Tuesday, February 17, 2009

Pengada yang tak Terlampaui oleh Pikiran

Argumen Ontologis Anselmus Canterbury tentang Keberadaan Tuhan

I. Pendahuluan
Terhadap kepercayaan akan adanya Tuhan, agama – setidaknya tiga agama samawi – selalu menuntut keimanan mutlak kepada setiap pemeluknya. Hampir tidak ada toleransi terhadap masalah keimanan ini. Lepas dari dapat dibuktikan atau tidak, setiap pemeluknya harus percaya bahwa Tuhan itu ada. Bagi yang dari kecil sudah hidup dalam lingkungan ’agamis’, masalah keimanan seperti itu hampir tidak menjadi masalah. Namun bagi mereka yang dari kecil hidup di lingkungan ’non-agamis’, kepercayaan semacam itu mungkin terasa mengada-ada.

Karena itu sudah sewajarnya kalau orang yang merasa beriman dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan keimanannya. Dihadapkan pada arus informasi yang semakin terbuka, dimana pandangan mereka yang tidak mengakui adanya Tuhan semakin mendapatkan tempat, sudah seharusnya orang yang mengaku bertuhan dapat menunjukkan bahwa apa yang mereka imani itu benar. Setidaknya apa yang mereka imani itu memang patut untuk diimani dan dengan demikian keimanannya tidak menjadi sia-sia. Sehingga, di hadapan mereka yang tidak beriman ia dapat dengan lantang berucap bahwa apa yang ia imani itu memang sungguh rasional.

II. Biografi singkat
Lahir di Aosta, Italia, sekitar tahun 1033, Anselmus adalah seorang anak yang sudah terlihat kecerdasannya. Ia mewarisi sifat lemah lembut dan penuh perhatian kepada yang lain dari ayahnya, Gondolua, seorang politikus Lombordia, dan juga dari ibunya, Ermenberga, seorang Burgundia yang kaya. Di masa mudanya dia banyak melakukan pengembaraan di Eropa, hingga pada tahun 1060 ia memutuskan untuk masuk biara Benedektian di Bec, Perancis, di bawah bimbingan seorang guru terkenal pada masanya, Lanfranc.

Pada tahun 1093 ia diangkat sebagai uskup agung di Canterbury oleh William II, putra William dari Normandia yang sebelumnya telah menaklukkan Inggris. Namun ia harus bersitegang dengan pemerintah lantaran menolak gagasan penguasa yang menginginkan penghapusan peran para pastur di dalam kerajaan. Karena pertentangan ini Anselmus harus mengasingkan diri ke Italia. Namun pengasingannya justru membawa berkah baginya dan juga bagi umat. Sementara di Inggris ia dikenal sebagai gembala yang lembut, di pengasingan ia menjelma menjadi seorang teolog besar lantaran karya-karyanya yang hebat.

III. Argumen tentang keberadaan Tuhan
Anselmus adalah seorang terpelajar dan ahli Kristen yang mencoba memasukkan logika dalam pelayanan iman. Sejak awal ia berkeyakinan bahwa iman selalu berusaha untuk menemukan pemahaman (fides quarens intellectum). Baginya, iman adalah titik tolak pemikiran dimana isi ajarannya tidak akan terbantahkan hanya oleh alasan rasional. Meski, menurutnya, akal budi yang benar tetap akan menunjukkan kepada iman yang sejati. Karena itu, pertanggungjawaban iman yang menuntut pemahaman keimanan secara rasional menjadi keniscayaan bagi seorang yang mengaku beriman.

Argumennya yang sangat terkenal tentang keberadaan Tuhan, yang bahkan dapat diteriman oleh mereka yang tidak beriman, adalah bahwa “Allah adalah pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” (id quo majus cogitari nequit). Artinya, Allah adalah sesuatu yang tertinggi yang dapat dipikirkan oleh manusia. Setinggi apapun manusia mampu berpikir, isinya tetap tidak akan melampaui ‘pengada’ yang ia rumuskan itu. Karenanya kita tidak akan mampu untuk memikirkan sesuatu yang lebih besar dari Allah, karena Allah tetap merupakan pengada yang ‘sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan.’ Masalahnya jelas, seandainya kita dapat memikirkan sesuatu yang lebih besar dari segala sesuatu, maka Allah tetap lebih besar dari sesuatu yang kita pikirkan itu. Sehingga pada akhirnya seluruh isi pikiran dan bayangan kita tidak akan bisa melampaui gambaran tentang Allah, karena Allah selalu lebih besar dari segala yang dapat kita pikirkan.

Meski demikian, dua pertanyaan penting tetap akan muncul segera. Pertama, apakah Allah yang demikian itu memang benar-benar ada? Kedua, kalau ada, apakah adanya Allah itu memang riil atau hanya dalam pikiran kita saja? Menurut Anselmus, sebagai jawaban atas pertanyaan yang pertama, jika seseorang mendengar pernyataan “Allah adalah pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”, akan memikirkan objek yang diartikan kata-kata tersebut, dan objek itu ada dalam pikirannya. Hal itu menunjukkan bahwa Allah itu ada, meskipun hanya dalam pikiran, karena nyatanya ia dapat dipikirkan, dimengerti, dan bahkan disanggah.

Terhadap pertanyaan kedua, Anselmus berkeyakinan bahwa jika sesuatu itu tidak terdapat selain di akal budi, maka sesuatu itu juga terdapat dalam realitas. Artinya, jika seseorang berpikir tentang sesuatu, maka sesuatu itu tentu juga ada dalam realitas yang sebenarnya. Karena jika tidak demikian maka pemikirannya tidak memiliki objek. Padahal mustahil ada suatu pemikiran yang tidak memiliki objek. Karena itu, jika Allah adalah “ pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” ada dalam pikiran, maka Allah juga harus ada di luar pikiran, yaitu dalam realitas.

Singkatnya, Argumen Anselmus tersebut berjalan sebagai berikut: Allah adalah “pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya.” Namun, “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” tentu juga bereksistensi dalam kenyataan, dan tidak hanya ada dalam pikiran. Karena kalau hanya bereksistensi dalam pikiran saja, misalnya hanya dalam pikiranku, tentu ada sesuatu yang lebih besar daripadanya, yaitu yang benar-benar ada di luar pikiran. Maka, karena Allah adalah “pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya”, maka Allah mesti bereksistensi dalam kenyataan. Dengan demikian, eksistensi Allah tidak dapat disangkal.

IV. Tanggapan terhadap argumen
Sudah pasti argumen yang diajukan Anselmus ini menuai perdebatan panjang di antara para pemikir. Sebagian dari mereka mendukungnya, seperti Bonaventura, Descartes, Leibniz, dan Hegel, sedangkan sebagian yang lain menyangkal kebenarannya, seperti Thomas Aquinas dan Immanuel Kant. Tetapi, bagaimanakah argumen Anselmus ini dapat dinilai?

Sesuai dengan dua pertanyaan di atas, bahwa secara prinsip, dari memikirkan sesuatu tidak dapat ditarik kesimpulan ke eksistensi nyata dari sesuatu yang dipikirkan itu. Sebuah konsep yang ada dalam pikiran tidak lantas menunjukkan bahwa konsep itu memang benar-benar ada dalam pikiran. Sebagaimana konsep “pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” tidak harus menunjukkan bahwa pengada tersebut memang benar-benar ada. Untuk lebih jelasnya, mengikuti F. Magnis-Suseno, argumen Anselmus dapat disusun dalam bentuk silogisme sebagai berikut:

Mayor : ‘Pengada yang hakekatnya termasuk eksistensinya’ ‘tidak mungkin tidak bereksistensi’.
Minor : Hakekat ‘pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih bensar daripadanya’ ‘termasuk juga eksistensinya’.
Maka : ‘Pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’ ‘tidak mungkin tidak bereksistensi’.
Padahal : Allah adalah ‘pengada yang tidak dapat dipikrkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’.
Maka : Allah tidak mungkin tidak bereksistensi.

Dari silogisme di atas, kalau kita memangdangnya dengan jeli dan seksama, maka akan kelihatan bahwa premis mayornya dirumuskan dengan kurang tajam. Premis mayor tersebut sebenarnya ambigu dan dapat bermakna dua sehingga kesimpulannya pun dapat berbeda. Premis mayor “‘pengada yang hakekatnya termasuk eksistensinya’ ‘tidak mungkin tidak bereksistensi’” dapat berarti (1) “memikirkan ‘pengada yang hakekatnya termasuk eksistensinya’ ‘ tidak mungkin tanpa memikirkannya sebagai bereksistensi’”. Dan dapat pula berarti (2) ‘kalau ada pengada yang hakekatnya termasuk eksistensinya’, maka pengada itu ‘tidak mungkin tidak bereksistensi’. Karena itu kesimpulannya pun dapat menjadi dua. Pertama, ‘Pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’ ‘tidak mungkin dipikirkan sebagai tidak bereksistensi’. Dan kedua, kalau ada sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’, ‘pengada itu tidak mungkin tidak bereksistensi’.

Dengan demikian jelas, yang dibuktikan oleh Anselmus hanyalah premis mayor yang pertama, dimana kalau kita memikirkan Allah sebagai ‘pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’ maka kita harus memikirkan Allah sebagai bereksistensi. Namun masalahnya, apakah ‘pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya’ itu memang benar-benar ada dalam kenyataan, belum terjawab. Anselmus tidak dapat membuktikan itu. Keberadaan Allah jelas tidak dapat diterangkan hanya dengan memikirkannya!

Namun apakah Anselmus sebodoh itu sampai harus membuat kesimpulan dari premis-premis yang tidak akurat? Bagaimana mungkin ia membuat suatu argumen tentang keberadaan Tuhan, yang tentu saja sangat penting baginya, dengan dasar-dasar yang rapuh? Menurut hemat saya, Anselmus tidaklah seteledor itu. Tentu ia mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain sehingga tetap mempertahankan argumennya. Yang dianggap salah dari argumen Anselmus adalah bahwa dari memikirkan sesuatu tidak lantas menunjukkan bahwa sesuatu itu ada. Namun, benarkah demikian?

Tetapi, bukankah apa yang kita pikirkan bersumber dari realitas? Bukankah pikiran tidak akan mampu untuk memikirkan sesuatu yang berada di luar pengalaman subjek? Kalau memang apa yang dipirkan itu terlalu tinggi sehingga terasa mustahil pernah ada dalam pengalaman subjek, bukankah akal budi kita memiliki kemampuan untuk itu? Manusia adalah makhluk yang memilikui dimensi transenden lantaran dia memiliki jiwa unifikasi yang immaterial sifatnya dan terbuka secara tidak terbatas pada ‘ada’, bahkan pada ‘Ada Tertinggi’, yaitu Allah.

V. Penutup
Bagi orang yang beriman, tentu tidak ada yang baru dari argumen Anselmus ini. Karena mereka sudah tahu dan meyakini bahwa Tuhan adalah ’pengada yang maha segalanya’. Hampir semua sifat yang baik selalu disematkan kepada Tuhan dengan ditambah kata ’maha’. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan di atas segala-galanya, bahkan yang dipikirkan sekalipun. Tuhan melampaui itu semua. Tetapi poin penting dari Anselmus adalah usahanya untuk menunjukkan secara rasional bahwa Tuhan memang ada. Bahwa adanya Tuhan memang masuk akal. Itu yang hampir tidak terdapat pada ajaran keimanan ortodoks yang langsung menjejalkan iman pada orang lain tanpa penjelasan yang memadai. Lepas dari segala kekurangannya, argumen yang diajukan Anselmus ini mudah kita terima, bahkan oleh mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan.

VI. Pustaka
Magnis-Suseno, Franz, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
–––––––––, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Dari Descartes sampai Whitehead, Yogyakarta: Kanisius, 2007.

No comments: