Tuesday, February 17, 2009

Guru, Si Orang Asing

Peran Guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar menurut Maxine Greene

Pendahuluan
Greene mengibaratkan guru sebagai orang asing, orang yang baru saja pulang kampung setelah lama pergi, dan menyaksikan dunia sekelilingnya kembali. Sekarang ia menyaksikan begitu banyak kenyataan yang telah berubah atau luput dari perhatiannya dulu. Karenanya, ia mesti memikirkan kembali semua kenyataan itu agar masuk akal lagi baginya sebagaimana yang sudah-sudah. Selain itu, agar apa yang sekarang ia saksikan kembali bermakna, ia mesti menelisik, menafsirkan, dan menatanya kembali.

Begitulah tampilan seorang guru. Bukannya ia menganggap eksistensinya absurd atau mengasingkan dirinya dari kemunitas, melainkan harus berjuang menentang “tampilan-tampilan tanpa pikir” dalam kenyataan sosial yang ada. Ia tak seharusnya menerima begitu saja skema standar yang ada dan siap pakai, seperti kecerdasan, rasionalitas, dan pendidikan. Greene tidak sepakat dengan gambaran guru yang menyerupai ‘manusia kecil di dalam manusia’-nya Merleu-Ponty, karena hal itu mengabaikan kenyataan yang sebenarnya beraneka ragam, tempat di mana guru mengada sebagai pribadi.

Guru eksistensialis…???
Tidak seharusnya guru meleburkan diri dalam sistem dan setuju untuk digambarkan lewat sudut pandang orang lain, karena demikian itu berarti ia menyerahkan kebebasannya kepada orang lain. Sebaliknya ia harus menciptakan perpektif baru untuk mencermati kenyataan yang ada, dan menjadi sosok yang terbuka bagi murid dan dunianya. Ia harus berkoeksistensi dengan mereka, serta membuka kemungkinan-kemungkinan cara pandang baru bersama dengan para murid.

Seorang guru tidak dapat memaksakan keinginan dan keyakinannya kepada anak didiknya. Tugas edukasional adalah mencari tahu bagaimana cara memungkinkan individu untuk memilih sendiri secara cerdas dan otentik. Maka anak didik harus diperlengkapi dengan alat-alat konseptual, harga diri, dan kesempatan-kesempatan untuk membuat pilihan bagaimana melakukan yang terbaik menurut mereka masing-masing. Murid harus dilihat sebagai pribadi yang bebas.

Sang guru harus sadar dan peka terhadap pasang surut jiwanya sendiri. Sadar akan ketidaklengkapan diriya sendiri dan sadar akan ketidaklengkapan para murid, sehingga ia tidak mengobjekkan mereka. Maka yang ia dapat lakukan hanya membantu para murid, sebagai makhluk otonom, untuk membuat pilihan sendiri. Nah, kalau para anak didiknya ternyata telah mampu untuk menentukan pilihannya sendiri, pendidkan tersebut dapat disebut berhasil. Sebaliknya, kalau keputusan yang diambil anak didik ternyata tanpa didasari oleh pertimbangan dan pemikirannya sendiri, meski keputusan tersebut persis sama dengan apa yang diputuskan guru, harus diakui bahwa pendidikan yang ia terapkan belum berhasil.

Tak ada jaminan bahwa anak didik akan melakukan sesuatu yang berkemanusiaan. Terhadap para pemabuk yang menjadi anak didiknya, seorang guru tidak boleh mengurangi kasih sayangnya sedikitpun terhadap mereka. Ia tidak boleh menyalahkan mereka. Ia harus sekedar meminta mereka bicara bagaimana dan mengapa mereka hidup seperti itu.

Sang guru tidak akan mencoba meredakan rasa bersalah dari anak didiknya. Tetapi ia akan mengompori pribadi-pribadi yang mampu bertindak secara bertanggung jawab supaya mutlak bebas memilih bagi diri mereka sendiri. Ia tidak dapat menghendaki sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan para muridnya. Ia tidak dapat memaksakan komitmen pribadinya kepada anak didiknya. Tiap orang harus memberi makna pada dunianya sendiri. Dan pemberian makna ini harus dilakukan lewat aksi dan proyek, bukan lewat pikiran yang bermakna baik. Sekedar pikiran baik saja tidak akan cukup. Mungkin sang guru tidak dapat memberitahu anak didiknya bagaimana caranya hidup. Namun ia dapat membangun situasi di kelasnya sedemikian rupa sehingga sulit mempertahankan ketenangan batin.

Lantas, mau dibawa ke mana anak didik ini? William Frankena bicara tentang otoritas atau kewenangan, yang merupakan arah moral yang membawahkan individu. Para filsuf analitis menyatakan bahwa arah itu dapat ditemukan dalam prinsip-prisip seperti keadilan dan penghargaan atas manusia lain. Para filsuf eksperimentalis menyandarkannya pada fakta-fakta yang relevan dengan situasi, tentang keadaan-keadaan setempat dan kepentingan-kepentingan hidup yang terlibat. Namun, sekali lagi, apapun yang diambil oleh seorang guru, orientasi apapun yang menurutnya paling baik, ia tidak boleh menanamkan nilai-nilai dan kebajikannya sendiri kepada anak didiknya.

Dalam sebuah kelas yang demokratis, mungkin seorang guru akan tertimpa frustasi ketika semua orang benar-benar membuat keputusan yang hasilnya akan berpengaruh pada mereka. Namun hal itu sebenarnya akan membuat dia mengenal definisi-definisi baru tentang masalah, sehingga memperluas pandangannya. Dan jika orientasi guru adalah pemilihan bebas anak didiknya, ia akan mengalami pergulatan dialektis dengan mereka. Akan muncul ketidakpedulian dari anak didiknya. Sedangkan guru eksistensial, yang menekankan kebebasan anak didik, meski kelihatan tidak mengarahkan, namun ia juga tidak membiarkan pengambilan keputusan yang ngalor ngidul dan ngawur.

Meski demikian, kebebasan itu tidak selamanya mutlak. Dalam hal-hal tertentu, pembatasan-pembatasan tetap terjadi. Tidak mungkin membiarkan anak-anak dalam bangku TK untuk bermain tanpa peduli waktu. Batasan-batasan tetap diperlukan. Maka di sinilah terjadi paradoks pendidikan moral. Kebiasaan-kebiasaan tertentu sengaja dipupuk sebelum para murid cukup dewasa untuk mengetahui alasannya. Tetapi, tanpa peraturan-peraturan tersebut, anak-anak (TK) ini tidak akan beranjak dari tempat semula dimana mereka menjunjung egosentrisme, dan takkan mencapai titik konsepsi menyenangkan orang lain atau apa yang benar dalam komunitas.

Bukan pendidikan romantis
Dengan demkian, pedidikan, meski bersifat terbuka dan bebas, tidak berarti anak didik dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam alam sebagaimana dalam ajaran romantisme. Romantisme membiarkan setiap anak menghadapi sendiri berbagai model atau panutan di dalam dan di luar sekolah, tanpa ada model tertentu yang disodorkan dengan label baik. Sopan santun, sebagaimana dengan melek huruf, akan berkembang alami melalui dan dengan cara pengalaman sehari-hari. Keseluruhan lingkungan hidup akan mendidik seorang anak, sehingga tidak perlu lagi wajib belajar. Kelemahan model ini, di antaranya, adalah ketika lingkungan tersebut tidak kondusif bagi pendidikan. Bukannya menjadi baik, moral anak didik malah akan ikut hancur. Di samping itu, model pendidikan ini juga dapat memicu pada tindakan separatisme lantaran penekanannya pada lokalitas.

Penutup
Akhirnya, guru, menurut Maxine Greene, harus memikul tanggung jawab pribadi atas segala pilihan yang ia buat di kelas. Dan di luar kelas, ia harus tampil sebagai pribadi yang sadar diri, mandiri, dan otentik. Ia harus selalu merasa menjadi perantara para murid dengan dunia luar. Membebaskan anak didiknya untuk memutuskan pilhannya sendiri. Ia harus mengenalkan pola berpikir dan bertindak. Serta menjadikan para murid peka terhadap ketiadaan perikemanusiaan, kevulgaran, dan kemunafikan dunia.

Di tingkat tertentu, ia harus membuat mereka mampu memahami gagasan yang diidealkan masyarakat: kebebasan, kesamaan individu, hormat kepada yang lain. Dan baik guru maupun murid harus sadar, bahwa yang mereka pelajari itu adalah norma, yang selalu diciptakan kembali oleh tiap generasi. Karenanya adalah kontingen. Maka guru harus menafsirkan kembali kehidupan zamannya.

Tanggapan
Greene melihat baik guru maupun anak didiknya sebagai sama-sama orang yang otonom, bebas, dan dituntut tanggung jawabnya. Karenanya masing-masing tidak dapat mendikte dan didikte oleh yang lain. Guru hanya membantu proses pendewasaan seseorang. Kiranya pendidikan model ini sangat berat untuk dipraktekkan. Karena di situ dituntut seorang guru yang di samping memahami kompleksitas permasalahan, juga harus memahami gejala kejiwaan masing-masing anak didik. Maka hanya dapat dilaksanakan ketika jumlah anak didiknya terbatas. Di samping itu, jenjang pendidikan juga tidak jelas, karena ukuran keberhasilan adalah ketika anak didik telah mampu untuk membuat keputusan sendiri dan mempertanggungjawabkannya.

Model pendidikan Greene, seandainya pun berlaku, hanya dapat diterapkan pada pendidikan moral, bukan pendidikan secara umum. Pendidikan modern, yang lebih menekankan spesialisasi, luput dari kajian Greene ini.

No comments: