Monday, May 9, 2011

Tehnik Mempertahankan Kekuasaan a la Machiavelli

“Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.” [Niccolo Machiavelli]

***********

Mereka yang tertarik dengan politik atau pemikiran politik pasti mengenal Machiavelli. Dalam kedua bidang tersebut, pemikirannya banyak dikutip dan terus menjadi pembahasan sampai sekarang. Wajar, ia adalah salah satu pemikir besar dalam bidang politik yang dengan baik direkam oleh sejarah.

Machiavelli lahir di Italia pada tahun 1469 ketika metode ilmu pengetahuan alam modern ditemukan dan dikembangkan [Renaisans]. Orang tuanya adalah seorang bangsawan dan pengacara kaya di daerahnya. Selain berpendidikan tinggi, ia juga memiliki jabatan yang cukup prestisius di pemerintahan. Ia adalah penasihat pribadi Cesare Borgia, seorang yang sangat ambisius dan gila kekuasaan di Florence. Namun karir politiknya hancur karena dikuasainya Florence oleh Medici yang sangat membencinya. Oleh penguasa yang baru ini, ia dijebloskan ke penjara selama setahun sebelum akhirnya mendapatkan amnesti. Ia lalu menyingkir dari dunia politik dan menuliskan hasil pengamatan dan pengalamannya selama berkarir di dunia politik dalam sebuah buku yang sangat terkenal, Il Principe [Sang Pangeran].

Tehnik-tehnik mempertahankan kekuasaan

Apa yang akan saya uraikan di bawah adalah pemikiran-pemikiran Machiavelli yang terdapat di dalam buku Il Principe. Buku ini terbit tahun 1532, lima tahun setelah kematiannya di tahun 1527. Di dalam buku ini, ia membahas banyak hal yang di antaranya sejarah dan bentuk-bentuk pemerintahan, keberuntungan dalam kekuasaan, militer, tehnik-tehnik kekuasaan, jatuhnya pemerintahan, dan negara Italia. Namun di sini saya cukup membatasi diri untuk membahas tehnik-tehnik Machiavellian dalam mempertahankan kekuasaan seorang pemimpin atau pemerintahan.

Tidak mengandalkan keberuntungan

Mungkin banyak dari kita yang menganggap bahwa menjadi seorang pemimpin adalah sebuah keberuntungan atau takdir dari Yang Kuasa. Dikejar sampai kemanapun dan dengan usaha bagaimanapun, kalau jabatan itu bukan takdir kita, maka ia tidak akan dapat kita raih. Machiavelli tidak menolak bahwa takdir itu benar adanya. Namun seorang yang menginginkan sebuah jabatan atau mempertahankan kekuasaannya tidak boleh menyerahkan diri sepenuhya hanya kepada takdir. Saya menyebut takdir untuk istilah fortuna yang digunakan oleh Machiavelli.

Seseorang yang berambisi terhadap kekuasaan, selain mengharap pada takdir [fortuna], juga harus menggunakan kecerdikannya [virtu]. Menurut Machiavelli, kecerdikan adalah faktor terbesar yang menentukan kekuasaan seseorang. Karena itu seorang penguasa harus memeras otaknya agar kekuasaannya tidak lenyak darinya.

Sorang pemimpin yang hanya mengandalkan keberuntungan pasti akan binasa ketika keberuntungan itu menjauh darinya. Karena itu dibutuhkan strategi dan persiapan matang dalam setiap tindakan dan kebijakannya. Dengan persiapan dan strategi yang baik ini maka ia akan dapat menyesuaikan diri jika keadaan menuntut adanya perubahan. Machiavelli menuliskannya seperti ini:

“Seorang pangeran yang menyandarkan diri sepenuhnya pada keberuntungan akan binasa, segera setelah keberuntungan ini berbalik arah. Bila seseorang bersikap hati-hati, sabar, kondisi yang cocok, disertai dengan tindakan yang bagus, maka rencananya akan berhasil. Namun jika kondisi berubah, ia akan binasa karena tidak mempersiapkannya. Hanya saja jarang ada manusia yang sebegitu cerdiknya sehingga ia tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.”

Fleksibel

Seorang penguasa harus flesibel dalam bertindak. Ia harus dapat memosisikan dirinya secara tepat dalam berbagai situasi. Ia tidak boleh kaku memegang prinsip. Pada satu waktu, ia harus gesit dari setiap usaha yang akan menjeratnya, dan di waktu yang lain ia harus tegas demi mempertahankan kekuasaannya.

“Seorang pangeran harus mampu bermain baik sebagai manusia maupun sebagai binatang buas. Ia harus bisa memainkan dua peran itu, karena yang satu tanpa yang lain tidak akan terwujud. Sebagai binatang buas, pangeran harus bisa mencontoh rubah dan singa, dimana singa tak bisa lepas dari jerat, sedangkan rubah tak bisa lolos dari serigala. Jadi dia harus menjadi rubah untuk mengenali jerat, dan menjadi singa untuk menakut-nakuti serigala.”

Karena itu seorang penguasa tidak harus menepati janjinya jika dipandang janji tersebut hanya akan merugikannya. Jika situasi ini yang terjadi, maka dia harus mencari bermacam alasan yang cocok dan mendukung. “Juga seorang pangeran,” kata Machiavelli, “jangan sampai kehabisan alasan baik untuk memanis-maniskan pelanggaran janjinya.”

Harus ditakuti

Seorang pemimpin tidak boleh kelihatan lemah, melainkan harus terlihat kuat dan ditakuti. Ia tidak boleh terlihat sama dengan orang-orang yang dipimpinnya. Kepemimpinan yang berwibawa akan membuat rakyat tunduk dan kekuasaan tetap dalam genggaman sang pemimpin.

Menurut Machiavelli, ada dua ancaman yang berpotensi mengganggu kelangsungan kekuasaan seorang pemimpin. Dua ancaman itu adalah ancaman dari dalam dan luar negeri. Karenanya, baik oleh rakyatnya sendiri maupun negara/kekuatan asing, seorang pemimpin harus menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan ditakuti. Dan salah satu cara untuk memngamankan kekuasaan dari ancaman asing ini, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan militer yang handal. Militer yang tangguh dan berada di bawah kontrolnya akan membantu seorang pemimpin melanggengkan kekuasaannya. Di samping itu ia juga harus membangun koalisi dengan negara lain yang ia pandang baik untuk diajak bekerja sama demi tujuan status quo ini.

Adapaun ancaman dari dalam negeri adalah persekongkolan/pemberontakan dari kelompok tertentu. Menurut Machiavelli, ada satu cara ampuh untuk mencegah munculnya persekongkolan ini, yaitu dengan mencegah adanya kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Jadi agar tidak muncul sebuah persekongkolan, rakyat harus dikondisikan sedemikian rupa agar tidak berkembang di antara mereka kebencian dan penghinaan terhadap pemimpin. Pemimpin harus membuat rakyat mencintai dirinya. Dengan adanya cinta dan nihilnya kebencian ini maka tidak akan ada lagi persekongkolan. Dan kalaupun ada pihak-pihak yang tetap berniat bersekongkol untuk menggulingkan pemerintahan, maka pihak-pihak ini pasti akan berpikir dua kali untuk melakukannya, karena rakyat pasti tidak akan mendukung mereka.

“Sarana yang paling mujarab yang dimiliki oleh seorang pangeran untuk melawan persekongkolan adalah mencegah kebencian dan penghinaan terhadap dirinya. Jika orang yang berkomplot itu tahu bahwa dia akan membuat rakyat marah karena perbuatannya itu, maka dia akan kehilangan keberanian untuk melakukannya, karena kesuliatan-kesulitan sebuah persekongkolan tidak terbilang banyaknya.”

Karena itu, selain harus ditakuti, seorang pemimpin harus berusaha agar ia selalu dicintai rakyatnya. Jika kedua hal ini ada pada seorang pemimpin, maka kepemimpinannya akan aman. Namun jika dua hal ini tidak bisa dimiliki sekaligus oleh seorang pemimpin, maka dia harus memilih salah satunya. Menurut Machiavelli, pilihan untuk ditakuti adalah yang paling realistis. Hal ini karena rasa cinta itu tergantung pada selera masing-masing orang. Bila hati mereka sedang baik, mereka bisa mencintai pemimpinnya. Namun apabila hati mereka sedang tidak enak, maka bisa saja muncul rasa benci. Sedangkan rasa takut tidak tergantung pada rakyat, melainkan tergantung pada diri sang pemimpin itu sendiri. Selama sang pemimpin menjadikan dirinya sebagai seorang yang kuat dan menakutkan, maka rakyat, dalam kondisi batin yang bagaimanapun, akan takut padanya. Dan karena membuat rasa takut terdapat pada diri sang pemimpin sendiri, maka pilihan itu adalah yang paling mudah dilakukan.

“Orang seharusnya berupaya agar ia dicintai dan ditakuti sekaligus. Namun karena keduanya sulit untuk dipersatukan, maka akan jauh lebih pastilah ditakuti daripada dicintai, kalau hanya salah satu dari keduanya yang mungkin…. Karena cinta manusia tergantung pada selera mereka, namun rasa takut mereka tergantung pada sikap sang pangeran. Seorang pangeran yang bijaksana harus menyandarkan diri pada apa yang tergantung pada dirinya, dan tidak pada apa yang tergantung pada orang lain.”

Karenanya seorang pemimpin harus menunjukkan sikap yang tegas, tidak peragu, dan berwibawa. “Nistalah dia yang dianggap plin-plan, ceroboh, kewanita-wanitaan, pengecut dan ragu-ragu. Seorang pangeran harus melindungi dirinya dari sifat-sifat semacam itu. Ia harus laksana batu karang di laut, dan berupaya agar keagungan, kegagahan, kesungguhan, dan kekuatan menjadi tampak dalam tindakan-tindakannya.”

Pamer kebaikan

Untuk menjaga citra sebagai pemimpin yang baik agar tetap dicintai oleh rakyat, seorang pemimpin tidak boleh malu-malu untuk memperlihatkan kebaikan dan kemurahannya kepada rakyat. Tak ada kamus ikhlas dalam pikiran seorang pemimpin. Semua kebaikannya harus dipertunjukkan di hadapan rakyat. Dengan begitu maka rakyat akan tahu bahwa dia adalah seorang pemimpin yang baik dan murah hati. Tindakan seorang pemimpin yang banyak berbuat kebaikan untuk rakyat namun mereka tidak tahu perbuatan itu, bagi Machiavelli, adalah tindakan bodoh dan sia-sia. Karena dengan kebaikan yang tersembunyi itu rakyat akan tetap mencelanya.

“Kemurahan hati yang kau lakukan sedemikian rupa tanpa perhitungan justru akan merugikanmu. Jika kemurahan hati itu dilakukan dengan cara yang baik, namun tidak diketahui orang lain, engkau tidak akan menghindari sedikitpun celaan. Jadi jika seorang pangeran ingin mendapat nama baik di antara orang lain karena kemurahan hatinya, pangeran itu justru harus memamerkan kemurahan hatinya itu secara megah.”

Meski demikian, seorang pemimpin harus penuh pertimbangan dalam menggunakan kekayaan untuk bermurah hati di hadapan rakyat. Ia harus berpikir seksama dulu apakah uang yang ia gunakan itu berasal dari kekayaan pribadi atau kekayaan negara. Karena jika perekonomian negara kolaps gara-gara tindak kemurahan hati ini, maka rakyat juga akan membencinya. Sebaliknya seorang pemimpin juga tidak perlu cemas jika ia terlihat hemat di hadapan rakyat, asal penggunaan keuangan negara dapat dipertanggungjawabkan, sehingga uang yang sedianya akan digunakan untuk bermewah-mewah tersebut dialokasikan ke pos-pos lain yang strategis dan lebih membutuhkan, seperti pembangunan infrastruktur dll. Dengan demikian rakyat akan mengerti dan memakluminya.

Bertindak kejam secara proporsional

Seorang pemimpin yang ingin mempertahankan kepemimpinannya tidak harus selalu berbuat baik. Dalam situasi-situasi tertentu, menurut Machiavelli, tindakan kejam juga harus dilakukan. “Seorang manusia yang dalam segala hal hanya ingin berbuat baik, di tengah-tengah manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang jahat, pasti akan binasa. Oleh karena itu seorang pangeran yang ingin menegaskan dirinya harus mampu bertindak kejam, jika hal itu diperlukan.”

Benar bahwa seorang pemimpin harus dikenal sebagai seorang yang berbelas kasih, tidak sebagai seorang yang kejam. Namun menurut Machiavelli, prinsip ini tidaklah kaku. Seorang pemimpin harus bertindak secara proporsional antara berbelas kasih dan kejam sesuai dengan situasi dan kondisi. Machiavelli memberi contoh Cesare Borgia yang oleh orang-orang dianggap kejam. Tapi jangan lupa, dengan kekejamannya itu Cesare berhasil menertibkan dan menyatukan kerajaan Rogmana serta menjaga perdamaian dan loyalitas warganya. “Maka itu seorang pangeran tidak boleh segan melakukan kekejaman untuk membuat rakyatnya bersatu dan loyal kepadanya.”

Lalu seperti apakah kekejaman yang proporsional itu? Menurut Machiavelli, kekejaman yang proporsional adalah kekejaman yang dilakukan hanya sekali saja untuk menegaskan kewibawaannya, dan setelah itu dihentikan dan diganti dengan tindak-tindak kebaikan. Dengan kekejaman ini maka rakyat akan tahu bahwa pemimpinnya adalah seorang yang tegas, kuat, ditakuti, dan berwibawa. Namun harus diingat bahwa kekejaman ini tidak boleh terus dilakukan. Karena dengan kekejaman yang hanya sekali saja maka rakyat akan mudah untuk melupakannya. Dan jika kekejaman ini terus dilakukan maka rakyat akan marah sehingga kepemimpinan akan terancam.

“Pemakaian kekejaman yang tepat, jika orang dapat menyebutnya demikian, adalah kekejaman yang dilakukan sekali demi keamanan diri, namun kemudian dihentikan dan sebanyak mungkin diubah sehingga berguna bagi rakyat. Saya akan menamainya penyalahgunaan kekejaman jika kekejaman itu pada awalnya sedikit namun lama-kelamaan menjadi terus meningkat. Sebab itu semua aksi kekerasan harus berlangsung sekali, karena kekerasan itu akan dirasakan sedikit dan kemudian dilupakan.”

Sebagai contoh dari tindak kekejaman, Machiavelli menggambarkannya seperti ini, “Jika perlu untuk menghabisi nyawa seseorang, maka lakukanlah itu hanya jika penyebabnya jelas.”

Tak mencampuri urusan privat rakyat

Untuk menjaga nama baiknya, seorang pemimpin tidak boleh mencampuri urusan pribadi rakyatnya. Selain merendahkan dirinya sendiri, ikut campur urusan pribadi rakyat hanya akan membuat sang pemimpin dibenci. Untuk urusan privat rakyat ini, Machiavelli memberi contoh masalah harta dan istri. Menurut dia, seorang pemimpin tidak boleh mengambil sedikitpun harta yang dimiliki rakyatnya. Demikian juga istri. Pemimpin tidak boleh merebut istri rakyatnya. “Namun terutama sang pangeran tidak boleh mencuri harta rakyatnya. Karena manusia lebih muda melupakan kematian ayahnya daripada kehilangan bagian warisannya.”

“Seorang pangeran akan membuat dirinya sendiri dibenci karena rakus harta dan menyentuh harta milik dan istri-istri dari rakyatnya. Dia seharusnya pantang melakukan itu, sebab selama harta dan kehormatan mereka tidak dirampas maka mereka akan senang.”

Dan jika seorang pemimpin terpaksa mencampuri urusan privat rakyatnya, maka harus dipastikan bahwa dia bertindak dengan objektif, sehingga kewibawaannya tetap terjaga. “Jika seorang pangeran campur tangan ke dalam urusan-urusan privat rakyatnya, dia harus berupaya bahwa penilaian-penilaiannya tidak ditarik kembali dan mempertahankan nama baiknya, sehingga tak seorang pun berani menipu atau menyuap dia.”

Menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sandaran bagi yang lain

Untuk terus melanggengkan kekuasaan, seorang pemimpin harus mengondosikan rakyat dan orang-orang di sekelilingnya sedemikian rupa sehingga dialah yang menjadi satu-satunya harapan dan sandaran bagi mereka. Tidak boleh ada orang lain yang berpotensi menyaingi dirinya. Ia harus bisa membuat semua orang tunduk kepadanya. “Di lain pihak, sang pangeran…mengingat menterinya, memberi hormat dan kekayaan, bersekutu dengannya, supaya dia melihat bahwa tanpa sang pangeran dia tidak dapat hidup.”

Jeli memilih sekutu

Di samping itu, seorang pemimpin harus jeli dan awas dalam menentukan siapa yang akan menjadi sekutunya. Dia harus memilih orang yang benar-benar dapat dipercaya dan bekerja untuknya. “Jika engkau mencermati bahwa seorang menteri lebih memikirkan dirinya sendiri dari pada dirimu, dan dalam segala kegiatannya mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri, maka orang ini tidak akan pernah menjadi menteri yang baik. Maka janganlah percaya kepadanya.”

Demikian pula dalam menentukan sekutu luar negeri. Ia harus benar-benar waspada dan jangan sampai persekutuan itu justru akan membuat dirinya tunduk pada pemimpin luar itu. “Seorang pangeran tidak boleh gegabah untuk bersekutu dengan orang yang lebih kuat daripada dirinya untuk memerangi pihal lain, sejauh dia tidak terdesak. Karena kalau orang itu menang, maka sang pangeran akan berada di dalam kekuasaannya.”

Penutup

Machiavelli adalah seorang pemikir besar dan cemerlang. Hanya saja namanya selalu dikaitkan dengan praktik kotor dalam dunia politik dan kekuasaan. Orang-orang biasanya menghubungkannya dengan kekuasaan yang diktator. Taktik Machiavellian berarti taktik kotor untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kata Machiavelli sudah terlanjur berkonotasi negatif.

Machiavelli dikenal dengan ajaran politik yang tanpa moral. Mereka yang sok moralis akan kecele ketika membaca karya tokoh ini, bahkan malah menghujatnya. Dari kutipan-kutipan di atas, kita tahu bahwa Machiavelli memang tidak sedang mengajarkan moralitas kepada sang pemimpin. Dia hanya memberi tahu bagaimana caranya agar kekuasaan yang ia genggam tidak hilang atau berpindah.

Dan memang benar, Machiavelli tidak sedang bicara moral, melainkan fakta. Sebagai seorang yang pernah terlibat langsung dalam dunia politik, dia tidak sedang menceritakan apa yang sebaiknya ada, melainkan apa yang kenyataannya ada. Moralitas berarti perbuatan baik yang sebaiknya dilakukan. Machiavelli tidak membahas itu. Ia hanya menceritakan apa saja yang faktanya dapat menyelamatkan kekuasaan.

Maka mereka yang menghujat Machiavelli sebagai pemikir yang tidak bermoral jelas keliru. Dia hanya menguraikan pengalaman dan pengamatannya terhadap sejarah para pemimpin tentang apa saja yang terbukti dapat menyelamatkan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Dan ternyata fakta yang diungkap oleh Machiavelli itu sampai sekarang masih terus berlangsung dan terus dipraktikkan. Diakui atau tidak, praktik politik dan kekuasaan yang berlangsung hampir di seluruh dunia sampai saat ini sesuai dengan apa yang dipaparkan oleh Machiavelli. Oleh karena itu para pemimpin tidak usah tersinggung jika mereka dikatakan tengah mempraktikkan cara-cara Machiavellian dalam berkuasa. Karena dimana-mana memang seperti itulah adanya.

Pustaka
Machiavelli, Niccolo, Il Principe

Friday, April 22, 2011

Patokan Moral menurut Immanuel Kant

Seorang anggota dewan dari sebuah partai yang mengklaim sebagai partai ‘bersih’ kepergok menonton video porno di tengah sidang paripurna. Dan di tengah kesulitan rakyat kecil memenuhi kebutuhan dasarnya, para anggota DPR bersikukuh untuk membangun gedung mewah sebagai kantor barunya. Terhadap dua peristiwa yang sampai sekarang masih hangat tersebut, rakyat mencibir mereka sebagai wakil rakyat yang tidak bermoral.

Di negeri kita, negeri Timur nan ‘agamis’, kebutuhan untuk bermoral atau berakhlak baik hampir sama pentingnya dengan kebutuhan dasar untuk hidup. Sejak kecil anak sudah diajari agar bermoral yang baik. Murid sekolah dasar sampai mahasiswa di perguruan tinggi tak pernah luput dari serbuan ceramah moral. Mau melamar kerja maupun melamar pasangan hidup pun mensyaratkan moral yang baik. Bahkan sampai mati pun moral seseorang masih menjadi perbincangan di antara mereka yang hidup.

Moral atau akhlak berarti ajaran tentang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak diperkenankan, mana yang pantas dan tidak layak. Biasanya kita mendapatkan ajaran moral dari orang tua, guru agama, atasan, atau orang-orang yang kita anggap [atau menganggap diri mereka sendiri] memiliki kelebihan daripada kita. Sedangkan ajaran-ajaran moral tersebut biasanya bersumber dari ajaran agama, adat-istiadat, kitab-kitab, serta kepercayaan dan keyakinan yang dianut.

Namun benarkah jika kita melakukan sebagaimana yang dianjurkan oleh orang tua atau guru agama lantas membuat kita menjadi orang yang bermoral? Benarkah rajin ibadah, suka membantu mereka yang lemah, mematuhi peraturan yang ada, dst, otomatis membuat kita menjadi orang yang baik? Apakah jika kita berbohong atau tidak menepati janji lantas menjadikan kita sebagai orang yang tidak berakhlak?

Etika Kant

Kalau pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan kepada Kant, dengan tegas ia akan menjawab: belum tentu! Immanuel Kant adalah salah satu filsuf besar yang dilahirkan sejarah. Pemikiran filsuf Jerman kelahiran 22 April 1724 ini masih terus dikaji dan diminati sampai saat ini. Filsuf yang membujang sampai akhir hayatnya di usia 80 tahun ini banyak memberikan pengaruh tidak hanya kepada orang-orang yang seagama dengannya, yakni Protestan, tetapi juga para pemikir dari bermacam dan beragam agama dan kepercayaan serta yang tidak beragama sekalipun.

Menurut Kant, ada tiga patokan untuk menentukan apakah perbuatan seseorang dikategorikan sebagai tindakan bermoral atau tidak. Tiga hal ini dalam pemikiran etika Kant masuk dalam syarat-syarat imperatif kategoris, yaitu perintah mutlak yang wajib kita patuhi. Ketiga patokan tersebut adalah prinsip hukum umum, prinsip hormat terhadap person, dan prinsip otonomi.

Pertama, sebuah tindakan dapat disebut sebagai tindakan yang bermoral apabila tindakan tersebut berdasarkan pada prinsip hukum umum. Prinsip hukum umum itu berbunyi sebagai berikut: ”Bertindaklah selalu berdasarkan maksim yang bisa sekaligus kamu kehendaki sebagai hukum umum”. Yang dimaksud dengan maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang merupakan patokan individu dan personal. Maksim dibedakan dari ‘hukum’, yang adalah prinsip objektif yang berlaku bagi semua orang tanpa kecuali.

Maksud Kant dengan prinsip hukum umum tersebut sebenarnya begini: untuk mengetahui apakah tindakanku itu wajib aku lakukan atau tidak, maka aku harus bertanya apakah maksimku dapat diuniversalisasikan atau tidak. Jika prinsip atau maksimku itu dapat diuniversalisasikan alias dapat diterapkan untuk semua orang, maka tindakanku itu wajib aku lakukan. Tapi jika tidak dapat diuniversalisasikan, maka aku tidak wajib melakukan tindakan tersebut.

Sebagai contoh adalah sebuah kasus di awal tulisan ini, yaitu seorang anggota dewan yang menonton video porno di waktu sidang paripurna DPR karena merasa tidak ada yang memperhatikannya. Bagi anggota dewan ini, maksim/prinsip yang ia pakai adalah sbb: “Jika saya sedang mengikuti sidang paripurna, dimana masing-masing anggota dewan sibuk dengan perhatiannya masing-masing, maka saya akan menggunakannya untuk menonton video porno”. Nah untuk mengetahui apakah tindakannya ini wajib dilakukan atau tidak, maka ia harus bertanya apakah prinsip/maksim yang ia gunakan itu dapat diterapkan secara universal kepada semua orang atau tidak.

Untuk contoh kasus di atas, tentu saja jawabannya tidak bisa. Sebab andai saja maksim yang ia pakai tersebut digunakan oleh semua anggota dewan, maka tujuan sidang tidak akan tercapai. Hal ini karena setiap anggota dewan, lantaran merasa tidak ada yang memperhatikannya, akan menonton video porno di setiap sidang paripurna. Dan kalau ini yang terjadi, tentu sidang paripurna DPR tidak akan terlaksana dan justru kekacauan yang muncul. Karena maksim tersebut tidak dapat diuniversalisasikan, maka tindakan tersebut tidak boleh dilakukan.

Syarat kedua agar tindakan kita bisa dikategorikan sebagai tindakan bermoral adalah penghormatan terhadap person. Prinsip ini berbunyi: ”Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia, entah itu di dalam personmu atau di dalam person orang lain, sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai sarana”. Prinsip ini mau mengatakan dua hal. Pertama, aku tidak boleh menjadikan diriku sendiri ataupun diri sesamaku sebagai sarana belaka. Kedua, dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan moral, kita wajib memperhatikan pihak lain.

Contoh dari prinsip kedua ini adalah tindakan orang yang akan bunuh diri karena beratnya beban yang ia tanggung. Menurut Kant, sebelum orang tersebut melakukan bunuh diri, ia harus bertanya dulu: apakah tindakan bunuh diri ini sesuai dengan prinsip hormat kepada manusia atau tidak? Apabila ia bunuh diri untuk lepas dari penderitaan, maka mungkin saja ia tidak merugikan orang lain. Tetapi tidak dengan dirinya sendiri. Sebab melakukan bunuh diri berarti ia tidak menghormati personnya sendiri, dan hanya memperlakukannya sebagai sarana untuk melepaskan penderitaan. Karenanya jelas tindakan ini tidak boleh dilakukan.

Prinsip ketiga yang membuat sebuah tindakan disebut sebagai tindakan bermoral adalah prinsip otonomi. Prinsip ini mengatakan: “Bertindaklah sedemikian rupa dimana kehendak dari dirimu sendirilah yang menentukan tindakan tersebut”. Maksud dari prinsip ini adalah semua tindakan yang kita lakukan harus murni karena kehendak dan keinginan kita sendiri, bukan karena pengaruh apalagi paksaan dari orang lain. Kant menyebut prinsip ini dengan ‘kehendak otonom’, yaitu kehendak yang mau melakukan sesuatu berdasarkan hukum yang ditentukannya sendiri. Lawan dari kehendak otonom adalah kehendak heteronom, yaitu melakukan sesuatu bukan karena kehendak kita sendiri, tetapi demi hukum di luar hukum orang tersebut, seperti karena ikut-ikutan orang lain.

Seturut dengan prinsip ketiga ini, Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Legalitas adalah tindakan yang sesuai dengan kewajiban/hukum. Legalitas merupakan tindakan yang dilakukan bukan karena kecenderungan langsung, melainkan demi kepentingan tertentu yang terpuji atau menguntungkan. Misalkan saja ada seorang penjual yang tidak mau menipu pembelinya. Menurut Kant, tindakan penjual tersebut belum tentu bermoral. Karena bisa jadi ia melakukan itu bukan karena tindakan itu baik, tetapi agar pembelinya terus menjadi pelanggannya. Kalau demikian adanya, maka tindakan penjual tersebut tidak masuk kategori bermoral, tetapi hanya legal saja.

Sedangkan moralitas adalah tindakan yang dilakukan demi untuk kewajiban. Tindakan ini mengesampingkan unsur-unsur subjektif seperti kepentingan sendiri, melainkan berpedoman pada kaidah objektif yang menuntut ketaatan kita begitu saja, yaitu hukum yang diberikan oleh rasio dalam batin kita.

Korelasi

Itulah tiga syarat imperatif kategoris yang dijadikan Kant sebagai patokan moral. Jika sebuah tindakan tidak memenuhi satu dari ketiga prinsip tersebut, maka otomatis tindakan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindakan yang bermoral. Tindakan yang tidak bermoral berarti tindakan yang tidak memiliki nilai moral di dalamnya, yang dalam bahasa agama berarti tindakan yang tidak berpahala.

Umat Kristiani sangat berhutang besar kepada Kant dalam merumuskan etika. Karena dari prinsip ketiga, yaitu prinsip otonomi, berkembanglah apa yang disebut dengan suara hati, yaitu kesadaran moral dalam situasi konkret. Konsep suara hati ini memiliki posisi penting dalam etika Kristiani. Suara hati adalah kesadaran dalam batin saya bahwa saya berkewajiban mutlak untuk selalu menghendaki apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Dan dari kehendak itulah tergantung kebaikan saya sebagai manusia. Dan hanya saya sendirilah yang dapat dan berhak untuk mengetahui apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya. Suara hati menegaskan bahwa hanya saya, bukan orang lain, yang memutuskan tindakan saya, meskipun dipengaruhi oleh banyak pertimbangan luar. Saya lah penentu dan penanggungjawabnya.

Meski demikian, suara hati juga dapat ditemukan dalam kazanah keilmuan Islam, yang lazim kita sebut dengan hati nurani [nur ‘aini], kendati belum dikembangkan secara maksimal oleh para sarjana Muslim. Sabda Nabi, “Istafti nafsaka”, mintalah nasehat pada hati nuranimu. Di sini Nabi menegaskan, dalam menentukan sebuah tindakan, kita diperintah agar bertanya pada hati nurani kita yang terdalam, apakah tindakan tersebut baik atau tidak.

Dalam bahasa agama, konsep moralitas dan legalitas dari Kant dapat kita sebut sebagai ikhlas dan tidak ikhlas. Moralitas yang berarti melakukan sebuah tindakan murni demi sebuah kewajiban dan nilai kebaikan dari tindakan itu, tidak jauh berbeda dengan konsep ikhlas. Sedangkan lawannya, legalitas, berarti tidak ikhlas yang bisa jadi riya/pamer atau lainnya.

Dan dari konsep moralitas dan legalitas ini pula menjadi jelas bahwa yang menentukan suatu tindakan menjadi bermoral atau tidak adalah maksud/niyat pelakunya. Sebuah tindakan bisa kelihatan baik, tetapi sebenarnya tidak memiliki bobot moral karena pelakunya memiliki niyat yang lain. Konsekuensi dari ajaran etika Kant ini adalah kita tidak bisa menilai sebuah tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Kita tidak akan bisa mengetahui apa maksud dan niyat seseorang melakukan sebuah tindakan tertentu.

Karena itu, setiap penilaian bahwa orang lain adalah seorang pendosa, terkutuk, pantas masuk neraka, dsb, adalah sebuah kemunafikan yang justru menunjukkan sifat-sifat tersebut kembali kepada pengucapnya. Hanya pelakunya sendiri dan Tuhan saja yang tahu apa motif dan tujuan dari sebuah tindakan. Karenanya, memberikan penilaian-penilaian tersebut kepada sesama manusia sama saja artinya dengan merebut hak preogratif Tuhan. Sebuah tindakan yang dalam Islam disebut dengan syiri’.

Monday, February 28, 2011

Islam Menghargai Keragaman

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS al-Hujarat [49]:13).

Keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa kita ingkari. Ayat dalam Surat al-Hujarat di atas meneguhkan hal itu. Kita diciptakan Allah bukan dalam keseragaman, tapi dalam keragaman dan perbedaan, baik berbeda dalam hal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, agama, keyakinan, dan lain sebagainya. Dari perbedaan itu, Allah memerintahkan agar kita saling mengenal dan mengasihi, bukan untuk saling memusuhi.

Sejarah dan perjalanan hidup Nabi Muhammad telah menegaskan semangat kerukunan dan kasih sayang, seturut dengan ayat al-Qur’an di atas. Sebagaimana diketahui, sebelum Islam datang, di Arab telah berkembang bermacam agama dan kepercayaan yang berbeda, seperti Yahudi, Kristen, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Dan ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, di sana juga sudah ada beragam agama yang dianut, dimana yang terbesar adalah Yahudi dan Kristen. Bahkan, di Madinah, Nabi Muhammad tidak hanya menemukan keragaman agama, tetapi juga keragaman suku dan adat istiadat.

Sebagaimana ayat tersebut di atas, sikap Nabi Muhammad dalam menghadapi keragaman suku dan agama di Madinah bukan dengan memusuhi, tetapi dengan saling menghargai, menghormati, bahkan saling melindungi. Hal ini dapat kita saksikan dari dokumen penting yang terkenal dengan sebutan Piagam Madinah. Dari dokumen ini diketahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati, bukan hanya kepada sesama umat Islam, tetapi juga kepada mereka yang berbeda agama dan keyakinan.

Salah satu paragraf dalam Piagam Madinah itu adalah sebagai berikut: “Jika seorang pendeta atau pejalan kaki berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka Aku (Nabi Muhammad) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”.

Hal yang sama juga dilakukan oleh khalifah kedua Umar ibn Khattab ketika Islam menguasai Yerusalem, dimana sebagian besar penduduknya beragama non-Islam. Beliau, sebagai penguasa, membuat sebuah undang-undang yang salah satu isinya adalah sebagai berikut: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dan dalam keadaan sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi sesuatu apa pun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikit pun dari harta kekayaan mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”.

Dari petikan sejarah di atas dapat dikatakan bahwa doktrin Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin bukanlah slogan yang tanpa bukti. Praktek kehidupan Nabi dan sahabat telah membuktikan itu. Nabi datang dan diutus Allah dengan membawa kabar gembira bagi seluruh alam, bukan hanya kepada golongan tertentu saja.

Sebagai pembawa agama yang rahmatan lil’alamin, Nabi Muhammad adalah orang yang paling beradab dan penuh kasih sayang. Beliau, sebagaimana Hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah Ibn ‘Umar, adalah pribadi yang tidak kasar dan tidak pernah melampaui batas, tidak kaku, tidak bengis, tidak suka bersuara keras di pasar, dan tidak membalas keburukan dengan keburukan melainkan memaafkan dan mengampuni.

Sabda Nabi, “ Inna khiyaarakum ahsanukum akhlaaqan,” yang artinya: Sesungguhnya orang-orang terbaik di antara kalian ialah mereka yang berakhlak paling baik. Dan sabda Nabi Muhammad yang lain, “Almuslimu man salimal muslimuun min lisaanihi wayadihi,” yang berarti: Muslim sejati ialah orang yang menjaga lisan dan tangannya sehingga orang-orang muslim lain selamat dari daripadanya.

Karena itu, dalam rangka memperjuangkan prinsip yang semulia apapun, hendaklah kita tetap mengedepankan sikap tidak berlebih-lebihan, sikap kearifan dan kesantunan seperti yang diajarkan dan dicontohkan oleh Pemimpin agung kita, Nabi Muhammad SAW. Tidak justru mengikuti cara-cara munkar yang seharusnya kita cegah. Semangat membela Islam dan amar makruf nahi munkar, mestilah dilakukan dengan cara-cara yang Islami.

Dalam kitabnya yang terkenal, Ihya’ ‘Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan tahapan-tahapan bagi mereka yang akan melaksanakan perintah nahi munkar. Pertama adalah dengan cara memberi penjelasan, karena bisa jadi orang tersebut melakukan kemunkaran lantaran dia tidak mengetahui apa yang telah ia perbuat. Tahapan kedua adalah dengan cara memberi nasehat yang baik dan menakut-nakutinya akan siksa di akhirat nanti. Tahapan ketiga adalah dengan melarang secara tegas, tetapi tetap harus dengan menghindari kata-kata yang kasar dan tidak sopan. Ini dilakukan apabila cara-cara yang lemah lembut sudah tidak membekas lagi. Sedangkan tahapan terakhir adalah dengan cara kekuasaan dan pemaksaan.

Namun demikian, Imam Ghazali mewanti-wanti bahwa tahapan yang terakhir, yaitu dengan cara kekuasaan yang disertai dengan pemaksaan, hanya dapat dilakukan oleh negara melalui aparaturnya. Selain itu, tindakan ini juga harus berlandaskan undang-undang yang ada. Adapun masyarakat biasa, yaitu warga sipil yang bukan aparatur pemerintah, sama sekali tidak memiliki hak untuk melakukan pemaksaan, pengrusakan, dan tindakan-tindakan kekerasan lainnya. Dengan demikian hukum berdiri tegak dan kehidupan berjalan teratur.

Karena itu, kita yang ditakdirkan hidup di bumi Indonesia sudah seharusnya mensyukuri kekayaan keragaman yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita. Keragaman suku, budaya, bahasa, adat istiadat, warna kulit, agama, kepercayaan, dll adalah anugerah dan rahmat Allah yang harus senantiasa kita jaga dan pelihara. Hal ini bukan hanya karena pemeliharaan dan penghargaan terhadap keragaman ini akan membuat bangsa dan negara kita menjadi besar dan disegani, akan tetapi penghargaan dan pemeliharaan ini adalah perintah Allah dan Nabi Muhammad, sebagaimana al-Qur’an dan as-Sunnah telah menegaskan hal itu.

Dan penghargaan terhadap keragaman ini dapat mulai kita praktekkan dalam lingkup kehidupan yang kecil dan sederhana yaitu bertetangga. Dalam bertetangga, Islam mengajarkan kita untuk menghormati siapapun tetangga kita, baik mereka itu seagama, sesuku, dan sama warna kulitnya, maupun mereka itu berbeda agama, berbeda suku, dan berbeda warna kulitnya. Nabi Muhammad bersabda, “Siapapun yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tetangganya.” Di sini Nabi tidak merinci tetangga dengan sifat-sifat tertentu; yang berarti siapapun tetangga kita, dari manapun asal-usulnya, dan apapun agama dan kepercayaannya, harus selalu kita hormati dan hargai. Wallahu a’lamu bis shawab.

Monday, January 10, 2011

Semangat Integritas dari Orang-orang Biasa

Jejaring sosial sebagai sarana penggerak perubahan dalam dunia nyata bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Dua peristiwa yang menggegerkan masyarakat beberapa waktu lalu, kriminalisasi terhadap Bibit-Chandra dan perseteruan Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional, membuktikan hal tersebut. Dukungan yang besar dari masyarakat melalui jejaring sosial ikut memberi sumbangan yang tidak kecil terhadap proses hukum yang terjadi di dua peristiwa itu.

Demikian juga dukungan yang sampai sekarang masih mengalir kepada Sri Mulyani Indrawati (SMI).Dukungan ini berawal ketika kasus Bank Century (BC) mulai hangat diperbincangkan. Sebagaimana dalam kasus Bibit-Chandra dan Prita, mereka yang mendukung ini benar-benar orang-orang biasa, namun melek informasi, yang berbeda latar belakang pendidikan, usia, profesi, dan wilayah tempat tinggalnya. Mereka tergerak untuk memberi dukungan karena melihat proses hukum yang mereka anggap tidak adil yang menimpa orang-orang yang mereka anggap sudah bertindak dengan benar. Dalam kasus SMI, mereka berkumpul dalam grup Facebook bernama “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati” atau KPI-SMI.

Sebagai Media Penyeimbang

Buku “Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century” adalah hasil diskusi para facebookers KPI-SMI yang dengan apik dirangkum dan diolah menjadi buku oleh Steve Susanto. Buku ini dimaksudkan untuk membeberkan rangkaian fakta dan logika yang kurang mendapat porsi pemberitaan yang memadai di masyarakat sebagai akibat dari pemberitaan media yang tidak proporsional. Karenanya buku ini bertujuan untuk menyingkap tabir kebenaran yang menyelimuti perhelatan besar di pentas nasional yang bernama kasus BC (hlm 9).

Ingin menyingkap tabir lantaran kasus BC bukan lagi merupakan kasus hukum murni, tetapi sudah menjadi skandal politik yang melibatkan banyak pihak yang saling berkepentingan. SMI, yang oleh Presiden SBY disebut sebagai salah satu pembantu terbaiknya, bagi orang-orang biasa ini, tidak layak diperlakukan dengan tidak adil karena ia telah melaksanakan tugasnya secara benar dan profesional.

SMI, wanita paling berpengaruh di dunia nomor 23 tahun 2008 versi Forbes, telah banyak melakukan reformasi dan meletakkan dasar-dasar good governance di lembaga yang dipimpinnya, Kementerian Keuangan. Untuk mereformasi lembaga yang menangani sekitar 70 persen keuangan negara ini misalnya, ia telah memutasikan puluhan ribu anak buahnya. Ia juga dengan berani mencopot tokoh-tokoh lama dan menggantinya dengan figur-figur baru yang ia anggap kredibel di pos-pos penting kementeriannya (hlm 30).

Pemojokan terhadap SMI

Pemojokan SMI, yang mencapai klimaksnya dalam sidang-sidang di Pansus yang berujung pada ‘terusirnya’ dia ke Bank Dunia, dapat ditelusuri awal mulanya dari kecurigaan-kecurigaan seputar kemenangan besar Partai Demokrat di 2009. Kecurigaan ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang di antaranya “Apa yang membuat Demokrat bisa menang sedemikian meyakinkan?”, disusul pertanyaan “Dari mana sumber dananya?”, dan dilanjutkan “Siapa yang bertanggung jawab menggelontorkan uang itu?”.

Jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh para politisi, dihubungankan dengan bailout BC yang membengkak dari Rp 632 M menjadi Rp 6,7 T. Padahal kalaupun tuduhan tersebut berdasar, maka yang berhak menyelidiki seharusnya adalah lembaga hukum seperti KPK, bukan pengadilan politik seperti Pansus. Lagi pula, mengapa yang dikriminalkan justru malah kebijakannya, bukan menelusuri kemana aliran dana itu (hlm 41).

Bagi para facebookers ini, penyelamatan BC adalah pilihan yang terbaik di antara pilihan yang ada pada saat itu. Dengan diselamatkannya BC maka kerugian negara dapat diminimalkan. Biaya total penyelamatan BC yang mencapai Rp 6,7 T, bagi mereka, dapat dijustifikasi bila dibandingkan dengan dana yang diperlukan untuk melikuidasi BC yang mencapai Rp 6,4 T (hlm 168).

Di samping itu, mereka juga melihat banyak ekonom dan politisi yang menentang proses bailout BC sebagai tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini terjadi lantaran di tahun 2008 mereka menyatakan di berbagai media bahwa telah terjadi krisis ekonomi dan perekonomian Indonesia harus segera diselamatkan. Namun di tahun berikutnya tiba-tiba mereka berbalik arah dan menyangkal apa yang telah diucapkannya.

Pemojokan terhadap SMI semakin intens berkat bantuan media, terutama televisi, yang terus-menerus menyiarkan dan menggiring opini masyarakat agar sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dilihat dari proporsi yang selalu timpang antara nara sumber yang pro dan anti bailout yang dihadirkan untuk membahas kasus BC ini.

Akhirnya, bagi orang-orang biasa ini, bukan manfaat yang diperoleh dari proses panjang Pansus BC, tetapi hanya mudharat yang dihasilkan. Di antara mudharat itu adalah besarnya biaya yang digunakan untuk Pansus, perdebatan politik yang tidak jelas ujung pangkalnya sampai sekarang, dan tersendatnya laju perekonomian Indonesia yang sedang bangkit (hlm 101).

Sayangnya buku ini tidak membahas ‘terusirnya’ SMI ke Bank Dunia serta menguatnya kartel politik yang terjadi setelah Pansus berakhir. Buku ini juga terkesan membela kebijakan Presiden SBY. Padahal, sebagaimana kata Eep Saifullah Fatah dalam launching buku ini, andai saja pidato pembelaan dan pertanggungjawaban SBY atas skandal BC terjadi tiga bulan sebelumnya, maka diyakini SMI masih akan tetap berada di Indonesia, Pansus tidak perlu terbentuk, dan buku ini tidak perlu disusun.

Tapi toh semua itu malah menunjukkan kualitas dan ketokohan seorang SMI. Dan bukan SMI yang dirugikan dari carut-marut ini, tetapi kita semua yang dirugikan karena telah kehilangan seorang tokoh reformis, profesional, dan berintegritas. Setidaknya demikian menurut para pendukungnya.

Judul : Mengapa Sri Mulyani? Menyibak Tabir Bank Century
Penulis : Steve Susanto
Penerbit : PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Cetakan : I, November 2010
Tebal : xv + 202 halaman

Thursday, December 23, 2010

Guru Lokal Berkualitas Global

In Memoriam KH Faruq Barlian

“Gak ada yg tau, kapan kita kembali kepada-Nya. Selamat jalan Pak, sampai ketemu lagi di ‘sana’.” [Gus Wasi’ Hilmy]

Lima tahun belajar di Mathali’ul Falah, aku hanya dapat memandanginya dari kejauhan. Bahkan sampai sekarang pun, enam tahun setelah lulus, masih juga demikian. Aku sangat iri dengan teman-teman dari ndalem dan pengurus PMH Putra yang dengan ‘tanpa sungkan’ bisa bercengkerama dengan beliau. Atau dengan kawan-kawan dari pengurus harian HSM yang terbiasa berbincang dengan beliau. Sebagai siswa dan santri biasa, aku tidak memiliki cukup keberanian untuk berbuat seperti mereka. Bahkan beliau mungkin tidak mengenaliku. Dan karena dari kejauhan itulah coretanku ini mungkin banyak yang kurang tepat. Semoga teman-teman yang dekat dengan beliau berkenan membetulkannya.

Bertubuh kurus kering, dengan kaca mata kecil namun tebal, aku melihatnya sebagai sosok yang dingin dan pendiam. Kata pendiam mungkin kurang tepat, karena bagaimana aku yang jauh darinya bisa tahu kalau beliau adalah seorang pendiam. Penggambaranku itu mungkin lebih karena aku sendiri yang pendiam dan tidak pernah bertegur sapa dengan beliau.

Tapi di balik kedinginan dan kediamannya itu, ada sebuah kekaguman yang membuatku selalu memperhatikannya. Sekali lagi memperhatikannya dari kejauhan yang disertai dengan perasaan kagum dan bangga. Aku melihatnya sebagai sosok yang unik. Unik karena beliau memiliki kemampuan dan kapasitas lebih dari kebanyakan santri-santri di pesantren tradisional. Kemampuan lebih dengan latar belakang yang ‘hanya’ dari pesantren membuatnya tidak hanya unik, tapi sekaligus hebat. Hal ini mengingatkanku pada dua tokoh yang juga menjadi idola beliau: Gus Dur dan Kiai Sahal. Tentu njomplang membandingkan beliau dengan kedua tokoh tersebut. Namun menurutku, beliau adalah bentuk lain dengan ukuran yang lebih kecil dari seorang Gus Dur atau Kiai Sahal.

Namanya Faruq Barlian. Kami biasa memanggilnya Pak Faruq. Sebuah nama yang menurutku aneh dan lagi-lagi juga unik. Aneh karena nama Barlian terdengar asing di telinga santri. Unik karena nama itu mirip dengan kata berlian. Bahkan awalnya aku mengira nama beliau adalah Faruq Berlian. Usianya belum ada empat puluh tahun.

Semula aku hanya mendengar dari teman-teman bahwa beliau mengajar Administrasi di kelas Tsanawiyah. Aku heran, bagaimana bisa seorang lulusan pesantren yang tidak pernah kuliah bisa mengajar administrasi, sebuah pelajaran umum yang tidak intens dipelajari di pesantren. Apalagi, kata teman-temanku tadi, dalam mengajar beliau sangat mahir dan menguasai. Beberapa kali aku juga menghadiri seminar dimana beliau tampil sebagai pemateri atau pemberi sambutan. Dari situ aku tahu bahwa orang ini beda dari yang lain. Penyampaiannya runtut dan kalimatnya datar tapi mengena. Lebih dari itu, selalu ada yang baru dari yang disampaikannya. Aku menemukan seorang guru muda yang ‘berisi’, cemerlang, dan potensial. Aku hanya berharap suatu saat aku bisa diajar oleh beliau.

Kesempatan itu datang di kelas tiga Aliyah. Ada sebuah mata pelajaran baru, yang sebelumnya belum pernah diajarkan di sekolahku, yaitu pelajaran Sosiologi. Bagi orang luar mungkin terdengar aneh: sebuah sekolah tingkat aliyah tapi baru memasukkan pelajaran Sosiologi di dalam kurikulumnya di tahun 2004, dan itu pun hanya ada di kelas tiga. Harus dipahami bahwa sekolah kami adalah sekolah keagamaan berbasis pesantren, yang mata pelajaran umumnya hanya sebagai ‘pelengkap’. Katanya, 75% pelajaran di sekolah kami adalah agama, sisanya pelajaran umum. Tapi kata Kiai Nur Hadi – Allahu yarÄ¥amhu – semua ilmu adalah kepunyaan Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Karena itu tidak perlu lagi ada dikotomi antara pelajaran agama dan umum. Dan karena semuanya adalah ilmu Allah, maka semuanya adalah pelajaran agama.

Dan yang diberi tugas oleh sekolah untuk mengajarkan pelajaran baru itu kepada kami adalah Pak Faruq. Dengar-dengar, yang pertama kali diserahi tugas untuk mengajar mata pelajaran ini adalah Kiai Mu’adz Thohir, seorang kiai pesantren yang menguasai ilmu-ilmu umum, tapi menolak dan menyerahkannya kepada beliau. Aku berfikir, pasti kualitas orang ini tidak sembarangan, sehingga jatah yang seharusnya untuk Kiai Mu’adz diberikan kepadanya.

Pertama kali mengikuti pelajaran Sosiologi membuatku langsung kecanthol dengan beliau. Kekagumanku kepadanya selama ini seakan mendapatkan daya penguat baru. Seakan meniru kiai-kiai sepuh yang mucal kami, dalam mengajar beliau tidak membawa buku pegangan. Materi diterangkan dengan lancar seakan-akan beliau sudah hafal dan telah menguasainya di luar kepala. Memang materi yang beliau sampaikan tiap pertemuan tidak banyak, dan pasti sudah beliau pelajari pada malam harinya. Tapi penjelasan beliau yang runtut dan mudah dipahami oleh para murid, dengan diselingi contoh-contoh konkret di sekitar, membuat pelajaran semakin hidup dan tidak membosankan. Penjelasannya juga diperkaya dengan ilmu dan pengetahuan yang lain, yang menunjukkan kekayaan bacaan dan luasnya pengetahuan beliau.

Pelajaran Sosiologi yang hanya satu jam pelajaran (kurang lebih 45 menit) tiap minggunya adalah salah satu pelajaran yang aku tunggu-tunggu. Buku pegangannya – tentu pegangan buat kami, karena beliau tidak pernah membawa buku – adalah foto copy-an diktat Sosiologi untuk kelas dua SMA cetakan Airlangga. Seperti kebanyakan buku dan kitab pelajaran yang lain, sampai lulus kita tidak pernah mengkhatamkan buku pelajaran yang sebenarnya ‘hanya’ sebuah pengantar ini. Bagi sebagian kami, ketidak-khataman ini tidak terlalu penting. Ada sesuatu yang lebih penting dari itu: berkah. Ya, kami menyebutnya berkah, sebuah daya dan kekuatan spiritual yang memudahkan kami untuk mampu mengamalkan ilmu yang telah kami peroleh untuk menjadi manusia yang lebih baik. Kelanjutan pelajaran itu gampang karena dapat dibaca sendiri kapan saja kita mau, tetapi berkah tidak bisa diperoleh di sembarang tempat. Dan di sekolah kami inilah kami percaya berkah itu ada.

Bagiku, mengikuti pelajaran Sosiologinya Pak Faruq adalah sebuah ironi. Banyak orang mengatakan bahwa untuk sukses dalam sebuah pelajaran, kita harus menyukai guru beserta mata pelajarannya. Tapi itu tidak terjadi padaku. Guru Sosiologi yang aku kagumi, pelajaran Sosiologi yang aku sukai, dan penjelasannya yang aku sambut dengan antusias, ternyata tidak membuat nilaiku menjadi baik. Berturut-turut dari cawu satu sampai tiga, aku mendapat nilai Sosiologi di raportku adalah 6, 5, dan 7. Tapi setidaknya aku masih bisa berbesar hati, mengharap semoga berkah itu telah dan terus aku dapatkan.

Teror

Mengaguminya dari kejauahan ternyata membuat teror tersendiri bagiku. Kecermelangan otak dan luasnya pengetahuan beliau membuatku selalu merasa inferior. Tatapan matanya ketika bersimpangan, yang entah beliau mengenalku atau tidak, seolah meneror dan mengajakku agar memiliki kemampuan yang sama dengan beliau. Aku yang tidak pandai berorganisasi, seolah melihat sosok ideal pada dirinya yang pintar berorganisasi. Aku yang tidak pandai berbahasa Inggris melihat diriku kontras dengan sosoknya yang mahir berbahasa asing. Aku yang minim akan pengetahuan umum mendapatkannya sebagai guru yang fasih dengan pengetahuan kekinian. Aku yang tidak pandai berinteraksi sosial dengan malu hanya dapat mendengarkannya di dalam kelas menjelaskan aksi-rekasi-interaksi, sebuah bab di buku Sosiologi.

Sebagai orang pesantren, beliau memang seorang santri yang ideal. Tidak pernah belajar di universitas, tapi pengetahuan beliau tidak kalah dari mereka yang bergelar sarjana dan doktor. Pelajaran-pelajaran umum beliau ampu dengan baik dan memikat. Sebagai pembina HSM, bersama dengan Kiai Mu’adz, kemampuannya berorganisasi tidak ada yang meragukan. Jabatannya sebagai pembantu pengasuh di PMH Putra menunjukkan kualitasnya. Tidak sembarang orang bisa menjadi wakil Kiai Sahal dalam mengasuh dan mengelola pesantrennya. Meski saya belum pernah menemukan tulisan beliau di media massa, tapi beberapa tulisannya yang ada di majalah sekolah menunjukkan bahwa beliau adalah seorang penulis yang handal. Kata beberapa teman yang pernah sowan ke rumahnya, beliau memiliki perpustakaan pribadi dengan koleksi bermacam buku, mulai dari agama, filsafat, politik, ekonomi, sastra, komik, dll.

Adapun untuk pengetahuan agama, jangan kau tanyakan lagi. Tidak sembarang orang bisa mengajar di sekolah kami Mathali’ul Falah. Beliau juga mengajar posonan di pesantrennya Kiai Sahal. Rasanya tidak mungkin beliau diserahi tugas mengajar di sebuah pesantren ternama yang pesertanya adalah para santri dari berbagai pesantren lain kalau beliau sendiri tidak alim. Beberapa waktu lalu aku mendengar kabar kalau beliau berangkat ke Jerman bersama beberapa intelektual Indonesia untuk menjelaskan model keislaman a la Indonesia. Belakangan kabar yang aku dengar beliau aktif di Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah (STAIMAFA).

Pribadinya memang sederhana. Aku melihat baju dan celana yang beliau pakai dari dulu itu-itu juga. Dengan selalu memakai sandal (katanya beliau tidak suka memakai sepatu), beliau selalu setia dengan sepeda onthelnya yang digunakan setiap harinya, meskipun banyak muridnya yang naik motor. Yang cukup menarik bagiku adalah beliau selalu turun dari sepedanya setiap kali sampai di depan makam Mbah Mutamakkin. Sebuah ke-tawadhu’-an dari seorang santri, yang meskipun sudah berada di era dan berpikir modern, tetapi tidak lupa akan asal-usul dan latar bekakangnya.

Sebagai Muslim, beliau adalah seorang Muslim yang progresif. Beliau tetap memegang teguh ajaran Islam, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam, seraya tetap terbuka dengan ilmu-ilmu kekinian. Keterangan dan penjelasannya di dalam kelas menunjukkan bahwa beliau adalah seorang yang berpikiran terbuka. Tentu banyak alumni pesantren yang berpengetahuan dan berpikiran seperti itu. Tapi yang membedakannya dari yang lain adalah beliau mendapatkan itu semua dari pesantren dan belajar sendiri secara otodidak, sebagaimana kiai beliau KH Sahal Mahfudz. Tentang ini, mungkin beliau mirip dengan alumni PIM yang terkenal itu, Ulil Abshar Abdalla. Bedanya kalau Ulil berkiprah di lingkup nasional, beliau mencukupkan diri untuk berkiprah di lingkup lokal.

Tapi ternyata Tuhan mengambil mutiara yang masih muda ini lebih awal. Tadi malam, dalam sebuah kecelakaan, tepat di hari ibu 22 Desember 2010, beliau berpulang kepada-Nya. Kini kita telah kehilangan seorang pribadi hebat dan potensial. Seorang dengan kapasitas intelektual yang mumpuni dan kecerdasan yang tinggi, tapi sederhana dan rendah hati. Seorang guru yang berkualitas global yang mengabdi di tingkat lokal. Seorang idola yang sampai saat terakhir menghembuskan nafasnya hanya dapat aku pandangi dari kejauhan. Benar-benar dari kejauhan.

Kini, secara fisik, teror itu sudah tidak ada lagi. Tapi semoga teror itu masih terus ada di dalam hati dan pikiran untuk mencambukku, dan juga kita semua, agar dapat mengikuti jejak dan langkah beliau. Selamat jalan guruku, KH Faruq Barlian, sampai ketemu nanti di ‘sana’. Semoga semua amal ibadah Bapak diterima oleh-Nya, dan kekhilafan-kekhilafan Bapak diampuni-Nya. Semoga Bapak mendapatkan tempat yang baik di sisi-Nya. Untuk keluarga yang ditinggalkan semoga mendapatkan ketabahan, kesabaran, dan kemudahan dari-Nya. Dan semoga segera muncul Faruq Barlian-Faruq Barlian baru yang lain di pesantren kami. Amiiin.

Lahu al-Fatihah . . . . . . .

Thursday, November 11, 2010

Sri Mulyani dan Kerudung Nusantara

Pernahkah Anda melihat Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI yang sekarang menjabat sebagai managing director Bank Dunia, memakai kerudung atau jilbab? Orang luar yang mengetahuinya hanya dari berita media massa, sulit rasanya untuk mengatakan pernah. Ini karena dalam aktivitas keseharian Mbak Ani, begitu dia sering disapa, pakaian yang biasa ia kenakan adalah blazer tanpa kerudung. Mungkin hanya dalam kesempatan-kesempatan tertentu saja Mbak Ani terekspos media dengan berkerudung, semisal dalam acara ta’ziyah ibundanya yang meninggal beberapa waktu lalu di Semarang atau memperingati hari-hari besar keagamaan di Istana. Selain acara semacam itu tidak sering terjadi, Mbak Ani juga tidak mendapat sorotan yang berlebihan dalam acara-acara tersebut.

Kerudung Mbak Ani

Tapi ada pemandangan unik ketika kita masuk ke sebuah grup di Facebook yang berjudul “Kami Percaya Integritas Sri Mulyani Indrawati!” atau KPI-SMI. Di sana kita akan menemukan Mbak Ani memakai kebaya panjang batik lengkap dengan kerudungnya yang panjang tergerai. KPI-SMI adalah grup yang dibuat oleh beberapa sahabat beliau yang didedikasikan untuknya sebagai dukungan ketika kasus skandal Bank Century ramai dibicarakan. Grup itu saat ini beranggotakan sekitar 130 ribuan member dan masih cukup ramai sampai sekarang.

Pertanyaannya, kenapa foto profil yang dipasang adalah foto Mbak Ani yang berkerudung, foto dengan latar yang jarang dia perankan, bukan foto dengan stelan jas dan rambut sebahu dan terbuka sebagaimana biasa kita saksikan? Menurut saya, ini adalah bagian dari upaya pencitraan terhadap figur beliau. Kita tahu, munculnya grup dimana foto itu berada adalah ketika kasus Century sedang panas. Waktu itu Mbak Ani diserang dari mana-mana. Tidak hanya tokoh-tokoh partai politik yang menjadikannya sebagai sasaran tembak, tetapi hampir semua media massa dan tokoh-tokoh nasional juga menjadikannya target yang harus dibidik.

Nah dalam situasi semacam itulah penggagas KPI-SMI mungkin ingin membantunya melalui sebuah gerakan yang berada di luar institusi yang sudah ada untuk mendukung dan membela kebijakan-kebijakannya yang mereka anggap sudah benar dan tepat. Selain menampilkan teori dan analisa yang njelimet yang ada di wall dan forum diskusi grup, dukungan itu antara lain berupa pemasangan foto Mbak Ani yang berkerudung itu tadi. Foto itu ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa Mbak Ani bukanlah seorang yang jauh dari agama, meskipun bidang yang ia geluti tidak berhubungan secara langsung dengan “masalah-masalah keagamaan”. Foto itu mau menegaskan bahwa Mbak Ani adalah orang yang sangat religius. Relevansinya dengan kasus Century adalah bahwa Mbak Ani juga seorang yang bermoral dan patuh hukum, karena itu mereka yang mengatakan bahwa Mbak Ani telah melakukan kebijakan yang tidak benar untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu sehingga merugikan negara adalah salah besar.

Namun pencitraan semacam ini bukanlah monopoli pendukungnya Mbak Ani untuk memoles pujaannya. Hampir semua orang juga melakukan hal yang sama. Lihatlah kartu suara pada pilpres 2004 dan 2009. Di situ terpampang foto Megawati yang mengenakan kerudung bersandingan dengan KH. Hasyim Muzadi dan Prabowo Subianto. Padahal kita semua tahu, dalam kesehariannya Bu Mega tidak memakai kerudung. Demikian juga dengan para caleg, cagub, cabup, dll dalam setiap pemilu dan pilkada. Mereka yang biasanya tidak memakai kerudung atau jilbab tiba-tiba merubah penampilannya dengan mengenakan “busana Muslimah” ini.

Apakah pencitraan semacam itu dibenarkan? Kalau titik tolaknya adalah dalil-dalil agama, mungkin hal itu tidak layak dilakukan. Karena dalam agama, segala sesuatu yang dilakukan harus diniyati ikhlas karena Allah, bukan karena selain-Nya. Jadi tidak dibenarkan kita melakukan sesuatu agar masyarakat mengira kita adalah orang baik. Tetapi toh nyatanya kita hidup di sebuah zaman dimana pencitraan memiliki peran yang sangat menentukan untuk sebuah kesuksesan. Hal ini juga diperparah oleh sikap sebagian masyarakat yang dengan mudah menerima polesan citra itu tanpa merenungkan apalagi menggugatnya.

Sejarah Kerudung

Namun demikian, apakah berkerudung atau berjilbab merupakan sebuah kewajiban keagamaan? Apakah tidak berkerudung bagi seorang Muslimah adalah sebuah perbuatan dosa?

Hukum agama (fiqh) atau syari’ah adalah hasil sebuah ijtihad para ulama. Ia bukan semacam KUHP yang sudah jadi dan diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sehingga kita tinggal menjalankannya. Faktanya adalah perintah dan larangan yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits biasanya masih dalam bentuk umum, atau kalau dalam bentuk khusus biasanya terjadi dalam konteks-konteks tertentu. Kita yang awam akan hukum agama tidak bisa serta merta menjalankannya tanpa mengetahui apa maksud dan kandunganya.

Dan proses untuk mengetahui maksud serta kandungan dari firman Allah dan sabda Nabi itu dinamakan ijtihad. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad, tetapi hanya orang-orang tertentu yang memiliki kedalaman ilmu agama dan konsen terhadap masalah-masalah keagamaan saja. Karena itu, syari’ah yang kita lakukan mulai dari shalat, zakat, puasa, dll beserta dengan detail-detailnya adalah produk ijtihad dari para ulama. Biasanya kita hanya berperan sebagai konsumen hasil ijtihad mereka. Bahkan mereka yang mengklaim sebagai kelompok Islam modernis pun sebenarnya juga menjalankan apa yang difatwakan oleh tokoh dan ulama panutan mereka.

Karena perbedaan latar belakang pendidikan, sosial-politik, dan minat dari dari masing-masing ulama, maka hasil ijtihad yang mereka lakukan juga bisa berbeda satu sama lain. Demikian juga tentang masalah jilbab/kerudung. Beberapa dari mereka mengatakan bahwa berjilbab adalah kewajiban syari’ah, sedangkan yang lainnya mengatakan itu hanya sebuah budaya saja.

Pandangan yang mengatakan bahwa jilbab adalah wajib mendasarkannya pada ayat dalam al-Qur’an yaitu QS. al-Ahzab ayat 59 dan QS. an-Nur ayat 31. Bagi mereka, kedua ayat tersebut memerintahkan para Muslimah untuk menutup kepalanya dengan jilbab/hijab. Sedangkan bagi mereka yang mengatakan tidak wajib, kedua ayat tersebut hanya menyuruh kaum Muslimah untuk mengenakan pakaian yang pantas dan bermoral saja.

Lepas dari perdebatan fiqih tersebut, jilbab atau penutup kepala sebenarnya bukanlah monopoli Islam saja. Jilbab sebagaimana yang kita kenal, atau chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman, keberadaannya sudah ada jauh sebelum Islam datang. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa istilah yang semakna dengan hijab seperti tif’eret. Demiki-an pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani juga ditemukan istilah semakna. Misalnya istilah zammah, re’alah, zaif dan mitpahat.

Bahkan konsep hijab dalam arti penutup kepala sudah dikenal sebelum adanya agama-agama samawi (Yahudi dan Nasrani). Bentuk pakaian seperti ini sudah ada dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria.

Karena itu terserah bagi kita yang percaya bahwa jilbab/kerudung itu wajib untuk memakainya. Dan bagi yang percaya bahwa pakaian ini tidak wajib juga terserah untuk tidak mengenakannya. Semuanya adalah hasil ijtihad, yang bisa benar dan juga bisa salah. Dan semuanya sama-sama mengaku sebagai ajaran Islam yang benar. Yang terpenting adalah tidak mendakwa yang lain sebagai tidak Islami hanya karena masalah jilbab.

Kerudung Nusantara

Kembali pada Mbak Ani. Kalau kita amati, cara berkerudung yang ia lakukan tampak berbeda dengan praktek berjilbab yang banyak kita saksikan di masyarakat. Yang dikenakan Mbak Ani adalah kerudung yang berupa kain panjang yang digunakan untuk menutup kepalanya, dengan sebagian rambut depannya masih kelihatan, dan tanpa ikatan di bawah dagunya. Model berkerudung ini sama dengan yang dilakukan oleh Yeni Wahid, putri almarhum Gus Dur. Tentu berkerudung seperti ini berbeda dengan kebanyakan jilbab yang dipakai oleh wanita-wanita Muslimah yang lain, yang mengikatkan kerudung di bawah dagu serta tidak menampakkan rambut kepala di depannya.

Bisa jadi alasan Mbak Ani memakai kerudung model ini karena lebih fleksibel lantaran dia tidak terbiasa dengan memakai jilbab. Bila dirunut ke belakang, mungkin itu karena latar belakangnya yang bukan dari golongan “santri”. Selama ini ia lebih identik dengan kelompok nasionalis, meski menurut beberapa pendukungnya dia jg sangat religius.

Namun model berkerudung Mbak Ani inilah yang sebenarnya lazim dipraktekkan oleh para wanita Muslimah Indonesia masa lalu. Inilah model berkerudung yang masih “asli” dan produk Islam Nusantara. Kalau Anda tidak percaya, lihatlah gambar-gambar dalam sejarah perjuangan Republik ini. Dalam perkumpulan dan persyarikatan dimana wanita yang berkerudung turut hadir, maka model kerudungnya adalah seperti Mbak Ani ini, bukan berbentuk jilbab yang sekarang banyak kita kenal.

Berkerudung model ini tidak hanya dipraktekkan oleh orang-orang biasa, tetapi juga oleh wanita-wanita yang dianggap sebagai tokoh agama Islam. Istri KH Wahid Hasyim, menteri agama pertama dan putra KH Hasyim Asy’ari, memakai kerudung model ini. Istri Muhammad Natsir, tokoh yang getol menyerukan Negara Islam, juga sama cara berkerudungnya. Demikian juga cara berkerudung istri Muhammad Hatta, proklamator kita. Dan masih banyak lagi tokoh-tokoh Muslimah lainnya yang mempraktekkan model berkerudung semacam ini. Di antara mereka yang saat ini masih mempraktekkannya adalah Nyai Nafisah Sahal, istri KH MA Sahal Mahfudz, ketua umum MUI, dan istri KH Maimoen Zubair, sesepuh dan ketua dewan syari’ah Partai Persatuan Pembangunan. Dan sampai sekarang masih banyak ibu-ibu Muslimah di daerah-daerah, termasuk ibu saya, yang masih berkerudung model Mbak Ani ini.

“Kerudung Nusantara” ini adalah perpaduan antara budaya setempat dengan budaya yang diimpor dari Timur Tengah. Ini adalah sebuah bentuk penghargaan dari para ulama Nusantara terhadap buadaya lokal yang sudah ada. Mereka tidak memaksakan sebuah budaya yang sama sekali baru dengan sera merta mencabut budaya yang sudah ada. Inilah hasil ijtihad mereka yang memiliki pemahaman ilmu-ilmu agama yang mendalam.

Adapun model jilbab yang kita kenal saat ini baru meluas belakangan sekitar tahun 80-an. Model ini awalnya banyak dipraktekkan oleh kelompok-kelompok terbatas yang ada di perkotaan, yang banyak mendapat pengaruh budaya dan cara-cara berislam baru dari Timur Tengah. Dan akhirnya model jilbab inilah yang sekarang dominan. Belakangan model jilbab yang lain dari Timur Tengah juga sudah mulai masuk ke Negeri ini, yaitu jilbab panjang yang menutupi hampir setengah badan dengan muka tetap masih terbuka, yang banyak dipakai oleh para akhawat. Bahkan jilbab ekstrim pun mulai dilirik, yaitu kain yang menutupi seluruh bagian kepala, kecuali kedua mata, yang biasa kita kenal dengan sebutan cadar.

Mbak Ani Berkerudung Lagi?

Banyak pengamat mengatakan Mbak Ani adalah capres potensial di tahun 2014 mendatang. Sahabat dan para pendukungnya juga mengharapkan itu. Dan kita semua tentu tahu, modal untuk memenangi pilpres tidak hanya berupa kecerdasan, pengetahuan, pengalaman, kekuatan finansial, dan dukungan politik, tetapi juga pengemasan/pencitraan yang baik. Dan kalau akhirnya Mbak Ani maju, apakah dalam rangka pencitraan itu dia harus berkerudung lagi guna menggaet lebih banyak simpati dari para pemilih Muslim? Perlukah Mbak Ani memoles dirinya sedemikian rupa sehingga dia terlihat sebagai seorang yang religius? Haruskah di surat suara nanti kita menjumpai foto Mbak Ani sama seperti Bu Mega yang tiba-tiba berkerudung?

Sabda Kanjeng Nabi, “at-taqwa hahuna”, ketakwaan itu berada di dalam hati. Tidak perlu berkerudung kalau hanya untuk pencitraan kepada masyarakat. Cukuplah menjalin dan memperbanyak komunikasi dengan para tokoh dan masyarakat Muslim agar lebih dekat dengan mereka. Cukuplah dengan membantu dan memberi perhatian yang cukup kepada mereka, sehingga ia diakui sebagai bagian dari mereka.

Tidak perlu berkerudung hanya untuk kepentingan kampanye. Kalau mau berkerudung, lakukanlah itu murni karena dorongan hati nurani dan dikenakan terus menerus, bukan karena tuntutan pencitraan dan hanya dilakukan sesaat saja. Berkerudung hanya saat kampanye menunjukkan bahwa pelakunya tidak konsisten dengan apa yang diyakininya. Jadilah diri sendiri. Dan kalau akhirnya berketatapan hati untuk berkerudung, silahkan memilih, memakai model “kerudung Nusantara” atau model jilbab. Semuanya baik. Yang penting tidak yang ekstrim dan malah menakutkan yang lain.

Friday, August 6, 2010

Permainan Sepak Bola dan Sepak Bola Mainan

Memperbincangkan sepak bola tidak akan ada habisnya. Ia dapat dikupas dari berbagai sisinya. Strategi, filosofi, keindahan, pelatih dan pemain, perkembangan, ekonomi, nasionalisme, pengaruh, dsb, adalah bagian dari sisi-sisi itu. Semua itu tidak lain menunjukkan bahwa olah raga yang satu ini memang menarik. Ia memiliki pesona yang tidak dimiliki oleh cabang-cabang olah raga lainnya. Hal ini menjadikan sepak bola sebagai olah raga terpopuler di planet ini. Berikut adalah sedikit ulasan tentang cabang olah raga yang konon dapat menghilangkan sekat-sekat etnis, memperkuat rasa nasionalisme, dan ikut menghilangkan rasisme di dunia.

Permainan sepak bola

Sepak bola adalah olah raga yang sekaligus permainan. Dinamakan olah raga karena tujuan awal dari sepak bola – yang konon ditemukan oleh masyarakat Jepang dan dijadikan sebagai cabang olah raga modern oleh orang-orang Inggris – adalah mengolah raga. Mengolah raga berarti mengupayakan raga atau badan agar sehat dan bugar. Namun ia sekaligus adalah permainan, karena di dalam olah raga ini terdapat berbagai aturan dan hukum yang harus dijalankan agar olah raga ini terlihat cantik, menarik, dan enak ditonton. Karena alasan yang terakhir inilah maka kita saksikan peraturan yang ada di sepak bola terus berkembang, dari waktu ke waktu, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Dari yang semula pelanggaran cukup dengan diperingatkan saja berubah dengan dimunculkannya kartu merah dan kuning yang terinspirasi dari lampu lalu lintas; dari yang semula pemain bebas berada di mana saja berubah dengan diberlakukannya aturan off side; sampai dengan isu-isu terkini tentang penggunaan teknologi modern dalam pertandingan.

Sebagai permainan, sepak bola berbeda dari olah raga lain yang bukan permainan. Sebutlah misalnya jogging. Meskipun tujuan awal dari keduanya adalah sama, yakni untuk menyehatkan badan, namun tidak ada peraturan yang ‘njelimet’ di dalam jogging. Anda dapat melakukan jogging dengan gaya dan model apa saja sesuka Anda, dan selama tidak mengganggu orang lain, maka tidak akan ada yang menegur dan badan pun sehat.

Namun sebagai olah raga, sepak bola telah jauh melenceng dari tujuan awalnya. Saat ini hampir mustahil untuk menemukan para pemain sepak bola profesional yang bermain bola murni bertujuan untuk menyehatkan badan. Tujuan dan motif ekonomi mungkin menjadi yang utama dalam cabang olah raga ini, di samping tujuan-tujuan lainnya. Sepak bola telah menjadi sebuah pekerjaan dan para pemainnya menjadi seorang profesional. Apakah ‘penyelewengan’ ini salah? Sama sekali tidak. Bahkan tindakan ini mungkin malah perlu ditiru. Sebagaimana yang diungkapkan oleh banyak pakar, untuk menjadi orang yang sukses, kita dianjurkan untuk menekuni sebuah bidang pekerjaan yang sekaligus merupakan hobi kita. Karena itu, para pemain sepakbola yang menjadikan hobi mereka bermain bola sebagai pekerjaan, adalah contoh orang-orang yang berada di jalur menuju kesuksesan itu. Selain mendapatkan gaji sebagai imbalan dari kerja profesional mereka, mereka juga akan mendapat kebugaran dan kesehatan badan. Lebih dari itu, mereka akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan, karena mereka melakukan pekerjaan yang mereka sukai. Dan penyelewengan ini bukanlah monopoli sepakbola saja, namun hampir semua cabang olah raga saat ini telah menjadi ladang pencarian nafkah bagi para pelaku di dalamnya.

Sebagai cabang olah raga, sepak bola – selama dijalankan sesuai dengan aturannya - adalah benar-benar olah raga. Saya katakan ‘benar-benar olah raga’ karena ada beberapa cabang olah raga yang sebenarnya bukan olah raga. Tinju, gulat, dll adalah contohnya. Olah raga warisan jaman purba ini tujuannya bukan untuk mengolah raga, tetapi malah sebaliknya untuk merusak raga. Jika dalam olah raga yang lain nilai dan kemenangan didapat dari sebuah objek yang berada di luar diri para pemain, seperti memasukkan bola ke gawang musuh dalam sepak bola, memasukkan bola ke dalam ranjang dalam basket, adu cepat untuk mencapai batas tertentu dalam lari, dsb, maka dalam olah raga purba ini nilai dan kemenangan didapat dengan melukai dan melumpuhkan lawan. Jika di olah raga lain baik pemenang dan yang kalah sama-sama sehat, maka di olah raga jenis terakhir ini baik pemenang, apalagi yang kalah, sama-sama kesakitan dan menderita. Olah raga semacam ini adalah warisan dari peradaban purba di mana yang berlaku adalah hukum rimba, akal budi belum dihargai, dan manusia dalam kedudukan yang sama dengan binatang. Namun anehnya banyak orang dan negara yang saat ini mengklain sebagai orang dan negara modern dan beradab, menjunjung tinggi HAM, harkat, dan martabat manusia, masih menyukai dan mempraktekkan olah raga ini.

Bahwa bermain sepak bola dapat menyehatkan dan mendatangkan materi, hampir semua orang sudah mengetahui. Tapi lebih dari itu, sepak bola juga bisa mengasah kecerdasan. Orang yang otaknya tidak jalan dipastikan tidak akan bisa memerankan dengan baik tugasnya di lapangan. Sepak bola, seperti olah raga yang lain, memerlukan kecepatan berpikir, kesigapan bertindak, kecerdasan yang tinggi, penguasaan emosi yang mumpuni, dan rasa kebersamaan yang baik. Sulit dibayangkan bahwa orang-orang semacam Cesc Fabregas, Didier Drogba, dll. adalah orang-orang yang bodoh. Bahkan, meski tidak sampai kuliah, mereka memiliki potensi, bakat, dan jiwa kepemimpinan yang hebat yang tidak dimiliki banyak orang-orang berpendidikan resmi yang lain.

Mainan sepak bola

Sebagai olah raga, sepak bola tidak hanya menyehatkan orang-orang yang bermain di atas rumput hijau, tetapi juga ‘menyehatkan’ mereka yang bermain di luar lapangan. Mulai dari penjual makanan dan souvenir, media, sponsor, rumah taruhan, dll. sampai pemilik klub itu sendiri. Di sini, permainan sepak bola di lapangan hanyalah bagian kecil dari gerak permainan besar yang ada di luar lapangan. Sepak bola adalah ‘alam kecil’ dari sebuah ‘alam besar’ yang melingkupinya.

Sepak bola yang awalnya adalah sebuah permainan dan olah raga untuk kesehatan telah direduksi menjadi sebatas mainan oleh kekuatan besar yang ada di luar itu. Permaian di luar ini ada kalanya ikut ‘menyehatkan’ permainan yang ada di dalam lapangan, tapi sering kali juga malah menyakitkan. Kekuatan besar itu bermacam-macam, tapi dapat diringkas menjadi satu entitas: modal. Kekuatan modal inilah yang memiliki kekuatan super dalam menentukan permainan sepak bola selanjutnya.

Di antara kekuatan besar itu adalah pemilik klub. Pemilik klub adalah penyandang dana utama dari sebuah klub. Besar kecilnya klub tergantung dari tebal tipisnya kantung sang pemilik. Klub juga sekaligus ladang uang baginya. Klub, dan juga orang-orang yang ada di dalamnya termasuk para pemain, adalah alat bagi pemilik. Pemilik bebas menentukan siapa pelatih, siapa pemain yang akan direkrut, dan tim seperti apa yang ia inginkan. Pemilik memiliki kekuatan untuk menentukan dan membentuk klub. Karena banyak para pemilik yang sebenarnya tidak suka sepak bola (setidaknya kurang begitu paham dengan sepak bola), maka yang terjadi adalah murni urusan bisnis. Maka di hadapan pemilik, pelatih dan pemain adalah objek, bukan subjek merdeka yang sama kedudukannya. Pemain yang seharusnya berolah raga agar sehat menjadi tidak dapat bermain dan kehilangan haknya karena pemilik klub menumpuk banyak pemain bintang sehingga mengurangi jatah bermainnya. Pemilik tidak lagi perduli dengan perasaan dan pribadi pemain. Yang penting baginya adalah bagaimana agar klub menang, sehingga pemasukan dan laba mengalir. Klub benar-benar menjadi alat produksi bagi pemiliknya.

Namun ada juga klub yang benar-benar menjadi mainan para pemiliknya, mainan dalam arti yang sesungguhnya. Dua dari klub besar Liga Inggris saat ini, Chelsea dan Manchester City adalah contohnya. Chelsea, yang pada awal 2000-an mengalami kesulitan keuangan, dibeli oleh milyarder Rusia keturunan Yahudi, Roman Abramovich, senilai sekitar 3 trilyun rupiah. Dan sejak itu, Roman menggelontorkan beberapa triliyun lagi untuk membesarkan Chelsea. Para pemain hebat didatangkan dengan harga transfer yang tinggi serta gaji selangit, pelatih hebat dihadirkan untuk mengangkat prestasi klub, dan pusat-pusat latihan baru dibangun. Dan tidak percuma, karena dalam sekejab Chelsea telah menjelma menjadi klub besar yang disegani tidak hanya di Inggris, tetapi juga di Eropa. Yang menarik adalah bagaimana mudahnya Roman mengeluarkan pundi-pundi uangnya untuk membiayai klub barunya itu. Banyak pemain yang mahal waktu membelinya, menjadi diobral lantaran kebanyakan stok di klub. Secara bisnis, Roman jelas merugi bahkan sampai trilyunan rupiah. Namun dibanding dengan jumlah keseluruhan kekayaan Roman yang hampir mencapai 200 trilyun rupiah, uang yang ia gelontorkan untuk Chelsea tentu tidak ada apa-apanya. Maka Chelsea benar-benar menjadi mainan dan pelampiasan hobinya Roman.

Hal yang sama terjadi pada Machester City pada tahun lalu dan masih berlanjut sampai tahun ini. City, panggilan klub ini, yang semula adalah klub kecil dan hampir terdegradasi, mendadak menjadi klub papan atas Liga Primer lantaran dibeli Syeikh Mansour bin Zaid an Nahyan, raja aminyak dari Uni Emirat Arab. Semua hutang dia lunasi, pemain-pemain bintang ia datangkan, dan pelatih hebat ia berikan. Dengan belanja pemain tiap tahunnya yang hampir menyentuh angka dua trilyun rupiah, City kini menjadi klub yang penuh sesak dengan para bintang. Bahkan pada bursa transfer musim ini, klub ini akan mengobral banyak bintang yang sudah tidak terpakai lagi di sana. Klub ini benar-benar telah menjadi mainan Syekh Mansour, sekali lagi mainan dalam arti yang sebenarnya, karena uang yang ia keluarkan untuk City tidak akan ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaannya yang konon mencapai 5000 trilyun, puluhan kali kekayaan Roman.

Selain pemilik, kekuatan modal yang juga menentukan jalannya sepak bola adalah perusahaan-perusahaan besar yang berhubungan dengan sepak bola. Bursa taruhan adalah salah-satunya. Jangan bayangkan bursa taruhan di sini seperti taruhan antar kita dengan teman-teman atau judi di pinggir-pinggir jalan. Ia adalah taruhan judi tingkat internasional yang omsetnya mencapai trilyunan rupiah. Dari nilai taruhan yang besar dan ketidakinginan untuk kalah inilah yang membuat para pelakunya berusaha mengubah jalannya pertandingan di tengah lapangan. Dia berusaha mempengaruhi wasit, official, bahkan pelatih dan dan para pemain agar memberikan hasil sebagaimana yang ia harapkan. Dan di setiap penyelenggaraan Piala Dunia, panitia selalu disibukkan dengan permasalahan semacam ini. Kasus Calciopoli di Italia beberapa tahun lalu yang mengganjar Juventus terdegradasi ke Seri B dan menjadikan Inter Milan sebagai juara liga, juga bagian dari kekuatan perusahaan luar yang ikut mengubah jalannya pertandingan. Demikian juga merek-merek besar yang menjadi sponsor utama sebuah kesebelasan, baik timnas maupun klub, juga sering mempengaruhi jalannya pertandingan agar klub yang ia sponsori menjadi juara dan mereknya semakin terkenal.

Penonton juga ikut mempengaruhi jalannya sepak bola. Yang saya maksud bukan penonton di dalam stadion, karena mereka jelas ikut mempengaruhi pertandingan sebagai pemain ke-12. Penonton yang membuat pemain sepak bola tidak sehat adalah penonton yang ada di luar negeri. Banyak pertandingan yang harus dihelat tidak pada waktunya hanya karena untuk menyesuaikan dengan waktu nonton mereka. Demi penonton luar negeri yang telah membayar mahal lewat hak siar itu, para pemain harus berolah raga pada saat teriknya matahari. Lihatlah jadwal pertandingan Piala Dunia. Demi menyesuaikan dengan waktu nonton orang-orang Eropa, jadwal pertandingan Piala Dunia di Afrika Selatan dilaksanakan pada jam satu siang waktu setempat. Bermain sepak bola pada jam-jam seperti itu apakah masih bisa disebut sebagai olah raga? Di sini, para pemain adalah objek, dan orang-orang Eropa dengan segala kekuatan modalnya adalah subjek yang harus dilayani, bahkan oleh saudara-saudara mereka sendiri yang tengah bermain di Afsel. Dan jadwal liga-liga di Eropa juga tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Piala Dunia di atas.

Dipermainkan sepak bola

Sepak bola adalah olah raga yang paling merakyat. Ia disukai dan dimainkan baik oleh kalangan atas maupun yang bawah. Dari yang tua sampai anak-anak, dan dari laki-laki sampai perempuan, hamper semua menyukai ini. Ia juga olah raga yang murah karena hanya membutuhkan bola dan tanah lapang sebagai medianya, dan bola itupun dapat dibuat dari bahan apa saja yang ada di sekeliling kita.

Namun permainan sepak bola yang merakyat ini hanya terjadi pada orang-orang yang belum menjadi pemain sepak bola profesional. Pada taraf ini, sepak bola benar-benar dihayati sebagai aktivitas untuk mengolah raga. Tapi setelah ia dimainkan oleh para pemain profesional, predikat merakyat ini telah sirna. Ia berubah menjadi olah raga yang elitis. Ia sudah tidak tersentuh dan tidak terjangkau lagi oleh orang-orang bawah. Sepatu kualitas terbaik, bola hasil teknologi tercanggih, dan kaos dengan kenyamanan terapik yang digunakan dalam pertandingan profesional, jelas jauh dari jangkauan orang-orang biasa. Lebih dari itu, sepak bola profesional – sebagaimana keterangan di atas – telah menjelma menjadi kekuatan super yang menghegemoni. Dan kekuatan besar ini tidak hanya mencengkeram para pemain, tetapi juga terhadap mereka yang bisanya cuma menyaksikan sepak bola sebagai penonton.

Sepak bola sebagai industri dan permainan telah menancapkan pengaruhnya pada kehidupan kita. Ia telah menjadi bagian dari kita, bahkan mereka yang tidak suka dengan sepak bola sekalipun. Lihatlah banyaknya penduduk Afsel yang harus ‘mengungsi’ ke negara tetangga gara-gara tidak suka dengan banyaknya orang yang datang ke negerinya untuk menyaksikan bola. Banyak dari kita juga harus begadang dan bangun di tengah malam, bukan untuk berdoa dan sembahyang, tetapi hanya untuk menyaksikan sebuah partai Liga Champion Eropa. Banyak pekerjaan kantor tidak terurus dengan baik lantaran pemangkunya kelelahan sehabis nonton bola. Bahkan banyak kantor kementerian dan BUMN yang sepi karena para pegawainya mengikuti atasan dan presidennya yang begadang nonton Piala Dunia. Semua itu menunjukkan berkurangnya produktifitas gara-gara industri sepak bola.

Dari segi ekonomi, hegemoni sepak bola juga tidak kalah kuatnya. Sangat sering kita terbebani biaya besar untuk sesuatu yang sebenarnya bukan keperluan kita, tetapi tiba-tiba menjadi kebutuhan wajib hanya gara-gara kesukaan kita terhadap bola. Banyak dari kita rela untuk membayar mahal harga sebuah tiket demi untuk menyaksikan pertandingan yang kita sukai. Bahkan beberapa harus sampai terbang ke luar negeri untuk menyaksikannya secara langsung. Kalangan berduit juga tidak segan-segan untuk mengeluarkan pengeluaran tambahan untuk berlangganan saluran berbayar demi menyaksikan klub dan liga kesayangannya. Tidak hanya itu, kaos sepak bola, baik yang tiruan sampai yang asli dan edisi terbatas, juga telah memasuki rak-rak almari kita. Banyak dari mereka yang mamakai kaos bertuliskan pemain bintang juga berperilaku layaknya pemain pujaannya itu. Souvenir dan pernak-pernik klub juga laris menjadi komuditas kita. Bahkan mereka dengan senang hati dan tanpa dibayar rela untuk mengiklankan sebuah merek tertentu yang menjadi sponsor klub yang tertulis di kaos mereka.

Sama-sama sebagai objek dari kekuatan besar sebuah industri sepak bola, derajat para penonton berada di bawah para pemain. Meskipun sebagai objek, setidaknya para pemain telah ikut menikmati dan mendapatkan hasil dari industri ini. Tapi tidak dengan penonton. Di samping tidak mendapatkan apa-apa selain kepuasan, mereka juga harus mengeluarkan banyak biaya untuk menyaksikan industri besar ini, sebagaimana di atas. Mereka hanya bisa menyaksikan para pemain menerima gaji milyaran rupiah tiap pekannya, berpacaran dengan para artis ternama, membeli apartemen mewah nan mahal, menjadi bintang iklan merek ternama, memiliki tubuh ideal yang selalu diidam-idamkan, dan selalu dipuja-puji di mana-mana. Mereka hanya bisa menyaksikan harga transfer para pemain yang rebutan untuk memecahkan rekor, keuntungan trilyunan rupiah masing-masing klub tiap tahunnya, dan pembangunan stadion-stadion baru yang megah. Sekali lagi mereka hanya bisa menyaksikan itu semua, tanpa menyadari bahwa uang yang digunakan untuk semua itu adalah uang mereka sendiri, para penonton itu.

Benar, sepak bola adalah olah raga yang menyehatkan. Sedikit menyehatkan untuk para pemain, selebihnya dan yang terbanyak adalah menyehatkan para pemilik modal yang bermain di industri ini. Untuk penonton, tidak ada apa-apa bagi mereka, kecuali sedikit kepuasan batin, dan itupun kalau klub jagoannya menang. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Jakarta, 6 Agustus 2010