Monday, May 9, 2011

Tehnik Mempertahankan Kekuasaan a la Machiavelli

“Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.” [Niccolo Machiavelli]

***********

Mereka yang tertarik dengan politik atau pemikiran politik pasti mengenal Machiavelli. Dalam kedua bidang tersebut, pemikirannya banyak dikutip dan terus menjadi pembahasan sampai sekarang. Wajar, ia adalah salah satu pemikir besar dalam bidang politik yang dengan baik direkam oleh sejarah.

Machiavelli lahir di Italia pada tahun 1469 ketika metode ilmu pengetahuan alam modern ditemukan dan dikembangkan [Renaisans]. Orang tuanya adalah seorang bangsawan dan pengacara kaya di daerahnya. Selain berpendidikan tinggi, ia juga memiliki jabatan yang cukup prestisius di pemerintahan. Ia adalah penasihat pribadi Cesare Borgia, seorang yang sangat ambisius dan gila kekuasaan di Florence. Namun karir politiknya hancur karena dikuasainya Florence oleh Medici yang sangat membencinya. Oleh penguasa yang baru ini, ia dijebloskan ke penjara selama setahun sebelum akhirnya mendapatkan amnesti. Ia lalu menyingkir dari dunia politik dan menuliskan hasil pengamatan dan pengalamannya selama berkarir di dunia politik dalam sebuah buku yang sangat terkenal, Il Principe [Sang Pangeran].

Tehnik-tehnik mempertahankan kekuasaan

Apa yang akan saya uraikan di bawah adalah pemikiran-pemikiran Machiavelli yang terdapat di dalam buku Il Principe. Buku ini terbit tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya di tahun 1527. Di dalam buku ini, ia membahas banyak hal yang di antaranya sejarah dan bentuk-bentuk pemerintahan, keberuntungan dalam kekuasaan, militer, tehnik-tehnik kekuasaan, jatuhnya pemerintahan, dan negara Italia. Namun di sini saya cukup membatasi diri untuk membahas tehnik-tehnik Machiavellian dalam mempertahankan kekuasaan seorang pemimpin atau pemerintahan.

Tidak mengandalkan keberuntungan

Mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi seorang pemimpin adalah sebuah keberuntungan atau takdir dari Yang Kuasa. Dikejar sampai kemanapun dan dengan usaha bagaimanapun, kalau jabatan itu bukan takdir kita, maka ia tidak akan dapat kita raih. Machiavelli tidak menolak bahwa takdir itu benar adanya. Namun seorang yang menginginkan sebuah jabatan atau mempertahankan kekuasaannya tidak boleh menyerahkan diri sepenuhya hanya kepada takdir. Saya menyebut takdir untuk istilah fortuna yang digunakan oleh Machiavelli.

Seseorang yang berambisi terhadap kekuasaan, selain mengharap pada takdir [fortuna], juga harus menggunakan kecerdikannya [virtu]. Menurut Machiavelli, kecerdikan adalah faktor terbesar yang menentukan kekuasaan seseorang. Karena itu seorang penguasa harus memeras otaknya agar kekuasaannya tidak lenyak darinya.

Sorang pemimpin yang hanya mengandalkan keberuntungan pasti akan binasa ketika keberuntungan itu menjauh darinya. Karena itu dibutuhkan strategi dan persiapan matang dalam setiap tindakan dan kebijakannya. Dengan persiapan dan strategi yang baik ini maka ia akan dapat menyesuaikan diri jika keadaan menuntut adanya perubahan. Machiavelli menuliskannya seperti ini:

“Seorang pangeran yang menyandarkan diri sepenuhnya pada keberuntungan akan binasa, segera setelah keberuntungan ini berbalik arah. Bila seseorang bersikap hati-hati, sabar, kondisi yang cocok, disertai dengan tindakan yang bagus, maka rencananya akan berhasil. Namun jika kondisi berubah, ia akan binasa karena tidak mempersiapkannya. Hanya saja jarang ada manusia yang sebegitu cerdiknya sehingga ia tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.”

Fleksibel

Seorang penguasa harus flesibel dalam bertindak. Ia harus dapat memosisikan dirinya secara tepat dalam berbagai situasi. Ia tidak boleh kaku memegang prinsip. Pada satu waktu, ia harus gesit dari setiap usaha yang akan menjeratnya, dan di waktu yang lain ia harus tegas demi mempertahankan kekuasaannya.

“Seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas. Ia harus bisa memainkan dua peran itu, karena yang satu tanpa yang lain tidak akan terwujud. Sebagai binatang buas, pangeran harus bisa mencontoh rubah dan singa, dimana singa tak bisa lepas dari jerat, sedangkan rubah tak bisa lolos dari serigala. Jadi dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala.”

Karena itu seorang penguasa tidak harus menepati janjinya jika dipandang janji tersebut hanya akan merugikannya. Jika situasi ini yang terjadi, maka dia harus mencari bermacam alasan yang cocok dan mendukung. “Juga seorang pangeran,” kata Machiavelli, “jangan sampai kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pelanggaran janjinya.”

Harus ditakuti

Seorang pemimpin tidak boleh kelihatan lemah, melainkan harus terlihat kuat dan ditakuti. Ia tidak boleh terlihat sama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang berwibawa akan membuat rakyat tunduk dan kekuasaan tetap dalam genggaman sang pemimpin.

Menurut Machiavelli, ada dua ancaman yang berpotensi mengganggu kelangsungan kekuasaan seorang pemimpin. Dua ancaman itu adalah ancaman dari dalam dan luar negeri. Karenanya, baik oleh rakyatnya sendiri maupun negara/kekuatan asing, seorang pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan ditakuti. Dan salah satu cara untuk memngamankan kekuasaan dari ancaman asing ini, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan militer yang handal. Militer yang tangguh dan berada di bawah kontrolnya akan membantu seorang pemimpin melanggengkan kekuasaannya. Di samping itu ia juga harus membangun koalisi dengan negara lain yang ia pandang baik untuk diajak bekerja sama demi tujuan status quo ini.

Adapaun ancaman dari dalam negeri adalah persekongkolan/pemberontakan dari kelompok tertentu. Menurut Machiavelli, ada satu cara ampuh untuk mencegah munculnya persekongkolan ini, yaitu dengan mencegah adanya kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Jadi agar tidak muncul sebuah persekongkolan, rakyat harus dikondisikan sedemikian rupa agar tidak berkembang di antara mereka kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Pemimpin harus membuat rakyat mencintai dirinya. Dengan adanya cinta dan nihilnya kebencian ini maka tidak akan ada lagi persekongkolan. Dan kalaupun ada pihak-pihak yang tetap berniat bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan, maka pihak-pihak ini pasti akan berpikir dua kali untuk melakukannya, karena rakyat pasti tidak akan mendukung mereka.

“Sarana yang paling mujarab yang dimiliki oleh seorang pangeran untuk melawan persekongkolan adalah mencegah kebencian dan penghinaan terhadap dirinya. Jika orang yang berkomplot itu tahu bahwa dia akan membuat rakyat marah karena perbuatannya itu, maka dia akan kehilangan keberanian untuk melakukannya, karena kesuliatan-kesulitan sebuah persekongkolan tidak terbilang banyaknya.”

Karena itu, selain harus ditakuti, seorang pemimpin harus berusaha agar ia selalu dicintai rakyatnya. Jika kedua hal ini ada pada seorang pemimpin, maka kepemimpinannya akan aman. Namun jika dua hal ini tidak bisa dimiliki sekaligus oleh seorang pemimpin, maka dia harus memilih salah satunya. Menurut Machiavelli, pilihan untuk ditakuti adalah yang paling realistis. Hal ini karena rasa cinta itu tergantung pada selera masing-masing orang. Bila hati mereka sedang baik, mereka bisa mencintai pemimpinnya. Namun apabila hati mereka sedang tidak enak, maka bisa saja muncul rasa benci. Sedangkan rasa takut tidak tergantung pada rakyat, melainkan tergantung pada diri sang pemimpin itu sendiri. Selama sang pemimpin menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan menakutkan, maka rakyat, dalam kondisi batin yang bagaimanapun, akan takut padanya. Dan karena membuat rasa takut terdapat pada diri sang pemimpin sendiri, maka pilihan itu adalah yang paling mudah dilakukan.

“Orang seharusnya berupaya agar ia dicintai dan ditakuti sekaligus. Namun karena keduanya sulit untuk dipersatukan, maka akan jauh lebih pastilah ditakuti daripada dicintai, kalau hanya salah satu dari keduanya yang mungkin…. Karena cinta manusia tergantung pada selera mereka, namun rasa takut mereka tergantung pada sikap sang pangeran. Seorang pangeran yang bijaksana harus menyandarkan diri pada apa yang tergantung pada dirinya, dan tidak pada apa yang tergantung pada orang lain.”

Karenanya seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang tegas, tidak peragu, dan berwibawa. “Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.”

Pamer kebaikan

Untuk menjaga citra sebagai pemimpin yang baik agar tetap dicintai oleh rakyat, seorang pemimpin tidak boleh malu-malu untuk memperlihatkan kebaikan dan kemurahannya kepada rakyat. Tak ada kamus ikhlas dalam pikiran seorang pemimpin. Semua kebaikannya harus dipertunjukkan di hadapan rakyat. Dengan begitu maka rakyat akan tahu bahwa dia adalah seorang pemimpin yang baik dan murah hati. Tindakan seorang pemimpin yang banyak berbuat kebaikan untuk rakyat namun mereka tidak tahu perbuatan itu, bagi Machiavelli, adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena dengan kebaikan yang tersembunyi itu rakyat akan tetap mencelanya.

“Kemurahan hati yang kau lakukan sedemikian rupa tanpa perhitungan justru akan merugikanmu. Jika kemurahan hati itu dilakukan dengan cara yang baik, namun tidak diketahui orang lain, engkau tidak akan menghindari sedikitpun celaan. Jadi jika seorang pangeran ingin mendapat nama baik di antara orang lain karena kemurahan hatinya, pangeran itu justru harus memamerkan kemurahan hatinya itu secara megah.”

Meski demikian, seorang pemimpin harus penuh pertimbangan dalam menggunakan kekayaan untuk bermurah hati di hadapan rakyat. Ia harus berpikir seksama dulu apakah uang yang ia gunakan itu berasal dari kekayaan pribadi atau kekayaan negara. Karena jika perekonomian negara kolaps gara-gara tindak kemurahan hati ini, maka rakyat juga akan membencinya. Sebaliknya seorang pemimpin juga tidak perlu cemas jika ia terlihat hemat di hadapan rakyat, asal penggunaan keuangan negara dapat dipertanggungjawabkan, sehingga uang yang sedianya akan digunakan untuk bermewah-mewah tersebut dialokasikan ke pos-pos lain yang strategis dan lebih membutuhkan, seperti pembangunan infrastruktur dll. Dengan demikian rakyat akan mengerti dan memakluminya.

Bertindak kejam secara proporsional

Seorang pemimpin yang ingin mempertahankan kepemimpinannya tidak harus selalu berbuat baik. Dalam situasi-situasi tertentu, menurut Machiavelli, tindakan kejam juga harus dilakukan. “Seorang manusia yang dalam segala hal hanya ingin berbuat baik, di tengah-tengah manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang jahat, pasti akan binasa. Oleh karena itu seorang pangeran yang ingin menegaskan dirinya harus mampu bertindak kejam, jika hal itu diperlukan.”

Benar bahwa seorang pemimpin harus dikenal sebagai seorang yang berbelas kasih, tidak sebagai seorang yang kejam. Namun menurut Machiavelli, prinsip ini tidaklah kaku. Seorang pemimpin harus bertindak secara proporsional antara berbelas kasih dan kejam sesuai dengan situasi dan kondisi. Machiavelli memberi contoh Cesare Borgia yang oleh orang-orang dianggap kejam. Tapi jangan lupa, dengan kekejamannya itu Cesare berhasil menertibkan dan menyatukan kerajaan Rogmana serta menjaga perdamaian dan loyalitas warganya. “Maka itu seorang pangeran tidak boleh segan melakukan kekejaman untuk membuat rakyatnya bersatu dan loyal kepadanya.”

Lalu seperti apakah kekejaman yang proporsional itu? Menurut Machiavelli, kekejaman yang proporsional adalah kekejaman yang dilakukan hanya sekali saja untuk menegaskan kewibawaannya, dan setelah itu dihentikan dan diganti dengan tindak-tindak kebaikan. Dengan kekejaman ini maka rakyat akan tahu bahwa pemimpinnya adalah seorang yang tegas, kuat, ditakuti, dan berwibawa. Namun harus diingat bahwa kekejaman ini tidak boleh terus dilakukan. Karena dengan kekejaman yang hanya sekali saja maka rakyat akan mudah untuk melupakannya. Dan jika kekejaman ini terus dilakukan maka rakyat akan marah sehingga kepemimpinan akan terancam.

“Pemakaian kekejaman yang tepat, jika orang dapat menyebutnya demikian, adalah kekejaman yang dilakukan sekali demi keamanan diri, namun kemudian dihentikan dan sebanyak mungkin diubah sehingga berguna bagi rakyat. Saya akan menamainya penyalahgunaan kekejaman jika kekejaman itu pada awalnya sedikit namun lama-kelamaan menjadi terus meningkat. Sebab itu semua aksi kekerasan harus berlangsung sekali, karena kekerasan itu akan dirasakan sedikit dan kemudian dilupakan.”

Sebagai contoh dari tindak kekejaman, Machiavelli menggambarkannya seperti ini, “Jika perlu untuk menghabisi nyawa seseorang, maka lakukanlah itu hanya jika penyebabnya jelas.”

Tak mencampuri urusan privat rakyat

Untuk menjaga nama baiknya, seorang pemimpin tidak boleh mencampuri urusan pribadi rakyatnya. Selain merendahkan dirinya sendiri, ikut campur urusan pribadi rakyat hanya akan membuat sang pemimpin dibenci. Untuk urusan privat rakyat ini, Machiavelli memberi contoh masalah harta dan istri. Menurut dia, seorang pemimpin tidak boleh mengambil sedikitpun harta yang dimiliki rakyatnya. Demikian juga istri. Pemimpin tidak boleh merebut istri rakyatnya. “Namun terutama sang pangeran tidak boleh mencuri harta rakyatnya. Karena manusia lebih muda melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.”

“Seorang pangeran akan membuat dirinya sendiri dibenci karena rakus harta dan menyentuh harta milik dan istri-istri dari rakyatnya. Dia seharusnya pantang melakukan itu, sebab selama harta dan kehormatan mereka tidak dirampas maka mereka akan senang.”

Dan jika seorang pemimpin terpaksa mencampuri urusan privat rakyatnya, maka harus dipastikan bahwa dia bertindak dengan objektif, sehingga kewibawaannya tetap terjaga. “Jika seorang pangeran campur tangan ke dalam urusan-urusan privat rakyatnya, dia harus berupaya bahwa penilaian-penilaiannya tidak ditarik kembali dan mempertahankan nama baiknya, sehingga tak seorang pun berani menipu atau menyuap dia.”

Menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sandaran bagi yang lain

Untuk terus melanggengkan kekuasaan, seorang pemimpin harus mengondosikan rakyat dan orang-orang di sekelilingnya sedemikian rupa sehingga dialah yang menjadi satu-satunya harapan dan sandaran bagi mereka. Tidak boleh ada orang lain yang berpotensi menyaingi dirinya. Ia harus bisa membuat semua orang tunduk kepadanya. “Di lain pihak, sang pangeran…mengingat menterinya, memberi hormat dan kekayaan, bersekutu dengannya, supaya dia melihat bahwa tanpa sang pangeran dia tidak dapat hidup.”

Jeli memilih sekutu

Di samping itu, seorang pemimpin harus jeli dan awas dalam menentukan siapa yang akan menjadi sekutunya. Dia harus memilih orang yang benar-benar dapat dipercaya dan bekerja untuknya. “Jika engkau mencermati bahwa seorang menteri lebih memikirkan dirinya sendiri dari pada dirimu, dan dalam segala kegiatannya mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, maka orang ini tidak akan pernah menjadi menteri yang baik. Maka janganlah percaya kepadanya.”

Demikian pula dalam menentukan sekutu luar negeri. Ia harus benar-benar waspada dan jangan sampai persekutuan itu justru akan membuat dirinya tunduk pada pemimpin luar itu. “Seorang pangeran tidak boleh gegabah untuk bersekutu dengan orang yang lebih kuat daripada dirinya untuk memerangi pihal lain, sejauh dia tidak terdesak. Karena kalau orang itu menang, maka sang pangeran akan berada di dalam kekuasaannya.”

Penutup

Machiavelli adalah seorang pemikir besar dan cemerlang. Hanya saja namanya selalu dikaitkan dengan praktik kotor dalam dunia politik dan kekuasaan. Orang-orang biasanya menghubungkannya dengan kekuasaan yang diktator. Taktik Machiavellian berarti taktik kotor untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kata Machiavelli sudah terlanjur berkonotasi negatif.

Machiavelli dikenal dengan ajaran politik yang tanpa moral. Mereka yang sok moralis akan kecele ketika membaca karya tokoh ini, bahkan malah menghujatnya. Dari kutipan-kutipan di atas, kita tahu bahwa Machiavelli memang tidak sedang mengajarkan moralitas kepada sang pemimpin. Dia hanya memberi tahu bagaimana caranya agar kekuasaan yang ia genggam tidak hilang atau berpindah.

Dan memang benar, Machiavelli tidak sedang bicara moral, melainkan fakta. Sebagai seorang yang pernah terlibat langsung dalam dunia politik, dia tidak sedang menceritakan apa yang sebaiknya ada, melainkan apa yang kenyataannya ada. Moralitas berarti perbuatan baik yang sebaiknya dilakukan. Machiavelli tidak membahas itu. Ia hanya menceritakan apa saja yang faktanya dapat menyelamatkan kekuasaan.

Maka mereka yang menghujat Machiavelli sebagai pemikir yang tidak bermoral jelas keliru. Dia hanya menguraikan pengalaman dan pengamatannya terhadap sejarah para pemimpin tentang apa saja yang terbukti dapat menyelamatkan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Dan ternyata fakta yang diungkap oleh Machiavelli itu sampai sekarang masih terus berlangsung dan terus dipraktikkan. Diakui atau tidak, praktik politik dan kekuasaan yang berlangsung hampir di seluruh dunia sampai saat ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Machiavelli. Oleh karena itu para pemimpin tidak usah tersinggung jika mereka dikatakan tengah mempraktikkan cara-cara Machiavellian dalam berkuasa. Karena dimana-mana memang seperti itulah adanya.

Pustaka
Machiavelli, Niccolo, Il Principe

No comments: