini. Filsuf yang membujang sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun ini banyak memberikan pengaruh tidak hanya kepada orang-orang yang seagama dengannya, yakni Protestan, tetapi juga para pemikir dari bermacam dan beragam agama dan kepercayaan serta yang tidak beragama sekalipun.

Menurut Kant, ada tiga patokan untuk menentukan apakah perbuatan seseorang dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau tidak. Tiga hal ini dalam pemikiran etika Kant masuk dalam syarat-syarat imperatif kategoris, yaitu perintah mutlak yang wajib kita patuhi. Ketiga patokan tersebut adalah prinsip hukum umum, prinsip hormat terhadap person, dan prinsip otonomi.

Pertama, sebuah tindakan dapat disebut sebagai tindakan yang bermoral apabila tindakan tersebut berdasarkan pada prinsip hukum umum. Prinsip hukum umum itu berbunyi sebagai berikut: ”Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum”. Yang dimaksud dengan maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang merupakan patokan individu dan personal. Maksim dibedakan dari ‘hukum’, yang adalah prinsip objektif yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali.

Maksud Kant dengan prinsip hukum umum tersebut sebenarnya begini: untuk mengetahui apakah tindakanku itu wajib aku lakukan atau tidak, maka aku harus bertanya apakah maksimku dapat diuniversalisasikan atau tidak. Jika prinsip atau maksimku itu dapat diuniversalisasikan alias dapat diterapkan untuk semua orang, maka tindakanku itu wajib aku lakukan. Tapi jika tidak dapat diuniversalisasikan, maka aku tidak wajib melakukan tindakan tersebut.

Sebagai contoh adalah sebuah kasus di awal tulisan ini, yaitu seorang anggota dewan yang menonton video porno di waktu sidang paripurna DPR karena merasa tidak ada yang memperhatikannya. Bagi anggota dewan ini, maksim/prinsip yang ia pakai adalah sbb: “Jika saya sedang mengikuti sidang paripurna, dimana masing-masing anggota dewan sibuk dengan perhatiannya masing-masing, maka saya akan menggunakannya untuk menonton video porno”. Nah untuk mengetahui apakah tindakannya ini wajib dilakukan atau tidak, maka ia harus bertanya apakah prinsip/maksim yang ia gunakan itu dapat diterapkan secara universal kepada semua orang atau tidak.

Untuk contoh kasus di atas, tentu saja jawabannya tidak bisa. Sebab andai saja maksim yang ia pakai tersebut digunakan oleh semua anggota dewan, maka tujuan sidang tidak akan tercapai. Hal ini karena setiap anggota dewan, lantaran merasa tidak ada yang memperhatikannya, akan menonton video porno di setiap sidang paripurna. Dan kalau ini yang terjadi, tentu sidang paripurna DPR tidak akan terlaksana dan justru kekacauan yang muncul. Karena maksim tersebut tidak dapat diuniversalisasikan, maka tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.

Syarat kedua agar tindakan kita bisa dikategorikan sebagai tindakan bermoral adalah penghormatan terhadap person. Prinsip ini berbunyi: ”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia, entah itu di dalam personmu atau di dalam person orang lain, sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana”. Prinsip ini mau mengatakan dua hal. Pertama, aku tidak boleh menjadikan diriku sendiri ataupun diri sesamaku sebagai sarana belaka. Kedua, dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan moral, kita wajib memperhatikan pihak lain.

Contoh dari prinsip kedua ini adalah tindakan orang yang akan bunuh diri karena beratnya beban yang ia tanggung. Menurut Kant, sebelum orang tersebut melakukan bunuh diri, ia harus bertanya dulu: apakah tindakan bunuh diri ini sesuai dengan prinsip hormat kepada manusia atau tidak? Apabila ia bunuh diri untuk lepas dari penderitaan, maka mungkin saja ia tidak merugikan orang lain. Tetapi tidak dengan dirinya sendiri. Sebab melakukan bunuh diri berarti ia tidak menghormati personnya sendiri, dan hanya memperlakukannya sebagai sarana untuk melepaskan penderitaan. Karenanya jelas tindakan ini tidak boleh dilakukan.

Prinsip ketiga yang membuat sebuah tindakan disebut sebagai tindakan bermoral adalah prinsip otonomi. Prinsip ini mengatakan: “Bertindaklah sedemikian rupa dimana kehendak dari dirimu sendirilah yang menentukan tindakan tersebut”. Maksud dari prinsip ini adalah semua tindakan yang kita lakukan harus murni karena kehendak dan keinginan kita sendiri, bukan karena pengaruh apalagi paksaan dari orang lain. Kant menyebut prinsip ini dengan ‘kehendak otonom’, yaitu kehendak yang mau melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang ditentukannya sendiri. Lawan dari kehendak otonom adalah kehendak heteronom, yaitu melakukan sesuatu bukan karena kehendak kita sendiri, tetapi demi hukum di luar hukum orang tersebut, seperti karena ikut-ikutan orang lain.

Seturut dengan prinsip ketiga ini, Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Legalitas adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban/hukum. Legalitas merupakan tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan demi kepentingan tertentu yang terpuji atau menguntungkan. Misalkan saja ada seorang penjual yang tidak mau menipu pembelinya. Menurut Kant, tindakan penjual tersebut belum tentu bermoral. Karena bisa jadi ia melakukan itu bukan karena tindakan itu baik, tetapi agar pembelinya terus menjadi pelanggannya. Kalau demikian adanya, maka tindakan penjual tersebut tidak masuk kategori bermoral, tetapi hanya legal saja.

Sedangkan moralitas adalah tindakan yang dilakukan demi untuk kewajiban. Tindakan ini mengesampingkan unsur-unsur subjektif seperti kepentingan sendiri, melainkan berpedoman pada kaidah objektif yang menuntut ketaatan kita begitu saja, yaitu hukum yang diberikan oleh rasio dalam batin kita.

Korelasi

Itulah tiga syarat imperatif kategoris yang dijadikan Kant sebagai patokan moral. Jika sebuah tindakan tidak memenuhi satu dari ketiga prinsip tersebut, maka otomatis tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang bermoral. Tindakan yang tidak bermoral berarti tindakan yang tidak memiliki nilai moral di dalamnya, yang dalam bahasa agama berarti tindakan yang tidak berpahala.

Umat Kristiani sangat berhutang besar kepada Kant dalam merumuskan etika. Karena dari prinsip ketiga, yaitu prinsip otonomi, berkembanglah apa yang disebut dengan suara hati, yaitu kesadaran moral dalam situasi konkret. Konsep suara hati ini memiliki posisi penting dalam etika Kristiani. Suara hati adalah kesadaran dalam batin saya bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Dan dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya sebagai manusia. Dan hanya saya sendirilah yang dapat dan berhak untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Suara hati menegaskan bahwa hanya saya, bukan orang lain, yang memutuskan tindakan saya, meskipun dipengaruhi oleh banyak pertimbangan luar. Saya lah penentu dan penanggungjawabnya.

Meski demikian, suara hati juga dapat ditemukan dalam kazanah keilmuan Islam, yang lazim kita sebut dengan hati nurani [nur ‘aini], kendati belum dikembangkan secara maksimal oleh para sarjana Muslim. Sabda Nabi, “Istafti nafsaka”, mintalah nasehat pada hati nuranimu. Di sini Nabi menegaskan, dalam menentukan sebuah tindakan, kita diperintah agar bertanya pada hati nurani kita yang terdalam, apakah tindakan tersebut baik atau tidak.

Dalam bahasa agama, konsep moralitas dan legalitas dari Kant dapat kita sebut sebagai ikhlas dan tidak ikhlas. Moralitas yang berarti melakukan sebuah tindakan murni demi sebuah kewajiban dan nilai kebaikan dari tindakan itu, tidak jauh berbeda dengan konsep ikhlas. Sedangkan lawannya, legalitas, berarti tidak ikhlas yang bisa jadi riya/pamer atau lainnya.

Dan dari konsep moralitas dan legalitas ini pula menjadi jelas bahwa yang menentukan suatu tindakan menjadi bermoral atau tidak adalah maksud/niyat pelakunya. Sebuah tindakan bisa kelihatan baik, tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot moral karena pelakunya memiliki niyat yang lain. Konsekuensi dari ajaran etika Kant ini adalah kita tidak bisa menilai sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Kita tidak akan bisa mengetahui apa maksud dan niyat seseorang melakukan sebuah tindakan tertentu.

Karena itu, setiap penilaian bahwa orang lain adalah seorang pendosa, terkutuk, pantas masuk neraka, dsb, adalah sebuah kemunafikan yang justru menunjukkan sifat-sifat tersebut kembali kepada pengucapnya. Hanya pelakunya sendiri dan Tuhan saja yang tahu apa motif dan tujuan dari sebuah tindakan. Karenanya, memberikan penilaian-penilaian tersebut kepada sesama manusia sama saja artinya dengan merebut hak preogratif Tuhan. Sebuah tindakan yang dalam Islam disebut dengan syiri’.

1 comment:

Anonymous said...

referensi nya apa ya mas??
yang tentang kant.
trima kasih