Sunday, July 19, 2009

Penganiayaan Terhadap Orang-orang Kristen

Pengantar

Kita yang hidup beragama pada masa sekarang seharusnya bersyukur atas apa yang dapat kita nikmati. Dibanding pada masa-masa awal kelahiran agama, kehidupan keagamaan kita jauh lebih bebas dan terjamin. Setidaknya itulah yang tersurat dalam konstitusi. Kita dapat menjalankan aktivitas keagamaan kita tanpa tekanan dan ancaman dari pihak lain

Namun demikian, ada satu hal yang tidak kita peroleh pada masa sekarang ini sebagaimana yang diperoleh pada masa penganiayaan: meninggal sebagai martir. Ya, kita pun dapat mati sebagai martir dengan cara memperjuangkan dan menyebarkan ajaran agama kita kepada sesama. Akan tetapi, mati sebagai korban penganiayaan dan penindasan karena mempertahankan keyakinan agama kita rasanya sulit kita peroleh di masa sekarang. Orang-orang Kristen perdana memang sulit menemukan kebebasan dalam menjalankan kehidupan keagamaannya. Akan tetapi hasil yang mereka peroleh juga tidak kecil: mereka mati sebagai martir! Tulisan ini akan berusaha menjelaskan bentuk dan motif penganiayaan terhadap jemaat Kristen perdana, sebagai bahan renungan bagi kita yang telah menikmati indahnya kebebasan di masa sekarang.

Orang-orang Kristen perdana

Setelah kematian Yesus, para pengikutnya menyebut diri mereka sebagai ’saudara’, ’murid-murid’, atau ’orang-orang yang mengikuti jalan Tuhan’. Namun beberapa tahun setelah itu, orang-orang luar komunitas memberi nama Kristen kepada mereka, dan Kristen pun menjadi nama resmi bagi mereka. Penganiayaan terhadap orang-orang Kristen dilakukan terutama oleh para penguasa kekaisaran Roma, seperti Kaisar Nero, Trayanus, Adrianus, Antonius, Markus Aurelius, Septimus Severus, Maksiminus, Desius, Valerianus, sampai Diokletianus. Yudaisme apokaliptik pernah meramalkan hal ini. Bahwa orang yang benar akan mengalami penderitaan. Ini selaras dengan apa yang telah dialami oleh orang-orang Kristen nantinya. Menurut salah satu pandangan dalam agama Yahudi, penderitaan merupakan sarana yang dipakai oleh Allah untuk menertibkan dan menghukum bangsa karena dosa-dosa mereka. Allah tidak membatalkan belas kasih perjanjian, akan tetapi mendisiplinkan umat-Nya, mengajarkan orang untuk mengubah cara hidupnya. Singkatnya, mati syahid dapat mensucikan dosa seseorang. Dalam bahasa Paulus, ”Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan perdamaian (hilasterion) karena iman, dalam darah-Nya.” (Rm 3:25). Injil jg mengingatkan bahwa para pengikut Yesus akan mengalami penderitaan (Mrk 10:39, Mat 26:28; 23:37-39).

Namun perlu diketahui bahwa dalam penganiayaan ini orang-orang Romawi tidak membedakan antara kekristenan awal dengan yudaisme. Pemerintah Romawi menganggap orang-orang Kristen perdana sebagai penganut salah satu aliran agama Yahudi. Sampai saat itu tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa para pemimpin Romawi memusuhi orang-orang Kristen.

Motif-motif penganiayaan

Tidak ada pernyataan resmi dari negara tentang motif penganiayaan terhadap orang-orang Kristen. Artinya, tidak ada dokumen yang menjelaskan kebijakan penindasan ini. Pemberitaan justru datang dari pihak Kristen sendiri melalui desas-desus. Ini dilakukan untuk membela diri dari tuduhan negara. Mereka dikabarkan sebagai kelompok yang anti Roma dan akan melakukan pemberontakan tehadap negara. Di antara sebab-sebab yang mungkin adalah bahwa agama Kristen merupakan agama baru yang aneh, sebagaimana ditegaskan dalam surat Gereja-gereja di Vienne dan Lyon. Agama Kristen adalah aliansi Kristus, sedangkan kekaisaran digambarkan dengan sebaliknya, aliansi kekufuran. Motif-motif ini dapat kita ringkas menjadi dua kategori, bermuatan politis dan non-politis.

a. Motif kepentingan politis

Di sini orang Kristen dianggap sebagai warga negara yang tidak tulen lantaran tidak mau mempersembahkan kurban sajian bagi kesejahteraan kaisar. Karenanya mereka harus dimusnahkan. Sebagaimana martir Scillitani yang tidak mengakui kaisar sebagai pemimpin tertinggi agama, tetapi menuntut hak untuk mengikuti kata hati terkait hubungan dengan Tuhan. Dengan demikian otoritas sipil kehilangan karakter sakralnya. Di sini jelas, agama Kristen tidak membahayakan negara, akan tetapi ia hanya memperkenalkan suatu visi politik baru, yang oleh otoritas dinilai sebagai subversif.

b. Motif kepentingan non-politis

Sikap otoritas Romawi juga tidak menentu. Orang Kristen dilihat sebagai warga negara yang sah, namun menjalankan keyakinan yang aneh. Ia juga kagum sekaligus geram terhadap sikap orang-orang Kristen yang tidak kenal kompromi. Ekspansi iman Kristen nyaris tidak dapat dihentikan. Masyarakat dalam ’bahaya’ untuk menjadi Kristen. Di samping itu juga terdapat kebencian orang-orang non-Kristen yang menuduh orang Kristen membunuh orok yang baru lahir. Orang Kristen juga dituduh menghina Allah dan sebagai ateis. Penganiayaan ini menjadi semakin intens semasa Kaisar Desius dan Dioklesianus.

Dua tahap penganiayaan

a. Pra Kaisar Septimius Severus

Pada masa ini, tidak ada prakarsa dari pihak penguasa dalam menumpas orang-orang Kristen. Namun perlawanan terhadap orang Kristen justru berasal dari bawah, rakyat. Hal ini karena setiap penduduk Roma dapat menuntut orang lain asalkan ia mau dan memiliki dasar. Karena itu, perlawanan bukan karena orang Kristen melanggar hukum, namu karena dorongan agar orang Kristen meniggalkan imannya. Ciri utama tahap ini adalah sifatnya yang sporadis, yakni penganiayaan terjadi di mana-mana.

Situasi berubah setelah Kaisar Septimius Severus berkuasa. Inisiatif menjadi dari atas. Undang-undang yang menindas orang-orang Kristen diciptakan. Bahkan ketika pemerinthan berada di bawah kekuasaan Kaisar Nero, penganiayaan menjadi berefek ganda. Pertama, orang-orang Kristen menjadi korban fitnah. Kedua, penganiayaan memiliki payung hukum, sehingga penindasan ini menjadi legal.

b. Pasca Kaisar Septimius Severus

Septimius melarang dengan hukuman berat orang yang bertobat dan memeluk yudaisme atau agama Kristen. Dengan Karakala, dimulailah apa yang disebut dengan Kaisar Siria (211-235): Karakala, Elagabalo, dan A. Severus. Dengan memberi hak warga negara kepada semua orang yang merdeka, maka terjadilah pertemuan budaya, termasuk agama, di Roma. Dengan demikian, budaya dan agama lain lebih dihargai dari sebelumnya. Meski demikian, penganiayaan tetap terjadi. Maksiminus Trace memerintahkan untuk membunuh hanya para uskup. Desius ingin menghapus sama sekali semua agama kuno, termasuk Kristen, yang dianggap sebagai musuh negara. Ia memberikan kepada para penganut agama ini dua pilihan: murtad atau mati. Dengan kebijakan ini, lambat laun penganut Kristen semakin menipis. Banyak dari mereka yang menjadi murtad, bahkan para uskup dan imam sekalipun.

Meski demikian, penganiayaan pada masa Desius de facto tidak pernah menghancurkan kristianisme. Setelah Desius dikalahkan orang Gotts pada tahun 251 penganiayaan berhenti total dan banyak orang yang murtad kembali lagi menjadi Kristen. Namun setelah kurang lebih 40 tahun setelah itu, muncul kembali penganiayaan di bawah Kaisar Dioklesianus (284-305). Namun setelah Dioklesianus meninggal dan digantikan oleh Konstantinus, terwujudlah ’perdamaian’ dengan umat Kristen. Pada masa kaisar inilah muncul Edikt Milano, yang menetapkan kebebasan beragama dan beribadat bagi semua agama, menarik kembali semua undang-undang yang melawan orang Kristen, dan mengembalikan kepada Gereja semua rumah ibadah dan harta benda yang pernah disita.

Penutup

Kenyataan menunjukkan bahwa telah terjadi penganiayaan terhadap jemaat Kristen oleh penguasa Romawi. Namun demikian, tidak diketahui secara pasti berapa jumlah para martir ini. Demikian juga penganiayaan tidak berlangsung secara terus menerus tanpa henti. Di antara masa penganiayaan ini terjadi pula masa-masa damai yang silih berganti dengan penindasan. Namun sejarah kadang diabaikan. Mereka yang telah mengalami penderitaan karena penindasan ini, pada masa berikutnya berubah sebagai penindas juga. Kita yang hidup pada masa sekarang seharusnya dapat belajar dari sejarah sebelumnya, bahwa tidak ada dasar yang dapat dipertahankan untuk menindas dan memaksa orang lain untuk ikut dan sama dengan kepercayaan kita. Agama adalah urusan pribadi yang langsung berhubungan dengan Tuhan. Hanya Tuhan sajalah yang dapat mengadili keyakinan kita kelak.

Pustaka

Kristiyanto, Eddy, Gagasan yang Menjadi Peristiwa, 2002, Yogjakarta: Kanisius, hlm. 41-57.
Harun, Martin, Pengantar Kepada Perjanjian Baru, 2007, Jakarta: STF Driyarkara.

No comments: